Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu senyawa kompleks adalah sebagai ion yang tersusun dari atom pusat
yang mengikat secara koordinasi sejumlah ion atau molekul netral. Ion atau
molekul netral sebagai spesies terikat pada atom pusat dalam suatu ion kompleks
biasanya dinamakan “ligan”. Spesies ini memiliki satu pasang atau lebih elektron
bebas dan berperan sebagai donor pasangan elektron pada pembentukan ikatan
koordinasi (Ilyas, 2012).
Kompleks atau senyawa kordinasi terjadi karena diakibatkan oleh
mekanisme dasar dasar aseptor atau reaksi-reaksi asam basa lewis antara dua atau
lebih konstituen kimia yang berbeda. Setiap atom atau dalam senyawa ion-ion
logam apakah bebas atau berada dalam molekul netral atau dalam senyawa ionic
yang dapat menyambung 1 pasang electron. Seringkali berupa logam. Walaupun
dapat juga atom netral. Kompleks dapat dibagi dalam dua kelompok tergantung
pada apakah kemampuan akseptor adalah ion logam.
Pengetahuan tentang senyawa kompleks sangat penting dalam bidang
farmasi. Banyak senyawa obat yang tidak larut dapat dibuat menjadi larut dalam
bentuk senyawa kompleks atau suatu senyawa menjadi aktif dan berkhasiat obat
setelah membentuk kompleks dengan senyawa lain. Logam-logam berat dari
dalam tubuh dapat dihilangkan dengan bantuan senyawa yang dapat membentuk
kompleks logam. Beberapa senyawa obat harus membentuk kompleks agar dapat
diabsorpsi atau didistribusi ke seluruh tubuh (Ilyas, 2012).
Dalam bidang farmasi, zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat
mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga butuh zat lain untuk
mengkomplekskannya. Dalam bidang farmasi juga, prinsip kompleks ini
digunakan untuk menambah kelarutan suatu senyawa obat. Karena ada sebagian
dari senyawa obat tak dapat larut dengan baik sehingga perlu untuk menambahkan
pengkompleks. Oleh karena itu zat pengompleks mempunyai peranan penting
dalam bidang farmasi sebab merupakan penentu bagi reaksi obat dalam
menghasilkan suatu efek terapeutik. Dalam bidang farmasi juga, prinsip

1
kompleks ini digunakan untuk menambah kelarutan suatu senyawa obat.
Karena ada sebagian dari senyawa obat tak dapat larut dengan baik pada
pelarut tertentu sehingga diperlukan penambahan senyawa pengkompleks.
Banyak senyawa obat yang tidak larut bisa dijadikan menjadi senyawa yang
lebih larut dalam bentuk senyawa kompleks atau suatu senyawa menjadi aktif dan
berkhasiat obat setelah membentuk kompleks dengan senyawa lain. Senyawa-
senyawa yang tidak larut seringkali menunjukan absorpsi yang tidak sempurna
atau tidak menentu. Ada beberapa cara dalam menentukan kelarutan yaitu salah
satunya dengan penambahan zat pengkompleks.
Senyawa pengompleks sangat penting dalam fenomena kelarutan. Oleh
karena itu penambahan senyawa pengkompleks sangat diperlukan dalam
meningkatkan kelarutan zat tersebut. Oleh karena itu pada praktikum kali ini
dilakukan percobaan kompleksasi obat untuk penetapan kelarutan paracetamol
dalam larutan dengan adanya penambahan Na2EDTA dengan konsentrasi yang
berbeda-beda didasarkan pada kompleks yang terjadi antara paracetamol dengan
Na2EDTA yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV.

1.2 Maksud Percobaan


Mengetahui dan memahami cara penetapan kelarutan suatu zat dengan
penambahan zat pengompleks

1.3 Tujuan Percobaan


Menetapkan kelarutan paracetamol dalam larutan dengan penambahan
Na2EDTA menggunakan metode spektrofotometri

