Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI

SEMESTER GANJIL 2017 - 2018

PENGUJIAN PARAMETER EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI


(Psidium guajava L.)

Hari / Jam Praktikum : Rabu, pukul 13.00 16.00

Tanggal Praktikum : 8 dan 15 November 2017

Kelompok :1

Asisten : 1. Deti Dewantisari


2. Ike Susanti

KITA RADISA
260110160051

LABORATORIUM ANALISIS FARMASI DAN KIMIA MEDISINAL


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017
I. Tujuan
1.1 Menentukan mutu ekstrak bahan baku obat tradisional dengan
metode penetapan kadar abu dan penentuan bobot jenis.
1.2 Menentukan kadar flavonoid ekstrak dengan metode kolorimetri
alumunium klorida.
1.3 Menguji adanya kandungan kuersetin dalam ekstrak dengan metode
KLT.

II. Prinsip
2.1 Kadar Abu Total
Penetapan dilakukan dengan pemijaran terhadap 2 gram sampel
pada suhu 600C hingga bobot abu pijaran konstan (Depkes RI,
2000).
2.2 Bobot Jenis
Densitas suatu bahan didefinisikan sebagai rasio massa per unit
volume (Rivai, 2013).
2.3 Kolorimetri
Kuersetin akan bereaksi dengan AlCl3 membentuk kompleks
warna. Hasil warna dari pencampuran ekstrak uji dengan AlCl3
dibandingkan dengan warna kompleks kuersetin dengan AlCl3
(Chang, 2002).
2.4 Spektrofotometri
Senyawa satu dengan lainnya memiliki daya serap gelombang
cahaya berbeda-beda, sehingga dapat diidentifikasi dengan
menembakkan sinar tampak dan melihat absorbansi senyawa
terhadap sinar tersebut (Adeeyinwo, 2013).
2.5 KLT
Setiap senyawa memiliki kepolaran yang berbeda-beda, dengan
eluen yang tepat, senyawa-senyawa dapat terpisah dan diidentifikasi
dalam KLT (Abidin, 2011).
III. Mekanisme Reaksi
Reaksi AlCl3 dengan Kuersetin

(Azizah, et al., 2014).


Reaksi antara AlCl3 dengan golongan flavonoid membentuk kompleks
antara gugus hidroksil dan keton yang bertetangga yang tahan asam atau
dengan gugus ortohidroksil yang tidak tahan asam dan bertetangga
(Markham, 1988).

