Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR

PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT PADA SARAF OTONOM

Jumat, 24 Maret 2017

Kelompok 2

Shift B / 13.00-16.00

Nama Npm Tugas


Kita Radisa 260110160051 Teori Dasar
Ai Masitoh 260110160052 Prosedur
Hammam H. Syahidan 260110160053 Pembahasan
Khoirina Nur S. 260110160054 Alat dan Bahan
Aulia Annisa Putri Heri 260110160055 Data Pengamatan
Fajra Dinda Crendhuty 260110160056 Teori Dasar
Dian Amalia Maharani 260110160057 Tujuan dan Prinsip
Irsarina Rahma W. 260110160058 Kesimpulan,Daftar Pustaka, Edit
Utari Yulia Alfi 260110160059 Pembahasan

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DASAR

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN 2017

Nilai TTD
I. Tujuan
1.1 Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf
otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
1.2 Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat
antikolinergik pada neUroefektor parasimpatikus.
II. Prinsip
2.1 Sistem saraf
Sifat sistem saraf otonom untuk melakukan pengendalian
terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis
dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan
demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral
(Guyton, 2006).

2.2 Zat kolinergik dan antikolinergik

Kolenergik atau parasimpatomimetika adalah sekelompok


zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi
Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan
neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya.
Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan
dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah
dan getah lambung (HCl) (Tan dan Rahardja, 2002).
Obat antikolinergik digunakan untuk menghambat (
menginhibisi ) efek asetilkolin di perifer ( Rubenstein dkk, 2005 ).
Respons utama dari antikolonergik adalah menurun motilitas
gastrointesrinal, mengurangi salivasi, dilatasi pupil mata (
midriasis ), dan meningkatkan denyut nadi ( Kee dan Hayes, 1996
)

2.3 Salivasi dan hipersalivasi


Peningkatan salivasi merupakan suatu kondisi yang tidak
biasa yang disebabkan oleh peningkatan keasaman pada mulut dan
atau peningkatan enzyme ptyalin, serta peningkatan stimulasi
kelenjar air ludah, sehingga meningkatkan sekresi air ludah yang
berlebih. Penyebab hipersalivasi belum diketahui secara pasti,
diduga terjadi karena adanya perubahan hormonal. Wanita hamil
yang mengalami hipersalivasi, biasanya juga mengalami gejala
mual-muntah. Kondisi ini merupakan suatu hal yang saling
berhubungan, tidak hanya peningkatan salivasi yang intensif
menyebabkan mual-muntah, tetapi juga keinginan ibu dalam
menghindari mual-muntah dapat menyebabkan ibu hamil menelan
sedikit air ludah, sehingga meningkatkan volume/produksi saliva
dalam mulut ( Bobak dkk, 2005 )
III. Teori Dasar

Sistem saraf dibedakan atas dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri
dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan sel-sel saraf
yang terletak di luar otak dan medula spinalis yaitu saraf-saraf yang masuk dan
keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron
yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke jaringan tepi, serta aferen
yang membawa informasi dari perifer ke SSP (Mycek, 2011).

Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang


mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan
berbagai kelenjar. Sistem ini melakukan fungdi kontrol, semisal : kontrol tekanan
darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung
kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain (Guyton, 2006).

Sistem saraf otonom sesuai dengan namanya bersifat otonom (independen)


dimana aktifitasnya tidak dibawah kontrol kesadaran secara langsung. Sistem
saraf otonom (SSO) terutama berfungsi dalam pengaturan fungsi organ dalam
seperti curah jatung, aliran darah ke berbagai organ, sekresi dan motilitas
gastrointestinal, kelenjar keringat dan temperatur tubuh. Aktifasi SSO secara
prinsip terjadi dipusat di hipothalamus, batang otak dan spinalis. Impuls akan
diteruskan melalui sistem simpatis dan parasimpatis (Darmansyah et al, 1994).

Sistem saraf otonom bergantung pada sistem saraf pusat dan antara
keduanya dihubungkan oleh urat- urat saraf aferen dan eferen, juga memiliki sifat
seolah-olah sebagai bagian sistem saraf pusat yang telah bermigrasi dari saraf
pusat mencapai kelenjar, pembuluh darah jantung, paru-paru dan usus. Oleh
karena itu, sistem saraf otonom terutama berkenan dengan pengendalian organ-
organ dalam secara tidak sadar (Tambayong, 2001).

