Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ANALISIS FARMASI

ANALISIS FLUOROSENSI

DISUSUN OLEH
KELOMPOK : 2 (DUA)

FIDRUS AFFANDY (K1A016016)


NI MADE DETIA SURYADNYANI (K1A016036)
REGITA PRAMESTI NURSANTY (K1A016044)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Karunia-
Nya, kami diberi kesempatan yang luar biasa yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas
penulisan makalah tentang “Analisis Fluoresensi “
Sekaligus pula kami menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk
Bapak Agus Dwi Ananto, S.Pd.Si.,M.Sc. selaku dosen mata kuliah Analisis Farmasi I yang
telah menyerahkan kepercayaannya kepada kami guna menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.
Kami juga berharap dengan sungguh-sungguh supaya makalah ini mampu berguna serta
bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait Analisis Fluoresensi.
Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan banyak sekali
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami benar-benar menanti kritik dan
saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali
lagi kami menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang
konstruktif.
Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh setiap pihak
yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah kami
terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Mataram 14 Oktober 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang............................................................................................................. 1
B. Tujuan .......................................................................................................................... 2
C. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3

BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4

A. Molekul-Molekul Yang Mampu Berfluorsensi ........................................................... 4


B. Sistem Instrumental……………………………………………………......................9
C. Faktor-Faktor Yang Mengganggu Proses Fluoresensi………………… ……….…. 15
D. Kegunaan Spektroskopi Fluoresensi Dalam Analisis Farmasi .................................... 17

BAB IV PENUTUP............................................................................................................... 19

Kesimpulan ............................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA...........………………………………………………………………...20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Identifikasi bahan baik yang berupa bahan alam atau sintetik perlu diketahui
secara kualitatif dan kuantitatif untuk dapat digunakan diberbagai bidang seperti industri
kimia, industri farmasi dan untuk bahan penelitian. Sebagai langkah awal untuk
mengetahui kandungan–kandungan tersebut adalah dengan mengisolasi dengan pemisahan
kromatografi.
Langkah selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi dan menganalisa
komponen-komponen yang telah terpisah tersebut. Cara identifikasi yang sering digunakan
adalah biasanya secara proses kimia atau dilakukan dengan spektroskopi UV dengan
metode spektroskopi serapan. Metode identifikasi diatas dirasa kurang cepat dan kurang
praktis. Untuk itu diusulkan suatu cara baru yang dapat mengatasi permasalahan diatas,
yaitu identifikasi berdasarkan analisa spectrum fluoresensi yang diemisikan oleh molekul
akibat disinari dalam daerah uv-visible (Bisman, 2008).
Ada beberapa keuntungan identifikasi berdasarkan pengamatan spectrum
fluorisensi antara lain adalah : simpel dan cepat dan biaya relatif murah. Selain itu
permasalahan jika menggunakan Absorptiometry adalah pengamatan untuk
multicomponent, dimana kemungkinan dua komponen yang berbeda menyerap panjang
gelombang yang sama, sehingga spectrum kedua bahan tersebut tak dapat dipisahkan,
sedangkan berdasarkan fluorometer sinyal fluorisensi dari kedua komponen tersebut tetap
dapat dipisahkan (Virleenda, 2011).
Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka
analisa dengan pengamatan spectrum fluoresensi dapat dilakukan dengan cepat dan praktis
dengan bantuan peralatan yang serba modern.
Dalam makalah ini, spektrofotometer fluorosensi akan dibahas secara detail.
spektrofotometer fluorosensi merupakan suatu metode yang didasarkan pada penyerapan
energi oleh suatu materi sama seperti metode spektroskopi lainnya. Bedanya terletak pada
energi yang dibebaskannya setelah terjadi peristiwa pengujaan (eksitasi). Dengan
Spektroskopi Fluoresensi, energi yang dipancarkan lebih kecil dari energi untuk eksitasi,
karena sebagian energi yang digunakan misalnya untuk getaran (vibrasi), Akibat panjang

1
gelombang untuk eksitasi berbeda dengan panjang gelombng untuk pancaran (emisi) dan
perubahan panjang gelombang.