1.4 Prinsip Percobaan


Penetapan kelarutan paracetamol dalam larutan dengan adanya penambahan
Na2EDTA dengan konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan pada kompleks yang
terjadi antara paracetamol dengan Na2EDTA yang diukur dengan menggunakan
spektrofotometer UV.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Kompleksasi
Senyawa kompleks banyak ditemui bersifat paramagnetik yaitu tertarik
olehmedan magnet, selain itu banyak pula yang bersifat diamagnetik yaitu tertolak
olehmedan magnet. Sifat paramagnetik suatu senyawa disebabkan oleh adanya
elektrontak-berpasangan (unpaired electron) dalam konfigurasi elektronik spesies
yangbersangkutan (Sugiyarto dan Retno, 2012).
Suatu senyawa kompleks adalah sebagai ion yang tersusun dari atom pusat
yang mengikat secara koordinasi sejumlah ion atau molekul netral. Ion atau
molekul netral sebagai spesies terikat pada atom pusat dalam suatu ion kompleks
biasanya dinamakan “ligan”. Spesies ini memiliki satu pasang atau lebih elektron
bebas dan berperan sebagai donor pasangan elektron pada pembentukan ikatan
koordinasi (Ilyas, 2012).
Kompleks merupakan kombinasi antara dua atau lebih ion atau molekul
obat yang tidak terikat dengan ikatan kovalen ionik tetapi terikat dengan ikatan
intramolekul ikatan hidrogen ikatan vander wals. Sifat kimia bentuk kompleks
pada umumnya berbeda dengan bentuk zat aktif. Perbedaan tersebut menyebabkan
bentuk kompleks tidak dapat melintasi membran hingga tidak mempunyai
aktivitas biologic. Namun terkadang bentuk kompleks tersebut lebih larut dari
senyawa bebasnya. Pembentukan kompleks dapat meningkatkan laju penyerapan
dari senyawa yang sukar larut, karena terjadi interaksi yang menghasilkan
kompleks bersifat reversible cairan biologi.
2.1.2 Atom Pusat dan Ligan
Pengikatan obat pada protein yang terdapat dalam salah satu sifat unsur
fransisi adalah kecenderung untuk membentuk ion kompleks atau senyawa
kompleks.Ion-ion dari golongan fransisi mempunyai orbital-orbital kosong yang
dapat menerima pasangan elektron pada pembentukan ikatan dengan molekul atau
anion tertentu membentuk ion kompleks.Ion kompleks terdiri atas atom logam
pusat dikelilingi anionanion atau molekul-molekul membentuk ikatan

3
koordinasi.Ion logam pusat biasa disebut atom pusat, sedangkan molekul atau ion
yang mengelilinginya disebut ligan. Banyaknya ikatan koordinasi antara atom
pusat dengan ligannya disebut bilangan koordinasu (Ilyas, 2012)
Pada pembentukan ion kompleks, ligan dikatakan mengkoordinasi logam
sebagai atom pusat. Ikatan yang terbentuk antara atom pusat dan ligan adalah
ikatan kovalen koordinasi. Penulisan rumus kimia untuk ikatan koordinasi dalam
senyawa kompleks digunakan tanda kurung siku. Dalam rumus [Cu(NH3)4]SO4
terdiri atas kation [Cu(NH3)4]2+dan anion SO42–, dengan kation merupakan ion
kompleks. Senyawa yang terbentuk dari ion kompleks dinamakan senyawa
kompleks atau koordinasi. Ion kompleks memiliki sifat berbeda dengan atom
pusat atau ligan pembentuknya (Mirawati, 2011). 
Senyawa yang tersusun atas satu atom pusat, biasanya logam atau kelompok
atom seperti CO, CO2 dan TiO yang dikelilingi oleh sejumlah anion atau molekul
disebut senyawa kompleks.Anion atau molekul netral yang mengelilingi atom
pusat atau kelompok atom itu disebut ligan.Jika ditinjau sistem dari asam-basa
Lewis, atom pusat atau kelompok atom dalam senyawa kompleks tersebut
bertindak sebagai asam Lewis, sedangkan ligannya bertindak sebagai basa
Lewis.Ikatan yang terjadi antara ligan dan atom pusat merupakan ikatan kovalen
koordinasi sehingga senyawa kompleks disebut juga senyawa koordinasi. Jumlah
ligan yang mengelilingi atom pusat menyatakan bilangan koordinasi. Jumlah atom
kompleks ditentukan dari penjumlahan muatan ion pusat dan jumlah muatan yang
membentuk kompleks (Ramlawati, 2005:1).
Ion-ion dan molekul-molekul anorganik sederhana seperti NH3, CN-, Cl-,
H2O membentuk ligan monodentat, yaitu suatu ion atau molekul menempati salah
satu ruang yang tersedia di sekitar ion pusat dalam bulatan koordinasi, tetapi ligan
bidentat (separti ion dipiridil). Rumus dan nama beberapa ion kompleks adalah
sebagai berikut :
(Fe (CN)6)4+                     Heksasianoterrat (II)
(Fe (CN)6)3+                     Heksasianoferrat (III)
(Cu (NH3)4)2+                  Tetraamintembaga (II)
(Cu (NH3)4)3+                  Tetraminkuprat (III)

