Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi merupakan salah satu bidang profesional kesehatan yang
merupakan kombinasi dari ilmu kesehatan dan ilmu kimia, yang
mempunyai tanggung-jawab memastikan efektivitas dan keamanan
penggunaan obat. Dalam dunia farmasi, terdapat beberapa cabang ilmu
yang harus dipelajari oleh seorang mahasiswa. Bukan hanya ilmu meracik
obat, tapi seorang farmasis juga harus memahami bagaimana sifat fisika
dari obat tersebut sehingga dikenal dengan ilmu Farmasi Fisika.
Farmasi Fisika merupakan suatu ilmu yang menggabungkan antara
ilmu Fisika dengan ilmu Farmasi. Ilmu Fisika mempelajari tentang sifat-
sifat fisika suatu zat baik berupa sifat molekul maupun tentang sifat
turunan suatu zat. Sedangkan ilmu Farmasi adalah ilmu tentang obat-obat
yang mempelajari cara membuat, memformulasi senyawa obat menjadi
sebuah sediaan jadi yang dapat beredar di pasaran. Gabungkan kedua ilmu
tersebut akan menghasilkan suatu sediaan farmasi yang berstandar baik,
berefek baik, dan mempunyai kestabilan yang baik pula.
Sifat fisika suatu zat dapat diketahui dari percobaan-percobaan,
salah satunya penetapan kelarutan dari penambahan suatu zat
pengompleks. Menurut Farianti (2000), senyawa kompleks adalah
senyawa yang tersusun atas atom pusat atau logam dengan ligan yang
mengelilinginya membentuk molekul netral atau ion dengan ikatan
kovalen koordinasi..
Pengetahuan tentang metode kompleksasi sediaan obat sangat
penting untuk seorang farmasis, sebab hal ini dapat membantu memilih
metode kompleksasi ini digunakan untuk menambah kelarutan suatu
senyawa obat. Dengan adanya penambahan senyawa pengkompleks, suatu
senyawa yang pada awalnya memiliki kelarutan yang rendah, perlahan
akan meningkat kelarutannya. Tetapi, kadar dari senyawa pengkomples
yang ditambahkan memiliki batas tertentu yang apabila melewati dari

1
kadar itu, senyawa tersebut justru akan menjadi sukar larutdalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Melihat pentingnya uraian diatas, maka dilakukan praktikum
Farmasi Fisika dengan judul percobaan kompleksasi obat dengan
penambahan senyawa kompleks pada konsentrasi yang berbeda-beda
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penetapan kelarutan suatu zat
dengan penambahan zat pengompleks
1.2.2 Tujuan Percobaan
Menetapkan kelarutan Paracetamol dalam larutan dengan
penambahan Na2EDTA menggunakan metode spektrofotometer
1.3 Prinsip Percobaan
Penetapan kelarutan Paracetamol dalam larutan dengan adanya
penambahan Na2EDTA dengan konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan
pada kompleks yang terjadi antara Paracetamol dengan Na EDTA yang
diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Umum
2.1.1 Definisi Kompleksasi obat
Kompleks atau senyawa koordinasi, menurut definisi klasik,
diakibatkan oleh mekanisme donor-akseptor atau reaksi asam-basa Lewis
antara dua atau lebih konstituen kimia yang berbeda. Setiap atom atau ion
nonlogam apakah bebas atau berada dalam molekul netral atau dalam
senyawa ionik, yang dapat menyumbangkan satu pasang elektron, dapat
bertindak sebagai donor. Akseptor, atau konstituen yang ambil bagian
dalam pasangan elektron, seringkali berupa ion logam, walaupun dapat
juga berupa atom netral (Martin, A: 1990).
Pelaksanaan analisisis anorganik kualitatif banyak digunakan
reaksi-reaksi yang menghasilkan pembentukan kompleks. Suatu ion atau
molekul kompleks terdiri dari satu ion (ion) pusat dan sejumlah ligan yang
terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Jumlah relatif komponen-
komponen ini dalam kompleks yang stabil nampak mengikuti stoikiometri
yang sangat tertentu, meskipun ini tak dapat ditafsirkan di dalam lingkup
konsep valensi klasik (Roth, H., J: 1994).
2.1.2 Metode pembentukan kompleks
Metode-metode analisis pembentukan kompleks ada beberapa macam,
antara lain (Day, R., A: 1995):
1. Metode variasi berkesinambungan
Metode ini berdasarkan pada kenyataan bahwa apabila dua senyawa
membentuk kompleks maka terjadi perubahan sifat fisika dan kimia.
2. Metode titrasi
Metode ini diterapkan pada pembentukan kompleks glisin dan Cu
yang dititrasi dengan  NaOH
3. Metode distribusi
Metode distribusi diterapkan pada pembentukan kompleks iodium dan
KI. Iodium dilarutkan dalam CS2 dan KI dilarutkan dalam air.

