Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

PERCOBAAN III
FENOMENA DISTRIBUSI

NAMA : SURYA SEPTIA ULAN


NIM : 1913026019
KELOMPOK : 4 (EMPAT)
KELAS :A
ASISTEN : NOVINDA TAMI SUKOWATI S.FARM

PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
PERCOBAAN III
FENOMENA DISTRIBUSI

I. Tujuan
Mengetahui dan mempraktekkan cara menentukan koefisien partisi suatu
zat dalam pelarut yang tidak saling bercampur

II. Tugas Pendahuluan


1. Jelaskan pengertian dari koefisien partisi!
Jawab :
Koefisien partisi adalah kelarutan relatif antara dua fasa yang
tidak tercampur, ditetapkan dengan melarutkan zat dalam larutan yang
mengandung air dan dikocok dengan pelarut organic. Perbandingan
obat dalam dua fase disebut juga koefisien partisi. Jika koefisien partisi
>0,001, hal ini menunjukan zat memiliki kelarutan dalam lipid yang
besar.
(Muchtaridi Dkk, 2018)
2. Jelaskan peranan koefisien partisi dalam formulasi sediaan farmasi!
Jawab :
Koefisien partisi dapat memberikan informasi untuk
memperkirakan proses absorbsi, distribusi dan eliminasi obat didalam
tubuh. pengetahuan tentang nilai koefisien partisi dapat digunakan
untuk memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat atau untuk
mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. koefisien partisi juga
digunakan untuk menghubungkan antara aktivitas biologis suatu obat
dengan karakteristik fisika dan kimianya.
Kecepatan absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh koefisien
partisinya. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus yang
sebagian besar terdiri dari lipida. Dengan demikian obat-obat yang
mudah larut dalam lipida akan dengan melaluinya. Sebaliknya obat-
obat sukar larut dalam lipida akan sukar diabsorpsi. Obat-obat yang
mudah larut dalam lipida tersebut dengan sendirinya memiliki koefisien
partisi yang besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida
akan memiliki koefisien partisi lipida air kecil.
(Cairns, 2009)