Penemuan neurotransmiter untuk saraf simpatis berupa epinephrine yang


kemudian diketahui bahwa yang berperan sebenarnya adalah norepinephrine, dan
penemuan acetylcholine sebagai neurotransmitter untuk saraf parasimpatis,
menyebabkan ide tersebut dilupakan. Pada akhir dekade enam puluhan, Michael
Gershon memperkenalkan kemungkinan peranan serotonin (5-hydroxytryptamine
= 5-HT) sebagai neurotransmiter lain (ketiga) yang dihasilkan oleh dan khusus
bekerja di Sistem Saraf Saluran Pencernaan (SSSP) atau Enteric Nervous System
(ENS) (Gershon, 2005).

Berbagai sistem dalam tubuh (misalnya pencernaan, sirkulasi) secara


otomatis dikendalikan oleh sistem saraf otonom (dan sistem endokrin). Kendali
sistem saraf otonom seringkali melibatkan umpan balik negatif dan terdapat
banyak serabut aferen (sensoris) yang membawa informasi ke pusat pada
hipotalamus dan medulla. Pusat-pusat ini mengendalikan sistem saraf otonom,
yang terbagi secara anatomis menjadi dua bagian besar yaitu sistem simpatis dan
sistem parasimpatis. Banyak organ yang dipersarafi oleh kedua sistem tersebut
yang secara umum memiliki aktifitas berlawanan (Neal, 2006).

Sistem saraf otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon


involunter pada otot polos jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls
saraf melalui jalur :

1. Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis.
2. Saraf parasimpatis berasal dari area orak dan sacral pada medulla spinalis.
3. Sebagian besar organ internal di bawah kendaliotonom memiki inversi
simpatis dan para simpatis (Nugroho, 2013).

Penyalahgunaan obat dan senyawa aditif dewasa ini semakin meningkat.


Penyalahgunaan obat dan senyawa bukan makanan tersebut antara lain
diazepam,formalin dan minuman beralkohol menimbulkan dampak negatif pada
manusia. Efek dari diazepam pada tubuh adalah menekan sistem saraf, sedangkan
efek pada bobot hepar adalah meningkatkan bobot hepar sebagai respon pada zat
racun yang masuk. Efek alkohol pada hepar adalah timbulnya perlemakan pada
hepar. Efek dari formalin dapat memicu terjadinya kerusakan hepar karena zat
tersebut sangat toksik. Mencit (Mus musculus) digunakan sebagai hewan uji
untuk mengetahui dampak dosis berlebih dari pemberian diazepam, formalin, dan
minuman beralkohol pada rasio bobot hepar- tubuh mencit (Niendya W, 2011).

Diazepam merupakan senyawa heterisiklik mengandung nitrogen yang


digunakan sebagai anti depresan yang bersifat analgesik.Diazepam berikatan
dengan reseptor- reseptor stereospesifik benzodiazepin di neuron postsinaptik
GABA pada beberapa sisi di dalam Sistem Saraf Pusat (SSP). Dizepam
meningkatkan penghambatan efektifitas GABA dalam menghasilkan rangsangan
dengan meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion klorida. Perubahan ini
menyebabkan ion klorida berada dalam bentuk terhiperpolarisasi (bentuk kurang
aktif/ kurang memberikan rangsangan) dan stabil [3]. Diazepam yang diberikan
pada dosis rendah dapat menyebabkan rasa kantuk, tenang dan penurunan aktifitas
motorik. Diazepam dalam dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pada sistem
saraf pusat (Rini, 2009)