3
Kelarutan iodium dalam air karena terbentuk  kompleks.
4. Metode Kelarutan
Kelarutan pada amino benzoate akan menambah kelarutan kofein,
dimana kadar kofein diukur dengan spektrofotometer.
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusan
dan sejumlah ligam yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom
pusat ditandai oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang
menunjukkan jumlah ligan (monodentat) yang dapat membentuk kompleks
yang stabil dengan satu atom pusat. Susunan logam-logam sekitar atom
pusat adalah simetris (Svehla, 1990).
G.N Lewis menerangkan bahwa pembentukan kompleks terjadi
karena pentumbanagn atau pasangan elektron seluruhnya oleh satu ligan
kepada atom pusat, inilah yang disebut dengan ikatan-datif. Teori Medan
Ligan menjelaskan bahwa pembentukan kompleks atas dasar medan
elektrostatik yang diciptakan oleh ligan-ligan dalam dari atom pusat.
Medan ligan menyebabkan penguraian tingkatan energi orbital-orbital-d
atom pusat, yang lalu menghasilkan energi untuk menstabilkan kompleks
itu (Energi Stabilitas Medan Ligan) (Svehla, 1990).
Pada pembagian besar logam cenderung untuk membentuk
kompleks. Sifat ini dapat digunakan untuk pemisahan, penentuan kadar
dan untuk membuat kation tidak dapat berreaksi. Untuk analisis kuantitatif
yang penting adalah tetapan stabilitas (kestabilan) dan tetapan disosiasi.
Pada pembentukan dan penguraian senyawa kompleks dibedakan antara
disosiasi pertama dan kedua. Disosiasi pertama merupakan disosiasi
menjadi kation dan anion kompleks atau menjadi anion dan kation
kompleks, yang biasanya terjadi secara sempurna (Roth, 1994).
Makin besar tetapan disosiasi, makin banyak ion dalam larutan, dan
makin tidak stabil kompleks yang terjadi. Selain itu diketahui juga bahwa
banyak senyawa kompleks yang terdisosiasi secara bertahap. Ion kompleks
tunggal hanya terdapat pada larutan senyawa kompleks yang sangat kuat
(Day, R. A, 1995).