IV. Teori Dasar


Karena peningkatan penggunaan obat herbal di seluruh dunia dan
produk herbal membuat pasar global digunakan secara global, keamanan
dan kualitas tanaman obat dan produk herbal jadi menjadi perhatian
utama bagi otoritas kesehatan, farmasi dan masyarakat (Pathik, et al.,
2011).
Umumnya, semua obat-obatan, baik itu sintetik atau yang berasal
dari tumbuhan, harus memenuhi persyaratan dasar yang aman dan efektif
(Kunle, 2012).
Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan
kemajuan teknologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan
keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan
kepercayaan terhadap manfaat obat bahan alam tersebut (Anam, et al.,
2013).
Standarisasi ekstrak tumbuhan obat di Indonesia merupakan salah
satu tahapan penting dalam pengembangan obat asli Indonesia. Ekstrak
tumbuhan obat dapat berupa bahan awal, bahan antara, atau bahan
produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal dianalogikan dengan komoditi
bahan baku obat yang dengan teknologi fitofarmasi diproses menjadi
produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara merupakan bahan yang dapat
diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal, atau sebagai
campuran dengan ekstrak lain. Adapun jika sebagai produk jadi ekstrak
yang berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan, baik dalam bentu
kapsul, tablet, pil maupun dalam bentuk sediaan topikal (Arifin, 2006).
Standardisasi adalah rangkaian proses yang melibatkan berbagai
metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan
analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan
(toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (Saifudin, et al., 2011).
Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian
parameter prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan
unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian
memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan
(batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan
kata lain, pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa
produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai
parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Terdapat
dua faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu faktor biologi dari
bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan obat
tersebut. Standardisasi ekstrak terdiri dari parameter standar spesifik dan
parameter standar non spesifik (Depkes RI, 2000).
Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia
kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung
jawab terhadap aktivitas farmakologis tertentu (Depkes RI, 2000).
Penentuan parameter non spesifik ekstrak yaitu penentuan aspek
kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan
konsumen dan stabilitas (Saifudin, et al, 2011).
Terpenuhinya standar mutu produk/bahan ekstrak tidak terlepas
dari pengendalian proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat
menjamin produk terstandar. Pengujian atau pemeriksaan persyaratan
paramteter standar umum ekstrak harus dilakukan dengan berpegang
pada manajemen pengendalian mutu eksternal oleh badan formal
atau/dan badan independen (Depkes RI, 2000).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlukan
sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anief,
1987).
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung
etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain
pada masing-masing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawa
aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang
cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau
bagian yang bening di enap tuangkan (dekantasi). Beningan yang
diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope. Ekstrak cair yang dapat
dibuat dari ekstrak yang sesuai (Depkes RI, 2000).
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang
terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam, yaitu
garam organik dan garam anorganik. Yang termasuk garam organik
misalnya garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan
garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat,
klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang
mineral berbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organis.
Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinta
sangatlah sulit, oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan
sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal dengan pengabuan
(Sudarmaji, 2003).
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang
mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena
bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis komponen atau zat
larut di dalamnya (Depkes RI, 2000).
Bobot jenis merupakan parameter berupa massa per satuan volume
yang diukur pada suhu kamar tertentu (25C) dengan menggunakan alat
khusus berupa piknometer atau alat khusus lainnya. Tujuannya adalah
memberikan batasan tentang besanya massa per satuan volume yang
merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat atau
kental yang masih bisa dapat dituangkan. Bobot jenis juga terkait dengan
kemurnian dari ekstrak dan kontaminasi (Guntarti, 2015).
Bobot jenis atau densitas sering digunakan dalam karakteristik sifat
dari suatu cairan dan tanah di dalam lapangan berupa mekanik cairan dan
mekanik tanah secara berurutan. Densitas bisa berubah karena adanya
perubahan tekanan dan temperatur (Denis, 2016).
Parameter kadar abu merupakan bahan yang dipanaskan di dalam
termperatur tertentu dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi
dan menguap, sehingga tinggal hanya ada unsur mineral dan anorganik,
yang memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal
yang berasal dari proses awal sampai akhir atau terbentuknya ekstrak.
Paramter kadar abu ini memiliki keterkaitan dengan kemurnian dan
kontaminasi pada suatu ekstrak (Guntarti, 2015).
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut di dalam air yang
dapat diektraksi dengan menggunakan etanol 70% dan tetap dalam
pelarut tersebut setelah difraksikan dengan pelarut non-polar. Flavonoid
merupakan senyawa fenol yang dapat berubah warna bila ditambah basa
atau ammonia sehingga mudah dideteksi pada kromatografi atau
kromatogram dan larutan (Harbone, 2006).
Kuersetin merupakan golongan flavonoid dilaporkan menunjukkan
beberapa aktivitas biologi. Aktivitas ini dikaitkan dengan sifat
antioksidan kuersetin, antara lain karena kemampuan menangkap radikal
bebas dan spesi oksigen reaktif seperti anion superoksida dan radikal
hidroksil (Morikawa, et al., 2003).
Penentuan flavonoid total dalam ekstrak dilakukan untuk
mengetahui persentase kandungan flavonoid total dalam ekstrak
menggunakan metode kolorimetri aluminium klorida dengan pengukuran
absorbansi secara spektrofotometri (Cahyanta, 2016).
Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur
energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan,
atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu, dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya
yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Neldawati, 2013).
Absorbansi merupakan perbandingan intensitas cahaya atau sinar
yang diserap dengan intensiatas sinar datang. Nilai absorbansi ini akan
bergantung pada kadar zat yang terkandung di dalamnya, semakin
banyak molekul yang menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu
maka nilai absorbansinya akan semakin besar (Neldawati, 2013).
Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan
pelarut metanol atau etanol. Spektrum khas flavonoid terdiri atas dua
maksimal pada rentang 230-295 nm (pita II) dan 300-560 nm (pita I)
(Neldawati, 2013).
Sebagai pembanding dapat digunakan kuersetin yang merupakan
flavonoid golongan flavonol yang mempunyai gugus keto pada C-4 dan
memiliki gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-5 yang bertetangga dari
flavon dan flavonol (Cahyanta, 2016).
KLT menggunakan fase stasioner berupa lapisan tipis suatu
adsorben, misalnya gel silika dilapiskan pada pelat dan fase mobilnya
adalah berupa campuran pelarut. Sampel diaplikasikan pada pelat
kemudian pelat diberdirikan dengan ujung bawah dengan pelarut. Ketika
pelarut naik akibat aksi kapiler pada adsorben, komponen sampel
terbawa dengan kecepatan yang berbeda, dapat dilihat sebagai deretan
titik-titik setelah pelatnya dikeringkan atau diwarnai atau dilihat di bawah
cahaya UV (Sumawinata, 2002).
V. Alat dan Bahan
5.1 Alat
1. Batang pengaduk 10. Neraca analitik
2. Cawan 11. Oven
3. Chamber 12. Penangas air
4. Gelas kimia 13. Piknometer
5. Gelas ukur 14. Pipet
6. Kertas perkamen 15. Silika gel
7. Kertas saring bebas 16. Spatel
abu 17. Spektrofotometer
8. KLT UV-Vis
9. Kurs 18. Stirrer
5.2 Bahan
1. AlCl3 6. Etanol
2. Amonia 7. HCl 2N
3. Aquadest 8. Kuersetin
4. Asam asetat 9. N-butanol
5. Ekstrak kental daun 10. Natrium asetat
jambu biji

