Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi merupakan salah satu bidang profesional kesehatan yang
merupakan kombinasi dari ilmu kesehatan dan ilmu kimia, yang mempunyai
tanggung-jawab dalam memastikan efektivitas dan keamanan dari suatu obat.
Ruang lingkup dari praktik farmasi termasuk praktik farmasi tradisional seperti
peracikan dan penyediaan sediaan obat, serta pelayanan farmasi modern yang
berhubungan dengan layanan terhadap pasien diantaranya layanan klinik, evaluasi
efikasi, dan keamanan penggunaan obat dan penyediaan informasi obat (Mirawati,
2013). Dalam dunia farmasi, seorang farmasis juga harus dapat memahami
bagaimana sifat-sifat fisika dari obat tersebut, yang dikenal sebagai ilmu Farmasi
Fisika.
Farmasi Fisika merupakan suatu ilmu yang menggabungkan antara ilmu
Fisika dengan ilmu Farmasi. Ilmu Fisika mempelajari tentang sifat sifat fisika
suatu zat. Sedangkan ilmu Farmasi adalah ilmu tentang obat-obat yang
mempelajari cara membuat, memformulasi senyawa obat menjadi suatu sediaan
yang dapat beredar di pasaran dan memnberikan efek terapi (Wunas, 2011). Salah
satu fenomena dalam fisika yang kerap muncul di bidang farmasi yaitu
kompleksasi obat dalam tubuh.
Kompleksasi obat merupakan suatu metode yang digunakan dalam
menetapkan suatu kelarutan pada senyawa dengan penambahan zat pengompleks
pada larutan tersebut. Sedangkan senyawa pengompleks yaitu senyawa yang
terbentuk dikarenan adanya penggabungan dari dua atau lebih senyawa sederhana,
yang masing-masing dapat berdiri sendiri (Voight, 1994).
Suatu senyawa kompleks adalah sebagai ion yang tersusun dari atom pusat
yang mengikat secara koordinasi sejumlah ion atau molekul netral. Ion atau
molekul netral sebagai spesies terikat pada atom pusat dalam suatu ion kompleks
biasanya dinamakan ligan. Spesies ini memiliki satu pasang atau lebih elektron
bebas dan berperan sebagai donor pasangan elektron pada pembentukan ikatan
koordinasi (Ilyas, 2012)

1
Dalam bidang farmasi, senyawa kompleks digunakan untuk menambah
kelarutan dari suatu senyawa obat, dikarenakan ada sebagian dari senyawa obat
yang tidak dapat larut dengan baik pada suatu pelarut tertentu sehingga diperlukan
penambahan dari senyawa pengompleks. Senyawa-senyawa yang tidak larut
seringkali menunjukan absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu. Ada
beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan suatu bahan
obat, antara lain pembentukan kompleks, penambahan kosolven, penambahan
surfaktan, manipulasi keadaan padat, dan pembentukan prodrug.
Mengingat pentingnya prinsip reaksi kompleks dalam bidang farmasi maka
dilakukanlah percobaan ini, dimana akan digunakan sampel Paracetamol yang
memiliki kelarutan larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P,
dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dan dalam 9 bagian
propilenglikol P, larut dalam larutan alkali hidroksida, yang memiliki sifat sukar
larut dengan Na EDTA yang memiliki kelarutan sukar larut di dalam air, yang
digunakan sebagai zat pengkompleks (Dirjen POM,1995).
I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud Praktikum
Untuk Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan suatu zat
dengan penambahan zat pengompleks.
I.2.2 Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui pengaruh penambahan Na EDTA sebagai zat
pengompleks terhadap kelarutan parasetamol dalam air serta nilai-nilai
absorbansinya menggunakan sprektofotometer UV-VIS.
I.3 Manfaat Percobaan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami apa itu kompleksasi dan
kompleksasi obat
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara pembentukan
kompleksasi antara PCT dan Na EDTA
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami prinsip dari spektrofotometer.
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara pembuatan larutan
standar, larutan sampel dan blanko.