4
Pembentukan kompleks dalam analisa kualitatif sering terlihat dan
dipakai untuk pemisahan atau identifikasi. Salah satu fenomena yang
paling umum yang muncul bila ion kompleks terbentuk adalah perubahan
warna larutan dan kenaikan larutan (Svehla, 1990).
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusan
dan sejumlah ligam yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom
pusat ditandai oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang
menunjukkan jumlah ligan (monodentat) yang dapat membentuk kompleks
yang stabil dengan satu atom pusat. Susunan logam-logam sekitar atom
pusat adalah simetris (Svehla, 1990).
G.N Lewis menerangkan bahwa pembentukan kompleks terjadi
karena pentumbanagn atau pasangan elektron seluruhnya oleh satu ligan
kepada atom pusat, inilah yang disebut dengan ikatan-datif. Teori Medan
Ligan menjelaskan bahwa pembentukan kompleks atas dasar medan
elektrostatik yang diciptakan oleh ligan-ligan dalam dari atom pusat.
Medan ligan menyebabkan penguraian tingkatan energi orbital-orbital-d
atom pusat, yang lalu menghasilkan energi untuk menstabilkan kompleks
itu (Energi Stabilitas Medan Ligan) (Svehla, 1990).
Kompleks terbentuk dari suatu reaksi ion logam yaitu kation
dengan suatu anion atau molekul netral. Ion logam di dalam kompleks
disebut atom pusat dan kelompok yang terikat pada atom pusat disebut
ligan. Jumlah ikatan yang terbentuk oleh atom logam, pusat disebut
bilangan koordinasi dari logam, salah satu contoh reaksi kompleks adalah
reaksi dari ion perak dengan ion sianida untuk membentuk ion kompleks
Ag(CN)2 yang sangat stabil. Higuchi dan kawan-kawannya telah
menyelidiki kompleksasi kafein dengan sejumlah obat yang bersifat asam.
Mereka menemukan interaksi antara kafein dengan obat misalnya
silfonamida atau barbiturat disebabkan oleh gaya dipol-dipol atau ikatan
hidrogen antara gugus karbonil yang terpolarisasi dari kafein dan atom
hidrogen dari asam. Interaksi sekunder mungkin terjadi antara bagian-
bagian molekul nonpolar dan kompleks “ditekan keluar” dari fase air

5
karena tekanan internal air yang besar. Kedua efek ini menyebabkan
derajat interaksi yang tinggi (Martin, 1990).
2.1.3 Pengertian Spektofotometer
Spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk menganalisa
suatu senyawa baik kuantitatif maupun kualitatif, dengan cara mengukur
transmitan ataupun absorban suatu cuplikan sebagai fungsi dari
konsentrasi. Penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang
dihasilkan pada spektrum suatu unsur tertentu pada panjang gelombang
tertentu, sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai
absorbansi yang dihasilkan dari spektrum senyawa kompleks unsur yang
dianalisa dengan kompleks unsur yang dianalisa dengan pengompleks
yang sesuai. Spektrofotometris dapat dianggap sebagai perluasan suatu
pemeriksaan visual, lebih mendalam dari absorpsi energi radiasi oleh
macam-macam zat (Hariadi, 2013).
2.1.4 Prinsip Kerja Spektrofotometri
Spektrum elektromagnetik dibagi dalam beberapa daerah cahaya.
Suatu daerah akan diabsorbsi oleh atom atau molekul dan panjang
gelombang cahaya yang diabsorbsi dapat menunjukan struktur senyawa
yang diteliti. Spektrum elektromagnetik meliputi suatu daerah panjang
gelombang yang luas dari sinar gamma gelombang pendek berenergi
tinggi sampai pada panjang gelombang mikro (Marzuki, 2012)
Spektrum absorbsi dalam daerah-daerah ultra ungu dan sinar
tampak umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorbsi yang lebar,
semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak. Oleh
karena itu mereka mengandung electron, baik yang dipakai bersama atau
tidak, yang dapat dieksitasi ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang
gelombang pada waktu absorbsi terjadi tergantung pada bagaimana erat
elektron terikat di dalam molekul. Elektron dalam satu ikatan kovalen
tunggal erat ikatannya dan radiasi dengan energy tinggi, atau panjang
gelombang pendek, diperlukan eksitasinya (Wunas, 2011).