B. TUJUAN
Untuk mengetahui instrumentasi spektrofotometer fluorosensi, mengetahui
molekul-molekul yang menunjukkan fluorosensi, mengetahui faktor-faktor yang
menggangu intensitas fluorosensi, serta mengetahui penerapan spektrofotometri
fluorosensi dalam analisis farmasi.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana molekul-molekul yang meampu melakukan fluorosensi?
2. Bagaimana instrumentasi fluorosensi?
3. Apa saja faktor-faktor yang menggangu intensitas fluorosensi?
4. Bagaimana penerapan spektrofotometri fluorosensi dalam analisis farmasi?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Banyak senyawa kimia yang mempunyai sifat Fotoluminisensi yakni senyawa kimia
tersebut dapat dieksitasikan oleh cahaya dan kemudian memancarkan kembali sinar yang
panjang gelombangnya sama atau berbeda dengan panjang gelombang semula (panjang
gelombang eksitasi). Ada 2 peristiwa Fotoluminesensi, yaitu fluorosensi dan fosforisensi. Pada
fluorosensi, pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energy sinar terjdi
dalam waktu yang sangat singkat setelah penyerapan (10-8 detik). Jika penyinaran kemudian
dihentikan, pemancaran kembali oleh molekul tersebut juga berhenti. Fluorosensi berasal dari
transisi antara tingkat-tingkat energy elektronik singlet dalam suatu molekul. Pada fosforensi,
akan terjadi pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energy sinar dalam
waktu yang relatif lebih lama (10-4 detik). Jika penyinarannya kemudian dihentikan,
pemancaran kembali masih dapat berlangsung . Fosforesensi berasal dari transisi antara tingkat-
tingkat energy elektronik triplet ke singlet dalam suatu molekul (Gandjar dan Rohman, 2007).
Analisa fluorimetri adalah salah satu metode analisis spektrometri untuk analisis unsur
yang terkandung dalam larutan dengan kandungan rendah. Analisa unsur dengan metode ini
dapat dilakukan terhadap unsur-unsur yang dapat membentuk senyawa kompleks sehingga
unsur tersebut mempunyai electron ikatan kompleks langsung dengan ion dari unsur yang akan
diukur (Nampira dan Noviarty, 2000).
Analisa kualitatif merupakan perbandingan spectrum fluoresensi yang dapat membantu
pengenalan senyawa atau bahan. Analisa kuantitatif merupakan pengukuran yang dapat
dilakukan pada kadar yang sangat rendah dengan ketepatan, keterulangan, dan kepekaan tinggi.
Misalnya pengukuran kadar vitamin E. Bila panjang gelombang emisi dan eksitasi telah dipilih,
maka dapat dibuat hubungan antara intensias fluoresensi dengan konsentrasi senyawa (Lubis
dkk, 2016).
Prosedur analisis kuantitatif dengan teknik ini pada dasarnya sama dengan teknik
spektrofotometri. Kurva baku yang menyatakan hubungan antara intensitas fluorosensi dengan
konsentrasi baku tertentu disiapkan dengan larutan baku murni yang telah diketahui
konsentrasinya. Besarnya konsentrasi dalam sampel dapat dihitung dengan memasukkan
intensitas fluorosensi sampel kedalam kurva baku. Selain itu, prosedur analisis juga dapat
dilakukan dengan membandingkan secara langsung antara intensitas fluorosensi baku dengan
intensitas fluorosensi sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

3
BAB III

PEMBAHASAN

A. MOLEKUL-MOLEKUL YANG MAMPU BERFLUORSENSI


System ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku
sehingga akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800 nm pada radiasi
elektromagnetik. Senyawa-senyawa yang mempunyai ikatan terkonjugasi ini merupakan
calon (kandidat )senyawa yang mampu berfluorosensi. Modifikasi senyawa-senyawa ini
dapat menurunkan atau meningkatkan intensitas fluorosensi , tergantung pada sifat dan
letak gugus substituent.
Penambahan banyaknya ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu system
menyebabkan peningkatan fluoresensi utamanya jika dalam system struktur aromatis
heterosiklik, yaitu suatu struktur aromatis yang mengandung gugus N, S, dan O.

4
5
PERUBAHAN SENYAWA MENJADI FLUORSENS

Jika suatu senyawa tidak berfluorsensi secara intrinsic maka harus dirubah menjadi
senyawa yang berfluorsens sehinga dapat dianalisis. Salah satu metode pendekatannya yaitu
dengan induksi kimia seperti radiasi UV,Hidrolisisdan dengan dehidrasi menggunakan asam
kuat.