VI. Metode
6.1 Pembuatan HCl 2N
HCl 36% ditimbang sebanyak 33,3 ml dan dimasukkan ke
dalam beaker glass kemudian di add dengan aquadest hingga 100
ml.
6.2 Penentuan Kadar Abu Total
Ekstrak daun jambu biji ditimbang sebanyak 2 gram dan
dimasukkan ke dalam kurs yang telah ditara. Kemudian ekstrak
dipijarkan dalam kurs dengan tanur secara perlahan kemudian suhu
dinaikkan secara bertahap hingga 600 25C sampai bebas karbon.
Lalu, abu didinginkan di dalam desikator dan berat abu ditimbang
serta dihitung kadarnya dalam persen terhadap berat sampel awal.
Prosedur dilakukan secara triplo (Depkes RI, 2000).
6.3 Penentuan Bobot Jenis
Piknometer kosong yang telah dicuci bersih ditimbang.
Piknometer yang kosong diisi dengan aquadest hingga penuh
kemudian ditimbang kembali. Ekstrak kental daun jambu biji
diencerkan 5% dengan 0,75 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml
etanol 70% dan diencerkan 10% dengan 1,5 gram ekstrak
dilarutkan dalam 15 ml etanol 70%. Lalu, hasil pengenceran
ekstrak dimasukkan ke dalam piknometer hingga penuh secara
bergantian dan ditimbang kembali. Prosedur dilakukan secara triplo
(Depkes RI, 2000).
6.4 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak
Ekstrak daun jambu biji ditimbang sebanyak 1 g kemudian
dilarutkan dalam 25 ml etanol 95%. Campuran diaduk dalam stirrer
selama 2 jam pada kecepatan 200 rpm, filtrat yang dihasilkan
disaring dan hasil filtrat ditambahkan etanol 95% hingga 25 ml.
6.5 Pembuatan Larutan Stok Kuersetin
Kuersetin baku ditimbang sebanyak 20 mg dan dilarutkan di
dalam 100 ml etanol 96%.
6.6 Pembuatan Kurva Baku
Larutan kuersetin dalam etanol dibuat dengan variasi
konsentrasi 40, 60, 80, 100 dan 120 ppm. Masing-masing dari
larutan diambil sebanyak 0,5 ml dan diencerkan dengan faktor
pengenceran 10x, kemudian dicampur dengan 1,5 ml etanol 95%,
0,1 ml alumunium klorida 10%, 0,1 ml natrium asetat 1 M dan add
dengan aquadest hingga 25 ml. Larutan diinkubasi pada suhu
kamar selama 30 menit dan diukur serapannya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 438
nm. Kurva baku standar dibuat.
6.7 Penentuan Jumlah Flavonoid dari Larutan Uji Ekstrak
Larutan ekstrak etanol sampel diambil sebanyak 0,5 ml dan
dicampur dengan 1,5 ml etanol 95%, 0,1 ml alumunium klorida
10%, 0,1 ml natrium asetat 1 M dan add dengan aquadest hingga 25
ml. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit dan
diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum 438 nm. Jumlah flavonoid diukur dengan
metode kolorimetri alumunium klorida.
6.8 Pengujian Kualitatif Kandungan Kuersetin dalam Ekstrak
Larutan ekstrak dan baku kuersetin ditotolkan masing-masing
1 cm di atas plat KLT. Plat dikembangkan dalam chamber yang
mengandung campuran n-butanol, asam asetat dan air (4:1:5) yang
sebelumnya telah dijenuhkan. Plat hasil pengujian dikeringkan dan
dilihat di bawah sinar UV 254 dan 366 nm. Nilai Rf sampel
dihitung dan dibandingkan dengan Rf standar. Plat selanjutnya
ditempatkan di chamber jenuh uap amonia dan diamati hasilnya
.
VII. Hasil
Tabel 7.1 Bobot Jenis
Kerapatan Ekstrak Kerapatan Ekstrak
Kerapatan Air
5% 10%