2
I.4 Prinsip Percobaan
Penetapan kelarutan dari parasetamol dalam larutan dengan penambahan Na
Edta dengan dengan konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan pada kompleks
yang terjadi antara parasetamol dengan Na Edta yang di ukur dengan
menggunakan spektrofotometer uv-vis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kompleksasi
2.1.1 Pengertian Kompleksasi
Kompleks atau senyawa koordinasi, diakibatkan oleh mekanisme donor-
akseptor atau reaksi asam-basa Lewis antara dua atau lebih konstituen kimia yang
berbeda. Setiap atom atau ion nonlogam apakah bebas atau berada dalam molekul
netral atau dalam senyawa ionik, yang dapat menyumbangkan satu pasang
elektron, dapat bertindak sebagai donor. Akseptor, atau konstituen yang ambil
bagian dalam pasangan elektron, seringkali berupa ion logam, walaupun dapat
juga berupa atom netral (Martin, 1990).
Kompleks terbentuk dari suatu reaksi ion logam yaitu kation dengan suatu
anion atau molekul netral. Ion logam di dalam kompleks disebut atom pusat dan
kelompok yang terikat pada atom pusat disebut ligan. Jumlah ikatan yang
terbentuk oleh atom logam, pusat disebut bilangan koordinasi dari logam, salah
satu contoh reaksi kompleks adalah reaksi dari ion perak dengan ion sianida untuk
membentuk ion kompleks Ag(CN)2 yang sangat stabil (Martin, 1990).
Gaya antar molekul yang terlibat dalam pembentukan kompleks adalah gaya
van der Waals dari dispersi, dipolar, dan tipe dipolar induksi. Ikatan hidrogen
memberikan gaya yang bermakna dalam beberapa kompleks molekuler, dan
kovalen koordinat penting dalam kompleks logam (Martin, 1990).
Pada tahun 1921, Emery dan Wright meneliti kerja pengompleks dari
kafeina dengan sejumlah senyawa termasuk natrium benzoat dan natrium salisilat.
Pada tahun 1930 Labes menentukan tetapan kesetimbangan antara kafeina dan ion
salisilat, dan dalam tahun 1937, Chambon meneliti kompleks kafeina natrium
benzoat dengan metode distribusi (Martin, 1990).
2.1.2 Atom Pusat
Atom pusat merupakan atom bagian dari senyawa koordinasi yang berada
di pusat (bagian tengah) sebagai penerima pasangan electron sehingga dapat di
sebut sebagai asam Lewis, Umumnya berupa logam (terutama logam-logam
transisi). Atom pusat merupakan atom unsur transisi yang dapat menerima

4
pasangan elektron bebas dari ligan karena ion-ion dari unsur logam transisi
memiliki orbital-orbital kosong yang dapat menerima pasangan elektron pada
pembentukan ikatan dengan molekul atau anion tertentu membentuk ion
kompleks. Pasangan elektron bebas dari ligan menempati orbital-orbital kosong
dalam subkulit 3d, 4s, 4p dan 4d atom pusat.
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusat dan
sejumlah ligan yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom pusat ditandai
oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang menunjukkan jumlah ligan
(monodentat) yang dapat membentuk kompleks yang stabil dengan satu atom
pusat. Susunan logam-logam sekitar atom pusat adalah simetris (Svehla, 1990).
2.1.3 Ligan
Ligan adalah molekul netral atau anion yang mempunyai pasangan electron
bebas (dapat dilihat dari struktur Lewisnya). Contoh : NH3, CN-. Ligan atau
gugus pelindung merupakan atom/ion bagian dari senyawa koordinasi yang
berada di bagian luar sebagai pemberi pasangan elektron sehingga dapat disebut
sebagai basa Lewis yang memiliki pasangan electron bebas. Di dalam ligan
terdapat atom donor yaitu atom yang memiliki pasangan elektron bebas atau atom
yang terikat melalui ikatan π. Melalui atom donor tersebut suatu ligan melakukan
ikatan kovalen koordinasi dengan atom pusat yang ada.
G.N Lewis menerangkan bahwa pembentukan kompleks terjadi karena
penumbangan atau pasangan elektron seluruhnya oleh satu ligan kepada atom
pusat, inilah yang disebut dengan ikatan-datif. Teori Medan Ligan menjelaskan
bahwa pembentukan kompleks atas dasar medan elektrostatik yang diciptakan
oleh ligan-ligan dalam dari atom pusat. Medan ligan menyebabkan penguraian
tingkatan energi orbital-orbital-d atom pusat, yang lalu menghasilkan energi untuk
menstabilkan kompleks itu (Energi Stabilitas Medan Ligan) (Svehla, 1990).
Ligan dapat dengan baik diklasifikasikan atas dasar banyaknya titik-lekat
kepada ion logam, yaitu :
1. Monodentat adalah ligan yang menyumbangkan 1 PEB ke atom pusat.
Seperti ion-ion halida atau molekul-molekul H2O atau NH3.