III. Teori Umum


Koefisien partisi adalah distribusi kesetimbangan dari analit
antara fasa sampel dan fasa gas, dan kesetimbangan dari perbandingan
kadar zat dalam dua fase. Koefisien partisi minyak-air adalah suatu
petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobikdari molekul obat. Lewatnya obat
melalui membran lemak dan interaksi dengan makromolekul pada reseptor
kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari
obat (Ansel,1989).
Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena dapat
digunakan untuk memperkirakan proses absorpsi, ditribusi, dan eliminasi
obat di dalam tubuh. Pengetahuan tentang nilai P dapat digunakan untuk
memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat, atau untuk
mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. Bagian kimia
medisinal, yaitu ilmu pengetahuan tentang rancangan obat yang rasional,
melibatkan hubungan struktur-aktivitas, yang menggunakan koefisien
partisi dalam persamaan matematika yang mencoba menghubungkan
anatar aktivitas biologis suatu obat dengan karakteristik fisika dan
kimianya (Cairns, 2009).
Pada kenyataannya, hubungan sederhana di atas berlaku hanya
jika zat terlarutnya tidak terion pada pH pengukuran. Jika zat terlarut
merupakan asam lemah atau basa lemah (dan terdapat obat dalam jumlah
yang besar), proses ionisasi untuk membentuk garam akan sangat
memengaruhi profil kelarutan obat. Garam yang terion penuh akan jauh
lebih mudah terlarut di dalam air dibandingkan dengan asam atau basa
yang tidak terion, sehingga perbandingan di atas akan bervariasi
bergantung pada pH pengukuran (Cairns, 2009).
Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan
porositas pelarut organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada
pada pelarut organik maupun solut. Nilai koefisien partisi n-oktanol air
(Log P) dipengaruhi oleh substituen alkil yang membentuk gugus ester
pada rantai samping polimer (-COOR') semakin panjang rantai alkil pada
R maka nilai log P semakin besar yang berarti pula nilai kelarutan dalam
air akan semakin kecil. Hal ini juga dapat dilihat pada nilai Log Sw
(kelarutan dalam air), semakin panjang rantai alkil pada-COOR'
menyebabkan semakin kecil kelarutan senyawa polimer di dalam air
(Iswanto et all, 2004).
Koefisien partisi dipengaruhi oleh keadaan terion dan tidak
terionnya solute, dimana keadaan terion lebih terlarut dalam fase polar dan
keadaan tidak terion lebih terlarut dalam fase nonpolar. Diketahui bahwa
membran kulit yang berupa lipoprotein terdiri dari fase polar dan nonpolar.
Keadaan disosiasi solute tersebut dipengaruhi oleh pH (keasaman) sediaan
obar dan tempat berpenetrasi (Kartika, 2013).
Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
distribusi obat dalam tubuh. Setelah obat sampai ke peredaran darah, obat
harus menembus sejumlah sel untuk mencapai reseptor. Dimana koefisien
partisi juga menentukan jaringan mana yang dapat dicapai oleh suatu
senyawa. Senyawa yang sangat mudah larut dalam air (hidrofilik) tidak
akan sanggup melewati membran lipid untuk mencapai organ yang kaya
akan lipid, misalnya otak (Nogrady. 1992).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam
larutan, yaitu:
1. Temperatur
Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan
suhu 10oC.
2. Kekuatan Ion
Semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin
kecil.
3. Konstanta Dielektrik
Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik
diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh
kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan
berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut adalah positif dan
untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya negatif.
4. Katalisis
Katalisis dapat menurunkan laju - laju distribusi (Katalis negatif).
Katalis dapat juga menurunkan energi aktivitas dengan mengubah
mekanisme reaksi sehingga kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik
Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa.
Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi
ion hidrogen atau hidroksi.
6. Cahaya Energi
Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan
untuk terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan
energi yang cukup akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul –
molekul.
(Sinko,2002).
IV. Referensi
Ansel,H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Cairns, Donald.2009.Intisari Kimia Farmasi, Ed.2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Muchtaridi, Dkk. 2018. Kimia Medisinal: Dasar-Dasar Dalam
Perancangan Obat Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group.
Iswanto, P., I. Tahir, dan H. D. Pranowo, 2004, "Kajian Hubungan
Kuantitatif Struktur Sifat Terhadap Suhu Transisi Gelas Turunan
Poli(Asam Akrilat)". Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengetahuan
dan Teknologi Bahan, Serpong
Kartika. W. I, 2013, "Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam p
Metoksisinamat) Pada Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi
Sediaan Topikal", Universitas Airlangga, Surabaya
Nogrady, T., 1992,"Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia", Edisi
kedua, Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB,
Bandung
Sinila,Santi.2016. Farmasi Fisik. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan.
Sinko, Patrick J., 2002, “Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika”,
Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

V. Alat dan Bahan


1. Alat
 Batang pengaduk
 Baskom
 Botol semprot
 Buret 25,0 mL
 Corong pisah
 Erlenmeyer 250 mL
 Gelas kimia 250 mL; 500 mL
 Gelas ukur 50 mL
 Pipet tetes
 Sendok tanduk
 Statif dan klem
 Timbangan analitik
2. Bahan
 Aquades
 Asam borat
 Asam benzoat
 Aluminium foil
 Indikator fenolftalein
 Minyak kelapa
 NaOH 0,5694 N
 Kertas timbang
VI. Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditimbang 100 mg asam borat di atas timbangan analitik, lalu
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL
3. Dilarutkan dengan aquades secukupnya hingga tidak ada partikel
sampel yang tertinggal pada dasar (melarut seluruhnya), kemudian
dicukupkan volume larutan hingga 100 mL dengan aquades
4. Diambil 25 mL dari larutan tersebut, dimasukkan dalam corong pisah,
dan ditambahkan dengan 25 mL minyak kelapa ke dalam corong pisah
tersebut
5. Dikocok selama beberapa menit campuran di dalam corong pisah tadi,
dan didiamkan selama 10-15 menit hingga kedua cairan memisah satu
sama lain
6. Dibuka tutup corong pisah, lalu ditampung cairan, yang berada sebelah
bawah corong pisah, dalam sebuah erlenmeyer 250 mL, cairan lainnya
dibuang
7. Ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes ke dalam
erlenmeyer berisi cairan/ asam borat yang dikeluarkan dari corong pisah
8. Dititrasi larutan dengan titran larutan baku NaOH 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna indikator dari bening menjadi merah muda
9. Diambil 25 mL larutan no. 2 di atas, kemudian dititrasi dengan larutan
baku NaOH 0,1 N, serta ditambahkan pula dengan indikator fenolftalein
sebanyak 3 tetes
10. Titrasi dihentikan setelah tercapai titik akhir titrasi, ditandai dengan
perubahan warna indikator dari bening menjadi merah muda
11. Dicatat volume titrasi yang digunakan
12. Diulang prosedur di atas untuk sampel asan benzoat sebanyak 100 mg
VII. Hasil Pengamatan
No Asam Borat (ml) Asam Benzoat (ml)