Bobot pikno kosong 13,165 g 13,165 g 13,165 g

Bobot pikno + zat 23,5826 g 22,7659 g 23,2539 g

Bobot zat 10,4176 g 9,6009 g 10,0889 g

Volume zat 10 ml 10 ml 10 ml

Kerapatan zat 1,04176 g/ml 0,96009 g/ml 1,00889 g/ml

Bobot jenis 0,922 0,968

Perhitungan Pengenceran Etanol 70%


M1 x V1 = M2 x V2
96% x V1 = 70% x 85 ml
V1 = = 61,979 ml

Perhitungan Bobot Jenis


Kerapatan air = = = 1,04176 g/ml

Kerapatan ekstrak 5% = = = 0,96009 g/ml

Kerapatan ekstrak 10% = = = 1,00889 g/ml

Bobot jenis ekstrak 5% = = = 0,922

Bobot jenis ekstrak 10% = = = 0,968

Tabel 7.2 Kadar Abu Total


Jumlah Penimbangan

Bobot ekstrak 2,003 g

Bobot kurs kosong (Co) 41,593 g

Bobot kurs + ekstrak (Cu) 41,599 g

Perhitungan Kadar Abu Total


Kadar abu total = x 100%

= x 100% = 0,299%

Tabel 7.3 Pembuatan Kurva Baku

Konsentrasi (ppm) [x] Absorbansi [y] Absorbansi rata-rata

4.0 0,1178 0,1178 0,1181 0,1179

6.0 0,2388 0,2389 0,2388 0,2388

8.0 0,4134 0,4142 0,4148 0,4141

10.0 0,5383 0,5390 0,5390 0,5388

12.0 0,6797 0,6799 0,6805 0,68


Perhitungan Pengenceran Larutan Baku Kuersetin
4 ppm V1 x C1 = V2 x C2
0,5 ml x 40 ppm = 5 ml x C2
C2 = 4 ppm
6 ppm V1 x C1 = V2 x C2
0,5 ml x 60 ppm = 5 ml x C2
C2 = 6 ppm
8 ppm V1 x C1 = V2 x C2
0,5 ml x 80 ppm = 5 ml x C2
C2 = 8 ppm
10 ppm V1 x C1 = V2 x C2
0,5 ml x 100 ppm = 5 ml x C2
C2 = 10 ppm
12 ppm V1 x C1 = V2 x C2
0,5 ml x 120 ppm = 5 ml x C2
C2 = 12 ppm
Grafik Kurva Baku
0,8

0,7

0,6

0,5

0,4
Absorbansi
0,3

0,2

0,1

0
4 6 8 10 12

y = 0,0712x 0,1717
R2 = 0,9972
Tabel 7.4 Penentuan Jumlah Flavonoid
Perlakuan Absorbansi

1 0,4732

2 0,473

3 0,4729

Perhitungan Penentuan Jumlah Flavonoid


Absorbansi rata-rata = = = 0,473

y = 0,0712x 0,1717
0,473 = 0,0712x 0,1717
0,6447 = 0,0712x
x = 9,0548 ppm
F= x 100%