5
2. Bidentat adalah bila molekul atau ion ligan mempunyai dua atom, yang
masing-masing mempunyai satu pasangan elektron menyendiri, maka
molekul itu mempunyai dua atompenyumbang, dan adalah mungkin untuk
membentuk dua ikatan-koordinasi dengan ion logam yang sama. Contoh :
C2O42-.
3. Multidentat adalah ligan yang menyumbangkan lebih dari dua PEB ke atom
pusat. misalnya asam 1,2-diaminoetanatetraasetat (asam
etilenadiaminatetraasetat, EDTA) yang mempunyai dua atom nitrogen-
penyumbang dan empat atom oksigen-penyumbang dalam molekul, dapat
merupakan heksadentat.
2.2 Kompleksasi Obat
Kompleksasi obat dalam tubuh. Kompleksasi obat adalah suatu metode
yang digunakan untuk menetapkan kelarutan suatu senyawa dengan penambahan
zat pengompleks. Menurut Martin (1993), senyawa pengompleks yaitu senyawa
yang terbentuk karena penggabungan dua atau lebih senyawa sederhana, yang
masing-masingnya dapat berdiri sendiri.
Banyak bahan obat yang mempunyai senyawa dengan kelarutan dalam air
yang rendah atau dinyatakan praktis tidak larut, umumnya mudah larut salam
cairan organik. Dalam bidang farmasi, prinsip kompleksasi ini digunakan untuk
menambah kelarutan suatu senyawa obat. Karena ada sebagian dari senyawa obat
tak dapat larut dengan baik pada pelarut tertentu sehingga diperlukan penambahan
senyawa pengompleks.
Pada sebagian besar logam cenderung untuk membentuk kompleks. Sifat ini
dapat digunakan untuk pemisahan, penentuan kadar, dan untuk membuat kation
tidak dapat bereaksi. Untuk analisis kuantitatif yang penting adalah tetapan
stabilitas (kestabilan) dan tetapan disosiasi. Pada pembentukan dan penguraian
senyawa kompleks dibedakan antara disosiasi pertama dan kedua. Disosiasi
pertama merupakan disosiasi menjadi kation dan anion kompleks atau menjadi
anion dan kation kompleks, yang biasanya terjadi secara sempurna (Roth, 1994).
Pembentukan kompleks dalam analisa kualitatif sering terlihat dan dipakai
untuk pemisahan atau identifikasi. Salah satu fenomena yang paling umum yang

6
muncul bila ion kompleks terbentuk adalah perubahan warna larutan dan kenaikan
larutan (Svehla, 1990).
Makin besar tetapan disosiasi, makin banyak ion dalam larutan, dan makin
tidak stabil kompleks yang terjadi. Selain itu diketahui juga bahwa banyak
senyawa kompleks yang terdisosiasi secara bertahap. Ion kompleks tunggal hanya
terdapat pada larutan senyawa kompleks yang sangat kuat (Day, 1995).
2.3 Spektrofotometri
2.3.1 Pengertian Spektrofotometri
Spektrofotometri sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari
spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas
cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan
untuk mengukur energi relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan
atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer
dengan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih dideteksi
dan cara ini diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating, atau celah
optis. Pada fotometer filter dari berbagai warna yang mempunyai spesifikasi
melewatkan trayek pada panjang gelombang tertentu (Gandjar, 2007).
2.3.2 Prinsip Kerja Spektrofotometri
Spektrum elektromagnetik dibagi dalam beberapa daerah cahaya. Suatu
daerah akan diabsorbsi oleh atom atau molekul dan panjang gelombang cahaya
yang diabsorbsi dapat menunjukan struktur senyawa yang diteliti. Spektrum
elektromagnetik meliputi suatu daerah panjang gelombang yang luas dari sinar
gamma gelombang pendek berenergi tinggi sampai pada panjang gelombang
mikro (Marzuki, 2012).
Spektrum absorbsi dalam daerah-daerah ultra ungu dan sinar tampak
umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorbsi yang lebar, semua molekul
dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak. Oleh karena itu mereka
mengandung elektron, baik yang dipakai bersama atau tidak, yang dapat dieksitasi
ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang pada waktu absorbsi terjadi
tergantung pada bagaimana erat elektron terikat di dalam molekul. Elektron dalam

