Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

RESEPTOR ASETILKOLIN DI USUS

KELOMPOK 6
Awwalu Adella Putri 201810330311090 2018
Bryan Minerva Abdillah 201810330311088 2018
Nguamay Prima Izzata 201810330311122 2018
Rizky Akbar 201810330311126 2018
Rizal Deva Arvianto 201810330311028 2018
Akbari Agung Nusantara 201810330311030 2018
Anggie Dewi Pitaloka 201810330311009 2018
Fanny Nurul Fathia 201810330311026 2018
Mazida Maghfira Putri 201810330311072 2018
Rifqi Misbahuddin Nur 201810330311063 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada penguasa seluruh alam semesta dan
isinya Allah SWT, yang telah memberikan nikmat, karunia dan hidayah-Nya
kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah laporan praktikum
farmakologi dengan baik.

Makalah ini disusun untuk membantu pengembangan pemahaman pembaca


terhadap mulai kerja dan respon pada obat Diazepam yang diberikan secara
intraperitonial, dan juga untuk menyelesaikan tugas praktikum farmakologi.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dr. Fathiyah Safitri, M.Kes
selaku dosen pembimbing praktikum farmakologi Universitas Muhammadiyah
Malang, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat
kami harapkan dari semua pihak

Malang, 17 Desember 2014

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .........................................................................................................


Daftar Isi .................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan ..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan .........................................................................................................2
1.4 Manfaat........................................................................................................3
Bab II Pembahasan..................................................................................................3
2.1 Landasan Teori............................................................................................3
Bab III Pembahasan................................................................................................9
3.1 Alat...............................................................................................................9
3.2 Bahan...........................................................................................................9
3.3 Prosedur Kerja.............................................................................................9
3.4 Hasi Penelitian……………………………………………………………11

Bab IV Penutup.....................................................................................................15
4.1 Kesimpulan................................................................................................15
4.2 Saran..........................................................................................................15
Daftar Pustaka........................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Pada prinsipnya semua bagian dari fraktus gastrointestinal dapat
digunakan untuk percobaan organ terpisah (esofagus, gaster, ileum, kolon, dan
bahkan rektum).
Ada 2 macam metoda organ terpisah, yaitu yang disertai saraf dan tidak
disertai saraf. Dengan metoda ini dapat diamati respon organ terhadap
pemberian obat.
Respon obat terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif
sehingga dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor.
Pada praktikum ini digunakan beberapa konsentrasi obat untuk melihat
efeknya terhadap organ terpisah (usus).
Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter yang digunakan oleh saraf.
Asetilkolin (Ach) adalah neurotransmitter yang digunakan oleh serat
preganglion simpatis dan parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai
neurotransmitter serat pascaganglion parasimpatis. Serat ini, bersama dengan
semua serat praganglion otonom, disebut juga sebagai serat kolinergik.
Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai
neurotransmitter pascaganglion. System parasimpatis sangat berperan dalam
system pencernaan. System ini mendominasi pada keadaan tenang dan santai.
System parasimpatis merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat dan cerna
sekaligus memperlambat aktivitas – aktivitas yang ditingkatkan oleh system
simpatis. Sebagai contoh, efek stimulasi parasimpatis pada system pencernaan
adalah sebagai berikut :
• Meningkatkan motilitas organ pencernaan
• Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran
cerna)
• Stimulasi sekresi pencernaan
• Stimulasi sekresi pancreas eksokrin (untuk pencernaan)
• Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim
1.2. Tujuan Praktikum
1. Memahami prinsip-prinsip percobaan farmakologi dengan menggunakan
sediaan jaringan usus terpisah
2. Memahami efek farmakologis obat agonis dan antagonis pada jaringan usus
terpisah
3. Menghitung afinitas dan selektifitas obat terhadap reseptor pada sediaan
usus terpisah
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Sediaan Usus Terpisah