F= x 100%

F = 2,2569%

Tabel 7.5 Pengujian KLT


Jarak Pengukuran

Jarak tempuh pelarut 6 cm

Jarak tempuh kuersetin 5,6 cm

Jarak tempuh sampel ekstrak 5,6 cm

Perhitungan Pengujian KLT

Rf esktrak = = = 0,93

Rf kuersetin = = = 0,93
VIII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian parameter ekstrak.
Ekstrak yang baik adalah ekstrak yang memenuhi persyaratan-
persyaratan parameter ekstrak. Parameter ekstrak terbagi menjadi 2 yaitu
persyaratan spesifik dan persyaratan non spesifik. Persyaratan spesifik
suatu ekstrak akan berbeda dengan ekstrak lainnya karena sifatnya yang
khas, sedangkan parameter non spesifik lebih bersifat universal.
Parameter spesifik meliputi identitas ekstrak, organoleptis, dan
senyawa terlarut dalam pelarut tertentu. Sedangkan parameter non
spesifik meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar abu, kadar abu
tidak larut asam, sisa pelarut, residu pestisida, cemaran logam berat dan
cemaran mikroba.
Pengujian pertama yang dilakukan adalah pengujian kadar abu.
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik
bila simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik
adalah abu yang diperoleh dari sisa pemijaran. Pemeriksaan ini
digunakan untuk mengidentifikasi suatu esktrak karena setiap ekstrak
mempunyai kandungan atau kadar abu yang berbeda-beda. Sehingga
dapat ditentukan besarnya cemaran-cemaran bahan anorganik yang
terdapat dalam ekstrak yang terjadi pada saat pengolahan maupun proses
lainnya. Prinsip yang digunakan adalah bahan dipanaskan pada
temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdekstruksi dan
menguap.
Abu adalah salah satu komponen dalam analisis proksima dari
material biologis, yaitu bagian yang menjadi penjumlah utama dalam
persentase hasil analisis. Abu umumnya terdiri dari garam-garaman,
material anorganik (ion Na+, K+, dsb). Terkadang juga mengandung
mineral unik tertentu (klorofil dan hemoglobin).
Untuk mendapatkan abu, ekstrak yang telah ditimbang dipanaskan
dalam tanur 600C hingga bebas karbon. Dalam proses ini, semua
senyawa organik akan menguap dan terdenaturasi menjadi abu
sedangkan senyawa-senyawa anorganik (umumnya BM lebih tinggi dari
senyawa organik) akan langsung menjadi abu.
Setelah sekitar 1 jam proses tanur, kemudian tanur ditunggu hingga
dingin agar sampel dapat diambol dan dimasukkan ke dalam desikator.
Tujuan dimasukkan ke dalam desikator adalah untuk menjaga berat
konstan karena desikator akan menyerap air sehingga berat sampel tetap
stabil. Proses pemanasan dan penimbangan dilakukan sebanyak 3 kali
hingga bobot abu konstan. Konstan yang dimaksud adalah dimana
rentang perbedaan penimbangan dengan yang sebelumnya sebesar
0,0002 g.
Dalam percobaan ini didapatkan kadar abu sebesar 0,299%. Hal ini
sesuai dengan persyaratan Farmakope Herbal Indonesia bahwa kadar abu
ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) tidak lebih dari 0,8%.
Artinya setelah proses penguapan di dalam tanur, bahan anorganik yang
mencakup pengotor dan kontaminan lainnya telah menguap secara
keseluruhan.
Pengujian kedua yang dilakukan adalah bobot jenis. Bobot jenis
adalah perbandingan antara kerapatan zat dibanding dengan kerapatan
air. Dalam bidang farmasi bobot jenis digunakan sebagai salah satu
metode analisis yang berperan dalam uji identitas dan kemurnian dari
senyawa obat terutama dalam bentuk cairan, sehingga dapat pula
diketahui tingkat kelarutan/daya larut suatu zat.
Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu piknometer.
Piknometer biasanya terbuat dari kaca untuk erlenmeyer kecil dengan
kapasitas antara 10-15 ml. Untuk melakukan percobaan, piknometer
dibersihkan dengan menggunakan aquadest, kemudian dibilas dengan
alkohol untuk mempercepat pengeringan piknometer. Pembilasan
dilakukan untuk menghilangkan sisa dari pembersihan, karena biasanya
pencucian meninggalkan tetesan pada dinding alat yang dibersihkan,
sehingga dapat mempengaruhi hasil penimbangan piknometer kosong,
yang akhirnya juga mempengaruhi nilai bobot jenis sampel. Pemakaian
alkohol sebagai pembilas memiliki sifat-sifat yang baik seperti mudah
mengalir, mudah menguap dan bersifat antiseptikum. Jadi sisa-sia yang
tidak diinginkan dapat hilang dengan baik, baik yang ada di luar maupun
yang ada di dalam piknometer itu sendiri.
Pengujian bobot jenis dilakukan dengan penimbangan piknometer
kosong, piknometer berisi aquadest, piknometer berisi larutan ekstrak
daun jambu biji 5% dan piknometer berisi larutan ekstrak daun jambu biji
10%. Pengisiannya harus melalui bagian dinding dalam dari piknometer
untuk mengelakkan terjadinya gelembung udara. Proses pemindahan
piknometer harus dengan menggunakan tissue karena jika menggunakan
tangan, bobot yang ditimbang akan terpengaruh dengan sidik jari yang
menempel pada dinding piknometer.
Adapun keuntungan dari penentuan bobot jenis menggunakan
piknometer adalah mudah dalam pengerjaan. Sedangkan kerugiannya
yaitu berkaitan dengan ketelitian dalam penimbangan. Jika proses
penimbangan tidak teliti maka hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan
hasil yang ditetapkan literatur. Di samping itu, penentuan bobot jenis
dengan menggunakan piknometer memerlukan waktu yang lama.
Setelah melakukan percobaan didapati bahwa bobot jenis untuk
ekstrak dengan konsentrasi 5% adalah 0,922 dan untuk esktrak dengan
konsentrasi 10% adalah 0,968. Secara literatur, bobot jenis yang
diperbolehkan dalam ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) tidak
lebih dari 1 g/ml. Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan
telah sesuai dan tidak terjadi penyimpangan dalam percobaan.
Pengujian selanjutnya merupakan pengujian kuantitatif yaitu
pengecekan kadar flavonoid dihitung sebagai kuersetin dengan metode
kolorimetri alumunium klorida dan menguji adanya kuersetin dalam
ekstrak dengan metode KLT.
Untuk melalukan percobaan ini, hal pertama yang dilakukan yaitu
membuat larutan uji ekstrak. Dalam pembuatan digunakan etanol sebagai
pelarut karena berdasarkan literatur kandungan zat aktif pada ekstrak
daun jambu biji (Psidium guajava L.) akan lebih tertarik dengan pelarut
etanol dibandingkan dengan pelarut air. Selanjutnya dilakukan
pengadukan dengan menggunakan stirrer selama 2 jam yang berfungsi
untuk mendistribusikan zat aktif di dalam larutan secara merata tanpa
meninggalkan bekas pada permukaan gelas beaker. Selanjutnya dibuat
baku kuersetin dalam berbagai konsentrasi. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan grafik yang nantinya akan ditentukan persamaan regresi.
Persamaan regresi dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi.
Pada uji KLT, prinsip yang digunakan adalah pemisahan sampel
berdasarkan kepolaran sampel dengan pelarut yang digunakan. Semakin
dekat kepolaran sampel dengan pelarut/fase gerak, maka sampel akan
semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Fase diam yang digunakan dalam percobaan adalah silika gel
GF254 dan fase geraknya n-butanol, asam asetat dan aquadest dengan
perbandingan 4:1:5 yang sebelumnya telah dijenuhkan terlebih dahulu.
Ciri dari pelarut jenuh yaitu naiknya suhu chamber sehingga terdapat uap
di sekitar penutup chamber dan basahnya kertas saring yang diletakkan di
sisi dalam chamber.
Penotolan larutan ekstrak dan baku kuersetin ke plat KLT
dilakukan menggunakan pipa kapiler agar sampel yang ditotolkan
jumlahnya tidak terlalu banyak. Jika jumlah sampel yang ditotolkan
terlalu banyak, bentuk spot menjadi tidak bulat sehingga dapat
mempengaruhi proses pengukuran Rf.
Setelah dikembangkan di dalam chamber berisi pelarut yang sudah
jenuh, larutan ekstrak dan baku kuersetin akan naik ke atas batas plat
KLT. Kemudian diamati di bawah UV 254 nm dan dihitung serta
dibandingkan nilai Rf-nya. Jika kedua zat memiliki nilai Rf yang sama
atau mirip dapat dikatakan bahwa senyawa yang terkandung dalam kedua
zat tersebut memiliki karakteristik yang sama. Dari hasil percobaan
didapat nilai Rf ekstrak dan nilai Rf kuersetin sama-sama sebesar 0,93.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun jambu biji
(Psidium guajava L.) mengandung kuersetin.
Pengujian terakhir yang dilakukan adalah uji kolorimetri
alumunium klorida pada ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.).
Untuk melakukan percobaan ini, dibuat terlebih dahulu baku kuersetin
dengan berbagai konsentrasi. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan grafik
kurva baku yang nantinya akan ditentukan regresi linier yang merupakan
salah satu syarat validasi. Regresi linier berguna untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
Dalam pembuatan kurva baku, larutan stok kuersetin dibuat dalam
berbagai konsentrasi, yaitu 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, 100 ppm
dan 120 ppm, masing-masing pengenceran dibuat sebanyak 10 ml.
Pengenceran dilakukan agar sampel tidak terlalu pekat sehingga dapat
diidentifikasi dengan spektrofotometer.
Larutan stok kuersetin masing-masing diambil sebanyak 0,5 ml
dan dimasukkan di dalam labu ukur 25 ml, kemudian dilakukan
penambahan 1,5 etanol 95%, 0,1 ml AlCl3 10%, 0,1 ml natrium asetat
1M dan di add dengan aquadest hingga 25 ml. Campuran larutan
diinkubasi selama 30 menit dan diamati pada spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang maksimum 438 nm serta dibuat kurva kalibrasi.