6
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode
ini memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang
sangat kecil. Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka
yang terbaca langsung dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk
angka digital ataupun grafik yang sudah diregresikan (Yahya, 2013).
2.1.5 Definisi Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik
dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem
Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara
baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun
kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter
atau yang dijual bebas (Darsono , 2002).
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit
fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893. Parasetamol
(asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta
peradangan lambung. Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat
yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat
lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak
bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti
nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain.
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal,
Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak
menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika,
dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol. Diantara
ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling
ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua
tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus
lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui
bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif

7
terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri (Katzung, 2011;
Sartono, 1996; Wilmana, 1995).
2.1.6 Farmakokinetik paracetamol
Farmakokinetik Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran
pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit.
Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi
dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan
asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin
dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit
berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan
dengan sulfhidril dari protein hati (Lusiana Darsono, 2002).
2.1.7 Farmakodinamik Paracetamol
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat
yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga
berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Universitas Sumatera Utara Efek
anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin
tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan
penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi
dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Mahar Mardjono
1971). Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan
siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek
pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan
pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya

8
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa
prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian
prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh
sebab lain, seperti latihan fisik (Aris, 2009).
2.1.8 Indikasi Paracetamol
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan
demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan
bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Cranswick, 2000).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Acetaminophenum (Dirjen POM, 1979; IAI, 2016).
Nama resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama lain : Asetaminofen, parasetamol
RM/BM : C8H9NO2 / 151,16 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, dan


rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P dan dalam 9 bagian propilenglikol P dan
larut dalam larutan alkali hidroksida
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari
cahaya
Khasiat : Analgetikum dan antipiretikum (meredakan rasa
nyeri dan penurun panas)
Kegunaan : Zat aktif

9
2.2.2 Alkohol (Dirjen POM, 1995 ; Andriani, 2001).
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, Alkohol
RM/BM : C2H5OH / 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas dan mudah
terbakar
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam klorofom P
dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk, dan jauh dari nyala api
Khasiat : Antiseptik (untuk membunuh bakteri mikroba
berbahaya)
Kegunaan : Pelarut dan untuk mensterilkan alat-alat
laboratorium
2.2.3 Aquadest (Dirjen POM, 1979).
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air Suling
RM/BM : H2O / 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan


tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

10
Khasiat : Untuk melarutkan zat-zat yang terlarut
Kegunaan : Pelarut
2.2.3 Na EDTA (Dirjen POM.1995:412)
Nama Resmi : DINATRIUM ETILENDIAMINA
TETRA ASETAT DIHIDRAT
Nama Lain : Dinatrium adetat, Na2 EDTA
RM/BM : C10H14Na2O8. 2H2O/ 372,24 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, higroskopik.


Kelarutan : Larut dalam air, larutan beropalesensi berwarna
jingga.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai pengompleks.

11
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum Farmasi Fisika mengenai Kompleksasi Obat
dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo pada hari jumat tanggal 30
oktober 2020 Pukul 13.30 - 16.30 WITA.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Pada praktikum Farmasi Fisika ini, alat yang digunakan yaitu
batang pengaduk, gelas ukur, kuvet, mikropipet, pot salep, spektro, vial,
lap halus dan keranjang.
3.2.2 Bahan
Pada praktikum farmasetika dasar ini, bahan yang digunakan yaitu
alkohol 70%, aquadest, Paracetamol 0,01 gr , NaEDTA 0,2 gr, 0,4 gr, 0,6
gr, tisu, label.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pembuatan Larutan Sampel
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Ditimbang Sebanyak 0,01 gram paracetamol
4. Dibuat larutan 1000 ppm
5. Dimasukkan dalam gelas beaker dan larutkan dalam aquadest lalu diaduk
hingga homogen
6. Dimasukkan dalam gelas beaker dan ditambahkan aquadest sampai 10 ml
7. Dibuat 10 ppm, 20 ppm, dan 30 ppm
8. Diambil lagi 1 ml larutan paracetamol dengan mikropipet dibuat menjadi 3
untuk ditambahkan NaEDTA
9. Dimasukkan kedalam vial kemudian diberi label 10 ppm + NaEDTA 0,2
gr, 0,4 gr, dan 0,6 gr pada ke 3 vial.
3.3.2 Pembuatan Larutan Standar

12
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Ditimbag NaEDTA 0,2 gr, 0,4 gr, dan 0,6 gr
4. Dicampur NaEDTA dalam larutan paracetamol 10 ppm yang telah dibuat
menjadi 3 yang masing - masing akan dimasukkan NaEDTA 0,2 gr, 0,4 gr,
dan 0,6 gr
5. Diuji masing - masing larutan menggunakan spektrofotometer untuk
mengetahui cepat rambat cahaya.
3.3.3 Pembuatan Larutan Blanko
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dimasukkan 10 ml aquadest ke dalam gelas kimia
3. Diukur serapannya menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang
gelombang yang sesuai.