IV. Alat dan Bahan

Alat dan Bahan

a. Alat
Kertas Saring

Koran bekas

Mencit

Papan berukuran 40x30

Sonde oral

Suntikan
Timbangan

b. Bahan
 Atropin
 PGA
 Phenobarbital
 Pilokarpin
V. Prosedur
Prosedur yang dilakukan pada praktikum uji aktifitas obat saraf
otonom adalah Alat dan bahan yang akan digunakan untuk percobaan
dipersiapkan, kemudian dibuat larutan gom arab dan obat. Hewan
percobaan dipilih secara acak, diamati kesehatannya , kemudian masing-
masing hewan ditimbang dan diberi tanda pengenal.
Pada waktu T = 0, satu kelompok diberi atropin 1 mg/kg BB (p.o)
segera sesudah pemberian obat hipnotik sedangkan kelompok kontrol
negatif diberi larutan gom dan obat hipnotik dengan cara yang sama.
Kemudian pada waktu T = 15 menit, kelompok lain disuntikkan atropin
0,015 mg/kg BB (s.c), segera sesudah pemberian obat hipnotik. Dan pada
waktu T = 45 menit, semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutan.
Kemudian masing-masing mencit diletakkan di atas kertas saring
pada alat (1 mencit per kotak). Penempatan mencit haruslah sedemikian
sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas, kemudian ekornya diikat
dengan seutas tali dan diberi beban sebagai penahan. Setiap 5 menit
mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya
diulangi hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas.
Amati besarnya noda yang terbentuk di atas kertas disetiap kotak
dan tandai batas noda (pakai spidol). Diameter noda diukur dan dihitung
persentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok atropin. Data hasil
perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan dibuat grafik inhibisi per
satuan waktu.
VI. Data Pengamatan

1 1,8 1,6
Diameter Saliva 1 0,8 0,6
Perlakuan Kelompok
Diazepam (p.o) 2 20-5’ 2,5
5-10’ 310-15’ 315-20’ 020-25’

PGA 3% (p.o) 31 02 1,8


1,5 2,2
1 2,6
1 1,5
0,7
42 1,2
0 3,9
2,5 2,1
0 2,3
3,5 1,5
2,4
PGA 3%
Jumlah 3 50,7 9,8
1,3 8,3
0 8,7
0 3,6
0

Rata-rata 4 1,25
0 2,45
0 2,075
0 2,175
0 0,9
0 1,77

Jumlah 1 1,8
2,7 0,8
5,3 0,5
1 0,3
4,5 0,3
3,1

Diazepam
Rata-rata (p.o) 2 00,675 01,325 00,25 01,125 00,775 0,83
Atropin (p.o) 3 0 0,9 0 0,3 0,7

4 0 1,2 2,1 1,4 0,5

Jumlah 1,8 2,9 2,6 2 1,5

Rata-rata 0,45 0,725 0,65 0,5 0,375 0,54

1 0,7 0,5 0,3 0,2 0,2

Diazepam (p.o) 2 1 2,5 3,5 3 3

Atropin (s.c) 3 0 0 0 0 0,2

4 0 0 0 0 0

Jumlah 1,7 3 3,8 3,2 3,4

Rata-rata 0,425 0,75 0,95 0,8 0,85 0,775


Presentase Inhibisi :

% Inhibisi (p.o) = x 100%


= x 100%

=69,5 %

% Inhibisi (s.c) = x 100%


= x 100%

= 56 %

Grafik

Grafik Rata-Rata Diameter Noda


Terhadap Waktu Pada kelompok
Hewan Uji (Atropin p.o)
0,8
Diameter Rata-rata

0,725
0,6 0,65
0,5
0,4 0,45
0,375
0,2

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Menit)
Grafik Rata-Rata Diameter Noda
Terhadap Waktu Pada kelompok
Hewan Uji (Atropin s.c)
1 0,95
Diameter Rata-rata

0,8 0,8 0,85


0,75
0,6
0,4 0,425
0,2
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Menit)

VII. Pembahasan
Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf
otonom atau obat kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap
pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf otonom pada mencit. Syaraf
otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf tak sadar merupakan
syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara
otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada
sumsum tulang belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari neuron-
neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-organ dalam, misalnya
jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem pencernaan
dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik
pengaruh berbagai obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-
fungsi vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi
aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatik tikus.
Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang
akan digunakan dalam percobaan. Setelah itu pilih Mencit yang akan
dijadikan hewan uji, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini bertujuan
untuk mengetahui perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan,
karena setiap individu yang memiliki berat badan yang berbeda akan
mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat berat badan
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian jumlah
dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang
berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali mencit baik
pada saat pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan
terhadap percobaan.

Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, yang nantinya akan diberikan


perlakuan yang berbeda. Masing-masing kelompok diberikan uretan
dengan dosis yang sesuai. Namun, Karena uretan tidak tersedia, maka
uretan digantikan dengan diazepam. Diazepam mempunyai fungsi yang
sama dengan uretan. Tujuan pemberian diazepam adalah untuk membuat
mencit tertidur atau menurunkan aktivitasnya. Selain itu, pembiusan
mencit dilakukan karena dalam keadaan tertidur biasanya akan terjadi
salivasi dimana salivasi ini akan digunakan sebagai parameter dalam
pengujian obat-obat sistem saraf otonom.

Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf


simpatik dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan
salah satu kelenjar dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya
jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau oleh obat-obat
parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang
aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat
simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.

Setelah masing-masing kelompok diberi uretan, mencit pada


kelompok 1 diberikan atropin secara peroral. Atropin merupakan obat
antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji dengan diberikan
pada mencit untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada
sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai
antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid
beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen.
Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada
saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin
ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit
menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik
lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau
stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik,
kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung,
mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada
dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan
kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.
Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit pada kelompok 2 juga
dilakukan pemberian atropin namun diberikan secara subkutan dengan
menggunakan jarum suntik.Penyuntikan secara subkutan ini dilakukan di
bawah kulit tengkuk.

Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit


diberikan pilokarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek
yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit
bertujuan agar mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva. Polikarpin
merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik yang
dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan
mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva.
Obat kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek
yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya.
Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau
menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu
terjadinya hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh
mencit menjadi lebih banyak karena pilokarpin merupakan salah satu
pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva.
Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada mencit, masing-
masing mencit diletakan pada sebuah papan berukuran 40 x 30 cm yang
telah dilapisi oleh kertas saring yang telah ditaburi metilen blue pada
bagian bawah, sehingga air liur yang dikeluarkan mencit akan merubah
warna kertas saring menjadi berwarna biru. Penambahan metilen biru ini
bertujuan agar mempermudah pengukuran diameter saliva yang
dikeluarkan oleh mencit karena adanya perubahan warna yang
terjadi. Masing-masing mencit ditempatkan pada satu kotak dan setiap 5
menit mencit tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya dan hal tersebut
terus diulangi selama 25 menit hingga mencapai kotak yang berada paling
atas. Kemudian diameter salivasi yang terjadi diukur dengan menggunakan
penggaris dan dicatat untuk dilakukan pengolahan data selanjutnya.
Setelah di amati didapatkan bahwa mencit kelompok satu yang diberi
uretan dan atropin secara per oral dan pilokarpin pada menit ke 45 secara
subkutan. Setelah diamati selama 25 menit, kertas saring tidak berubah
warna menjadi biru yang menunjukan bahwa hewan percobaan tidak
mengeluarkan saliva. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, seharusnya
mencit kelompok ini lebih banyak mengeluarkan saliva dibandingkan
mencit kelompok 2. Hal itu disebabkan oleh pengaruh pemberian atropin
secara peroral membutuhkan waktu yang cukup lama karena obat
mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme. Sementara itu dengan
pemberian pilokarpin secara subkutan akan cepat menimbulkan efek
karena subkutan langsung masuk ke pembuluh darah sehingga cepat
mempengaruhi sistem syaraf otonom (sebagai zat kolinergik) yaitu terjadi
peningkatan sekresi air liur pada mencit.

Pada mencit kelompok 2 setelah di beri uretan dan atropine secara sub
kutan dan ditambah piko karpin setelah 45 menit. Efek yang di dapatkan
setelah 5 menit mencit mengeluarkan saliva dengan diameter 1 cm pada
menit kespuluh mengeluarkan saliva ber diameter 2,5 cm pada menit 15 di
dapat kan saiva dengan diameter 3, 5 cm dan pada menit ke 25 saliva yang
di keluarkan mencit berdiameter 3 cm. hal ini Hal ini juga tidak sesuai
dengan literature. Kelompok mencit ini adalah kelompok yang paling
banyak mengeluarkan saliva. Seharusnya dengan pemberian atropin secara
subkutan membuat efek atropin sebagai obat antikolinergik lebih cepat
karena langsung masuk ke pembuluh darah, tidak seperti proses pemberian
atropin secara peroral pada mencit I. Karena efek dari atropin yang lebih
kuat, seharusnya membuat sekresi air liur lebih sedikit meskipun telah
ditambahkan pilokarpin yang merangsang sekresi saliva.

