OBAT-OBAT KOLINERGIK
Pembimbing :
Prof. Mulyarjo, dr., Sp.THT-KL(K)
Disusun oleh :
Esther Prasetya 20160420064
Fadhilla Ayu 20160420065
Farah Adibah 20160420066
Febe Alodia 20160420067
Feby Ramadhyana 20160420068
Feisal Tanjung 20160420069
Felicia Liemanjuntak 20160420070
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2016
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT FARMASI
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmatnya
kami dapat menyelesaikan referat ini dengan judul : Kolinergik dengan
baik dan tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini merupakan salah
satu tugas yang harus dilaksanakan sebagai bagian dari kepaniteraan
Ilmu Kesehatan Farmasi di RSAL Surabaya.
Tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan pada semua pihak yang telah
membantu penyusunan referat ini, terutama kepada Prof. Dr.
Mulyarjo, Sp.THT-KL(K) yang membimbing penyusunan referat ini.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kami mengharapkan saran dari semua pihak demi
kesempurnaannya. Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................2
2.1. Kolinergik (parasimpatomimetik).......................................................2
2.1.1. Pengertian Parasimpatomimetika..................................................2
2.1.2. Reseptor kolinergik........................................................................3
2.2. Obat-Obat Kolinergik.........................................................................4
2.2.1. Klasifikasi.......................................................................................5
BAB 3 KESIMPULAN...................................................................................9
BAB 4 DAFTAR PUSTAKA........................................................................10
3
BAB I PENDAHULUAN
Sistem saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula spinalis dan
merupakan Sistem saraf utama dari tubuh. Sistem saraf tepi, terletak diluar otak dan
medula spinalis, terdiri dari 2 bagian; otonom dan somatic. Setelah ditafsirkan oleh
SSP, Sistem saraf tepi menerima rangsangan dan memulai respons terhadap
rangsangan itu.
Dua peringkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah:
1. Neuron aferen, atau sensorik, dan
2. Neuron eferen, atau motorik
Neuron aferen mengirimkan impuls ke SSP, dimana impuls itu diinterprestasikan.
Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini
melalui medula spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam sistem saraf
otonom dibagi menjadi dua cabang; saraf simpatis dan parasimpatis, yang
keseluruhannya disebut sebagai sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis
Sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis bekerja pada organ-organ yang
sama tetapi menghasilkan respons yang berlawanan agar tercapainya homeostasis
(keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis dapat
berupa respons yang merangsang atau menekan.
1
Meningkatkan gula darah Meningkatkan peristaltic
2
dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan
darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan membuat bronchus
menyempit, sedangkan produksi dahak meningkat, kontraksi otot mata
dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraocular
yang menyebabkan sekresi air mata meningkat, kontraksi kandung kemih dan
ureter efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh darah dan
kontraksi dari otot rangka, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002)
Menurut sifat kerjanya, reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat
dibedakan menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik
berdasarkan afinitas terhadap zat yang bersifat sebagai sebagai
kolinomimetik.
3
2.1.2.1.1. Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin
Setelah asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik, akan timbul
sinyal dengan mekanisme yang berbeda. Misalnya, bila reseptor M 1 atau M2
diaktifkan, reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan
berinteraksi dengan protein G yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase
C. akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-94,40bifosfate (PIP2) yang
akan menyebabkan peningkatan kadar Ca ++ intrasel. Selanjutnya kation ini
akan berinteraksi atau memacu ion menghambat enzim-enzim, atau
menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi, atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi
reseptor subtype M2 pada otot-otot jantung memacu protein G yang
menghambat adenilsikase dan mempertinggi konduksi K + sehingga denyut
dan kontraksi otot jantung menurun.
4
2. Mengobati atoni saluran cerna atau vesika urinaria
3. Untuk mendiagnosis dan pengobatan miastenia gravis
Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk obatobat
blokade neuromuscular, antidepresan trisiklik, dan alkaloid beladona.
Obat obat kolinergik memperlihatkan efeknya dengan menunjukkan
salah satu dari 2 cara yaitu bekerja mirip dengan asetilkolin atau menghambat
destruksi asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase di tempat-tempat
reseptornya.
2.2.1. Klasifikasi
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu,
kerjanya mirip dengan asetilkolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat
dikelompokkan berdasarkan:
1. Spektrum efeknya, yaitu muskarinik atau nikotinik; dan
2. Mekanisme kerjanya, yaitu yang bekerja langsung pada
reseptor asetilkolin atau secara tidak langsung melalui
penghambatan asetilkolinesterase.
Beberapa obat, seperti neostigmin termasuk dalam lebih dari satu
subkelas.