Organ usus yang telah dipisahkan dari tubuh aslinya dan sudah melalui
proses kimia dan siap untuk dilakukan penelitian (KBBI).
2.2. Reseptor
Reseptor merupakan target aksi obat yang utama dan paling banyak.
Reseptor didefinisikan sebagai suatu makromolekul seluler yang secara spesifik
dan langsung berikatan dengan ligan (obat, hormone, neurotransmitter) untuk
memicu proses biokimia antara dan di dalam sel yang akhirnya menimbulkan efek.
Suatu senyawa/ligan dapat beraksi sebagai agonis dan antagonis. Jika aagonis
adalah suatu ligan yang jika berikatan dengan reseptor dapat menghasilkan efek,
antagonis dapat berikatan dengan reseptor, tetapi tidak menghasilkan efek. Dalam
hal ini, agonis dikatakan memiliki afinitas (kemampuan berikatan) dengan reseptor
dan efikasi (kemampuan menghasilkan efek). Sementara itu, antagonis memiliki
afinitas, tetapi tidak memiliki efikasi. Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau ligan
akan diikuti oleh respons biokimia atau fisiologi yang melibatkan molekul-molekul
“pembawa pesan” yang dinamakan second messengers.
Reseptor berfungsi mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan
spesifisitas yang tinggi dan meneruskan signal tersebut ke dalam sel melalui
beberapa cara yaitu :
1. Perubahan permeabilitas membrane
Adanya ikatan ligan dengan reseptor dapat menyebabkan membrane menjadi
lebih permeable dengan adanya pembukaan kanal tertentu sehingga ion-ion
tertentu dapat mengalir melintasi membrane.
2. Pembentukan second messenger
Ikatan obat dengan ligan akan memiku rangkaian peristiwa biokimia yang
menghasilkan berbagai molekul intrasel yang berperan dalma penghantaran
signal.
3. Mempengaruhi transkripsi gen
Ikatan ligan dengan reseptor dapat memengaruhi transkripsi gen, baik secara
langusng maupun tidak langsung sehingga dapat menentukan macam protein
yang disintesis yang memberi efek farmakologis tertentu
2.3. Tyrode
Komposisi dari larutan Tyrode sendiri adalah Untuk 12 liter Tyrode :
Larutan I : NaCl 96 gram, KCl 2,4 gram, CaCl2 2,4 gram, MgCl2 1,2 gram, 3 liter
aquades.
Larutan II : NaHCO3 12 gram, NaHPO4 0,6 gram, Aquades 3 liter
Larutan III : Glukosa 12 gram + aquades 6 liter
2.4. Methacholine
Agonis muskarinik dibedakan atas (1) asetilkolin dan esterkolin sintesis
yaitu metakolin, karbakol, dan betanekol, dan (2) alkaloid kolinergik. Ester kolin
lainnya , penambahan metil pada ACh menghasilkan metakolin yang afinitasnya
terhadap asetilkolinesterase jauh lebih rendah sehingga masa kerjanya lebih
panjang. Metakolin juga memperlihatkan selektivitas pada sistem kardiovaskular.
Saluran cerna. Perangsangan vagus menyebabkan aktivitas otot dan kelenjar
saluran cerna meningkat, Namun, karena perfusi ke dalam alat yang buruk dan
karena ACh segera dihidrolisis oleh kolenesterase plasma, maka efek di saluran
cerna ini tidak selalu tampak pada pemberian ACh eksogen. Efek perangsangan
saluran cerna lebih jelas oleh ester kolin lainnya dan oleh alkaloid muskarinik.
Berbeda dengan metakolin, karbakol, dan betanekol menimbulkan hal ini tanpa
mempengaruhi sistem kardiovaskular.
2.5. Atropin
Atropin menyebabkan blokade reversibel (dapat diatasi) efek
kolinomimetik di reseptor muskarinik; yaitu blokade oleh atropin dosis rendah
dapat diatasi oleh peningkatan konsentrasi asetilkolin atau agonis muskarinik
ekivalennya. Kerika berikatan dengan reseptor muskarinik, atropin mencegah efek-
efek seperti pengeluaran inotosol trifosfat (IP3) dan inhibisi adenilil sildase yang
disebabkan oleh agonis muskarinik.
Blokade reseptor msukarinik menimbulkan efek besar pada motilitas dan
sebagian dari fungsi sekresi usus. Namun bahkan blokade muskarinik total tidak
dapat menghilangkan secara total aktifitas dif sistem organ ini, karena hormon-
hormon lokal dan neuron non-kolinergik di susunan saraf enterik juga memodulasi
fungsi saluran cerna. Motilitas otot polos GIT dipengaruhi dari lambung hingga
kolon. Secara umum dinding visera melemas dan tonus dan gerakan mendorong
berkurang. Karena itu, waktu pengosongan lambung memanjang dan waktu transit
usus menjadi lebih lama.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Alat dan bahan


Alat :
1. Spuit 1cc
2. Wadah untuk obat
3. Organ bath
Bahan :
1. Metakolin
2. Atropin
3. Cairan Tyrod
4. Usus tikus