7
satu ikatan kovalen tunggal erat ikatannya dan radiasi dengan energi tinggi, atau
panjang gelombang pendek, diperlukan eksitasinya (Wunas, 2011).
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini
memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil.
Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka yang terbaca
langsung dicatat oleh detektor dan tercetak dalam bentuk angka digital ataupun
grafik yang sudah diregresikan (Yahya S, 2013).
Secara sederhana instrument spektrofotometeri yang disebut
spektrofotometer terdiri dari:

2.3.3 Fungsi masing-masing bagian (Yahya S, 2013):


a. Sumber sinar polikromatis berfungsi sebagai sumber sinar polikromatis
dengan berbagai macam rentang panjang gelombang.
b. Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu
mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatis menjadi
cahaya monokromatis. Pada gambar di atas disebut sebagai pendispersi atau
penyebar cahaya. dengan adanya pendispersi hanya satu jenis cahaya atau
cahaya dengan panjang gelombang tunggal yang mengenai sel sampel. Pada
gambar di atas hanya cahaya hijau yang melewati pintu keluar.
c. Sel sampel berfungsi sebagai tempat meletakan sampel UV-VIS dan UV-
VIS menggunakan kuvet sebagai tempat sampel. Kuvet biasanya terbuat
dari kuarsa atau gelas, namun kuvet dari kuarsa yang terbuat dari silika
memiliki kualitas yang lebih baik. Hal ini disebabkan yang terbuat dari kaca
dan plastik dapat menyerap UV sehingga penggunaannya hanya pada
spektrofotometer sinar tampak (VIS). Kuvet biasanya berbentuk persegi
panjang dengan lebar 1 cm. Untuk sampel cair dan padat (dalam bentuk

8
pasta) biasanya dioleskan pada dua lempeng natrium klorida. Untuk sampel
dalam bentuk larutan dimasukan ke dalam sel natrium klorida. Sel ini akan
dipecahkan untuk mengambil kembali larutan yang dianalisis, jika sampel
yang dimiliki sangat sedikit dan harganya mahal.
d. Detektor berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan
mengubahnya menjadi arus listrik. Macam-macam detektor yaitu Detektor
foto (Photo detector), Photocell, misalnya CdS, Phototube, Hantaran foto,
Dioda foto, dan Detektor panas.
e. Read out merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya isyarat
listrik yang berasal dari detektor. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
dalam spektrofotometri adalah:
1) Pada saat pengenceran alat-alat pengenceran harus betul-betul bersih
tanpa adanya zat pengotor.
2) Dalam penggunaan alat-alat harus betul-betul steril.
3) Jumlah zat yang dipakai harus sesuai dengan yang telah ditentukan.
4) Dalam penggunaan spektrofotometri uv, sampel harus jernih dan tidak
keruh.
5) Dalam penggunaan spektrofotometri uv-vis, sampel harus berwarna.
2.3.4 Hukum Lambert-Beer
Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A), sedangkan cahaya yang
hamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum lambert-
beer atau Hukum Beer, berbunyi (Sri Suyono, 2013) :
“Jumlah radiasi cahaya tampak (ultraviolet, inframerah, dan sebagainya)
yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi
eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan”.
Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk
menghitung banyaknya cahaya yang dihamburkan (Sri Suyono, 2013) :
T = It Io atau %T = It Io x 100 %
dan absorbansi dinyatakan dengan rumus:
A= - log T = -log It Io

9
dimana I0 merupakan intensitas cahaya datang dan It atau I1 adalah
intensitas cahaya setelah melewati sampel.
Rumus yang diturunkan dari Hukum Beer dapat ditulis sebagai (Sri Suyono,
2013) :
A= a . b . c atau A = ε . b . c
Dimana :
A : Absorbansi
b / l : Tebal larutan (tebal kuvet diperhitungkan juga umumnya
1 cm)
c : Konsentrasi larutan yang diukur
ε : Tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan yang
diukur dalam molar)
a : Tetapan absorbtivitas (jika konsentrasi larutan yang diukur
dalam ppm).
Faktor-faktor yang sering menyebabkan kesalahan dalam menggunakan
spektrofotometer dalam mengukur konsentrasi suatu analit (Sri Suyono, 2013) :
1. Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis
termasuk zat pembentuk warna.
2. Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau kuarsa,
namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
3. Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat
rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan
konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan
(melalui pengenceran atau pemekatan).
2.4 Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) adalah turunan senyawa sintesis dari drivat p-
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik/analgesik. Senyawa ini mempunyai
nama kimia N-asetil-paminofenol atau p-asetamidofenol atau 4 hidroksiasetanilid,
bobot molekul 151,16 (Dirjen POM,1979).