3.0000

2.0000

1.0000

0.0000

250.0 300.0 350.0 400.0 450.0 nm

Absorbance

Penggunaan AlCl3 pada proses pembuatan kurva baku yaitu agar


terbentuk kompleks warna kuning antara AlCl3 dengan gugus keton pada
atom C4 dan gugus hidroksi pada atom C3 atau C5 yang bertetangga dari
golongan flavon dan flavonon sehingga dapat diserap pada
spektrofotometer UV-Vis. Penambahan natrium asetat berfungsi untuk
mendeteksi adanya gugus 7-hidroksil pada kuersetin, sedangkan aquadest
digunakan hanya sebagai penggenap agar didapat konsentrasi yang
diinginkan.
Pada spektrofotometer digunakan gelombang maksimal sebesar
438 nm karena pada panjang gelombang maksimal, perubahan absorbansi
untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Selain itu, di
sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan
pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi. Serta jika
dilakukan pengukuran ulang, maka kesalahan yang disebabkan oleh
pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali.
Dari hasil pengukuran didapat kurva baku kuersetin dengan y = 0,0712x
0,1717 dan R2 = 0,9972. Menurut literatur, nilai R2 yang baik berkisar
antara 0,99-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kurva baku
dapat digunakan karena memenuhi syarat validasi regresi linier.
Setelah pembuatan kurva baku, dilakukan pengujian kadar
flavonoid total ekstrak sebagai kuersetin dengan mencampurkan 0,5 ml
larutan ekstrak dengan 25 ml, kemudian dilakukan penambahan 1,5
etanol 95%, 0,1 ml AlCl3 10%, 0,1 ml natrium asetat 1M dan di add
dengan aquadest hingga 25 ml. Campuran larutan diinkubasi selama 30
menit dan diamati pada spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum 438 nm serta dibuat kurva kalibrasi.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah flavonoid yang
terkandung di dalam ekstrak sebesar 2,2569%. Menurut Farmakope
Herbal Indonesia, kadar flavonoid total pada ekstrak daun jambu biji
(Psidium guajava L.) tidak kurang dari 1,40% dihitung sebagai kuersetin
dan diukur pada panjang gelombang 425 nm. Dengan begitu, esktrak
daun jambu biji (Psidium guajava L.) yang digunakan sesuai dengan
syarat yang telah ditentukan, artinya ekstrak dapat digunakan untuk
dibuat suatu sediaan obat jadi.
IX. Simpulan
Berdasarkan praktikum ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Dapat ditentukan mutu ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.)
dengan metode penentuan bobot jenis dan kadar abu. Bobot jenis
ekstrak 5% diperoleh sebesar 0,922 g/ml dan bobot jenis ekstrak 10%
sebesar 0,968 g/ml serta kadar abu ekstrak diperoleh sebesar 0,3%.
Hal ini sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia bahwa bobot jenis
tidak lebih dari 1 g/ml dan kadar abu tidak lebih dari 0,8%.
2. Dapat ditentukan kadar flavonoid ekstrak sebagai kuersetin dengan
metode kolorimetri AlCl3 yaitu sebesar 2,2569%. Hal ini sesuai
dengan Farmakope Herbal Indonesia bahwa kadar flavonoid tidak
kurang dari 1,40%.
3. Dapat diuji kandungan kuersetin dalam ekstrak dengan metode KLT
menggunakan fase gerak n-butanol, asam asetat dan aquadest yang
menghasilkan nilai Rf ekstrak dan Rf kuersetin sebesar 0,93.

