Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Farmasi merupakan salah satu bidang profesional kesehatan yang merupakan
kombinasi dari ilmu kesehatan dan ilmu kimia, yang mempunyai tanggung jawab
memastikan efektivitas dan keamanan penggunaan obat. Ruang lingkup dari praktik
farmasi termasuk praktik farmasi tradisional seperti peracikan dan penyadiaan
sediaan obat, serta pelayanan farmasi modern yang berhubungan dengan layanan
terhadap pasien diantaranya layanan klinik, evaluasi efikasi, dan keamanan
penggunaan obat dan penyediaan informasi obat. Farmasi adalah ilmu yang
mempelajari cara membuat, mencampur, meracik formulasi obat, identifikasi,
kombinasi, analisis dan standarisasi atau pembakuan obat serta pengobatan termasuk
pula sifat-sifat obat dan distribusi penggunaanya yang aman (Syamsuni, 2006).
Dalam dunia farmasi terdapat cabang ilmu lainnya salah satunya ialah farmasi
fisika. Menurut Martin (1993), Farmasi fisika merupakan ilmu yang mempelajari
tentang ilmu fisika yang diaplikasikan ke dalam ilmu farmasi. Ilmu fisika
mempelajari tentang sifat-sifat fisika suatu zat baik berupa sifat molekul maupun
tentang sifat turunan suatu zat tersebut. Sedangkan ilmu farmasi merupakan ilmu
tentang obat-obat yang mempelajari cara membuat, memformulasi senyawa obat
menjadi sebuah sediaan jadi yang dapat beredar di pasaran. Gabungan kedua ilmu
tersebut akan menghasilkan suatu sediaan farmasi yang berstandar baik, berefek baik
dan mempunyai kestabilan yang baik pula. Dalam gabungan ilmu ini untuk
menghasilkan suatu sediaan farmasi, kita harus melihat sifat-sifat yang dimiliki zat
aktif maupun pelarut dan bahan tambahan lainnya, salah satunya ialah sifat kelarutan
sediaan suatu sediaan obat.
Dengan adanya kompleksasi obat seorang farmasis dapat menentukan kelarutan
suatu senyawa obat. Menurut Martin (1990), Kompleksasi obat adalah suatu metode
yang digunakan untuk menetapkan kelarutan suatu senyawa dengan penambahan zat
pengompleks. Sedangkan senyawa pengompleks yaitu senyawa yang terbentuk

1
karena penggabungan dua atau lebih senyawa sederhana, yang masing-masingnya
dapat berdiri sendiri.
Banyak bahan obat yang mempunyai kelarutan dalam air yang rendah atau
dinyatakan praktis tidak larut, umumnya mudah larut dalam cairan organik. Senyawa-
senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna atau
tidak menentu (Linda, 2009).
Pengetahuan tentang metode kompleksasi obat sangat penting untuk diketahui
oleh ahli farmasi, sebab hal ini dapat membantu dalam memilih metode kompleksasi
yang digunakan untuk menambah kelarutan suatu senyawa obat. Dalam bidang
farmasi, kompleks ini digunakan untuk menambah kelarutan suatu senyawa obat.
Karena ada sebagian dari senyawa obat tak dapat larut dengan baik pada pelarut
tertentu sehingga diperlukan penambahan senyawa pengkompleks. Salah satu sediaan
obat yang sukar larut dalam air ialah paracetamol. Menurut Depkes RI, (1995),
Paracetamol adalah obat analgesik dan antipiretik. paracetamol sendiri memiliki
kelarutan yaitu larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13
bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dan dalam 9 bagian propilenglikol P,
larut dalam larutan alkali hidroksida. Absorpsi obat paracetamol sukar larut atau agak
sukar larut dalam air dipengaruhi oleh laju pelarutan.
Kompleksasi obat merupakan cara alternatif yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kelarutan obat dengan cara penambahan zat pengompleks. Salah satu
zat pengompleks yang dapat mempercepat kelarutan adalah Na EDTA. Menurut
Gandjar (2009), Asam etilen diamin tetra asetat atau EDTA adalah ligan seksidentat
yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam, EDTA mempunyai dua atom
nitrogen penyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam molekul. Suatu
EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan sejumlah besar ion
logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif.
Mengingat pentingnya kompleksasi dalam bidang farmasi maka dilakukanlah
percobaan ini, dimana yang akan digunakan sebagai sampel adalah Paracetamol yang
sukar larut dengan Na EDTA sebagai zat pengkompleks.