Dengan Tanpa Dengan Tanpa


Minyak Minyak Minyak Minyak
1 0,4 mL 0,5 mL 0,3 mL 2 mL
2 2 mL 5 mL 4 mL 10 mL

VIII. Reaksi
a) Asam Borat dan NaOH

b) Asam Benzoat dan NaOH

c) Indikator fenolftalein dan NaOH


IX. Perhitungan
A. Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat
Volume NaOH yang tersisa didalam buret = 20 ml
Konsentrasi asam oksalat = 0.05 (10 ml)
𝑀1 . 𝑉1 = 𝑀2 . 𝑉2
𝑀1 . 20 𝑚𝐿 = 0.05 . 10 𝑚𝐿
M1 = 0,025 M
B. Asam Borat
1. Dengan Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 0,4 mL V2 = 2 mL
𝑀1 𝑁𝑎𝑂𝐻 . 𝑉1 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 𝑀2 𝐻3 𝐵𝑂3 . 𝑉2 𝐻3 𝐵𝑂3
0,025 × 0,4 𝑚𝑙 = 𝑀2 × 2 𝑚𝐿
𝑀2 = 0,005
b) Kadar Asam Borat
𝑔𝑟 1000
𝑀= ×
𝑚𝑟 𝑣

𝑔𝑟 1000
0,005 = ×
62 2

𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,0062 𝑔𝑟𝑎𝑚

c) Persentase Asam Borat


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑏𝑜𝑟𝑎𝑡
= × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑏𝑜𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔

0,062
= × 100 %
0.1

= 0.62 %

2. Tanpa Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 0,5 mL V2 = 5 mL
𝑀1 𝑁𝑎𝑂𝐻 . 𝑉1 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 𝑀2 𝐻3 𝐵𝑂3 . 𝑉2 𝐻3 𝐵𝑂3
0,025 × 0,5 𝑚𝑙 = 𝑀2 × 5 𝑚𝐿
𝑀2 = 0,0025
b) Kadar Asam Borat
𝑔𝑟 1000
𝑀= ×
𝑚𝑟 𝑣

𝑔𝑟 1000
0,0025 = ×
62 5

𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,000775 𝑔𝑟𝑎𝑚


c) Persentase Asam Borat
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐴𝑠𝑎𝑚 𝐵𝑒𝑛𝑧𝑜𝑎𝑡
= × 100%
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑇𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛

0,000775
= × 100 %
0.1

= 0,775 %

3. Koefisien Partisi
𝐾𝑝 = (log % 𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖 − log % 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘) − log % 𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖

= (log 0,77 % − log 0,62 %) − log 0,77 %

= 2.20

C. Asam Benzoat
1. Dengan Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 0,3 mL V2 = 4 mL
𝑀1 𝑁𝑎𝑂𝐻 . 𝑉1 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 𝑀2 𝐶7 𝐻6 𝑂2 . 𝑉2 𝐶7 𝐻6 𝑂2
0,025 × 0,3 𝑚𝑙 = 𝑀2 × 4 𝑚𝐿
𝑀2 = 0,0018
b) Kadar Asam Borat
𝑔𝑟 1000
𝑀= ×
𝑚𝑟 𝑣

𝑔𝑟 1000
0,0018 = ×
122 4
𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,00087 𝑔𝑟𝑎𝑚
c) Persentase Asam Borat
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑛𝑧𝑜𝑎𝑡
= × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑛𝑧𝑜𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔

0,00087
= × 100 %
0.1

= 0,87 %

2. Tanpa Minyak
a) Konsentrasi Asam Borat
V1 = 2 mL V2 = 10 mL
𝑀1 𝑁𝑎𝑂𝐻 . 𝑉1 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 𝑀2 𝐶7 𝐻6 𝑂2 . 𝑉2 𝐶7 𝐻6 𝑂2
0,025 × 2 𝑚𝑙 = 𝑀2 × 10 𝑚𝐿
𝑀2 = 0,0005
b) Kadar Asam Borat
𝑔𝑟 1000
𝑀= ×
𝑚𝑟 𝑣

𝑔𝑟 1000
0,0005 = ×
122 10

𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,0061 𝑔𝑟𝑎𝑚


c) Persentase Asam Borat
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑛𝑧𝑜𝑎𝑡
= × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑛𝑧𝑜𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔

0,0061
= × 100 %
0.1

= 6.1%

3. Koefisien Partisi
𝐾𝑝 = (log % 𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖 − log % 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘) − log % 𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖

= (log 6,1 % − log 0,87 %) − log 6.1 %

= 2,06
X. Pembahasan
Pada percobaan ini berjudul “Fenomena Distribusi” bertujuan
agar mahasiswa mengetahui dan mempraktekkan cara menentukan
koefisien partisi suatu zat dalam pelarut yang tidak saling bercampur.
Koefisien partisi adalah kelarutan relatif antara dua fasa yang tidak
tercampur, ditetapkan dengan melarutkan zat dalam larutan yang
mengandung air dan dikocok dengan pelarut organic. Perbandingan obat
dalam dua fase disebut juga koefisien partisi.
Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena dapat
digunakan untuk memperkirakan proses absorpsi, ditribusi, dan eliminasi
obat di dalam tubuh. Pengetahuan tentang nilai P dapat digunakan untuk
memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat, atau untuk
mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. Bagian kimia
medisinal, yaitu ilmu pengetahuan tentang rancangan obat yang rasional,
melibatkan hubungan struktur-aktivitas, yang menggunakan koefisien
partisi dalam persamaan matematika yang mencoba menghubungkan
anatar aktivitas biologis suatu obat dengan karakteristik fisika dan
kimianya. Kecepatan absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh koefisien
partisinya. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus yang sebagian
besar terdiri dari lipida. Dengan demikian obat-obat yang mudah larut
dalam lipida akan dengan melaluinya. Sebaliknya obat-obat sukar larut
dalam lipida akan sukar diabsorpsi. Obat-obat yang mudah larut dalam
lipida tersebut dengan sendirinya memiliki koefisien partisi yang besar,
sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan memiliki
koefisien partisi lipida air kecil. (Cairns, 2009).
Pada praktikum ini diperlukan alat dan bahan untuk dapat
melakukan sebuah percobaan. Alat yang digunakan yaitu Batang
pengaduk,Baskom, Botol semprot, Buret 25,0 mL, Corong pisah,
Erlenmeyer 250 mL, Gelas kimia 250 mL; 500 mL, Gelas ukur 50 mL,
Pipet tetes, Sendok tanduk, Statif dan klem dan Timbangan analitik. Bahan
yang digunakan yaitu Aquades, Asam borat, Asam benzoate, Aluminium
foil, Indikator fenolftalein, Minyak kelapa, NaOH 0,5694 N, dan Kertas
timbang.
Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam percobaan ini.
Pertama, disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang 100
mg asam borat di atas timbangan analitik, lalu dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 mL, kemudian dilarutkan dengan aquades secukupnya
hingga tidak ada partikel sampel yang tertinggal pada dasar (melarut
seluruhnya), kemudian dicukupkan volume larutan hingga 100 mL dengan
aquades. Diambil 25 mL dari larutan tersebut, dimasukkan dalam corong
pisah, dan ditambahkan dengan 25 mL minyak kelapa ke dalam corong
pisah tersebut dan dikocok selama beberapa menit campuran di dalam
corong pisah tadi, dan didiamkan selama 10-15 menit hingga kedua cairan
memisah satu sama lain. Setelah itu, dibuka tutup corong pisah, lalu
ditampung cairan, yang berada sebelah bawah corong pisah, dalam sebuah