5
Kerja tidak Penghambat Neostigmin Edrofonium Pridostigmin
langsung aktif Fisostigmin
kolinesterase Karbaril
(reversible)
Ekotiofat Parathion Isofluorofat
Penghambat (disopropil
kolinesterase fluorofosfat
(irreversible) DFP)
Malation Diklorvos
Kolinergik Metoklopramid
lain Sisaprid
6
reseptor di system saraf parasimpatik menimbulkan efek
parasimpatomimetik yang tidak diinginkan diluar organ target. Sebagai
contoh, penggunaan betanekol selain mengurangi retensi urin juga dapat
meningkatkan motilitas saluran cerna yang dapat menimbulkan mual,
kembung, muntah, kram usus, dan diare.
2.2.1.1.3. Sediaan-sediaan
1) Asetilkolin
Merupakan senyawa ammonium kuartener dengan aktifitas muskarinik
dan nikotinik serta tidak dapat menembus membran sel. Tidak dapat
digunakan untuk pengobatan karena kerjanya yang berlangsung sangat
cepat dan segera diinaktifkan oleh enzim asetilkolinesterase.
2) Metakolin
Masa kerja lebih lama resisten terhadap hidrolisis oleh kolinesterase non
spesifik, relative resisten terhadap hidrolisi oleh ACh.
Indikasi:
a)Pengobatan gawat darurat glaukoma sudut sempit untuk
menurunkan intraocular
b)Uji diagnostik untuk pasien yang diduga mengidap asma.
3) Karbakol
Merupakan ester asam karbamat yang juga merupakan substrat yang
tidak cocok untuk asetilkolinesterase. Karena potensinya yang cukup
tinggi dan kerjanya berlangsung lama, obat ini jarang digunakan untuk
terapi, kecuali untuk mata sebagai miotikum dan untuk menurunkan
tekanan dalam bola mata.
4) Betanekol
Mempunyai struktur kimia yang berkaitan dengan ACh. Bekerja secara
langsung memacu reseptor muskarinik sehingga meningkatkan tonus
dan motilitas usus, meningkatkan tonus otot detrusor kandung kemih,
serta merelaksasi trigonum dan sfingter sehingga berefek pengeluaran
urine. Indikasi: pengobatan atonia kandung kemih pasca persalinan atau
pascabedah.
5) Pilokarpin
7
Merupakan suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase, termasuk obat yang lemah disbanding dengan
asetilkolin dan turunannya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik dan
digunakan untuk oftalmologi, serta di indikasikan dalam terapi glaukoma.
8
Efek samping yang umum terjadi berupa efek parasimpatomimetik. Pada
mata berupa penglihatan kabur, penurunan akomodasi, miosis; pada kulit
akan keluar banyak keringat; pada saluran cerna akan terjadi peningkatan
salivasi, kembung, mual, muntah, kram usus dan diare.
Efek brokontriksi: nafas terasa pendek, mengi, atau terasa tegang di dada.
Vasodilatasi: penurunan denyut jantung dan pengurangan kontraksi otot
jantung.
Efek pada SSP: Irritabilitas, ansietas atau rasa takut (pada beberapa kasus),
dan terjadi kejang.
2.2.1.2.3. Sediaan-sediaan
1) Fisostigmin
Fisostigmin berupa amin tersier suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang
terdapat dalam tumbuh-tumbuhan). Obat ini adalah substrat untuk
asetilkolinesterase dan membentuk senyawa perantara enzim-substrat
yang relatif stabil yang berfungsi inaktivasi Ach secara reversibel.
2) Edrofonium
Edrofonium adalah suatu amin kuartener yang mempunyai kerja mirip
dengan neostigmin; dan bila dibandingkan dengan neostigmin, obat ini
lebih cepat diserap dan masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20
menit). Penggunaan klinisnya untuk miastenia gravis (kelemahan otot).
Kelebihan dosis dapat menimbulkan krisis kolinergik. Bila terjadi
keracunan berikan atropine sebagai antidotum.
BAB 3 KESIMPULAN
9
reseptor M2 didalam otot jantung dan otot polos, serta reseptor M 3 di dalam kelenjar
eksokrin dan otot polos. Reseptor muskarinik didalam jaringan-jaringan diatas lebih
peka terhadap obat muskarinik dan dimana obat-obat nikotinik akan memacu
reseptor nikotinik di ganglion otonom dan yang terdapat pada sambungan saraf otot.
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu, kerjanya
mirip dengan asetilkolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat dikelompokkan
berdasarkan spektrum efeknya muskarinik (seperti: Muskarin, Betanikol, Pilokarpin)
atau nikotinik (seperti: Nikotin dan Suksinilkolin); dan mekanisme kerjanya, yaitu
yang bekerja langsung pada reseptor asetilkolin (seperti: Muskarin, Betanikol,
Pilokarpin, Nikotin, Suksinilkolin) atau secara tidak langsung melalui penghambatan
asetilkolinesterase (seperti: Edrofonium, Fisostigmin, Karbaril, Parathion, Malation).
10