PERCOBAAN III
FENOMENA DISTRIBUSI
I. Tujuan
Mengetahui dan mempraktekkan cara menentukan koefisien partisi suatu
zat dalam pelarut yang tidak saling bercampur
Nogrady, T.,
1992,”Kimia
Medisinal
Pendekatan Secara
Biokimia”, Edisi
kedua,
Terjemahan Rasli
Rasyid dan Amir
Musadad, ITB,
Bandung
Sinila,Santi.2016. Farmasi Fisik. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan.
Sinko, Patrick J., 2002, “Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika”,
Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
VIII. Reaksi
IX. Perhitungan
A. Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat
Volume NaOH yang tersisa didalam buret = 20 ml
Konsentrasi asam oksalat = 0.05 (10 ml)
M 1 . V 1=M 2 .V 2
M 1 . 20 mL=0.05 .10 mL
M1 = 0,025 M
B. Asam Borat
1. Dengan Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 0,4 mL V2 = 2 mL
M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 H 3 B O3 . V 2 H 3 B O3
M 2=0,005
gr 1000
0,005= ×
62 2
gram=0,0062 gram
0,062
¿ ×100 %
0.1
¿ 0.62 %
2. Tanpa Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 0,5 mL V2 = 5 mL
M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 H 3 B O 3 . V 2 H 3 B O 3
M 2=0,0025
gram=0,000775 gram
c) Persentase Asam Borat
Massa Asam Benzoat
¿ × 100 %
Volume Titran
0,000775
¿ ×100 %
0.1
¿ 0,775 %
3. Koefisien Partisi
Kp=¿
= 2.20
C. Asam Benzoat
1. Dengan Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 0,3 mL V2 = 4 mL
M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 C7 H 6 O2 . V 2 C 7 H 6 O2
M 2=0,0018
gr 1000
0,0018= ×
122 4
gram=0,00087 gram
c) Persentase Asam Borat
Berat asambenzoat
¿ ×100 %
berat asam benzoat yang di timbang
0,00087
¿ ×100 %
0.1
¿ 0,87 %
2. Tanpa Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 1 mL V2 = 10 mL
M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 C7 H 6 O2 . V 2 C 7 H 6 O2
M 2=0,0025
gr 1000
0,0025= ×
122 10
gram=0,0030 gram
c) Persentase Asam Borat
Berat asambenzoat
¿ ×100 %
berat asam benzoat yang di timbang
0,0030
¿ ×100 %
0.1
¿3%
3. Koefisien Partisi
Kp=¿
= 2,06
X. Pembahasan
Pada percobaan ini berjudul “Fenomena Distribusi” bertujuan
agar mahasiswa mengetahui dan mempraktekkan cara menentukan
koefisien partisi suatu zat dalam pelarut yang tidak saling bercampur.
Koefisien partisi adalah kelarutan relatif antara dua fasa yang tidak
tercampur, ditetapkan dengan melarutkan zat dalam larutan yang
mengandung air dan dikocok dengan pelarut organic. Perbandingan obat
dalam dua fase disebut juga koefisien partisi.
Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena
dapat digunakan untuk memperkirakan proses absorpsi, ditribusi, dan
eliminasi obat di dalam tubuh. Pengetahuan tentang nilai P dapat
digunakan untuk memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat,
atau untuk mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. Bagian
kimia medisinal, yaitu ilmu pengetahuan tentang rancangan obat yang
rasional, melibatkan hubungan struktur-aktivitas, yang menggunakan
koefisien partisi dalam persamaan matematika yang mencoba
menghubungkan anatar aktivitas biologis suatu obat dengan karakteristik
fisika dan kimianya. Kecepatan absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh
koefisien partisinya. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus
yang sebagian besar terdiri dari lipida. Dengan demikian obat-obat yang
mudah larut dalam lipida akan dengan melaluinya. Sebaliknya obat-obat
sukar larut dalam lipida akan sukar diabsorpsi. Obat-obat yang mudah
larut dalam lipida tersebut dengan sendirinya memiliki koefisien partisi
yang besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan
memiliki koefisien partisi lipida air kecil. (Cairns, 2009).