erlenmeyer 250 mL, cairan lainnya dibuang. Ditambahkan indikator
fenolftalein sebanyak 3 tetes ke dalam erlenmeyer berisi cairan/ asam borat
yang dikeluarkan dari corong pisah, kemudian dititrasi larutan dengan
titran larutan baku NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna indikator
dari bening menjadi merah muda. Diambil 25 mL larutan asam borat murni
di atas, kemudian dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1 N, serta
ditambahkan pula dengan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes. Titrasi
dihentikan setelah tercapai titik akhir titrasi, ditandai dengan perubahan
warna indikator dari bening menjadi merah muda. Selanjutnya, dicatat
volume titrasi yang digunakan. Diulang prosedur di atas untuk sampel asan
benzoat sebanyak 100 mg.
Pada percobaan ini menggunakan sampel Asam Borat dan Asam
Benzoat karena kedua sampel tersebut dapat larut dalam pelarut polar
maupun non polar. Metode yang digunakan adalah titrasi. Titrasi
merupakan salah satu teknik analisis kimia kuantitatif yang dipergunakan
untuk menentukan konsentrasi suatu larutan tertentu, dimana
penentuannya menggunakan suatu larutan standar yang sudah diketahui
konsentrasinya secara tepat. Sebelum melakukan prosedur kerja pada
percobaan ini, dilakukan standarisasi NaOH menggunakan Asam Oksalat
terlebih dahulu. Standarisasi ini bertujuan untuk mengetahui nilai
konsentrasi larutan NaOH menggunakan Larutan baku yang telah
diketahui nilai konsentrasinya yaitu asam oksalat. Berdasarkan teori,
Asam Borat cenderung larut dalam air atau pelarut polar dapat dilihat dari
gugus asam borat yang memiliki OH lebih banyak daripada asam
benzoate. Sedangkan berdasarkan teori asam benzoate cenderung larut
dalam lemak, dapat pula dilihat dari gugus OH asam benzoate.
Hasil pada praktikum kali ini didapatkan konsentrasi, kadar dan
persentase Asam Borat dengan minyak secara berturut-turut adalah 0,005
M ; 0,0062 gram ; 0,62%. Konsentrasi , kadar, dan presentase Asam Borat
tanpa minyak secara berturut-turut adalah 0,0025 M ; 0,000775 gram ;
0,775%. Dengan nilai Kp yaitu 2,20 ( Kp > 1) Menunjukan bahwa Asam
borat larut dalam Lemak atau pelarut non polar. Hal ini tidak sesuai dengan
teori yang ada bahwa seharusnya Asam Borat memiliki kecendrungan
untuk larut dalam pelarut polar atau air karena memiliki gugus OH lebih
banyak dari Asam Benzoat. Hasil berikutnya yaitu didapatkan konsentrasi,
kadar, dan persentase Asam Benzoat dengan minyak secara berturut-turut
adalah 0,0018 M ; 0,00087 gram ; 0,87 %. Dan konsentrasi, kadar , serta
persentase Asam Benzoat tanpa minyak secara berturut-turut adalah
0,0005 M ; 0,0061 gram ; 6,1%. Dengan nilai Kp yaitu 2,06 ( Kp > 1)
menunjukan bahwa Asam Benzoat larut dalam Lemak atau pelarut non
polar sesuai dengan teori bahwa Asam Benzoat larut dalam lemak karena
memiliki gugus OH Yang lebih sedikit sehingga menyebabkan Asam
Benzoat lebih cenderung larut dalam pelarut non polar atau lemak.
Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan
porositas pelarut organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada
pada pelarut organik maupun solut (Gustian et all, 2013). Nilai koefisien
partisi n-oktanol air (Log P) dipengaruhi oleh substituen alkil yang
membentuk gugus ester pada rantai samping polimer (-COOR') semakin
panjang rantai alkil pada R maka nilai log P semakin besar yang berarti
pula nilai kelarutan dalam air akan semakin kecil. Hal ini juga dapat dilihat
pada nilai Log Sw (kelarutan dalam air), semakin panjang rantai alkil pada-
COOR' menyebabkan semakin kecil kelarutan senyawa polimer di dalam
air (Iswanto et all, 2004).
Besarnya senyawa yang bercampur atau larut dalam oktanol
tergantung pada koefisien partisi oktanol/air (O/A) dari senyawa tersebut.