13
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

4.1 Tabel Pengamatan


4.1.1 Larutan Standar

No Sampel Absorban (nm)


1. Parasetamol 10 ppm 0,215
2. Parasetamol 20 ppm 0,278
3. Parasetamol 30 ppm 0,381
4.1.2 Larutan Sampel

No Sampel Absorban (nm)


1. Pct + NaEDTA 0,2 gr 0,379
2. Pct + NaEDTA 0,4 gr 0,481
3. Pct + NaEDTA 0,6 gr 0,565
4.1.3 Larutan Blangko

No Sampel Absorban (nm)


1. Aquadest 0,00
4.1.4 Grafik Kurva Baku Parasetamol

KURVA BAKU
0.5
0.4
ABSORBAN

f(x) = 0.01 x + 0.13


0.3 R² = 0.98
0.2
Linear ()
0.1
0
5 10 15 20 25 30 35
KONSENTRASI

4.1.5 Grafik Kurva Baku Na EDTA + Parasetamol

14
KURVA BAKU
0.6
0.5 f(x) = 0.47 x + 0.29
R² = 1
ABSORBAN

0.4
0.3
0.2 Linear ()
0.1
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
KONSENTRASI

4.2 Perhitungan
4.2.1 Perhitungan pengenceran
 Pengenceran 1000 ppm
1000 × X = 1.000.000 × 0.01 gr
1000 × X = 10.000/1000
X = 10 ml
 Pengenceran untuk 100 ppm
M1× V1 = M2 × V2
1000 × V1 = 100 × 10
V1 = 100 × 10 / 1000
V1 = 1 ml
 Pengenceran untuk 10 ppm
M1 × V1 = M2 × V2
100 × V1 = 10 × 10
V1 = 10 × 10 / 100
V1 = 1 ml
 Pengenceran untuk 20 ppm
M1 × V1 = M2 × V2
100 × V1= 20 × 10
V1 = 20 × 10 / 100

15
V1 = 2 ml
 Pengenceran untuk 30 ppm
M1 × V1 = M2× V2
100 × V1= 30 × 10
V1 = 30 × 10 / 100
V1 = 3 ml
4.2.2 Perhitungan konsentrasi
a. Larutan standar
 Larutan pct 10 ppm
Dik : a = 0,125
bx = 0,008
Penye : y = bx + a
0,215 = 0,008x + 0,125
0,215-0,125 = 0,008x
0,09 = 0,008x
x = 0,09 / 0,008 = 11,25 ml
 Larutan pct 20 ppm
Dik : a = 0,125
bx = 0,008
Penye : y = bx + a
0,278 = 0,008x + 0,125
0,278-0,125 = 0,008x
0,153 = 0,008x
x = 0,153 / 0,008 = 19,125 ml
 Larutan pct 30 ppm
Dik : a = 0, 125
bx = 0,008
Penye : y = bx + a
0,381 = 0,008x + 0,125
0,381-0,125 = 0,008x
0,256 = 0,008x

16
x = 0,256 / 0,008 = 32 ml
b. Larutan sampel
 Pct 10 ppm + NaEDTA 0,2 gr
Dik : a = 0,289
bx = 0,465
Penye : y = bx + a
0,379 = 0,465x + 0,289
0,379-0,289 = 0,465x
0,09 = 0,465x
x = 0,09 / 0,465 = 0,19 ml
 Pct 20 ppm + NaEDTA 0,4 gr
Dik : a = 0,289
bx = 0,465
Penye : y = bx + a
0,481 = 0,465x + 0,289
0,481-0,289 = 0,465x
0,192 = 0,465x
x = 0,192 / 0,465= 0,41 ml
 Pct 30 ppm + NaEDTA 0,6 gr
Dik : a = 0,289
bx = 0,465
Penye : y = bx + a
0,565 = 0,465x + 0,289
0,565-0,289 = 0,465x
0,276 = 0,465x
x = 0,276 / 0,465 = 0,59 ml