4
(Co (Co)4)3-                      Tetrakarbonilkobaltat (III)
(Ag (CN2))-                       Disianoargentat (I)
(Ag (S2O3)2)                     Ditiasul fatoargentat (I)
Dari contoh-contoh ini, kaidah tatanama nampak jelas (Oxtoby, 2001).
Ada 3 jenis ligan dilihat dari sejumlah atom donor di dalamnya:
1.    Ligan monodental : terdapat 1 atom di dalamnya.
2.    Ligan bidental : terdapat 2 atom di dalamnya.
3. Ligan polidentat : terdapat lebih dari 1 atom donor di dalamnya.
Karena kebanyakan reaksi dimana kompleks terbentuk berlangsung larutan
air, salah satunya reaksi yang sangat mendasar untuk dipelajari dan dipahami
adalah dimana molekul-molekul air disekeliling kation dan larutan air
dipindahkan dari kulit koordinasi dan diganti oleh ligan lain masuk disini adalah
kasus dimana ligan yang baru semata-mata molekul lain, yakni reaksi pertukaran
air. Dengan beberapa pengacualian misalnya (Cr (H2O)6)3+, (Rh
(H2O)6)3+ reaksi tersebut sangat cepat dan harus dipelajari dengan metode
relaksasi (Cotton,1989)
Molekul ataupun ion yang bertindak sebagai ligan umumnya mengandung
suatu ligan atom elektron negatif, seperti nitrogen. Oksigen atau salah satu
halogen. Ligan yang hanya memiliki satu pasang elektron menyendiri misalnya
NH3 dikatakan anidentat. Ligan yang memiliki dua gugus yang mampu
membentuk dua ikatan dengan atom sentral disebut bidentat. Ion tembaga (II)
membentuk suatu kompleks dengan dua molekul etilendiamina cincin yang
dibentuk olehinteraksi sebuah ion logam dengan dua gugus fungsional dalam
ligan sama disebut cincin sapit, molekul organiknya adalah zat penyempit dan
kompleks itu disebut senyawa sepit.
Dengan ion-ion logam tertentu yang dengan mudah terhidrolsa, mungkin
perlu untuk menambahkan ligan pengkompleks agar mencegah pengendapan
hidroksida logam. Sebagian besar kation logan cenderung untuk membentuk
kompleks. Sifat ini dapat digunakan untuk pemisahan, penentuankadar dan dan
untuk membuat kation tidak dapat bereaksi (Tungadi, R danThomas, N, 2013)

5
2.1.3 Kompleksasi Obat
Kompleksasi obat adalah suatu metode yang digunakan untuk menetapkan
kelarutan suatu senyawa dengan penambahan zat pengompleks. Sedangkan
senyawa pengompleks yaitu senyawa yang terbentuk karena penggabungan dua
atau lebih senyawa sederhana, yang masing-masingnya dapat berdiri sendiri.
Kompleksasi obat adalah metode yang digunakan untuk menentukan kelarutan
suatu senyawa dengan menambahkan zat pengompleks
Metode-metode analisis pembentukan kompleks ada beberapa macam,
antara lain
1. Metode variasi berkesinambungan
Metode ini berdasarkan pada kenyataan bahwa apabila dua senyawa
membentuk kompleks maka terjadi perubahan sifat fisika dan kimia.
2. Metode titrasi
Metode ini diterapkan pada pembentukan kompleks glisin dan Cu yang
dititrasi denganNaOH.
3. Metode distribusi
Metode distribusi diterapkan pada pembentukan kompleks iodium dan KI.
Iodium dilarutkandalam CS2 dan KI dilarutkan dalam air. Kelarutan iodium
dalam air karena terbentuk kompleks.
4. Metode Kelarutan
Kelarutan pada amino benzoate akan menambah kelarutan kofein, dimana
kadar kofein diukurdengan spektrofotometer.
2.1.4 Spektrofotometri
Spektrofotometri sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiridari
spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinardari spektrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas
cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan
untuk mengukur energi relatif jika energitersebut ditransmisikan, direfleksikan
atau diemisikan sebagai fungsipanjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer
dengan fotometeradalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih dideteksi
dan caraini diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating, atau celahoptis.

6
Pada fotometer filter dari berbagai warna yang mempunyaispesifikasi melewatkan
trayek pada panjang gelombang tertentu (Gandjar, 2007).
Spektrum elektromagnetik dibagi dalam beberapa daerah cahaya. Suatu
daerah akan diabsorbsi oleh atom atau molekul dan panjanggelombang cahaya
yang diabsorbsi dapat menunjukan struktur senyawayang diteliti. Spektrum
elektromagnetik meliputi suatu daerah panjanggelombang yang luas dari sinar
gamma gelombang pendek berenergitinggi sampai pada panjang gelombang
mikro (Marzuki, 2012).
Spektrum absorbsi dalam daerah-daerah ultra ungu dan sinartampak
umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorbsi yang lebar, semua molekul
dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak. Oleh karena itu mereka
mengandung elektron, baik yang dipakai bersama atautidak, yang dapat dieksitasi
ke tingkat yang lebih tinggi.Panjanggelombang pada waktu absorbsi terjadi
tergantung pada bagaimana eratelektron terikat di dalam molekul.Elektron dalam
satu ikatan kovalentunggal erat ikatannya dan radiasi dengan energi tinggi, atau
panjanggelombang pendek, diperlukan eksitasinya (Wunas, 2011).
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metodeini
memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yangsangat kecil.
Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angkayang terbaca langsung
dicatat oleh detektor dan tercetak dalam bentukangka digital ataupun grafik yang
sudah diregresikan (Yahya S, 2013).
Fungsi masing-masing bagian spektrofotometri (Yahya S, 2013):
1. Sumber sinar polikromatis berfungsi sebagai sumber sinarpolikromatis
dengan berbagai macam rentang panjang gelombang.
2. Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombangyaitu
mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatismenjadi
cahaya monokromatis. Pada gambar di atas disebut sebagaipendispersi atau
penyebar cahaya. Dengan adanya pendispersi hanyasatu jenis cahaya atau
cahaya dengan panjang gelombang tunggalyang mengenai sel sampel. Pada
gambar di atas hanya cahaya hijauyang melewati pintu keluar.