3.2. Prosedur Kerja


1. Menyiapkan penangas khusus untuk percobaan ini dan kymograph
2. Membunuh marmut, meletakkan dalam posisi terlentang dan membuka
abdomennya
3. Keluarkan ususnya lalu potong, dan angkat keluar
4. Masukkan usus dalam gelas beker berisi larutan tyrode 37 Cᵒ
5. Usus dibersihkan dengan memberi larutan tyrode dalam lumen usus
dipotong sepanjang 3-4 cm
6. Pasang usus pada organ bath berisi larutan tyrode
7. Diamkan usus pada tempatnya selama 5 menit
8. Menambahkan metakolin dengan konsentrasi 10-7 – 10-1 secara bertahap
dalam larutan tyrode
3.3 Tugas dan Diskusi
1. Prinsip praktikum sediaan organ terpisah (isolated organ)
1.1 Syarat viabilitas isolated organ
Usus halus marmut bagian ileum karena relatif lebih tahan terhadap trauma
dan kontraksinya lebih kuat daripada jejunum atau duodenum (6). Untuk
mendapatkan kontraksi, pada penelitian ini akan digunakan metakolin karena
metakolin mempunyai kekuatan yang sama dengan asetilolin terhadap reseptor
kolinergik, tidak cepat dihidrolisa oleh asetikholinesterase sehingga efeknya
bertahan lama dan tidak cepat kembali ke baseline
Marmut yang sebelumnya telah dipuasakan selama 10-12 jam dieksekusi
dengan cara dislokasi tulang leher kemudian adomennya dibuka dan caecumnya
diangkat ke depan maka ileum akan ditemukan tergabung pada bagian
belakangnya. Ileum dipotong 5 cm dari caecum sepanjang 2 cm kemudian
dimasukkan dalam cawan petri yang berisi larutan Kreb’s. Agar tidak rusak, dalam
menanganinya sebaiknya tidak menggunakan pinset tetapi jari. Sebelum
dimasukkan dalam organ bath mesentrerialnya dibersihkan dulu kemudian isi usus
dibersihkan dengan cara disemprot rongga ususnya dengan pipet berisi larutab
Kreb’s, setelah itu benang diikatkan pada kedua ujung ileum. Ileum dimasukkan ke
dalam organ bath dengan ujung bawah diikatkan pada tangkai penahan dan ujung
atas diikatkan dengan ujung fulcrum/tangkai pada kimograf dengan diberi beban
sebesar 1 gram. Setelah siap, suhu dalam organ bath diatur setinggi 37°C dan terus
diaerasi non stop memakai air pump. Preparat ileum diinkubasikan dahulu dalam
larutan Kreb’s selama 1-2 jam disertai pencucian dengan mengganti larutan kreb’s
tiap 10-15 menit agar preparat teradaptasi. Pada saat eksperimen dengan ekstrak
daun Physalis minima L volume larutan Kreb’s harus stabil sebesar 30 ml sehingga
tiap kali berkurang harus segera ditambah lagi agar volumenya tetap (6,8) (Citra,
Tirannita Nur. 2006).