Pada praktikum ini diperlukan alat dan bahan untuk dapat
melakukan sebuah percobaan. Alat yang digunakan yaitu Batang
pengaduk,Baskom, Botol semprot, Buret 25,0 mL, Corong pisah,
Erlenmeyer 250 mL, Gelas kimia 250 mL; 500 mL, Gelas ukur 50 mL,
Pipet tetes, Sendok tanduk, Statif dan klem dan Timbangan analitik.
Bahan yang digunakan yaitu Aquades, Asam borat, Asam benzoate,
Aluminium foil, Indikator fenolftalein, Minyak kelapa, NaOH 0,5694 N,
dan Kertas timbang.
Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam percobaan ini.
Pertama, disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang 100
mg asam borat di atas timbangan analitik, lalu dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 mL, kemudian dilarutkan dengan aquades secukupnya
hingga tidak ada partikel sampel yang tertinggal pada dasar (melarut
seluruhnya), kemudian dicukupkan volume larutan hingga 100 mL
dengan aquades. Diambil 25 mL dari larutan tersebut, dimasukkan dalam
corong pisah, dan ditambahkan dengan 25 mL minyak kelapa ke dalam
corong pisah tersebut dan dikocok selama beberapa menit campuran di
dalam corong pisah tadi, dan didiamkan selama 10-15 menit hingga
kedua cairan memisah satu sama lain. Setelah itu, dibuka tutup corong
pisah, lalu ditampung cairan, yang berada sebelah bawah corong pisah,
dalam sebuah erlenmeyer 250 mL, cairan lainnya dibuang. Ditambahkan
indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes ke dalam erlenmeyer berisi cairan/
asam borat yang dikeluarkan dari corong pisah, kemudian dititrasi larutan
dengan titran larutan baku NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna
indikator dari bening menjadi merah muda. Diambil 25 mL larutan asam
borat murni di atas, kemudian dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1 N,
serta ditambahkan pula dengan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes.
Titrasi dihentikan setelah tercapai titik akhir titrasi, ditandai dengan
perubahan warna indikator dari bening menjadi merah muda.
Selanjutnya, dicatat volume titrasi yang digunakan. Diulang prosedur di
atas untuk sampel asan benzoat sebanyak 100 mg.
Pada percobaan ini menggunakan sampel Asam Borat dan Asam
Benzoat karena kedua sampel tersebut dapat larut dalam pelarut polar
maupun non polar. Metode yang digunakan adalah titrasi. Titrasi
merupakan salah satu teknik analisis kimia kuantitatif yang dipergunakan
untuk menentukan konsentrasi suatu larutan tertentu, dimana
penentuannya menggunakan suatu larutan standar yang sudah diketahui
konsentrasinya secara tepat. Sebelum melakukan prosedur kerja pada
percobaan ini, dilakukan standarisasi NaOH menggunakan Asam Oksalat
terlebih dahulu. Standarisasi ini bertujuan untuk mengetahui nilai
konsentrasi larutan NaOH menggunakan Larutan baku yang telah
diketahui nilai konsentrasinya yaitu asam oksalat. Berdasarkan teori,
Asam Borat larut dalam …….. dapat dilihat dari gugus asam borat yang
memiliki hydrogen lebih banyak daripada asam benzoate. Sedangkan
berdasarkan teori asam benzoate larut dalam …….dapat pula dilihat dari
gugus hydrogen asam benzoate.
Hasil pada praktikum kali ini didapatkan konsentrasi, kadar dan
persentase Asam Borat dengan minyak secara berturut-turut adalah …..
Konsentrasi , kadar, dan presentase Asam Borat tanpa minyak secara
berturut-turut adalah …… Dengan nilai Kp yaitu …. Menunjukan bahwa
Asam borat larut dalam ….. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada
bahwa seharusnya Asam Borat memiliki kecendrungan untuk larut dalam
pelarut polar atau air karena memiliki gugus hydrogen……. Hasil
berikutnya yaitu didapatkan konsentrasi,kadar, dan persentase Asam
Benzoat dengan minyak secara berturut-turut adalah….. Dan konsentrasi,
kadar , serta persentase Asam Benzoat tanpa minyak secara berturut-turut
adalah ….. Dengan nilai Kp yaitu … menunjukan bahwa Asam Benzoat
larut dalam ….. sesuai dengan teori bahwa Asam Benzoat larut dalam
lemak karena memiliki gugus …. Yang lebih sedikit sehingga
menyebabkan Asam Benzoat lebih cenderung larut dalam pelarut non
polar atau lemak.
Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan
porositas pelarut organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada
pada pelarut organik maupun solut (Gustian et all, 2013). Nilai koefisien
partisi n-oktanol air (Log P) dipengaruhi oleh substituen alkil yang
membentuk gugus ester pada rantai samping polimer (-COOR') semakin
panjang rantai alkil pada R maka nilai log P semakin besar yang berarti
pula nilai kelarutan dalam air akan semakin kecil. Hal ini juga dapat
dilihat pada nilai Log Sw (kelarutan dalam air), semakin panjang rantai
alkil pada-COOR' menyebabkan semakin kecil kelarutan senyawa
polimer di dalam air (Iswanto et all, 2004).
Besarnya senyawa yang bercampur atau larut dalam oktanol
tergantung pada koefisien partisi oktanol/air (O/A) dari senyawa tersebut.
Makin tinggi koefisien partisinya menunjukkan bahwa senyawa tersebut
semakin bersifat lipofil artinya semakin mudah terlarut dalam lemak.
Sebaliknya apabila koefisien O/A nya semakin rendah senyawa tersebut
lebih mudah larut dalam fase air atau disebut bersifat hidrofil. Dengan
menghitung besarnya cacahan radioaktivitas dalam fase oktanol
dibanding dengan radioaktivitas dalam fase air dapat diketahui koefisien
partisinya, sedangkan lipofilisitasnya dinyatakan dengan P (oct/air) yang
sama dengan logaritma dari koefisien partisi O/A (Oekar dkk, 2010).
Koefisien partisi lipid - air dari suatu obat, yaitu rasio dari kelarutan di
dalam suatu pelarut organik terhadap kelarutan obat tersebut di dalam air.
Umumnya, semakin besar koefisien partisi dan kelarutan obat dalam
lipid, makin mudah suatu obat menembus membran sel (Staf Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2009).
XI. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ansel,H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Cairns, Donald.2009.Intisari Kimia Farmasi, Ed.2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Gustian, A. R. P., M. Alauhdin dan W. Pratjojo, 2013, "Sintesis dan
Karakterisasi Membran Kitosan-PEG (Polietilen Glikol) Sebagai
Pengontrol Sistem Pelepasan Obat". Indo. J. Chem. Sci. 2 (3)
Iswanto, P., I. Tahir, dan H. D. Pranowo, 2004, "Kajian Hubungan
Kuantitatif Struktur Sifat Terhadap Suhu Transisi Gelas
Turunan Poli(Asam Akrilat)". Prosiding Pertemuan Ilmiah
Pengetahuan dan Teknologi Bahan, Serpong
Kartika. W. I, 2013, "Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam p
Metoksisinamat) Pada Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi
Sediaan Topikal", Universitas Airlangga, Surabaya
Muchtaridi, Dkk. 2018. Kimia Medisinal: Dasar-Dasar Dalam
Perancangan Obat Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Nogrady, T., 1992,"Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia",
Edisi kedua, Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB,
Bandung
Oekar, N. K., E. M. Widyasari dan E. Isabela, 2010, "Karakteristik
Fisiko-Kimia Radiofarmaka Tc-Human Serum Albumin (HSA)-
Nanosfer", Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri,
Batan, Bandung Staf Pengajar Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2009, "Kumupulan Kuliah Farmakologi", Edisi kedua, EGC.
Jakarta
Nogrady, T.,
1992,”Kimia
Medisinal
Pendekatan Secara
Biokimia”, Edisi
kedua,
Terjemahan Rasli
Rasyid dan Amir
Musadad, ITB,
Bandung
Sinila,Santi.2016. Farmasi Fisik. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan.
Sinko, Patrick J., 2002, “Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika”,
Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.