2
1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan suatu zat dengan
penambahan zat pengompleks.
1.2.2 Tujuan
Menetapkan kelarutan Paracetamol di dalam air dengan penambahan Na-EDTA
sebagai pengompleks menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis.
1.3. Manfaat
1. Agar mahasiswa lebih mengetahui mengenai kompleksasi
2. Agar mahasiswa lebih mengetahui mengenai kompleksasi obat
3. Agar mahasiswa mengetahui prinsip spektrofotometer
4. Agar mahasiswwa dapat mengetahui cara pembuatan larutan standar, larutan
blanko, dan larutan sampel
1.4 Prinsip Percobaan
Penetapan kelarutan Paracetamol dalam larutan dengan adanya penambahan
Na-EDTA dengan konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan pada kompleks yang
terjadi antara paracetamol dengan Na-EDTA yang diukur dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kompleksasi
2.1.1 Definisi Kompleksasi
Kompleks atau senyawa koordinasi menurut definisi klasik, diakibatkan oleh
mekanisme donor-akseptor atau reaksi asam-basa Lewis antara dua atau lebih
konstituen kimia yang berbeda.Setiap atom atau ion non-logam apakah bebas atau
berada dalam molekul netral atau dalam senyawa ionik, yang dapat menyumbangkan
satu pasang elektron, dapat bertindak sebagai donor. Akseptor atau konstituen yang
ambil bagian dalam pasangan elektron, seringkali berupa ion logam, walaupun dapat
juga berupa atom netral (Martin, 1990).
Dalam pelaksanaan analisisis anorganik kualitatif banyak digunakan reaksi-
reaksi yang menghasilkan pembentukan kompleks.Suatu ion atau molekul kompleks
terdiri dari satu atom (ion) pusat dan sejumlah ligan yang terikat erat dengan atom
(ion) pusat itu.Jumlah relatif komponen-komponen ini dalam kompleks yang stabil
nampak mengikuti stoikiometri yang sangat tertentu, meskipun ini tak dapat
ditafsirkan di dalam lingkup konsep valensi klasik (Roth, 1994).
2.1.2 Atom Pusat
Atom pusat merupakan atom bagian dari senyawa koordinasi yang berada di
pusat (bagian tengah) sebagai penerima pasangan electron sehingga dapat di sebut
sebagai asam Lewis, Umumnya berupa logam (terutama logam-logam transisi). Atom
pusat merupakan atom unsur transisi yang dapat menerima pasangan elektron bebas
dari ligan karena ion-ion dari unsur logam transisi memiliki orbital-orbital kosong
yang dapat menerima pasangan elektron pada pembentukan ikatan dengan molekul
atau anion tertentu membentuk ion kompleks. Pasangan elektron bebas dari ligan
menempati orbital-orbital kosong dalam subkulit 3d, 4s, 4p dan 4d atom pusat.
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusat dan
sejumlah ligan yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom pusat ditandai oleh
bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang menunjukkan jumlah ligan (monodentat)

4
yang dapat membentuk kompleks yang stabil dengan satu atom pusat. Susunan
logam-logam sekitar atom pusat adalah simetris (Svehla, 1990).
2.1.3 Ligan
Ligan adalah molekul netral atau anion yang mempunyai pasangan electron
bebas (dapat dilihat dari struktur Lewisnya). Contoh : NH3, CN-. Ligan atau gugus
pelindung merupakan atom/ion bagian dari senyawa koordinasi yang berada di bagian
luar sebagai pemberi pasangan elektron sehingga dapat disebut sebagai basa Lewis
yang memiliki pasangan electron bebas. Di dalam ligan terdapat atom donor yaitu
atom yang memiliki pasangan elektron bebas atau atom yang terikat melalui ikatan π.
Melalui atom donor tersebut suatu ligan melakukan ikatan kovalen koordinasi dengan
atom pusat yang ada (Syukri, 1999).
2.2 Kompleksasi Obat
Kompleksasi obat dalam tubuh. Kompleksasi obat adalah suatu metode yang
digunakan untuk menetapkan kelarutan suatu senyawa dengan penambahan zat
pengompleks. Menurut Martin (1993), senyawa pengompleks yaitu senyawa yang
terbentuk karena penggabungan dua atau lebih senyawa sederhana, yang masing-
masingnya dapat berdiri sendiri.
Banyak bahan obat yang mempunyai senyawa dengan kelarutan dalam air yang
rendah atau dinyatakan praktis tidak larut, umumnya mudah larut salam cairan
organik. Dalam bidang farmasi, prinsip kompleksasi ini digunakan untuk menambah
kelarutan suatu senyawa obat. Karena ada sebagian dari senyawa obat tak dapat larut
dengan baik pada pelarut tertentu sehingga diperlukan penambahan senyawa
pengompleks. Makin besar tetapan disosiasi, makin banyak ion dalam larutan, dan
makin tidak stabil kompleks yang terjadi. Selain itu diketahui juga bahwa banyak
senyawa kompleks yang terdisosiasi secara bertahap. Ion kompleks tunggal hanya
terdapat pada larutan senyawa kompleks yang sangat kuat (Day, 1995).