7
3. Sel sampel berfungsi sebagai tempat meletakan sampel UV-VIS danUV-VIS
menggunakan kuvet sebagai tempat sampel. Kuvet biasanyaterbuat dari
kuarsa atau gelas, namun kuvet dari kuarsa yang terbuatdari silika memiliki
kualitas yang lebih baik.Hal ini disebabkan yangterbuat dari kaca dan plastik
dapat menyerap UV sehinggapenggunaannya hanya pada spektrofotometer
sinar tampak (VIS).Kuvet biasanya berbentuk persegi panjang dengan lebar
1 cm. Untuksampel cair dan padat (dalam bentuk pasta) biasanya dioleskan
padadua lempeng natrium klorida.Untuk sampel dalam bentuk
larutandimasukan ke dalam sel natrium klorida. Sel ini akan
dipecahkanuntuk mengambil kembali larutan yang dianalisis, jika sampel
yangdimiliki sangat sedikit dan harganya mahal.
4. Detektor berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampeldan
mengubahnya menjadi arus listrik. Macam-macam detektor yaituDetektor
foto (Photo detector), Photocell, misalnya CdS, Phototube, Hantaran foto,
Dioda foto, dan Detektor panas.
5. Read out merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnyaisyarat
listrik yang berasal dari detektor.
Faktor-faktor yang sering menyebabkan kesalahan dalam menggunakan
spektrofotometer dalam mengukur konsentrasi suatu analit (Sri Suyono, 2013):
1. Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yangakan dianalisis
termasuk zat pembentuk warna.
2. Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas ataukuarsa,
namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
3. Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansisangat
rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan
konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan
(melalui pengenceran atau pemekatan).
2.1.5 Paracetamol
Paracetamol merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis protaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).

8
Paracetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Darsono, 2002).
Paracetamol adalam paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin
dan telah digunakan sejak tahun 1893.Paracetamol (asetamenofen) mempunyai
daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan
tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung.Hal ini disebabkan
parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada
tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek
antiinflamasinya tidak bermakna.Paracetamol berguna untuk nyeri ringan sampai
sedang seperti nyeri kepala, nyeri paska melahirkan dan keadaan alin.
Paracetamol memiliki daya kerja analgetik dan antpiretik sama dnegan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan (Katzung, 2011).
Paracetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira – kira 2 jam. Metabolisme
di hati, sekitar 3% diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-
90% dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian dieksresi
melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi
substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berkaitan dengan sulfhidril dari protein
hati (Darsono, 2002).
Paracetamol merupakan pilihan pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Paracetamol digunakan bagi nyeri yang ringan
sampai sedang. (Cranswick, 2000).
2.1.6 Na2EDTA
Etilen diamintetraasetat (EDTA) adalah asam lemah polibasa (memiliki
empat nilai pKa) (Day & Underwood, 1986), sekaligus ligan polidentat yang
membentuk senyawa berbentuk cincin / kelat sehingga dapat disebut kelator atau
chelant.Senyawa kompleks logam-EDTA adalah senyawa kompleks berupa kelat
dengan dasar interaksi banyak pasangan elektron atom N dan O pada

9
EDTA.Kelator EDTA sangat banyak dipakai karena mampu membentuk senyawa
kompleks yang sangat stabil dengan sangat banyak ion logam yang tercermin dari
nilai tetapan kestabilan kompleks (Kst) (Rivai, 1995; Suszezewski & Rozycki,
1988).Stoikiometri M-EDTA selalu 1:1 dan reaksinya berlangsung cepat dan
kuantitatif.
2.1.7 Larutan Standar
Menurut Larutan Dirjen POM (1979) Larutan adalah sediaan cair yang
mengandung bahan kimia terlarut, kecuali dinyatakan lain pelarut digunakan air.
Menurut Anwar (2009) larutan adalah campuran homogen dua zat atau lebih yang
saling melarutkan dan masing-masing zat penyusunnya tidak dapat dibedakan lagi
secara fisik. Larutan terdiri atas zat terlarut dan pelarut.
Larutan baku dibuat dari senyawa kimia yang memenuhi syarat dan zat
tersebut ditimbang dan dilarutkan dengan air suling atau air dideionisasi dan
kepekatannya sudah diketahui (pudjaamaka, 2002)
Menurut Cairms (2009) larutan standar sekunder dibuat dengan
menstandarkan larutan primer, yaitu dengan cara ditimbang dan dilarutkan pada
larutan yang kemurniannya relatif rendah. Persamaan dari kedua larutan standar
ini adalah sama-sama dibuat dengan cara ditimbang dan dilarutkan pada suatu
larutan. Menurut Kankel (2003) standarisasi larutan bertujuan untuk mengetahui
kepekatan atau konsentrasi larutan baku sekunder, dengan cara menitrasi larutan
baku primer.
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Aquadest (Pubchem, 2004)
Nama resmi : Aqua destilata
Nama lain : air suling
RM/BM : H2O/18,02 g/mol
Rumus struktur :