X. Daftar Pustaka
Abidin, Z. 2011. Analisis Pengukuran Kadar Larutan Temulawak
Menggunakan Metode TLC. Tersedia online di
http://digilib.its.ac.id/ (Diakses pada 10 November 2017).
Adeeyinwo, C.E., Okorie, N.N., & Idowu, G.O. 2013. Basic Calibration
of UV/Visible Spectrophotometer. International Journal of Science
and Technology, Vol. 2(3): 247-251.
Anam, Syariful, M., Yusran, Alfred T., Nurlina I., Ahmad K.,
Ramadanil, M., & Sulaiman Z. 2013. Standarisasi Ekstrak Etil
Asetat Kayu Sanrego (Lunasia amara Blanco). Online Journal of
Natural Science, Vol. 2(3): 1-8.
Anief, M. 1987. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Arifin, H., et al. 2006. Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia
Cumini. Jurnal Sains Teknologi Farmasi. Vol 2, No 11: 88-92.
Azizah, D.N., et al. 2014. Penetapan Kadar Flavonoid Metode AlCl3
pada Ekstrak Metanol Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.)
Kartika Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 2(2): 45-49.
Cahyanta, A.N. 2016. Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Daun
Pare Metode Kompleks Kolori dengan Pengukuran Absorbansi
secara Spektrofotometri. Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 5(1): 58-61.
Chang, C., Yang. M., Wen, H., & Chern, J. 2002. Estimation of Total
Flavonoid Content in Propolis by Two Complementary
Colorimetric Methods. Journal of Food and Drug Analysis, Vol.
10(3): 178-182.
Denis. 2016. What is Specific Weight?. Tersedia online di
https://www.wisegeek.com/what-is-specific-weight.htm [Diakses
pada 7 November 2017].
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Guntarti, A. 2015 Penentuan Parameter Non-Spesifik Ekstrak Etanol
Kulit Buah Manggis. Jurnal Farmasains, Vol 2 No. 5.
Harbone, J.B. 2006. Dietary Flavonoids: Effects on Endothelial Function
and Blood Pressure. Journal of Herbal Medicine, Vol. 2(1): 221-
226.
Kunle, O.F. 2012. Standardization of Herbal Medicines-A review.
Tersedia online di
http://www.academicjournals.org/article/article1380017716_Kunle
%20et%20al.pdf (Diakses pada 13 November 2017).
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan
oleh Kosasih, P. 2015. Bandung: ITB Press.
Morikawa, K., Nonaka, M., Narahara, M., Torii, I., Kawaguchi, K., &
Yoshikawa, T. 2003. Inhibitory Effect of Quercetin on
Carrageenan-Induced Inflammation in Rats. Journal of Life
Science, Vol. 26(6): 709-721.
Neldawati. 2013. Analisis Nilai Absorbansi dalam Penentuan Kadar
Flavonoid. Journal Pillar of Physics, Vol. 2(1): 76-83.
Pathik, P., Patel N.M., & Patel, P.M. 2011. WHO Guidelines on Quality
Control of Herbal Medicines. IJRAP, Vol. 2(4): 1148-1154.
Rivai. 2013. Pengaruh Perbandingan Pelarut Etanol-Air terhadap Kadar
Senyawa Fenolat Total dan Daya Antioksidan dari Ekstrak Daun
Sirsak. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 18 No.1: 35-42.
Saifudin, A., Rahayu, & Teruna. 2011. Standardisasi Bahan Obat Alam.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudarmadji. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta:
Liberty.
Sumawinata, N. 2002. Seranai Istilah Kedokteran Gigi Inggris-
Indonesia. Jakarta: EGC.
Lampiran

No. Prosedur Hasil Foto

Penetapan Kadar Abu Total


1. 2 gram ekstrak ditimbang ke Diperoleh massa
dalam kurs yang telah ditara. ekstrak daun jambu biji
sebanyak 2,0052 gram

2. Ekstrak dalam kurs dipijarkan Ekstrak dipijarkan


perlahan kemudian suhunya dalam tanur suhu
dinaikan secara bertahap 600C hingga menjadi
hingga 600 25C sampai abu
bebas karbon.

3. Kemudian, abu didinginkan Kurs berisi abu


dalam desikator. didinginkan dalam
desikator
4. Berat abu ditimbang. Diperoleh bobot abu
Penimbangan dan pemijaran yang telah konstan
dilakukan hingga bobotnya Bobot kurs
konstan. kosong=
41,593 gram
Bobot
kurs+ekstrak =
41,599 gram

5. Kadar abu dihitung dalam Kadar abu total ekstrak -


persen terhadap berat sampel daun jambu biji ialah
awal. 0,2992%
Penentuan Bobot Jenis Ekstrak
1. Pikometer kosong yang telah Massa piknometer
dicuci bersih ditimbang. kosong = 13,1650
gram