6
7
Metode kedua adalah metode pengkoplingan atau penggabungan gugus fungsional
molekul organic tertentu dengan reagen fluorosens. Diantara reagen-reagen yang popular yang
tersedia di pasaran adalah o-ftalaldehid, dansil klorida dan NBD klorida. Kerugian metode
pembentukan fluorofor dengan pengkoplingan adalah :

1) Spesifisitasnya masih kalah bagus jika dibandingkan dengan metode induksi kimia
2) Adaya fluorosensi dasar (background) yang tinggi disebabkan oleh reagen yang tidak ikut
bereaksi
3) Beberapa tahapan pemisahan terhadap kelebihan reagen biasanya diperlukan sebelum
dilakukan pengukuran
4) Ketersediaan reagen untuk gugus fungsional tertentu biasanya terbatas

Salah satu contoh metode pengkoplingan

8
B. SISTEM INSTRUMENTAL
Peralatannya dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : Fluorometer penyaring
dan spektrofluorometer.

1. FLUOROMETER PENYARING
GAMBAR menunjukkan komponen-komponen penting dalam penyusunan
fluorometer

Suatu sinar harus intens dan sangat stabil karena intensitas fluorosensi berbanding
langsung dengan I0.
 Lampu merkuri dan lampu xenon merupakan sumber radiasi yang paling sering
digunakan. Lampu –lampu ini mampu mengemisikan radiasi baik pada daerah
ultraviolet maupun daerah visible . Emisi lampu Xenon terdistribusi pada
9
kisaran panjang gelombang yang luas, sementara emisi lampu merkuri
memberikan intensitas yang sangat tinggi pada daerah panjang gelombang
tertentu yaitu 254 nm dan 366nm sehingga sangat sesuai untuk radiasi eksitasi.
 Penyaring eksitasi , pada kebanyakan fluorometer berupa penyaring kaca yang
akan mentransmisikan sinar pada panjang gelombang yang dikehendaki dan
akan menyerap semua radiasi yang lain. Penyaring kaca ini akan mentransmisika
pita radiasi dengan lebar antara 50-100nm
 Tempat sampel, sinar eksitasi selanjutnya melewati tempat sampel . Wadah
sampel yang berasal dari gelas sudah bagus untuk analisis. Wadah sampel dari
kuarsa harus digunaka pada panjang gelombang di bawah 320nm
 Penyaring sekunder , beberapa sinar yang ditransmisikan akan dihamburkan
dalam arah ini (sudut kanan arah eksitasi ) dan sinar yang tidak diharapkan akan
dihilangkan dengan penyari fluoresensi kedua (penyaring sekunder).

2. SPEKTROFLUOROMETRI
Dasar pengoprasian spektrofluorimeter adalah dimana suatu mokeul yang mempunyai
electron ikatan pada 𝜋 atau n akan mudah mengalami eksitasi bila disinari dengan
sinar monokromatis yang mempunyai energy sesuai dengan beda antara energy dasar
dan energy tereksitasi. Zat yang mengalami eksitasi tersebut akan kembali pada
keadaan dasar sekaligus memancarkan cahaya pada daerah sinar ultraviolet atau
daerah sinar tampak. Sinar yang dipancarkan ini akan melwati suatu celah dan diterima
oleh detector yang diterjemahkan dalam bentuk spectrum fluoresensi atau fosforisensi.
Puncak maksimum dari spectrum fluoresensi yang dihasilkan digunakan sebagai dasar
pengukuran kuantitatif unsu yang akan ditentukan (Nampira da Noviarty, 2000)

10
Kalau kita perhatikan, tampak bahwa komponen-komponen alat spektrofluorometer
hamper sama dengan komponen-komponen pada spektrofotometer. Meskipun demikian, ada
perbedaan antara keduanya yakni spektrofluorometer ada 2 monokromator yaitu satu alat
monokromator untuk panjang gelombang eksitasi dan yang lainnya untuk panjang gelombang
transmisi.

a. Alat Pemilih Panjang Gelombang


Dua monokromator digunakan pada spektrofluorometer, yakni monokromator
primer (atau monokromator eksitasi) dan monokromator sekunder atau monokromator