2. Prinsipkontraksi usus sebagai organ otonomik


2.1 Persarafan otonomik usus
Pada prinsipnya semua bagian dari fraktus gastrointestinal dapat digunakan
untuk percobaan organ terpisah (esofagus, gaster, ileum, kolon, dan bahkan
rektum). Ada 2 macam metoda organ terpisah, yaitu yang disertai saraf dan tidak
disertai saraf. Dengan metoda ini dapat diamati respon organ terhadap pemberian
obat. Respon obat terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif
sehingga dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor. Pada
praktikum ini digunakan beberapa konsentrasi obat untuk melihat efeknya terhadap
organ terpisah (usus). Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter yang
digunakan oleh saraf. Asetilkolin (Ach) adalah neurotransmitter yang digunakan
oleh serat preganglion simpatis dan parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai
neurotransmitter serat pascaganglion parasimpatis. Serat ini, bersama dengan
semua serat praganglion otonom, disebut juga sebagai serat kolinergik. Ach juga
berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter
pascaganglion. System parasimpatis sangat berperan dalam system pencernaan.
System ini mendominasi pada keadaan tenang dan santai. System parasimpatis
merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat dan cerna sekaligus memperlambat
aktivitas – aktivitas yang ditingkatkan oleh system simpatis. Sebagai contoh, efek
stimulasi parasimpatis pada system pencernaan adalah sebagai berikut :
• Meningkatkan motilitas organ pencernaan
• Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna)
• Stimulasi sekresi pencernaan
• Stimulasi sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan)
• Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim
Jadi apabila diberi Atropin yang merupakan derivate campuran rasemik yang
berkhasiat anti-kolinergis kuat dan merupakan antagonis khusus dari efek muskarin
ACh.Efek nikotinnya diantagonis ringan sekali,. Zat ini digunakan sebagai
midriatikum kerja panjang yang juga melumpuhkan akomodasi, dan juga sebagai
spasmolitikum pada kejang-kejang disaluran lambung usus dan
urogenital. Sedangkan metakolin merupakan obat kolinergik (agonis kolinergik)
yang bekerja secara langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi
neurotransmitter dan menghasilkan efek perangsangan
2.2 Isolated Usus- masih ada efek kontraksi
Pengamatan dilakukan dengan meggunakan kimograf, kemudian usus
dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan tyrode dengan temperature 37
derajat celcius. Larutan tyrode merupakan larutan isotonis dengan cairan interstisial
dan digunakan dalam percobaan fisiologis dan kultur jaringan. Usus yang telah
diikat bagian ujungnya dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan tyrode
pada grafik terlihat adanya peningkatan amplitudo hal ini dikarenakan adanya
pemberian metacolin (Cholinoreseptor agonist) yang merupakan
parasimpatomimetik yang bekerja menyerupai kerja parasimpatis. Pada otot polos
longitudinal yang berada pada saluran pencernaan , pengaruh parasimpatis
menyebabkan peningkatan kontraksi usus. Peningkatan ini dapat dibuktikan dengan
peningkatan amplitudo pada pencatat usus atau pada kimograf, sehingga terlihat
tanjakan dan turunan yang lebih tajam. Kemudian dilakukan proses washing,
setelah dilakukan proses washing usus kembali diberi larutan tyrode dengan
temperature 37 derajat celcius, kemudian usus kembali diberi atropine
(Cholinoreseptor antagonist) yang merupakan penghambat efek parasimpatis
sehingga menyebabkan grafik pada kimograf panjang gelombangnya lebih rapat
daripada sebelumnya dengan amplitudo yang masih tinggi, hal ini dikarenakan
atropine sama-sama bekerja pada susunan saraf parasimpatis, hanya saja efeknya
yang membedakan keduanya.

3. Prinsip kerja obat pada reseptor


3.1 Teori okupansi
Teori Occupancy oleh Gaddum dan Clark menyatakan bahwa intensitas
efek farmakologis secara langsung proportional dengan jumlah reseptor yang
diduduki obat. Respon biologis hilang ketika komplek obat-reseptor mengalami
disosiasi. Bagaimanapun juga tidak semua agonis menghasilkan suatu respon
maksimal. Oleh karena itu, teori ini tidak menguraikan agonis parsial. Ariens dan
Stephenson memodifikasi teori Occupancy untuk menjelaskan agonis parsial
(istilah yang dibuat oleh Stephenson). Konsep asli Langley mengenai reseptor
menyatakan bahwa interaksi obat-reseptor terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama
terjadi kompleksasi obat dengan reseptor yang disebut afinitas. Kedua terjadi
inisiasi efek biologis yang oleh Ariens disebut dengan aktivitas intrinsic dan oleh
Stephenson disebut juga efikasi. Afinitas merupakan suatu ukuran kapasitas obat
untuk berikatan dengan reseptor dan ini tergantung pada komplemen obat dan
reseptor. Aktivitas intrinsik (α) merupakan ukuran kemampuan komplek obat-
reseptor untuk menimbulkan respon. Aktivitas intrinsik dari suatu obat dianggap
konstan. Jika suatu obat mempunyai α nilai sama dengan 1,0 maka obat tersebut
merupakan suatu agonis, jika kurang dari 1,0 maka obat tersebut merupakan parsial
agonis. Secara umum antagonis berikatan dengan kuat pada suatu reseptor (afinitas
besar) tetapi sama sekali tida k menimbulkan efek (tidak mempunyai efikasi).
Agonis yang poten mungkin mempunyai afinitas terhadap reseptor yang lebih kecil
dibandin agonis parsial atau antagonis. Teori Occupancy yang termodifikasi
digunakan untuk menjelaskan adanya agonis parsial atau antagonis, tetapi tidak bisa
menjelaskan mengapa dua obat bisa menduduki reseptor yang sama dan
mempunyai aksi yang berbeda di mana yang satu sebagai agonis dan yang lain
sebagai antagonsis (Rollando, 2017).
Menurut teori Occupancy, peningkatan dosis obat tidak akan berarti lagi jika Emax
telah tercapai, hal ini terjadi karena pada tahap ini semua reseptor telah diduduki
oleh obat (Setiawati dkk, 2007)