10
Parasetamol umumnya digunakan untuk menurunkan panas badan yang
disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu,
parasetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena
mudah didapati, overdasis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi. Obat
yang mempunyai nama generik acetaminophen ini, dijual di pasaran dengan
ratusan nama dagang. Beberapa diantaranya adalah Sanmol, Pamol, Panadol,
Itramol, dan lain-lain.
Parasetamol termasuk ke dalam kategori NSAID sebagai obat anti demam,
anti pegel linu,dan anti-inflammatory. Inflammation adalah kondisi pada darah
pada saat luka pada bagian tubuh (luar atau dalam) terinfeksi, sebuah imun yang
bekerja pada darah putih (leukosit). Contoh pada bagian luar tubuh jika kita
terluka hingga timbul nanah itu tandanya leukosit sedang bekerkja, gejalan
inflammation lainnya adalah iritasi kulit.
2.5 Uraian Bahan
2.5.1 Alkohol (Dirjen POM, 1995; Rowe et al, 2009)
Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Alkohol
Rumus molekul : C2H6O
Rumus Struktur :

Berat molekul : 46,07 g/mol


Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap
dan mudah terbakar, berbau khas panas, mudah
terbakar dan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P.
Kegunaan : Membersihkan alat-alat

11
Khasiat : Sebagai antiseptik (menghambat pertumbuhan
bakteri).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari
cahaya, ditempat sejuk jauh dari nyala api.
2.5.2 Aquadest (Dirjen POM, 1995; Rowe et al, 2009)
Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Aquadest, air suling
Rumus Molekul : H2O
Rumus Struktur :

Berat Molekul : 18,02 g/mol


Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa.
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan.
Khasiat : Sebagai sumber energi
Kegunaan : Zat pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap.
2.5.3 Na Edta (Annisa, 2011; Rowe et al, 2009)
Nama Resmi : DINATRIUM ADESAT
Nama Lain : Diantium Etilen Diaminterta Asetat
Rumus Molekul : C10H16N2O8
Rumus Struktur :

Berat Molekul : 372,24


Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau
Kelarutan : Larut dalam air
Khasiat : Sebagai antipireutik (pada terapi khelasi EDTA
yaitu pengobatan secara intravena dengan
menggunakan cairan)
Kegunaan : Sebagai zat pengompleks

12
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.5.4 Paracetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama lain : Paracetamol
Berat molekul : 151,16 g/mol
Rumus molekul : C8H9NO2
Rumus struktur :

Pemerian : Berupa hablur atau serbuk hablur putih, rasa


pahit, berbau, serbuk Kristal dengan sedikit rasa
pahit.
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P, dan dalam 9 bagian
propilengikol P, larut dalam larutan alkali
hidroksida.
Kegunaan : Sebagai sampel
Khasiat : Analgetik (menghilangkan atau mengurangi
nyeri) dan sebagai anti piretik (menurunkan
demam).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya, pada suhu ruangan 25-30 derajat celcius.

13
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum Farmasetika Dasar dilaksanakan pada hari Jum’at, 11 Oktober
2019, pukul 07.00 WITA, di Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi,
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, di Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum yaitu Batang pengaduk, Gelas beaker
100 ml, Gelas ukur 10 ml, Kuvet kuarsa UV-VIS, Lap kasar, Lumpang dan Alu,
Neraca analitik, Pipet Mikro, Pipet tetes, Spektrofotometer UV-VIS, Sudip dan
Vial 10 buah.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum yaitu Alkohol 70%, Aquadest,
Kertas perkamen, Label, Na Edta, paracetamol dan Tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Larutan Standar
1) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2) Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3) Dilakukan perhitungan pengenceran paracetamol dengan konsntrasi 1000
ppm dalam 10 ml aquades
4) Ditimbang paracetamol 0,01 g dan dimasukkan kedalam gelas beker
5) Ditambahkan aquades 10 ml dan diaduk, dimasukkan kedalam vial
6) Dibuat konsentrasi 100 ppm dengan mengambil 1 mL larutan 1000 ppm lalu
ditambahkan air sampai 100 mL
7) Dibuat larutan paracetamol dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, dan 30
ppm
8) Dimasukkan tiap larutan kedalam kuvet berbeda
9) Diukur dalam spektrofotometer
10) Dilihat dan dicatat nilai absorbansi tiap larutan