2. Piknometer diisi aquadest Massa


hingga penuh dan ditimbang piknometer+
kembali serta dihitung massa aquadest=
jenis aquadest. 23,5826 gram
aquadest =
1,04176 g/ml
3. Ekstrak diencerkan menjadi Diperoleh ekstrak daun
ekstrak 5% dengan 0,5 gram jambu biji 5%
ekstrak dilarutkan dalam 10 ml sebanyak 15 ml dengan
etanol 70%. dilarutkan massa
ekstrak sebanya 0,75
gram
4. Piknometer yang telah Massa
dibersihkan kembali diisi piknometer+ek
dengan ekstrak 5% hingga strak 5% =
penuh, ditimbang, dan 22,7659 gram
dihitung massa jenisnya. ekstrak 5% =
0,96009 g/ml
5. Ekstrak diencerkan menjadi Diperoleh ekstrak daun
ekstrak 10% dengan 1 gram jambu biji 10%
ekstrak dilarutkan dalam 10 ml sebanyak 15 ml dengan
etanol 70%. dilarutkan massa
ekstrak sebanya 1,5
gram
6. Piknometer yang telah Massa
dibersihkan kembali diisi piknometer+ek
dengan ekstrak 10% hingga strak 10% = 23,
penuh, ditimbang, dan 2539 gram
dihitung massa jenisnya. ekstrak 10%
= 1,00889 g/ml
7. Bobot jenis ekstrak 5% dan Bobot jenis -
ekstrak 10% dihitung ekstrak 5% =
0,922
Bobot jenis
ekstrak 10% =
0,968
Pembuatan Larutan Ekstrak Daun Jambu Biji
1. Diambil 1,0 g ekstrak dan Diperoleh ekstrak
dilarutkan dalam 25 mL sebanyak 1 gram.
etanol 95%.
2. Larutan ekstrak diaduk selama Diperoleh ekstrak
delapan jam dengan alat yang teah dilarutkan
pengaduk pada kecepatan 200 dengan etanol.
rpm selama dua jam.
3. Larutan ekstrak disaring, filtrat Diperoleh larutan
yang diperoleh diambil 1 mL ekstrak daun jambu
dan di ad etanol dalam labu biji sebanyak 10 mL.
ukur sampai 10 mL. (FP 1= 10x)

Pembuatan Kurva Baku


1. Dibuat serangkaian larutan Diperoleh larutan
baku kuersetin dalam etanol Kuersetin dengan
dengan konsentrasi 40, 60, konsentrasi 40, 60,
80, 100, dan 120 ppm. 80, 100, dan 120 ppm.

2. Diambil 0,5 mL dari masing- Diperoleh larutan


Masing larutan, dicampur kuersetin yang telah
dengan 1,5 mL etanol 95%; diencerkan dengan
0,1 mL alumunium klorida etanol, AlCl3, kalium
10%, 0,1 mL kalium asetat asetat, dan aquades
1M dan 2,8 mL aquadest. dengan konsentrasi 4,
6, 8, 10, dan 12 ppm
3. Diinkubasikan pada suhu Diperoleh kurva baku
kamar selama 30 menit dan dengan hasil
diukur serapannya dengan absorbansi:
spektrofotometer UV-Vis 4 ppm: 0,1179
pada panjang gelombang 6 ppm: 0,2388
maksimum yaitu 430 nm. 8 ppm: 0,4141
10 ppm: 0,5387
12 ppm: 0,6800
4. Dibuat kurva baku standar Diperoleh persamaan:
y=0,0172x0,1717
R2 = 0,9972

Penentuan Kadar Flavonoid Larutan Ekstrak

1. Sejumlah 0,5 mL ekstrak Diperoleh larutan


etanol sampel dicampur ekstrak yang telah
sampel dengan 1,5 mL etanol ditambahkan etanol,
95%; 0,1 mL alumunium AlCl3, kalium asetat,
klorida 10%, 0,1 mL kalium dan aquades sebanyak
asetat 1M dan 2,8 mL 5 mL (FP2=10x)
aquadest Maka:
FP=FP1xFP2=100x
2. Diinkubasikan pada suhu Ekstrak telah
kamar selama 30 menit lalu diinkubasi dan
diukur serapannya dengan didapatkan hasil
spektrofotometer UV-Vis absorbansi:
pada panjang gelombang
maksimum yaitu 430 nm.
3. Dihitung jumlah flavonoid Diperoleh kadar
dengan metode kolorimetri Flavonoid sebesar
aluminium klorida. 2,2569%.
Pengujian Kualitatif Kandungan Kuersetin dalam Ekstrak

Chamber dijenuhkan dengan Chamber menjadi


1.
campuran n- butanol, asam panas dan jenuh
asetat dan air (4:1:5).

Ekstrak kental daun jati Terdapat dua titik di


2.
belanda dan larutan baku plat.
kuersetin ditotolkan masing-
masing 1 cm di atas plat KLT.
Plat dimasukkan dan Plat menjadi basah
3.
dikembangkan ke dalam karena pelarut.
chamber.

Plat dikeringkan dan dilihat di Diperoleh spot


4.
bawah sinar UV 254 nm. ekstrak dan kuersetin.

Nilai Rf ekstrak daun jambu Nilai Rf ekstrak =


5.
biji dan kuersetin dihitung. 0,93 dan nilai Rf
kuersetin = 0,893.

6. Untuk pengujian warna pada


spot plat, plat ditempatkan
dalam chamber jenuh yang -
mengandung uap amonia.
Hasil positif ditunjukan dengan
perubahan warna menjadi
kuning pekat.

Anda mungkin juga menyukai