11
fluoresensi. Pada umumnya monokromator yang digunakan adalah monokromator kisi
difraksi, walaupun monokromator filter juga dapat digunakan untuk analisis-analisis yang
lebih khusus. Monokromator eksitasi akan memilih pita panjang gelombang yang sempit
dan dapat diserap oleh sampel. Selanjutnya, sampel mengemisikan sinar yang masuk ke
segala arah. Monokromator kedua diletakkan pada posisis 90o terhadap berkas sinar
Monokromator kedua diatur sedemikian rupa sehingga mampu melewatkan panjang
gelombang fluoresensi ke detector. Orientasi 90o ini diperlukan untuk menghindari
pencarian detektor terhadap intensitas sinar yang mengenainya. Dengan begitu,
monokromator mampu menghilangkan background yang disebabkan oleh sumber sinar.
Tidak seperti spektrofotometri serapan, pengukuran bukan dilakukan terhadap dua sinyal
yang berbeda, melainkan, pengukuran dilakukan terhadap perbedaan antara sinyal utama
dengan sinyal yang tidak ada background-nya. Hal ini merupakan salah satu alasan
mengapa fluoresensi mempunyai sensitivitas dan linieritas yang tinggi. Kebanyakan
instrumen fluoresensi adalah berkas tunggal. Hal menunjukkan bahwa perubahan-
perubahan dalam intensitas sumber sinar akan menghasilkan perubahan pada intensitas
fluoresensinya. Untuk mengompensasi perubahan- perubahan dalam sumber sinar,
beberapa instrumen memecahnya ke bagian output sumber sinar, menguatkannya, dan
mengirimkannya ke detektor kedua. Sinyal-sinyal dari dua detektor digunakan untuk
melakukan koreksi drif atau fluktuasi dalam sumber sinar.
Geometri 90o merupakan orientasi yang paling umum untuk mengukur fluoresensi
dan bekeria dengan sangat baik untuk larutan-larutan sampel yang tidak menverap dengan
sangat kuat. Sudut-sudut lainnya digunakan untuk heberapa penggunaan yang spesifik.
Untuk larutan-larutan yang menyerap dengan intensitas fluoresensi yang sangat kuat atau
untuk sampel-sampel padatan seperti dalam lempeng kromatografi lapis tipis, maka
fluoresensi diukur dari bagian muka sampel yang sama yang dikena sumber sinar.
Geometri seperti ini disebut dengan geometri muka depan, yang secara skematis
ditunjukkan pada Gambar 7.9 (untuk sampel-sampel padat).

12
b. Sumber Radiasi
Intensitas ftuoresensi berbanding langsung (proporsional) dengan intensitas
sumber sinar. Dengan demikian, sumber-sumber sinar yang intens Iebih dipilih. Panjang
gelombang eksitasi adalah panjang gelombang di daerah ultraviolet-tampak. Beberapa
sumber sinar yang digunakan dalam spektroskopi UV-vis juga digunakan dalam
fluoresensi. Bahan-bahan optik yang digunakan tentunya juga sama. Misalnya kuarsa
untuk pengukuran eksitasi di daerah UV dan borosilikat untuk daerah tampak.
Lampu merkuri atau lampu xenon merupakan beberapa contoh lampu yang sering
digunakan. Gambaran skematik lampu xenon ditunjukkan oleh Gambar 7.10 Kuarsa diisi
dengan gas senon dan adanya aliran listrik melalu gas menyebabkan adanya sinar eksitasi
dan emisi. Sinar ini mengemisikan suatu sumber sinar secara kontinu pada panjang
gelombang 200 nm sampai daerah IR. Spektrum emisi lampu xenon ditunjukkan oleh
Gambar 7.11. Lampu merkuri di bawah tekanan vang tinggi juga dapat digunakan untuk
memberikan sumber sinar kontinu, akan tetapi lampu Hg tekanan rendah yang
mengemisikan spektrum garis juga sering digunakan dengan fluorometer yang
menggunakan filter. Spektrum lampu Hg tekanan rendah ditunjukkan oleh Gambar 7.12.

13
Karena intensitasnya yang tinggi Sumber sinar laser merupakan sumber sinar yang
ideal untuk fluoresensi. Sinar laser akan menampakkan kisaran panjang gelombang emisi
yang Iebar sehingga laser saat ini yang paling banyak digunakan. Lampu laser mempunyai
batas deteksi yang rendah sehingga sesuai untuk analisis senyawa-senyawa dalam jumlah
sekelumit.

c. Detektor
Detektor yaing pating umum digunakan adalah detektor pengganda foton
(photomultifier tube). Hal itu disebabkan karena sinyalnya terlalu kecil dibahas
sebelumnya, eksitasi dan emisi optimum fluoresensi etinilestradidiol masing-masing di 285
dan 315 nm. Ada dua hal penting terkait dengan uji etinilestradiol dengan fluoresensi ini:
(1) Penggunaan panjang gelombang eksitasi yang sedikit lebih pendek mengurangi
kemungkinan adanya gangguan dari penghamburan Raman, yang dapat tumpang tindih
dengan spektrum fluoresens dan ini tergantung pada panjang gelombang eksitasi.