14
3.3.2 Larutan Sampel
1) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2) Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3) Diambil 1 ml larutan standar dan ditambahkan aquades hingga 10 ml
4) Dilakukan sebanyak tiga kali dan dimasukkan kedalam tiga vial berbeda
5) Ditambahkan Na Edta 0,2 g, 0,4 g, 0,6 g, kedalam tiga vial berbeda dan
diberi label
6) Dimasukkan tiap larutan kedalam kuvet berbeda
7) Diukur dalam spektrofotometer
8) Dilihat dan dicatat nilai absorbansi tiap larutan
3.3.3 Larutan Blanko
1) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2) Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3) Dimasukkan aquades kedalam kuvet
4) Diukur menggunakan spektrofotometer
5) Dilihat nilai absorbansinya dan dinolkan nilai absorbansinya

15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Larutan Standar

No Sampel Absorbansi
1. 10 ppm 0,211
2. 20 ppm 0,278
3. 30 ppm 0,315

4.1.2 Kurva Larutan Standar

Kurva
Kurva Baku
Baku
0.4 y = 0.0052x + 0.164
4
R² = 0.973
Absorbansi

0.3 3.355 0.315


y = 0,0833x + 0,8727
Absorbansi

3 0.278 R² = 0,9988
2.572 Absorbansi
0.2
2 0.211
1.698
absorbansi
1
0.1
Linear
Linear
0 (Absorbansi)
00 10 20 30 40
(absorbansi)
0 10 20 30 40
Kosentrasi (Ppm)(ppm)
Konsentrasi

4.1.3 Larutan Sampel


No Sampel Absorbansi
1. PCT + Na Edta 0,2 g 0,413
2. PCT + Na Edta 0,4 g 0,487
3 PCT + Na Edta 0,6 g 0,526

4.2 Perhitungan
4.2.1 Konsentrasi Sampel
1) PCT 0,01 g + Na Edta 0,2 g
Dik :y = 0.005x + 0,164
a = 0,164
b = 0,005
y = 0,413
Dit : x dan konsentrasi

16
Peny :
y = bx+ a
0,413 = 0,005x + 0,164
0,005x = 0,413 – 0,164
0,249
x =
0,005
x = 49,8
x
Konsentrasi = x 100%
ml
49,8
= x 100%
10 ml
= 498 %
2) PCT 0,01 g + Na Edta 0,4 g
Dik :y = 0.005x + 0,164
a = 0,164
b = 0,005
y = 0,487
Dit : x dan konsentrasi
Peny :
y = bx + a
0,487 = 0,005 x + 0,164
0,005x= 0,487 – 0,164
0,323
x =
0,005
x = 64,6
x
Konsentrasi = x 100%
mL
64,6
= x 100%
10 mL
= 646 %

17
3) PCT 0,01 g + Na Edta 0,6 g
Dik :y = 0.005x + 0,164
a = 0,005
b = 0,164
y = 0,526
Dit : x dan konsentrasi..?
Peny :
y = bx+ a
0,526= 0,005 x + 0,164
0,005x= 0,526 – 0,164
0,362
x =
0,005
x = 72,4
x
Konsentrasi = x 100%
mL
72,4
=
10 mL
= 724 %
4.3 Pembahasan
Kompleksasi merupakan penggabungan dua unsur kimia yang berbeda yang
membentuk suatu senyawa yang kompleks ( Martin, 1995). Kompleksasi juga
merupakan suatu senyawa yang tersusun pada suatu ion ligan pusat dengan satu
atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan electron bebasnya kepada ion
logam pusat. (Martin, 2002)
Kompleksasi obat merupakan suatu metode yang digunakan dalam
menetapkan suatu kelarutan pada senyawa dengan penambahan zat pengompleks.
Sedangkan senyawa pengompleks adalah senyawa yang terbentuk karena
penggabungan dua atau lebih senyawa sederhana, yang masing-masing dapat
berdiri sendiri (Martin,1993).
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai kompleksasi obat
dengan menggunakan obat paracetamol sebagai sampel dan Na EDTA sebagai zat
pengompleksnya dengan menggunakan alat spektrofotometer. Dengan tujuan