10
Pemerian : cairan jernh, tidak berbau, tidak berwarna, dan  tidak
mempunyai rasa.
Kelarutan : larut dengan semua jenis larutan
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.
Khaisat : untuk melarutkan zat-zat terlarut
Kegunaan : pelarut
2.2.2 Alkohol (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2006)
Nama Resmi : AETHNOLUM
Nama Lain : etanol,alkohol
RM/BM : C2H5OH/46,07 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah terbakar, mudah bergerak, bau khas, dan rasa
panas.
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air,dalam kloroform dan
dalam eter p.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung  dari
cahaya,ditempat sejuk dan jauuh dari nyala api
Khaisat : antiseptik (untuk membunuh bakteri mikroba
berbahaya)
Kegunaan : Pelarut dan ntuk mensetrilkan alat alat di
laboratorium
2.2.4 Na2EDTA (Pubchem, 2004)
Nama Resmi : DINATRRIUM ETILENDIAMINTETRA
ASETAT DIHIDRAT
Nama Lain : Dinatium adtat, Na2EDTA
RM/BM : C10H14Na2O8. 2H2O/372,24 g/mol
Rumus struktur :

11
Pemerian : cairan kental, jernih, tidak berwarna dan,
higroskopik.
Kelarutan : larut dalam air, larutan beropalesensi
berwarna jingga
Peyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : sebagai pengompleks
2.2.4 Paracetamol (Rowe, 2006)
Nama Resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama Lain : Asetaminofen/parasetamol
Rumus moleekul : C8H9NO2
Rumus struktur :

Berat molekul : 151,16 g/mol


Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak  berbau;  rasa
pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) , dalam 13 bagian aseton, dalam 40 bagian
gliserol P dan dalam 9 bagian propilen glikol P; larut
dalam larutan alkali hidroksida
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Kegunaan : Analgetikum; antipiretikum

12
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Batang pengaduk, botol, gelas ukur, vial, kuvet, mikro pipet, neraca
analitik, spektrofotometer.
3.1.2 Bahan
Alkohol 70%, aquadest, Na2EDTA, Paracetamol, kertas perkamen dan
tisu.
3.2 Cara Kerja
3.2.1 LarutanStandar
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang 0,01 g Parasetamol
4. Dibuat larutan standar 1000 ppm, dengan cara dimasukkan 0,01 g PCT ke
dalam gelas beaker dan tambahkan aquadest sebanyak 10 ml, lalu diaduk
hingga homogen
5. Dibuat larutan 100 ppm, dengan cara diambil 1 ml darilarutan 1000 ppm
menggunakan mikro pipet dan ditambahkan aquadest sebanyak 9 ml.
6. Dibuat larutan 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, dan 100 ppm dengan melakukan
pengenceran bertingkat.
7. Dimasukan larutan dalambotol vial 10 ml dan diberi label setiap vial
dengan dituliskan 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, dan 100 ppm.
8. Diukur absorbansinya pada spektrofotometer Uv-vis
3.2.2 Larutan Sampel
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang Na2EDTA sebanyak 0.2 gram , 0.4 gram, dan 0.6 gram
4. Dilarutkan Na2EDTA dalam larutan PCT 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm yang
telah dibuat menjadi masing-masing akan dimasukkan Na2EDTA 0.2
gram, 0.4 gram, dan 0.6 gram

13
5. Diukur absorbansinya pada spektrofotometer Uv-vis
3.2.3 LarutanBlanko
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Diukur aquadest menggunakan gelas ukur sampai 10ml
4. Dimasukan 10 ml aquadest yang telah diukur dalam botol vial
5. Dilihat serapannya menggunakan spektrofotometer Uv-vis

14
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1. Hasil
4.1.1 Larutan Standar

Gambar 4.1
Larutan Standar
4.1.2 Larutan Sampel

Gambar 4.2
Larutan Sampel
4.2 Tabel Pengamatan
4.2.1 Larutan Standar
No Sampel Absorbansi
(nm)
1. Larutan Pct 10 ppm 0,234
2. Larutan Pct 15 ppm 0,369
3. Larutan Pct 20 ppm 0,467
4.2.2 Larutan Sampel
No Sampel Absorbansi
(nm)
1. Larutan Pct 10 ppm + Na2EDTA 0,2 gr 0,432
2. Larutan Pct 15 ppm + Na2EDTA 0,4 gr 0,542
3. Larutan Pct 20 ppm + Na2EDTA 0,6 gr 0,687

15
4.2.3 Larutan Blanko
No Sampel Absorbansi
(nm)
1. Aquadest 0,00

4.2.4 Kurva Baku


a. Kurva Baku Larutan Standar

KURVA BAKU
0.5
0.4 f(x) = 0.02 x + 0.01
Absorbansi

0.3 R² = 0.99
0.2
kurva baku
0.1
0 Linear
8 10 12 14 16 18 (kurva
20 22
baku)
KONSENTRASI

b. Kurva Baku Larutan Sampel

KURVA BAKU
0.8
0.6 f(x) = 0.03 x + 0.18
Absorbansi

R² = 0.99
0.4
kurva baku
0.2
Linear
0 (kurva
8 10 12 14 16 18 baku)
20 22
KONSENTRASI