14
Sementara fluoresensi maksimum tidak tergantung pada panjang gelombang eksitasi. (2)
Intensitas penghamburan Rayleigh dan Tyndall pada panjang gelombang yang lebih
pendek adalah lebih besar dengan demikian emisi teramati pada panjang gelombang yang
sedikit lebih besar (320 nm) untuk mengurangi gangguan dari sumber ini.
Setelah fluoresensi ekstrak sampel dalam metanol ditentukan, larutan NaOH 1 M
ditambahkan ke sampel dan intensitas fluoresensi diukur kembali. Penambahan NaOH
menghilangkan fluoresensi dengan menyebabkan ionisasi gugus fenol etinilestradiol dan
dengan demikian fluoresensi residual apa pun yang disebabkan oleh bahan tambahan dapat
dikurangkan dari pembacaan. Dalam farmakope, uji kandungan etinilestradiol ekstrak
tablet ditentukan dengan membandingkan fluoresensi larutan yang mengandung sejumlah
standar estradiol dengan konsentrasi yang diketahui dan dianalisis menggunakan kondisi
yang sama. (Gandjar dan Rohman, 2018)

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGGANGGU PROSES FLUORESENSI


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses dari fluoresensi, yaitu:
1. Hasil kuantum (efisien kuantum, quantum yield)
Efisiensi kuantum merupakan suatu bilangan yang menyatakan perbandingan antara
jumlah molekul yang berfluoresensi, terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi.
Besarnya efisiensi kuantum (ɸ) sebesar : 0 ≤ ɸ ≤ 1. Nilai ɸ yang diharapkan adalah
mendekati angka 1, yang berarti nilai efisiensi fluoresensi sangat tinggi. Dimana, jika
nilai ɸ melebihi angka 1, maka hal ini dapat mengganggu terjadinya proses fluoresensi.

2. Pengaruh Kekakuan Struktur


Fluoresensi terjadi dengan baik jika molekul-molekul suatu senyawa yang terlibat
dalam proses fluoresensi memiliki struktur yang kaku (rigid). Sehingga apabila suatu
senyawa yang memiliki molekul-molekul penyusun didalamnya tidak bersifat rigid,
maka hal ini akan menganggu proses dari fluoresensi.

3. Pengaruh Suhu
Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang. Hal ini
disebabkan oleh pada suhu yang lebih tinggi, tabrakan-tabrakan antar molekul atau
tabrakan molekul dengan pelarut menjadi sering ; yang mana pada peristiwa tabrakan,
kelebihan energy molekul yang tereksitasi dilepaskan ke molekul pelarut. Jadi semakin

15
tinggi suhu maka terjadinya konversi ke luar menjadi lebih besar (sehingga K KL juga
besar), akibatnya efisiensi kuantum fluoresensi (ɸ) berkurang.

4. Pengaruh Pelarut
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada fluoresensi,
yaitu :
a. Jika pelarut makin polar maka intensitas fluoresensi makin besar. Alasannya,
semakin polar pelarut maka akan menurunkan energy proses transisi π π*
sehingga energy transisi ini lebih kecil dibanding energy transisi n π* , akibatnya
intensitas fluoresensi semakin besar
b. Jika pelarut mengandung atom-atom yang berat (Br, I atau senyawa yang lain)
misal : CBr, C2H5I, maka interaksi antara gerakan spin dengan gerakan orbital
elektron-elektron ikatan lebih banyak terjadi; dan hal tersebut akan memperbesar
laju lintasan antar sistem atau mempermudah pembentukan triplet sehingga
kebolehjadian fluoresensi lebih kecil.