18
untuk mengetahui kelarutan dari Paracetamol dengan menambahkan Na EDTA
sebagai zat pengompleksnya. Menurut Dirjen POM (1995), parasetamol larut
dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N dan mudah larut dalam
etanol.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu membersihkan alat yang akan
digunakan dengan menggunakan alkohol 70%. Menurut Sinko (2011) alkohol
berguna untuk menghilangkan semua jenis mikroorganisme yang terdapat pada
alat-alat yangakan di gunakan.
Percobaan kompleksasi obat diawal dengan pembuatan larutan standar.
Menurut Sinko (2011), larutan standar merupakan larutan yang konsentrasinya
telah diketahui secara pasti. Pembuatan larutan standar diawali dengan
diencerakan Paracetamol. Ditimbang paracetamol sebanyak 0,1 g dengan
konsentrasi 1000 Ppm terlebih dahulu dalam 10 mL aquades dan dilakukan
pengenceran bertingkat. Menurut Cottone (1995), tujuan dilakukan pengenceran
bertingkat yaitu agar sampel dapat terbaca pada alat spektrofotometer untuk di
lihat nilai absorbansinya. Kemudian ditimbang Paracetamol 0.01 g dan
dimasukkan kedalam gelas beaker lalu ditambahkan aquades sebanyak 10 mL ,
diaduk hingga homogen kemudian dimasukan kedalam masing-masing vial.
Kemudian dibuat larutan Paracetamol dengan konsentrasi 10 Ppm, 20 Ppm, dan
30 Ppm kemudian dimasukkan kedalam kuvet dan diukur serapan dari masing
masing vial yang berisi larutan pada spektrofotometer dengan panjang gelombang
yang sesuai. Alasan dibuat dengan konsentrasi yang berbeda untuk mengetahui
tingkat serapan larutan (Sinko, 2011).
Selanjutnya dilakukan pembuatan larutan sampel, menurut Day (1995),
larutan sampel dapat di katakana sebagai larutan reagen yang baik untuk
digunakan pada proses titrasi baik itu dari sifat zat, konsentrasi, dan lainnya.
Langkah pertama diambil 1 ml larutan standard kemudian ditambahkan aquades
hingga 10 ml, lalu dilakukan sebanyak 3 kali dan dimasukkan kedalam tiga vial
yang berbeda, dan diberi label 10, 20, dan 30 Ppm. Selanjutnya ditambahkan Na
EDTA 0,2 , 0,4 , 0,6 gr dalam masing-masing vial kemudian di beri label. Setelah

19
itu larutan sampel dimasukkan dalam spektrofotometer UV-VIS untuk melihat
nilai absorbansinya.
Yang terakhir yaitu pembuatan larutan Blanko. Menurut Effendi (2013)
larutan blanko merupakan suatu larutan yang tidak memiliki atau mengandung
analat atau dengan kata lain tidak memiliki sampel yang akan dianalisis. Untuk
larutan blanko aquades akan dimasukkan kedalam kuvet lalu diukur dalam
spektrofotometer UV VIS untuk dilihat nilai absorbansinya.
Pada percobaan komplekasasi obat hasil yang didapat yaitu Larutan sampel
Paracetamol dan Na Edta yaitu 247 nm. Larutan Blanko yaitu 0.001. Untuk
larutan standar paracetamol yaitu Paracetamol 10 Ppm absorbansinya 0,211,
Paracetamol 20 Ppm 0,278, dan Paracetamol 30 Ppm 0,315. Larutan sampel
dengan penambahan 0.2 g Na Edta absorbansinya 0,413 , sampel ke dua dengan
penambahan 0.4 g Na Edta absorbansinya 0,487 dan sampel ketiga dengan 0.6 g
Na Edta yaitu 0,526. Menurut Cottone (1995) berdasarkan hukum beer
absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi, artinya konsentrasi suatu
zat terlarut semakin tinggi maka absorbansi yang dihasilkan semakin tinggi juga,
begitu pula sebaliknya konsentrasi zat terlarut semakin rendah absorbansi yang
dihasilkan semakin rendah.
Pada Larutan Sampel ketiga dengan penambahan 0.6 g Na Edta dilakukan
pengukuran sebanyak tiga kali. Menurut Sinko (2011) alasan dilakukan
pengukuran sebanyak tiga kali yaitu agar bisa mendapatkan hasil yang lebih pasti
atau sempurna pada suatu proses pengukuran.
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dengan
adanya Na EDTA sebagai zat pengompleks dalam Paracetamol sangat
berpengaruh yaitu dapat meningkatkan kelarutan dari Paracetamol. Dan nilai
serapan larutan (absorbansi) berbanding lurus dengan konsentrasinya.
Kemungkinan kesalahan yang dilakukan yaitu kesalahan pada penggunaan
alat misalnya kurangnya tingkat ketelitian pada neraca analitik. Kesalahan
pengamat yaitu akibat kesalahan membaca angka pada skala suatu alat ukur
karena kedudukan mata pengamat tidak tepat dan kurangnya ketelitian pada saat
melakukan percobaan, kesalahan teoritis yaitu akibat penyederhanaan sistem