Pada mencit kelomopok 3 yang hanya di beri uretan dan pikokarpin.


Efek yang di dapatkan setelah 10 menit mencit mengeluarkan saliva
dengan diameter 2 cm pada menit kespuluh mengeluarkan saliva ber
diameter 2,5 cm pada menit 15 di dapat kan saiva dengan diameter 3 cm
dan pada menit ke 25 saliva tidak mengeluarkan saliva. Hal ini sesuai
dengan literature bahwa apabila di beri uretan tanpa inhibisi mencit akan
mengeluarkan saliva lebih banyak namun ternyata dari hasil yang di
dapatkan mencit kelompok 2 lebih baayak salivanya dari pada mencit
kelompok 3. Kesalahan dalam penyuntikan dapat menyebabkan
ketidaktepatan distribusi zat aktif sehingga tidak memberikan efek
farmakologis yang diinginkan. Kesalahan memasukan obat secara oral pun
dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil percobaan dengan literatur.
Demikian pula dalam pemilihan hewan percobaan. Mencit yang digunakan
sebagai hewan percobaan dalam penelitian ini haruslah dipilih dengan
seksama. Pemilihan ini didasarkan pada penampilan fisik , keaktifan
pergerakan dan berat badan. Faktor ini mungkin perlu diperhatikan selain
daripada menitikberatkan pada praktikan.

VIII. Kesimpulan

8.1. Dapat mengetahui pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dengan baik
8.2.Praktikan mengetahui teknik mengevaluasi aktivitas obat
antikolinergik pada neuroefektor parasimpatik
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku


Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. Jakarta.: EGC

Darmansyah, I., Arini Setiawati, dan Sulistia Gan. 1994. Susunan Saraf Otonom
dan Transmisi Neurohumoral, dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
FKUT.

Gershon M. D. 2005. Nerves, Reflexes, and the Enteric Nervous System:


Pathogenesis of the Irritable Bowel Syndrome. Journal of Clinical
Gastroenterology Vol.39 (5 Suppl.): S184 – 193.

Guyton, A., C. 2006. Textbook of Medical Physiology 11th Edition. Philadelpia:


Elsevier inc.

Kee,J,L., dan Hayes E,R . 1996. Farmakologi Pendekatan Proses


Keperawatan.Jakarta : EGC
Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika.

Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: Erlangga.

Niendya, W Arief., Muhammad Anwar Djaelani.,Teguh Suprihatin. 2011. Rasio


Bobot Hepar Tubuh Mencit (Mus Musculus) setelah Pemberian Diazepam,
Formalin dan Minuman Beralkohol. Jurnal Anatomi dan Fisiologi.
Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan Biologi FMIPA
UNDIP. Vol.XIX, No. 1, Maret 2011.

Nugroho, G. 2013. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf. Tersedia online di


http://staff.ac.id/gnugroho/files/2013/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEM-
SARAF.pdf [Diakses pada 31 Maret 2017].

Rini, Saraswati Tyas., Endah Indraswati., Nuraini. 2009. Pengaruh Formalin dan
Minuman Beralkohol terhadap Konsumsi Pakan, Minum dan Bobot Tubuh
Mus Musculus. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan
Biologi FMIPA. Jurnal Sains dan Matematika. Vol. 17 No. 3, Juli 2009: 141-
144.

Rubenstein, D., Wayne, D., Bradley, J. 2005. Lecture Notes Kedokteran Klinis
Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga

Tambayong. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum.


Jakarta.

LAMPIRAN
Foto Keterangan
Penimbangan Tikus

Pemberian atropin secara


oral
Pemberian Pilokarpin
secara subkutan

Penandaan bekas noda


saliva yang dikeluarkan

Anda mungkin juga menyukai