4. Prinsip kerja agonis


4.1 Bagaimana hasil praktikum

4.2 Mekanisme sinyal tranduksi metakolin sampai dengan timbul efek


kontraksi
Metakolin merupakan salah satu agonis muskarinik yang bekerja langsung
pada reseptor kolinergik dan akan merangsang pelepasan ACh. Diketahui bahwa
usus merupakan organ yang terdapat syaraf parasimpatik yang bekerja memacu
peristaltik usus sehingga pada pemberian metakolin akan meningkatkan ACh pada
post sinaps sehingga jumlah ACh yang berlebih pada celah sinaps akan diterima
oleh reseptor muskarinik yang ada di permukaan usus. Perlu diketahiu bahwa syaraf
parasimpatis memiliki ganglion yang dekat dengan organ bahkan menempel pada
organ yang diinervasinya. Sehingga peristaltik usus juga meningkat karena
kontraksi otot polos utamanya melalui aktivasi reseptor M3 dan beberapa spingter
mengalami relaksasi.

5. Prinsip kerja antagonis


5.1 Bagaimana hasil praktikum

5.2 mekanisme sinyal tranduksi atropin

6. membandingkan affinitas dan effikasi metakolin jika diberikan metakolin saja


dengan jika diberikan atropin dulu kemudian metakolin
6.1 prinsip kerja antagonis kompetitif dan non kompetitif
Jika terdapat agonis dalam konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi
antagonis kompetitif reversible secara progresif akan menghambat respons agonis,
konsentrai tinggi antagonis akan mencegah terjadinya resposn agonis secara
komplit. Sebaliknya, konsentrasi agonis yang cukup tinggi juga dapat melawan
efek antagonis secara komplit; artinya agonis tetap sama untuk setiap antagonis
dalam konsentrasi tertentu. Antagonis bersifat kompetitif, maka keberadaan
antagonis akan meningkatkan jumlah konsentrasi agonis yang dibutuhkan agar
dapat menimbulkan respons tertentu.
Antagonis dapat bekerja secara nonkompetitif melalui mekanisme yang berbeda,
yaitu dengan terikat ke tempat lain di protein reseptor tempat terikatnya agonis,
dengan demikian mencegah aktivasi reseptor tersebut tanpa perlu memblokade
agonis untuk terikat dengan reseptor. Walaupun berkerja secara nonkompetitif,
efek kerja obat bersifat reversible jika tidak berikatan secara kovalen(Katzung, ed.
10).
6.2 Bagaimana hasil praktikum
6.3 Tentukan kerja atropin sebagai antagonis kompetitif atau non kompetitif
berdasarkan afinitas dan effikasinya
6.4 Kesimpulan bagaimana pengaruh pemberian suatu antagonis kompetitif
non kompetitif terhadap affinitas dan effikasi agonis

DAFTAR PUSTAKA

Ikawati, Zullies. 2018. Farmakologi Molekuler : Target Aksi Obat dan Mekanisme
Molekulernya. Yogyakarta : UGM Press

Katzung, B. Bertram, dkk. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik. The McGraw-Hill
Companies

KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Lestari, Bayu. Dkk. 2017. BUKU AJAR FARMAKOLOGI DASAR. Malang : UB


Press.

Mycek, Mary. Dkk. 2011. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medik : Jakarta.

Rollando. 2017. Pengantar Kimia Medisinal. Malang : Seribu Bintang.

Setiawati, A., dan Nafrialdi, 2007, Obat Gagal Jantung, Farmakologi dan
Terapi, Edisi V, 34 dan 300, Departeman Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Sulistia dan Gunawan. 2007. Farmakologi Terapi. Jakarta (ID): UI Press.

Tarannita,Citra,Nur Permatasari,Sudiarto.2006.Efek Hambatan Ekstrak Daun


Ceplukan (Physalis minima L) Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Usus Halus
Terpisah Marmut Dengan Stimulasi Metakolin Eksogen. Vol 22, No 1, pp.18-22

Anda mungkin juga menyukai