20
model atau aproksimasi dalam persamaan yang menggambarkannya, kesalahasan
acak menghasilkan hamburan data disekitar nilai rata – rata kesalahan acak
dihasilkan dari ketidak mampuan pengamat untuk mengulangi pengukuran secara
presisi (ketelitian).

21
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa dengan adanya tambahan zat
pengompleks (Na Edta) pada paracetamol akan meningkatkan kelarutan dari obat.
Setelah diamati nilai absorbansinya diadapatkan nilai absobsansi dari sampel
paracetamol yaitu 0,211 A (10 ppm), 0,278 A (20 ppm), 0,315 A (30 ppm),
paracetamol + 0,2 Na Edta yaitu 0,413 A, paracetamol + 0,4 Na Edta yaitu 0,487
A dan paracetamol + 0,6 Na Edta yaitu 0,526 A. Dari hasil pengamatan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa nilai absorbansi berbanding lurus dengan
konsentrasinya.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Asisten
Asisten lebih memperhatikan praktikan pada saat melakukan praktikum,
terutama saat melakukan setiap perlakuan pada suatu percobaan saat praktikum
berlangsung.
5.2.2 Saran Laboratorium
Lebih melengkapi sarana dan pra sarana dalam laboratorium untuk
memperlancar jalannya praktikum.
5.2.3 Saran Jurusan
Sarana dan prasarananya sebaiknya ditingkatkan kembali agar kualitas kerja
lebih baik lagi.
5.2.4 Saran Praktikan
Diharapkan agar praktikan lebih meningktkan kinerjanya sehingga dapat
memahami serta melakukan dengan baik praktikum yang akan dilaksanakan

22
DAFTAR PUSTAKA

Atwood, D. and Flourence, A.T . 2008. Physical Pharmacy. Pharmaceutical Press

Beran, J.A. 1996. Chemistry in The Laboratory. John Willey & Sons.

Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. EGC. Jakarta.

Day, R.A. & Underwood, A.L. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi 6. Erlangga.
Jakarta.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia : Jakarta

Gandjar, I. G. & Rohman, A., 2012, Analisis Obat secara Spektroskopi dan
Kromatografi, 315-317. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Martin, A., Swarbick, J., dan Cammarata, A., 1990, Farmasi Fisik Dasar dan
Kimia Fisik diterjemahkan oleh Yoshita, Edisi Ketiga, Hal 141-142,
Universitas Indonesia Press, Jakarta

Martin,A. 2002. Farmasi Fisik Edisi 5. Universitas Indonesia Press : Jakarta

Marzuki, Asnah. 2012. Kimia Analisis Farmasi. Makassar : Dua Satu Press

Mirawati. 2013. Penentuan Praktikum Farmasi Fisika. Makassar, Jurusan


Farmasi.

Rowe, R.C. et Al. (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed, The
Pharmaceutical Press, London

Sinko, P. J., 2011, Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika edisi 5,
diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi Institut Tekhnologi
Bandung, 706, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Svehla, G. 1990. Vogel: Buku teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan
Semimikro. Jakarta: Kalman Media Pustaka.

Voight, R. 1984, Buku Pelajaran Tekhnologi Sediaan Farmasi, diterjemahkan


oleh Soendani, N. S dan Mahtilda, B. N., Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Wunas, Yeanny dan Susanti. 2011. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif (revisi
kedua). Makassar : Laboratorium Kimia Farmasi Fakultas Farmasi
UNHAS.

23
24

Anda mungkin juga menyukai