BAB V

17
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
Kompleksasi adalah suatu metode yang digunakan untuk menetapkan
kelarutan suatu senyawa dengan penambahan zat pengompleks. Kompleks
atau senyawa koordinasi, menurut definisi klasik diakibatkan oleh
mekanisme donor akseptor atau reaksi asam basah antara dua atau lebih
konsituen kimia yang berbeda (Martin, 1993).
Pada praktikum kali ini kami melakukan percobaan mengenai
kompleksasi obat dengan menggunakan obat paracetamol dan Na 2EDTA
sebagai zat pengompleks dengan menggunakan alat spektrofotometer Uv-
vis. Langkah pertama yang kami lakukan yaitu membersihkan alat yang
akan digunakan dengan alkohol 70%. Menurut Salim (2013) Hal ini berguna
agar menghilangkan semua jenis mikroorganisme yang terdapat dalam alat
yang akan digunakan agar tidak mempengaruhi pada saat melakukan
percobaan kompleksasi obat.
Dilakukan percobaan kompleksasi obat diawali dengan pembuatan
larutan standar, menurut Day underwood (1999), larutan standar adalah
larutan yang konsentrasinya sudah diketahui secara pasti. Ditimbang
paracetamol sebanyak 0,1 gr dilarutkan dengan aquadest sebanyak 10 ml
dan diaduk hingga homogen untuk mendapatkan larutan stock 1000 ppm.
Lalu diambil 10 ml dari larutan stock 1000 ppm dan diencerkan dengan 10
ml aquadest untuk membuat larutan 100 ppm. Dari larutan 100 ppm yang
telah dibuat, diambil lagi 10 ml untuk dilarutkan dengan 10 ml aquadest
untuk membuat larutan 10 ppm (larutan sampel). Kemudian dilakukan
dengan cara yang sama untuk larutan 20 ppm dan 30 ppm. Tujuan
dilakukannya pengenceran bertingkat, menurut gandjar (2010), dilakukan
pengenceran bertingkat agar sampel dapat terbaca pada spektrofotometer.
Kemudian dimasukkan kedalam vial 10 ml dari larutan sampel tersebut dan
diberi label setiap vial dengan 10 ppm, 20 ppm, dan 30 ppm.
Pembuatan larutan sampel, menurut beran (1996), larutan sampel
adalah larutan reagen yang baik untuk titrasi baik itu sifat zat, konsentrasi,