4.3 Perhitungan
4.3.1 Pengenceran Bertingkat
1) 1000 ppm ke 100 ppm
MIVI = M2V2
1000 ppm . VI = 100 ppm x 10 ml
VI = 100 ppm x 10 ml
1000 ppm
VI = 1 ml (ad 10 ml)

2) 100 ppm ke 10 ppm


MIVI = M2V2
100 ppm . VI = 10 ppm x 10 ml

VI = 10 ppm x 10 ml

16
100 ppm
VI = 1 ml (ad 10 ml)

3) 100 ppm ke 15 ppm


MIVI = M2V2
100 ppm . VI = 15 ppm x 10 ml
VI = 15 ppm x 10 ml
100 ppm
VI = 1,5 ml (ad 10 ml)

4) 100 ppm ke 20 ppm


MIVI = M2V2
100 ppm . VI = 20 ppm x 10 ml
VI = 20 ppm x 10 ml
100 ppm
VI = 2 ml (ad 10 ml)
4.3.2 Perhitungan Konsentrasi
a. Paracetamol
1) Pct 10 ppm
y = bx + a
0,234 = 0,007x + 0,023
x = 0,234 – 0,023
0,007x
x = 0,211
0,007
x = 30,2 ml
2) Pct 15 ppm
y = bx + a
0,369 = 0,007x + 0,023
x = 0,369-0,0023
0,007x
x =0,346
0,007
x = 49,4 ml
3) Pct 20 ppm

17
y = bx + a
0,467 = 0,007x + 0,023
x = 0,467 – 0,023
0,007x
x = 0,444
0,007
x = 63,4 ml
b. Paracetamol + Na2EDTA
1) Pct 10 ppm + Na2EDTA 0,2 g
y = bx + a
0,432 = 0,171x + 0,025

x = 0,432 – 0,025
0,171
x = 0,407
0,171
x = 2,3 ml
2) Pct 15 ppm + Na2EDTA 0,4 g
y = bx + a
0,542 = 0,171x + 0,025
x = 0,542 – 0,025
0,171
x = 0,517
0,171
x = 3 ml
3) Pct 20 ppm + Na2EDTA 0,6 g
y = bx + a
0,687 = 0,171x + 0,025
x = 0,687 – 0,025
0,171
x = 0,662

18
0, 171
x = 3,8 ml
4.3.3 Presentase Konsentrasi
a. Paracetamol
1) Pct 10 ppm
% konsentrasi = x
x 100
10
= 30,2
x 100
10
= 302%
2) Pct 15 ppm
% konsentrasi = x
x 100
10
= 49,4
x 100
10
= 494%
3) Pct 20 ppm
% konsentrasi = x
x 100
10
= 63,4
x 100
10
= 634%
b. Paracetamol + Na2EDTA

1)Pct 10 ppm + Na2EDTA 0,2 gr


% konsentrasi = x
x 100
10
= 2,3
x 100
10
= 23%
2) Pct 15 ppm + Na2EDTA 0,4 gr
% konsentrasi = x
x 100

19
10
= 3
x 100
10
= 30%
3) Pct 20 ppm + Na2EDTA 0,6 gr
% konsentrasi = x
x 100
10
= 3,8
x 100
10
= 38%

20
BAB V
PEMBAHASAN
Senyawa kompleks, diakibatkan oleh mekanisme donor akseptor atau reaksi
asam basa antara dua atau lebih konstituen kimia yang berbeda. Setiap atom atau
ion nonlogam apakah bebas atau berada dalam molekul netral atau dalam senyawa
ionic, yang dapat menyumbangkan satu pasang elektron, dapat bertindak sebagai
donor. Akseptor atau konstituen yang ambil bagian dalam pasangan elektron,
seringkali berupa ion logam, walaupun dapat juga berupa atom netral (Martin,
1999).
Dalam menentukan kelarutan suatu zat yaitu dengan penambahan zat
pengompleks. Dalam kompleksasi obat ini kami harus membuat 3 larutan terlebih
dahulu yaitu larutan sampel, larutan standar, dan larutan blanko. Pada praktikum
kali ini menentukan penetapan kelarutan paracetamol dalam larutan dengan
adanya penambahan Na2EDTA dengan kosentrasi yang berbeda-beda didasarkan
pada kompleks yang terjadi antara paracetamol dengan Na2EDTA yang diukur
dengan menggunakan alat spektrofotometri. Pada praktikum kali ini kita menguji
kelarutan pada paracetamol. Menurut Dirjen POM (1997) kelarutan pada
paracetamol terhadap air tergolong obat yang sukar larut dalam air. Oleh karena
itu paracetamol dilarutkan dalam Na2EDTA agar kelarutan paracetamol dalam air
bertambah.
Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan pengenceran parasetamol
terlebih dahulu. Menurut Tortora (2010), pengenceran ini berguna untuk
menurunkan konsentrasi dari larutan yang kita gunakan. Disamping itu juga
membuat larutan standar, pada larutan standar ini hanya melihat kelarutan
paracetamol yang dilarutkan pada air. Menurut Underwood (2001) tujuan dibuat
larutan standar yaitu untuk membuat kurva standar atau kurva kalibrasi sehingga
nanti akan diperoleh panjang gelombang maksimum dari larutan standar tersebut.
Langkah pertama disiapkan alat dan bahan yang akan kita gunakan, bersihkan alat
dengan menggunakan alkohol 70%. Menurut Dirjen POM (1979) alkohol 70%
dapat membunuh, menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri atau menghindari
adanya mikroorganisme.