5. Pengaruh pH
pH berpengaruh pada letak keseimbangan antara bentuk terionisasi dan bentuk tak
terionisasi dari suatu senyawa yang terfluoresensi. Sifat fluoresensi dari kedua bentuk
terionisasi dan tak terionisasi itu berbeda. Sebagai contoh, fenol dalam suasana asam
akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang gelombang antara 285-365
nm dan nilai ԑ = 18 M-1cm-1, sementara jika dalam suasana basa maka fenol akan
terionisasi membentuk ion fenolat yang mempunyai panjang gelombang antara 310
nm-400 nm dan ԑ = 10 M-1cm-1.

6. Pengaruh oksigen terlarut


Adanya gas oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced
oxidation). Pengurangan intensitas fluoresensi disebut pemadaman sendiri atau
quenching. Molekul oksigen bersifat paramagnetic, dan molekul yang bersifat seperti
ini dapat mempengaruhi dan mempermudah lintasan antar sistem sehingga
memperkecil kemungkinan fluoresensi.

16
7. Pemadaman sendiri (self quenching) dan penyerapan sendiri
Pemadaman sendiri biasanya disebabkan oleh adanya tabrakan-tabrakan antar molekul
dari zat itu sendiri. Tabrakan-tabrakan antar molekul itu menyebabkan energy yang
tadinya akan dilepaskan sebagai sinar fluoresensi malah ditransferkan ke molekul lain,
akibatnya intensitas dari fluoresensi berkurang.

D. KEGUNAAN SPEKTROSKOPI FLUORESENSI DALAM ANALISIS FARMASI


Metode spektroskopi fluoresensi dalam bidang farmasi biasanya digunakan secara
luas untuk menganalisis obat, baik dalam bentuk sediaan maupun dalam bentuk sampel
hayati. Hal ini terbukti dari banyaknya senyawa obat yang ditetapkan kadarnya dengan
menggunakan metode ini. Berikut tabel 1.1 berisi daftar senyawa-senyawa obat yang
ditetapkan kadarnya dengan menggunakan metode spektroskopi fluoresensi :

17
18
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Molekul -molekul yang dapat menunjukkan fluoresensi adalah senyawa-senyawa


yang mempunyai ikatan terkonjugasi. Modifikasi senyawa-senyawa ini dapat
menurunkan atau meningkatkan intensitas fluorosensi , tergantung pada sifat dan
letak gugus substituent.
2. Sistem Instrumen Fluoresensi dibagi menjadi 2 yaitu fluorometer penyaring dan
spektrofluorometer. Spektrofluorometer hampir sama dengan spektrofotometer,
perbedaannya terletak pada monokramator. Monokromator pada
spektrofluorometer terdiri atas monokromator eksitasi dan monokromator
transmisi,
3. Faktor-faktor yang mengganggu intensitas fluoresensi adalah hasil kuantum,
kekakuan struktur, suhu, pelarut, ph, oksigen terlarut dan pemdaman sendiri atau
penyerapan sendiri
4. Penerapan Fluoresensi dalam analisis farmasi yaitu untuk menganalisis obat, baik
dalam bentuk sediaan maupun dalam bentuk sampel hayati. Hal ini terbukti dari
banyaknya senyawa obat yang ditetapkan kadarnya dengan menggunakan metode
ini.

SARAN

Kami sebagai penulis makalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang isi
makalah dengan disertai referensi dan literatur yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggung jawabkan. Kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk
penulisan makalah selanjutnya

19
DAFTAR PUSTAKA

Bisman, Perangin-angin. 2008. Teknik Identifikasi Cepat Fraksinasi Hasil Pemisahan


Kromatografi Menggunakan Detektor Fluoresensi. Jurnal Penelitian MIPA
Universitas Sumatera Utara, volume 2.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2018.Spektroskopi Molekuler Untuk Analisis
Farmasi . Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Lubis A.M., Bisman P., dan Nasruddin. 2016. Studi Tentang Pengamatan Fluoresensi
berdasarkan Domain Panjang Gelombang Pada Spektroskopi Fluoresensi Untuk
Identifikasi Bahan. Agrium. Volume 20 No.1. Hal 303-307.

Yusuf, Nampira dan Noviarty. 2000. Penggunaan Spektrofluorimeter Untuk Analisis Unsur
Dalam Larutan . Urinaria. No 23-24.Hal 31-33.

Virleenda, Mega Setianingrum. 2011. Peningkatan Fluoresensi Pada Komposit Europium


Trietilena Glikol Pikrat/Polimetil Metakrilat Untuk Aplikasi Foto Sensor. Jurnal,
Universitas Indonesia, volume 10.

20

Anda mungkin juga menyukai