Makin tinggi koefisien partisinya menunjukkan bahwa senyawa tersebut
semakin bersifat lipofil artinya semakin mudah terlarut dalam lemak.
Sebaliknya apabila koefisien O/A nya semakin rendah senyawa tersebut
lebih mudah larut dalam fase air atau disebut bersifat hidrofil. Dengan
menghitung besarnya cacahan radioaktivitas dalam fase oktanol dibanding
dengan radioaktivitas dalam fase air dapat diketahui koefisien partisinya,
sedangkan lipofilisitasnya dinyatakan dengan P (oct/air) yang sama
dengan logaritma dari koefisien partisi O/A (Oekar dkk, 2010). Koefisien
partisi lipid - air dari suatu obat, yaitu rasio dari kelarutan di dalam suatu
pelarut organik terhadap kelarutan obat tersebut di dalam air. Umumnya,
semakin besar koefisien partisi dan kelarutan obat dalam lipid, makin
mudah suatu obat menembus membran sel (Staf Pengajar Departemen
Farmakologi FK UNSRI, 2009).
XI. Kesimpulan
1. Pada praktikum kali ini berjudul “Fenomena Distribusi” bertujuan
untuk agar mahasiswa mengetahui dan mempraktekkan cara
menentukan koefisien partisi suatu zat dalam pelarut yang tidak saling
bercampur. Sampel yang digunakan Asam Borat dan Asam Benzoat.
Asam borat dan Asam benzoat di larutan dengan 2 macam pelarut yaitu
dengan minyak kelapa dan larutan tanpa minyak kelapa dan memiliki
konsentarsi untuk asam borat dengan minyak kelapa adalah 0.005 M
dan tanpa minyak kelapa sebanyak 0.0025 sedangkan untuk asam
benzoat dengan minyak kelapa sebanyak 0,0018 dan untuk yang tidak
ditambahkan minyak kelapa sebanyak 0.005. Koefisien Partisi Asam
Borat adalah 2,20 dan Koefisien partisi Asam Benzoat.
2. Berdasarkan hasil Percobaan perhitungan koefisien partisi pada asam
borat dan asam benzoate tidak sesuai dengan teori. Hal ini bisa
disebabkan karena beberapa faktor, seperti ketidaktelitian dalam
penimbangan sampel, kesalahan pengamatan titik akhir, atau
dikarenakan kesalahan dalam melakukan percobaan sesuai prosedur.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel,H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Cairns, Donald.2009.Intisari Kimia Farmasi, Ed.2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Gustian, A. R. P., M. Alauhdin dan W. Pratjojo, 2013, "Sintesis dan
Karakterisasi Membran Kitosan-PEG (Polietilen Glikol) Sebagai
Pengontrol Sistem Pelepasan Obat". Indo. J. Chem. Sci. 2 (3)
Iswanto, P., I. Tahir, dan H. D. Pranowo, 2004, "Kajian Hubungan
Kuantitatif Struktur Sifat Terhadap Suhu Transisi Gelas Turunan
Poli(Asam Akrilat)". Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengetahuan
dan Teknologi Bahan, Serpong
Kartika. W. I, 2013, "Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam p
Metoksisinamat) Pada Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi
Sediaan Topikal", Universitas Airlangga, Surabaya
Muchtaridi, Dkk. 2018. Kimia Medisinal: Dasar-Dasar Dalam
Perancangan Obat Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group.
Nogrady, T., 1992,"Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia", Edisi
kedua, Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB,
Bandung
Oekar, N. K., E. M. Widyasari dan E. Isabela, 2010, "Karakteristik Fisiko-
Kimia Radiofarmaka Tc-Human Serum Albumin (HSA)-
Nanosfer", Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri, Batan,
Bandung Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2009, "Kumupulan Kuliah Farmakologi", Edisi kedua, EGC.
Jakarta
Sinila,Santi.2016. Farmasi Fisik. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan.
Sinko, Patrick J., 2002, “Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika”,
Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
LEMBAR PENGESAHAN

Samarinda, 6 November 2021


Asisten Praktikum, Praktikan,

Novinda Tami Sukowati S.Farm Surya Septia Ulan


1913026019

Anda mungkin juga menyukai