21
Kemudian ditimbang 0,01 gram paracetamol dengan neraca analitik, lalu
dimasukkan paracetamol kedalam air 10 ml dan diaduk hingga larut (sebagai
larutan standar atau 1000 ppm). Dipipet 1 ml larutan 1000 ppm dan ditambahkan
10 ml air sebagai larutan 100 ppm. Untuk membuat larutan 10, 20, 30 ppm dipipet
larutan 100 ppm tadi sebanyak 1, 2, dan 3 ml lalu dimasukkan kedalam botol vial
dan ditambahkan aquadest hingga 10 ml. Alasan kita melakukan pengenceran
karena menurut Wardhaniah, et. All, (2007), tujuannnya yaitu untuk menurunkan
atau memperkecil konsentrasi dari suatu larutan dengan penambahan pelarut, hal
ini sesuai dengan langkah yang kami lakukan yaitu agar kami dapat mengetahui
kosentrasi kelarutan dari paracetamol.
Setelah membuat larutan standar hal yang kedua dilakukan yaitu membuat
larutan sampel. Menurut Underwood (2001), larutan sampel merupakan larutan
yang berisi zat analit yang nantinya akan dianalisis. Pada larutan sampel ini
terdapat 3 perlakuan yang dilakukan yaitu dengan penambahan Na2EDTA pada
larutan 10, 20, dan 30 ppm. Larutan paracetamol + Na2EDTA 0,2 g, paracetamol
+ Na2EDTA 0,4 g, dan paracetamol + Na2EDTA 0,6 g dan diaduk hingga
homogen. Larutan sampel diukur absorbansinya menggunakan alat
spektrofotometri. Kita dapat mengetahui pengaruh zat pengompleks dengan
digunakannya spektrofotometer UV-VIS untuk menentukan panjang gelombang
dan konsentrasi sampel. Menurut Cairns (2009), spektrofotometer merupakan alat
yang digunaka untuk mengukur absorbsi dengan cara melewatkan cahaya dengan
panjang gelombang tertentu pada suatu obyek kaca atau kurasa yang disebut
kuvet. Sebagian dari cahaya tersebut akan diserap dan sisanya akan dilewatkan.
Nilai absorbansi dari cahaya yang dilewatkan akan sebanding dengan konsentrasi
larutan didalam kuvet. Prinsip metode spektrofotometri yaitu sinar atau cahaya
dilewatkan dengan melewati sebuah wadah (kuvet) yang berisi larutan dimana
akan menghasilkan spektrum atau gelombang. Alat ini menggunakan hukum
lambert beer sebagai acuan (Martin, A. 1983).
Berdasarkan hasil absorbansi yang diperoleh dari larutan parasetamol yaitu
larutan PCT 10 ppm + Na2EDTA 0,2 gram yaitu 0,432 nm, larutan PCT 15 ppm +
Na2EDTA 0,6 gram yaitu 0,542 nm, dan larutan PCT 20 ppm + Na2EDTA 0,6

22
gram yaitu 0,687 nm. Adapun hasil yang diperoleh pada persen kosentrasi larutan
standar yaitu, 302 %, 494 %, dan 634 % sedangkan pada kosentrasi larutan
sampel yaitu 23 %, 30 %, 38 %. Dari hasil nilai pada persen konsentrasi dapat
dilihat adanya kenaikan nilai persen konsentrasi. Menurut O.G. brink (1985)
berdasarkan hukum Lambert-beer absorbansi akan berbanding lurus
dengan konsentrasi artinya konsentrasi zat terlarut semakin tinggi maka
absorbansi yang dihasilkan makin tinggi, begitu pula sebaliknya konsentrasi zat
terlarut semakin rendah, maka absorbansi yang dihasilkan makin rendah.
Berdasarkan dari nilai hasil absorbansi dapat dikatakan pada larutan PCT 15
ppm + Na2EDTA 0,4 gram dan pada larutan PCT 20 ppm + Na2EDTA 0,6 gram
menunjukkan adanya kenaikan nilai absorbansi. Akan tetapi naiknya nilai tersebut
melebihi ketetapan yang telah ada dan tidak sesuai dengan literatur. Menurut Tati
Suhartati (2013), dimana hubungan antara absorbansi terhadap konsentrasi akan
linear (A≈C) apabila nilai absorbansi larutan antara 0,2-0,8 (0,2 ≤ A ≥ 0,8).  Jika
absorbansi yang diperoleh lebih besar maka hubungan absorbansi tidak linear lagi.
Adapun kemungkinan kesalahan yang terjadi pada saat praktikum adalah
konsentrasi yang kurang tepat, penentuan nilai yang tidak sesuai menyebabkan
hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Menurut Supiyanto
(2007) hal tersebut dapat didukung, dimana  kemungkinan  kesalahan yang 
dilakukan yaitu kesalahan pada penggunaan alat misalnya kurangnya tingkat
ketelitian pada neraca analitik. Kesalahan pengamat yaitu akibat 
kesalahan membaca  angka pada skala suatualat ukur karena kedudukan
mata pengamat tidak tepat dan kurangnya ketelitian padasaat melakukan
percobaan, kesalahasan acak menghasilkan hamburan data
disekitar nilai rata-rata kesalahan acak dihasilkan dari ketidakmampuan
pengamatuntuk mengulangi pengukuran secara presisi (ketelitian).