5
2.3 Spektrofotometri UV-Vis
Merupakan alat dengan teknik spektrofotometer pada daerah ultra-violet dan
sinar tampak. Alat ini digunakan mengukur serapan sinar ultra violet atau sinar
tampak oleh suatu materi dalam bentuk larutan. Konsentrasi larutan yang dianalisis
sebanding dengan jumlah sinar yang diserap oleh zat yang terdapat dalam larutan
tersebut. Dalam hal ini, hukum Lamberbeer dapat menyatakan hubungan antara
serapan cahaya dengan konsentrasi zat dalam larutan. Dibawah ini adalah persamaan
Lamberbeer:
A = - log T = ε.b.c.
Dimana, A = Absorbans
T = Transmitan
ε = absorvitas molar (Lcm-4 . mol-1)
c = panjang sel (cm)
b = konsentrasi zat (mol/jam)
Pada spektrofotometer UV-Vis, warna yang diserap oleh suatu senyawa atau
unsur adalah warna komplementer dari warna yang teramati. Hal tersebut dapat
diketahui dari larutan berwarna yang memiliki serapan maksimum pada warna
komplementernya. Namun apabila larutan berwarna dilewati radiasi atau cahaya
putih, maka radiasi tersebut pada panjang gelombang tertentu, akan secara selektif
sedangkan radiasi yang tidak diserap akan diteruskan (Day,1995).
2.4 Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan
cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Lusiana Darsono,
2002).

6
Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan
lambung (Sartono,1993).
Menurut Dirjen POM (1979) paracetamol memiliki kelarutan yaitu larut dalam
70% bagian air, dalam 7 bagian etanol, dalam 13 bagian aseton, dalam 40 bagian
gliserol dan dalam 9 bagian propilenglokol, larut dalam larutan alkali hidroksida.
2.5 Uraian Bahan
2.5.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol, Etanol, Etil alkohol
RM/BM : C2H5OH / 46,07
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak; bau khas ; rasa. Mudah terbakar
dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan eter P
Khasiat : Antiseptik (menghambat pertumbuhan mikroba pada
bagian tubuh), desinfektan (antimikroba, digunakan
untuk mensterilkan peralatan).
Kegunaan : Membunuh bakteri pada sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, di
tempat sejuk, jauh dari nyala api

7
2.5.2 Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama lain : Air suling
RM / BM : H2O / 18,02
Rumus Struktur :
O
H H
Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak
berwarna
Khasiat : sebagai sumber energi
Kegunaan : zat pelarut
Penyimpa : Dalam wadah tertutup baik
2.5.3 Na2EDTA (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : DINATRIUMEDETAT
Nama lain : Dinatrium Etilen Diamina Tetraasetat
RM/BM : C10H14N2Na2O8.2H2O/78,11
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur; putih; tidak berbau; dan rasa agak asam
Kelarutan : Larut dalam 11 bagian air, dan juga sukar larut dalam
etanol, praktis tidak larut dalam kloroform dan eter
Kegunaan : Sebagai zat pengompleks
Penyimpan : Dalam wadah tertutup rapat
2.5.4 Paracetamol (Dirjen POM, 1995)
Nama resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama lain : Asetaminofen, parasetamol
RM/BM : C8H9NO2/194,19

8
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur atau serbuk putih; tidak berbau; rasa pahit


Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol,
dalam 13 bagian aseton, dalam 40 bagian gliseroldan
dalam 9 bagian propilenglikol, larut dalam larutan
alkali hidroksida
Khasiat : Analgetik (penghilang nyeri); antipiretik (penurun
suhu tubuh)
Kegunaan : Sebagai zat aktif
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya

9
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Dilaksanakannya praktikum dengan percobaan “Kompleksasi” ini pada tanggal
19 Oktober 2019 Pukul 10.00 WITA yang bertempat di Laboratorium Teknologi
Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri
Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Batang pengaduk, gelas beaker, gelas ukur, kuvet, lap halus, lap kasar, mikro
pipet, neraca analitik, pipet tetes, spektrofotometer UV-Vis, dan vial.
3.2.2 Bahan
Alkohol 70%, aquadest, kertas perkamen, label, Na EDTA, paracetamol 0,01
gram, dan tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Larutan Standar
1) Disiapkan alat dan bahan
2) Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3) Dibuat perhitungan pengenceran paracetamol dengan konsentrasi 1000 ppm
dalam 10 mL aquades menjadi 100 ppm
4) Ditimbang paracetamol 0,01 g dan dimasukkan ke dalam gelas beaker
5) Ditambahkan aquades 10 mL dan diaduk
6) Diambil 1 mL larutan paracetamol dan dibuat dalam konsentrasi 10 ppm, 20
ppm, dan 30 ppm
7) Dimasukkan tiap larutan kedalam kuvet berbeda

10
8) Diukur dalam spektrofotometer
9) Dilihat dan dicatat nilai absorbansi tiap larutan

3.3.2 Larutan Sampel


1) Disiapkan alat dan bahan
2) Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3) Diambil 1 mL larutan standar dan ditambahkan aquades hingga 10 mL
4) Dilakukan sebanyak 3 kali dan dimasukkan ke dalam tiga vial berbeda
5) Ditambahkan Na-EDTA 0,2 g, 0,4 g, dan 0,6 g ke dalam tiga vial berbeda dan
diberi label
6) Dimasukkan tiap larutan ke dalam kuvet berbeda
7) Diukur dalam spektrofotometer
8) Dilihat dan dicatat nilai absorbansi tiap larutan
3.3.3 Larutan Blanko
1) Disiapkan alat dan bahan
2) Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3) Dimasukkan aquadest dalam kuvet dan diukur menggunakan spektrofotometer
4) Dilihat nilai absorbansi dan di nol kan nilai absorbansinya

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Larutan Standar

No Sampel Absorbansi

1. Blangko - 0,001

2. 10 ppm 0,023

3. 20 ppm 0,097

4. 30 ppm 0,117

4.1.2 Larutan Sampel


No Sampel Absorbansi

1. PCT + Na Edta 0,2 g 0,127

2. PCT + Na Edta 0,4 g 0,164

3 PCT + Na Edta 0,6 g 0,168

4.1.3 kurva larutan sampe

12
4.2 Perhitungan
4.2.1 Pengenceran Paracetamol
Dik : N1 = 1.000 Ppm
N2 = 100 Ppm
V2 = 10 Ml
Dit : V1 …. g ?
Peny : V1 × N1 = V2 × N2
V1 × 1.000 = 10 × 100

V1 =

= 1 g ad 10 ml
4.2.2 Konsentrasi Sampel
1. PCT 0,01 g + Na Edta 0,2 g
Dik : y = a + bx
a = 0,015
b = 0,0047
y = 0,127
Dit : x dan konsentrasi
Peny : y = bx+ a

13
0,127 = 0,0047x+ 0,015
0,0047 x = 0,127 – 0,015

x=

x = 23,83

Konsentrasi = x 100%

= x 100%

= 238,3 %
2. PCT 0,01 g + Na Edta 0,4 g
Dik : y = a + bx
a = 0,015
b = 0,0047
y = 0,164
Dit : x dan konsentrasi
Peny : y = bx+ a
0,164 = 0,0047 x + 0,015
0,0047 x = 0,164 – 0,015

x =

x = 31,70

Konsentrasi = x 100%

= x 100%

14
= 317 %
3. PCT 0,01 g + Na Edta 0,6 g
Dik : y = 0,0047x + 0,015
a = 0,015
b = 0,0047
y = 0,168
Dit : x dan konsentrasi
Peny : y = bx+ a
0,168 = 0,0047 x + 0,015
0,005 x = 0,168 – 0,015

x =

x = 32,55

Konsentrasi = x 100%

= 325,5 %

4.3 Pembahasan

Komplekasasi adalah proses pembentukan kompleks koordinasi dari atom-atom


ion yang terkoordinasi dari satu sel ligan. Sedangkan kompleksasi obat adalah suatu
metode yang digunakan untuk menetapkan kelarutan suatu senyawa dengan
penambahan zat pengompleks. Sedangkan senyawa pengompleks yaitu senyawa yang
terbentuk karena penggabungan dua atau lebih senyawa sederhana, yang masing-
masingnya dapat berdiri.

15
Dengan praktikum kali ini, praktikan dapat mengetahui tingkat kelarutan
paracetamol dan mengetahui manfaat penambahan Na EDTA, serta mengetahui
prinsip spektofotometer UV-Vis. Paracetamol adalah obat analgesik dan antipiretik.
paracetamol sendiri memiliki kelarutan yaitu larut dalam 70 bagian air, dalam 7
bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dan
dalam 9 bagian propilenglikol P, larut dalam larutan alkali hidroksida.
Pada pembuatan larutan standard. Menurut Underwood (1999), larutan standar
adalah larutan yang konsentrasinya sudah diketahui secara pasti. Menurut Day
(1995), tujuan pembuatan larutan standar yaitu sebagai pereaksi yang akan
menentukan konsentrasi atau kadar pada suatu larutan. Langkah yaitu menyiapkan
alat dan bahan yang akan digunakan, kemudian membersihkan alat yang akan
digunakan menggunakan alkohol 70 %, menurut Adji, ddk (2007), alkohol 70 %
memiliki kemampuan menghambat bakteri/mikroorganisme dan dapat
menghilangkan mikroorganisme serta memiliki sifat antimikrobial.
Langkah selanjutnya ialah dilakukan pengenceran paracetamol dengan
konsentrasi 1000 ppm menjadi 100 ppm dalam 10 mL aquadest. Menurut Tortora
(2010), pengenceran ini bertujuan untuk menurunkan konsentrasi dari larutan atau
sampel yang digunakan. Selanjutnya menimbang paracetamol sebanyak 0,01 gram
menggunakan neraca analitik Menurut Day R.A dan Underwood A.L. (2002), Neraca
analitik berfungsi untuk menimbang bahan yang akan digunakan. Bahan yang
ditimbang biasanya berbentuk padatan, namun tidak menutup kemungkinan untuk
menimbang suatu bahan yang berbentuk cairan. Dalam laboratorium neraca analitik
merupakan instrumen yang akurat yang mempunyai kemampuan mendeteksi bobot
pada kisaran 100 g sampai dengan kurang lebih 0,0001 g.
Kemudian, dimasukkan kedalam gelas beaker, dan ditambahkan aquadest 10
mL, diaduk hingga homogen. Menurut Martin, dkk (1993), pengadukan bertujuan
untuk melihat tingkat kelarutan zat/bahan tersebut karena salah satu faktor yang
mempengaruhi kelarutan ialah intensitas pengadukan, dimana semakin tinggi
pengadukan maka sistem akan menjadi turbulen. Gaya sentrifugal dari putaran cairan

16
yang mendorong partikel ke arah luar dan atas sehingga mampu membantu proses
pelarutan obat lebih cepat.
Setelah itu, mengambil 1 mL larutan paracetamol (100 ppm) dan dibuat dalam
konstrasi 10 ppm, 20 ppm dan 30 ppm. Menurut Wasteson dan hornes (2009),
Tujuannya untuk mengetahui perbandingan tingkat kelarutan dari setiap konsentrasi
tersebut dengan melihat nilai absorbansinya (nm). Selanjutnya memasukkan setiap
larutan kedalam kuvet yang berbeda untuk diukur pada spektrofotometer, kemudian
dicatat nilai absorbansi dari masing-masing larutan yang berbeda konsentrasinya.
Pada pembuatan larutan sampel, Menurut Beran (1996), larutan sampel adalah
larutan reagen yang baik untuk titrasi baik itu sifat zat, konsentrasi, dan lainnya.
Menurut Day (1995), tujuan dari pembuatan larutan sampel yaitu sebagai larutan
yang akan ditentukan konsentrasi atau kadar dari suatu larutan tersebut. Langkah
pertama yaitu menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, kemudian
membersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70 %, menurut Adji,
ddk (2007), alkohol 70 % memiliki kemampuan menghambat bakteri/
mikroorganisme dan dapat menghilangkan mikroorganisme serta memiliki sifat
antimikrobial.
Langkah selanjutnya adalah mengambil 1 mL larutan paracetamol 100 ppm
kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 10 mL menjadi 10 ppm, dilakukan
sebanyak 3 kali menjadi 10 ppm, 20 ppm dan 30 ppm dan dimasukkan kedalam vial
yang berbeda. Setalah itu masing-masing vial ditambahkan Na EDTA dengan
kosentasi yang berbada. Pada vial paracetamol 10 ppm ditambahkan 0,2 g Na EDTA,
pada vial paracetamol 20 ppm ditambahkan 0,4 g Na EDTA, dan pada vial 30 ppm
ditambahkan 0,6 g NA EDTA. Menurut day (1995), Tujuan penambahan Na EDTA
untuk mengetahui apakah dapat meningkatkan kelarutan atau absorbansi dari obat
yang tidak mudah larut, misalnya PCT.
Selanjutnya memasukkan setiap larutan kedalam kuvet yang berbeda untuk
diukur pada spektrofotometer, kemudian dicatat nilai absorbansi dari masing-masing
larutan yang berbeda konsentrasinya.

17
Pada pembuatan larutan blanko, Menurut Basset (1994), larutan blanko
merupakan larutan yang tidak mengandung analat untuk di analisis. Menurut day
(1995), tujuan dari pembuatan larutan blangko yaitu sebagai larutan pembanding.
Langkah pertama yaitu menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, kemudian
membersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70 %, menurut Adji,
ddk (2007), alkohol 70 % memiliki kemampuan menghambat bakteri/
mikroorganisme dan dapat menghilangkan mikroorganisme serta memiliki sifat
antimikrobial. Kemudian pada pembuatan larutan blanko, dimasukkan aquadest
kedalam kuvet sebanyak ± 3ml, setalah itu diukur nilai absorbansinya.
Dari percobaan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Na EDTA dapat
meningkatkan kelarutan paracetamol pada masing-masing konsentrasi, dengan
melihat pada nilai absorbansi (nm) yang meningkat setelah ditambahkan Na EDTA.
Menurut Brink (1985), berdasarkan hukum beer absorbansi akan berbanding lurus
dengan konsentrasi artinya konsentrasi zat terlarut makin tinggi maka absorbansi
yang dihasilkan makin tinggi, begitu pula sebaliknya konsentrasi zat terlarut semakin
rendah absorbansi yang dihasilkan makin rendah. Berdasarkan hasil yang didapat
semakin besar nilai konsentrasi yang dilakukan maka semakin besar juga nilai
serapan yang akan di dapatkan. Semakin banyak pengkompleks yang ditambahkan
maka kelarutan zat juga akan semakin tinggi dan jumlah zat yang larut akan semakin
banyak.

kemungkinan kesalahan yang dapat terjadi yaitu kesalahan pada penggunaan


alat misalnya kurangnya tingkat ketelitian pada neraca analitik. Kesalahan pengamat
dalam membaca angka pada skala suatu alat ukur karena kedudukan mata pengamat
tidak tepat dan kurangnya ketelitian pada saat melakukan percobaan. Kesalahan
dalam membuat larutan sampel, larutan standar dan larutan blanko.

18
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa dengan adanya tambahan zat
pengompleks (Na Edta) pada paracetamol akan meningkatkan kelarutan dari obat.
Setelah diamati nilai aorbansinya diadapatkan nilai absobsansi dari sampel
paracetamol yaitu 0,023A (10 ppm), 0,097A (20 ppm), 0,117A (30 ppm),
paracetamol + 0,2 Na Edta yaitu 0,127 A, paracetamol + 0,4 Na Edta yaitu 0,164 A

19
dan paracetamol + 0,6 Na Edta yaitu 0,168A. Dari hasil pengamatan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasinya.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Asisten
Asisten lebih memperhatikan praktikan pada saat melakukan praktikum,
terutama saat melakukan setiap perlakuan pada suatu percobaan saat praktikum
berlangsung.
5.2.2 Saran Laboratorium
Lebih melengkapi sarana dan pra sarana dalam laboratorium untuk
memperlancar jalannya praktikum.
5.2.3 Saran Jurusan
Sarana dan prasarananya sebaiknya ditingkatkan kembali agar kualitas kerja
lebih baik lagi.
5.2.4 Saran Praktikan
Diharapkan agar praktikan lebih meningktkan kinerjanya sehingga dapat
memahami serta melakukan dengan baik praktikum yang akan dilaksanakan

20
21

Anda mungkin juga menyukai