18
dan lainnya. Ditimbang paracetamol sebanyak 0,1 gr dimasukan
paracetamol dengan aquadest sebanyak 10 ml, kemudian dilakukan
pengenceran bertingkat, menurut gandjar (2010), dilakukan pengenceran
bertingkat agar sampel dapat terbaca pada spektrofotometer. Dibuat larutan
sampel dengan menggunakan paracetamol dengan penambahan Na2EDTA
0,2 ; 0,4 ; 0,6 gr dengan cara dimasukan paracetamol dengan Na2EDTA dan
dicukupkan aquadest sebanyak 10 ml. Penambahan zat pengompleks
Na2EDTA bertujuan untuk meningkatkan kelarutan paracetamol dalam air,
dimana diketahui paracetamol adalah salah satu senyawa yang sukar larut
dalam air (Sunarya, 2004).
Penambahan Na2EDTA dilakukan pada konsentrasi yang berbeda –
beda untuk melihat pada jumlah berapa Na2EDTA dapat bertindak sebagai
zat pengompleks yang paling ideal untuk paracetamol. Menurut Brady
(1994), semakin bertambahnya jumlah zat pengompleks yang ditambahkan
kedalam larutan maka kelarutan zat yang dikompleks akan semakin besar
atau meningkat. Kemudian larutan sampel tersebut diukur pada
spektrofotometer dengan panjang gelombang yang sesuai.
Dibuat larutan blanko, menurut Basset (1994), larutan blanko
merupakan larutan yang tidak mengandung analat untuk dianalisis. Diambil
aquadest dimasukan ke dalam cuvet yang telah dibersihkan diukur
serapannya pada spektrofotometer Uv-Vis dengan panjang gelombang yang
sesuai. Fungsi dari pengukuran menggunakan spektrofotometer dalam
percobaan ini adalah mengukur transmitans atau absorbansi suatu sampel
yang dinyatakan dalam fungsi panjang gelombang. Prinsip kerja
spektrofotometer adalah bila cahaya (monokromatik) jatuh pada suatu
medium homogen, sebagian dari sinar yang masuk akan dipantulkan,
sebagian di serap, dan sisanya diteruskan. Nilai yang keluar dari cahaya
yang diteruskan dinyatakan dalam nilai absorbansi karena memiliki
hubungan dengan konsentrasi sampel. Studi spektrofotometri dianggap
sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual yang lebih mendalam dari
absorbsi energi. Hukum Beer menyatakan absorbansi cahaya berbanding

19
lurus dengan dengan konsentrasi dan ketebalan bahan/medium (Miller J.N
2000).
Hasil yang didapatkan pada percobaan kali ini yaitu, hasil absorban
untuk larutan standar adalah parasetamol 10 ppm yaitu 0,215 nm,
parasetamol 20 ppm yaitu 0,278 nm, dan parasetamol 30 ppm yaitu 0,381
nm. Nilai absorban pada larutan sampel 0,1 g paracetamol dan Na EDTA
0,2 g yaitu 0,379 nm, 0,1 g paracetamol dan NaEDTA 0,4 g yaitu 0,481 nm,
dan 0,1 paracetamol dan NaEDTA 0,6 g yaitu 0,565 nm. Sedangkan nilai
absorban untuk larutan blangko yaitu 0,00 nm. Dari hasil absorban tersebut
dapat dikatakan semakin banyak zat pengompleks ditambahkan maka
kelarutannya semakin tinggi. Hal ini sesuai menurut Martin (1993), semakin
banyak zat pengompleks yang ditambahkan maka kelarutan suatu zat juga
akan semakin tinggi dan jumlah zat yang larut akan semakin banyak.
Konsentrasi yang didapatkan pada larutan standar yaitu parasetamol
10 ppm adalah 11,25 ml, parasetamol 20 ppm adalah 19,125 ml, dan
parasetamol 30 ppm adalah 32 ml. Sedangkan konsentrasi yang didapatkan
pada larutan sampel parasetamol 10 ppm dan NaEDTA 0,2 g adalah 0,19
ml, parasetamol 20 ppm dan NaEDTA 0,4 g adalah 0,41 ml, dan
parasetamol 30 ppm dan NaEDTA 0,6 g adalah 0,59 ml.
Menurut Supiyanto (2007), kemungkinan kesalahan yang dilakukan
yaitu kesalahan pada penggunaan alat misalnya kurangnya tingkat ketelitian
pada neraca analitik. Kesalahan pengamat yaitu akibat kesalahan membaca
angka pada skala suatu alat ukur karena kedudukan mata pengamat tidak
tepat dan kurangnya ketelitian pada saat melakukan percobaan, kesalahan
teoritis yaitu akibat penyederhanaan sistem model atau aproksimasi dalam
persamaan yang menggambarkannya, kesalahasan acak menghasilkan
hamburan data disekitar nilai rata–rata kesalahan acak dihasilkan dari
ketidak mampuan pengamat untuk mengulangi pengukuran secara presisi
(ketelitian).
BAB VI
PENUTUP

20
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan mengenai kelarutan suatu obat yang pada percobaan ini
menggunakan sampel paracetamol dapat ditingkatkan dengan
menambahkan zat pengompleks Na2EDTA. Pada praktikum dibuat 3
sampel larutan paracetamol dengan konsentrasi Na2EDTA yang berbeda-
beda, perbandingan konsentrasi yang telah diperoleh yaitu 0,2 g : 0,4 g :
0,6 g adalah 0,19 ml : 0,41 ml : 0,59 ml.
6.2 Saran
6.2.1 Saran Untuk Jurusan
Diharapkan agar dapat melengkapi fasilitisnya berupa alat-alat dan bahan-
bahan yang menunjang dalam proses praktikum, agar praktikum yang
dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar.
6.2.2 Saran Untuk Asisten
Diharapkan agar kerja sama antara asisten dengan praktikan lebih
ditingkatkan dengan banyak memberi wawasan tentang serbuk. Asisten
dan praktikan diharapkan tidak ada missed communication selama proses
praktikum agar hubungan asisten dan praktikan diharapkan selalu terjaga
keharmonisannya agar dapat tercipta suasana kerja sama yang baik.
6.2.3 Saran Untuk Praktikan
Diharapkan agar lebih berhati-hati saat melakukan praktikum dan tetap
menjaga kebersihan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Brady, E. James. 1994. Kimia Universitas. Jakarta: Erlangga.

21
Day RA and Underwood Al. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Kelima.
Jakarta: Erlangga.

Day RA. 1995. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

Day, Jr, R.A. dan A.L. Underwood. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.

Departemen Kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia, Edisi III, Direktorat


Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.Halaman 155, 159.

Fenton, Edwin.Ed. (1987). Teaching The New Social Studies in Secondary


Schools. An Inductive Approach. New York: Carnegie – Mellon
University.

Gandjar.I.B, Rohman Abdul. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka


Pelajar.Yogyakarta.

Harjadi W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta : Gramedia.

H.B. Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan


Terapannya Dalam Penelitian.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Press.

Khopar. 2002. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: EGC.

Linda Widyaningsih. 2009. Pengaruh Penambahan Kosolven Propilen Glikol


terhadap Kelarutan Asam Mefenamat. Skripsi. Fakultas
FarmasiUniversitas Muhammadiyah. Surakarta. Hal 3-4, 8-12.

Martin A. 1990. Farmasi Fisik Jilid I. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Martin A. 1993. Farmasi Fisik Jilid I. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Miller, J.N and Miller, J.C. 2000. Statistics and Chemometrics for Analytical
Chemistry, 4th ed, Prentice Hall :Vogel.

Parjatmo. 1987. Biologi Jilid 1(Edisi kedelapan). Jakarta: Erlangga.

Rejeki, Desi Sri, Mukhammad Asy’ari, Wuryanti. 2010. Pengaruh Ion Zn2+
terhadap aktivitas protease ekstraseluler bakteri halofilik isolat
bittern tambak garam madura. Semarang : Lab Biokimia, Jurusan
Kimia, Fakultas MIPA. Universitas Diponegoro.

22
Roth, H. 1994. Analisis Farmasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Rowe, R.C. et Al. (2006). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 5th Ed,


The Pharmaceutical Press, London.

Svehla, G. 1990. Buku Tes Analisis Anorganik. Jakarta: PT Kalman


Media.

Tahir, Iqmal. 2007. Arti Penting Kalibrasi Pada Proses Pengukuran Analitik
Aplikasi padaPenggunaan pHmeter dan Spektrofotometer
UvVis.Yogyakarta : Laboratorium Kimia Dasar,Jurusan Kimia,
FMIPA, Universitas Gadjah Mada.

Tortora G. J., Derrickson B. 2010. Principles Of Anatomy And Physiology. 9th


ed. Wiley. USA.

Widjaja, I N.K. dan N.P.L. Laksmiani. 2010.Petunjuk Praktikum Kimia


Analisis. Jimbaran: Jurusan Farmasi FMIPA UNUD.

23

Anda mungkin juga menyukai