23
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, diperoleh konsentrasi paracetamol
yang ditambahkan zat pengompleks (NaEDTA) 0,2 g, 0,4 g, dan 0,6 masing-
masing dengan absorban 0,432, 0,542, 0,687. Dari hasil tersebut kita dapat
simpulkan adanya peningkatan absorban dari kosentrasi pertama, kedua dan
ketiga.

6.2 Saran
6.2.1 Untuk asisten
Disarankan agar asisten lebih memperhatikan praktikan dan agar tidak
terjadi kesalahan pada saat praktikum berlangsung

6.2.2 Untuk praktikan


Disarankan pada saat praktikum harus lebih berhati-hati dalam
menggunakan alat lab, lebih teliti dalam mengamati objek yang sedang diamati
agar hasil yang didapkan sesuai dengan yang diinginkan

6.2.3 Untuk laboratorium


Diharapkan untuk lebih memfasilitasi alat serta bahan yang dibutuhkan saat
praktikum.

24
DAFTAR PUSTAKA
Amelia., Yulida Nasution, 2009, Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol dalam
Obat Sediaan Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sumatera Utara.
Budiman, A. 2012. Studi Eksperimental Pengaruh Konsentrasi Larutan Terhadap
Laju Pelepasan Material Pada Proses Electrochemical Mechining. Jurnal
Teknik Pomits. Vol.1 (1).
Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar konsep-konsep inti, Edisi ketiga jilid 2.
Erlangga : Jakarta
Effendi, Idris. 2003. Materi Kuliah Farmasi Fisika. UNHAS: Makassar
Darsono, Lusiana, 2002, Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan
Parasetamol, Jurnal Kimia, Vol. 2, No. 1
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995).
Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal. 1083, 1084.
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope
Indonesia, Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hal. 639.
Fessenden dan Fessenden. 1999. Kimia Oeganik 2, jilid 2. Erlangga : Jakarta
Hani Handoko. 2007. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE
Yogyakarta.
Hariadi, Doni dan Martoatmodjo, Soebari. 2013. “Pengaruh Produk, Harga,
Promosi dan Distribusi Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pada
Produk Projector Microvision”. Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen. Vol.1
No.1. Surabaya: STIESIA.
Lachman, L., Lieberman, H.A., and Kanig, J.L., 1986, The Theory and Practice
of Industrial Pharmacy,2nd ed., Lea and Febiger, Philadelphia. 648 – 659.
Lund, Walter. 1994. The Pharmaceutical Codex. The Pharmaceutical Press:
London
Marzuki, Asnah. 2012. Kimia Analisis Farmasi. Makassar : Dua Satu Press
Martin, A., Swarbick, J., dan Cammarata, A., 1990, Farmasi Fisik Dasar dan
Kimia Fisik diterjemahkan oleh Yoshita, Edisi Ketiga, Hal 141-142,
Universitas Indonesia Press, Jakarta
Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.
Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2014. Kimia Fisika II. Bandung: UPI.
Prasetya, A. Widhiyanuraiyawan, D., dan Sugiarto (2012). Pengaruh Konsentrasi
NaOH Terhadap Kandungan gas CO2 dalam Proses Purifikasi Biogas
Sistem Continue. Fakultas Teknik. Universitas Brawijaya : Malang.
Purwani, dkk. 2008. Ekstraksi Konsentrat Neodimium Memakai Asam Di- 2 - Etil
Heksil Fosfat. Universitas Indonesia Press, Jakarta
Roth, H. J. & Blaschke, G., 1994, Analisis Farmasi, (Kisman, S. & Ibrahim,
S., penerjemah), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, pp.
367-373 Jakarta: UI Press. Pp. 940-1010, 1162, 1163, 1170
Rosenberg. 1992. Kimia Fisika. Penerbit Intan Pariwara: Jakarta
Sukardjo. 1977. Kimia Fisika I. Universitas Indonesia: Jakarta
Sukardjo. 1989. Kimia Fisika. Bina Aksara : Jakarta.
Syamsuni, 2006, Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. 29 – 31.
Tati Suhartati, 2013. Dasar-Dasar Spektrofotometer UV-VIS dan
Spektrofotometri Massa Untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik.
Aura CV. Anugrah Utama Raharja : Lampung
Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology
Maintanance and Continuity of the Human Body. 13th Edition. Amerika
Serikat: John Wiley & Sons, Inc.
Underwood, A.L.2001. Analisis Kimia Kuantitas. Jakarta : Erlangga.
Wardhaniah et.al, 2007. Media Farmasi . Jakarta : UI Press
Yahya, Sripatundita, 2013. Jurnal Spektrofotometer UV-VIS. Erlangga : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai