Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI

SEMESTER GANJIL 2017 - 2018

PEMERIKSAAN MUTU BAHAN BAKU VITAMIN C

Hari / Jam Praktikum : Rabu, pukul 10.00 13.00

Tanggal Praktikum : 20 dan 25 September 2017

Kelompok :2

Asisten : 1. Deti Dewantisari


2. Ike Susanti

KITA RADISA
260110160051

LABORATORIUM ANALISIS FARMASI DAN KIMIA MEDISINAL


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017
I. Tujuan
1.1 Memastikan mutu bahan baku vitamin C secara kualitatif
1.2 Memastikan kadar bahan baku vitamin C dengan metode iodimetri

II. Prinsip
2.1 Reaksi Redoks
Vitamin C bersifat pereduksi kuat akan mereduksi methylene blue
sehingga terjadi perubahan warna (Haustein, 2014).
2.2 Kelarutan
Asam askorbat atau vitamin C mudah larut dalam air, agak sukar
larut dalam etanol, dan tidak larut dalam kloroform, eter, atau
benzene (Depkes RI, 1995).
2.3 Reaksi Redoks
Asam askorbat dengan sifat pereduksi kuat akan mereduksi iodine
menjadi iodida (Kelter, 2008).
2.4 Iodimetri
Titrasi yang memanfaatkan sifat pereduksi kuat seperti asam askorbat
untuk mereduksi iodine dalam menetapkan kadar (Widodo, 2010).

III. Mekanisme Reaksi


3.1 Reaksi Asam Askorbat dengan Metilen Biru
Asam askorbat akan mereduksi methylene blue dengan
mendonorkan 2H+ dari karbon C2 dan C3. H+ tersebut akan
mengikatkan diri ke N pada benzena tengah dan salah satu N pada
benzene kanan atau kiri. Semula, terdapat elektron yang beresonansi
dalam benzena-benzena methylene blue tersebut, namun dengan
adanya ikatan antara H dengan N, maka elektron tersebut tidak lagi
beresonansi dan membuat warna biru methylene blue menghilang
(Keppy, 2010).

3.2 Reaksi Asam Askorbat dengan Iodium

Asam askorbat akan mereduksi iodine sehingga iodine akan


terionisasi menjadi iodide sedangkan asam askorbat teroksidasi
menjadi asam dehidroaskorbat (Burgess, 2014).

IV. Teori Dasar


Vitamin C (asam askorbat) merupakan salah satu vitamin yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kegunaan vitamin C telah dikenal
sebagai penyembuh penyakit sariawan yang diikuti dengan gusi berdarah,
sakit lidah, nyeri otot dan sendi, berat badan berkurang, lesu dan lain-
lain. Vitamin C mempunyai peranan penting bagi tubuh manusia seperti
dalam sintesis kolagen, terlibat dalam metabolisme kolestrol menjadi
asam empedu dan juga berperan dalam pembentukan neurotransmitter
neropinefrin. Vitamin C mempunyai sifat antioksidan yang dapat
melindungi molekul-molekul yang sangat diperlukan oleh tubuh, seperti
protein, lipid, karbohidrat dan asam nukleat dari kerusakan oleh radikal
bebas dan reaktif oksigen spesies (Arifin dkk, 2007).
Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan senyawa bersifat asam
dengan rumus empiris C6H8O6 (berat molekul = 176,12 g/mol).
Kegunaan vitamin C adalah sebagai antioksidan dan berfungsi penting
dalam pembentukan kolagen, membantu penyerapan zat besi, serta
membantu memelihara pembuluh kapiler, tulang, dan gigi (Pratama dkk,
2011).
Vitamin C disebut juga asam askorbat, struktur kimianya terdiri
dari rantai 6 atom C dan kedudukannya tidak stabil, karena mudah
bereaksi dengan O2 di udara menjadi asam dehidroaskorbat merupakan
vitamin yang paling sederhana. Sifat vitamin C adalah mudah berubah
akibat oksidasi namun stabil jika merupakan kristal (murni). Mudah
berubah akibat oksidasi, tetapi amat berguna bagi manusia (Safaryani,
2007).
Vitamin C mudah teroksidasi jika terkena udara dan proses ini
dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta katalis
tembaga (Cu) dan besi (Fe) (Masfufatun dkk, 2009).
Vitamin C sangat mudah ionit dalam air, sedikit larut dalam
alkohol, dan tidak larut dalam benzene, eter, kloroform, minyak, dan
sejenisnya. Sifat yang paling utama dari vitamin C adalah kemampuan
mereduksinya yang kuat dan mudah teroksidasi yang dikatalis oleh
beberapa logam (Nuri dkk, 1992).
Asam askorbat (vitamin C) merupakan antioksidan yang dapat
mencegah oksidasi, dan merupakan nutrien serta vitamin yang larut
dalam air dan yang penting untuk menjaga kesehatan. Vitamin C
merupakan satu-satunya vitamin yang memiliki gugus enadiol dengan
daya reduksi kuat dan juga pemberi sifat asam (BPPI, 2010).
Sumber vitamin C yang paling penting dalam makanan terutama
berasal dari buah-buahan dan sayur-sayuran. Dalam satu buah sumber
vitamin C, kadar vitamin C yang lebih tinggi adalah pada bagian kulitnya
dibandingkan dengan bagian dagingnya, dan bagian buah yang paling
sedikit mengandung vitamin C adalah bijinya (Karinda, 2013).
Analisis kualitatif mempunyai arti mendeteksi keberadaan suatu
unsur kimia dalam cuplikan yang tidak diketahui. Analisa kuantitatif
mempunyai salah satu cara yang paling efektif untuk mempelajari kimia
dan unsur-unsur serta ion-ionnya dalam larutan. Dalam metode analisis
kualitatif kita menggunakan beberapa pereaksi golongan dan pereaksi
spesifik (Svehla, 1985).
Titrasi redoks adalah titrasi yang meilbatkan proses oksidasi dan
reduksi. Kedua proses ini selalu terjadi secara bersamaan. Dalam titrasi
redoks biasanya menggunakan potensiometri untuk mendeteksi titik
akhir. Untuk mengetahui kadar vitamin C metode titrasi redoks yang
digunakan adalah titrasi langsung yang mempunyai potensial reduksi
yang lebih kecil dibanding iodium. Vitamin C mempunyai potensial
reduksi yang lebih kecil daripada iodium sehingga dapat dilakukan titrasi
langsung dengan iodium. Pendeteksian titik akhir pada titrasi iodimetri
ini adalah dilakukan dengan menggunakan indikator amilum yang akan
memberikan warna biru pada saat tercapainya titik akhir (Gandjar dkk,
2007).
Metode yang digunakan pada penentuan kadar vitamin C kali ini
adalah iodimetri, karena vitamin C merupaka senyawa yang bersifat
reduktor cukup kuat, mudah teroksidasi dan iodium mudah berkurang.
Hal ini merupakan salah satu syarat senyawa dapat dilakukan dengan
metode iodimetri (Siti dkk, 2016).
Pengukuran kadar vitamin C dapat diukur dengan beberapa
metode, diantaranya metode titrasi iodimetri dan metode
spektrofotometri. Metode iodimetri merupakan bagian dari analisis
kuantitatif secara volumetri yang dapat digunakan untuk mengetahui
kadar suatu zat dengan cara mengukur volume yang sudah diketahui
konsentrasinya untuk ditambahkan ke dalam larutan secara akuivalen
(Safari, 2009).
Penentuan vitamin C dapat dikerjakan dengan titrasi iodimetri.
Titrasi iodimetri merupakan titrasi langsung berdasarkan reaksi redoks
yang menggunakan larutan baku I2 untuk mengoksidasi analitnya.
Areduksi + I2 Aoksidasi + I-
Harga vitamin C (asam askorbat) sering ditentukan kadarnya dengan
titrasi ini. Vitamin C dengan iod akan membentuk ikatan dengan atom C
nomor 2 dan 3 sehingga ikatan rangkap hilang (Harjadi, 1990).
Penetapan kadar vitamin C dengan metode iodimetri ini merupakan
reaksi reduksi-oksidasi (redoks). Dalam hal ini vitamin C bertindak
sebagai zat pereduksi (reduktor) dan I2 sebagai zat pengoksidasi
(oksidator). Dalam reaksi ini terjadi transfer elektron dari pasangan
reduksi ke pasangan pengoksidasi. Asam askorbat dioksidasi menjadi
asam dehidroaskorbat, sedang iodium menjadi iodida (Rahmawati dkk,
2015).
Titrasi redoks merupakan analisis titrimetri yang didasarkan pada
reaksi redoks. Titrasi iodimetri menggunakan larutan iodium yang
merupakan suatu oksidator sebagai larutan standar. Larutan iodium
dengan konsentrasi tertentu dan jumlah berlebih ditambahkan ke dalam
sampel, sehingga terjadi reaksi antara sampel dengan iodium.
Selanjutnya sisa iodium yang berlebih dihitung dengan cara
mentitrasinya dengan larutan standar yang berfungsi sebagai reduktor
(Sinaga, 2011).

V. Alat dan Bahan


5.1 Alat
5.1.1 Beaker glass 5.1.6 Labu ukur
5.1.2 Buret 5.1.7 Pelat tetes
5.1.3 Erlenmeyer 5.1.8 Pipet tetes
5.1.4 Gelas ukur 5.1.9 Statif
5.1.5 Kertas lakmus 5.1.10 Tabung reaksi
5.2 Bahan
5.2.1 Amilum
5.2.2 Aquadest
5.2.3 Asam askorbat
5.2.4 Asam sulfat
5.2.5 Etanol
5.2.6 Iodine
5.2.7 Kalium dikromat
5.2.8 Kalium iodida
5.2.9 Methylene blue
5.2.10 Natrium tiosulfat

VI. Metode
6.1 Pengamatan Organoleptis
Asam askorbat diamati pemeriannya dan dicicipi rasanya
dengan menggunakan indera perasa, kemudian hasilnya
dibandingkan dengan farmakope.
6.2 Uji Indikator Methylene Blue
Indikator methylene blue dibuat terlebih dahulu dimana 25
mg methylene blue dilarutkan dalam 100 ml etanol dan diencerkan
dengan aquadest hingga 250 ml. Lalu, dibuat larutan vitamin C 2%
dimana 0,2 g vitamin C dilarutkan dalam 10 ml aquadest.
Selanjutnya, larutan vitamin C sebanyak 2 ml dipindahkan ke
dalam tabun reaksi dan direaksikan dengan larutan methylene blue
sebanyak 4-5 tetes. Larutan campuran tersebut kemudian
dipanaskan dengan api bunsen.
6.3 Uji Kelarutan
Uji kelarutan dilakukan pada beaker glass dimana beaker
glass pertama diisi dengan 10 ml aquadest sedangkan beaker glass
kedua diisi dengan 15 ml etanol. Kemudian, serbuk vitamin C
ditambahkan ke dalam beaker glass pertama dan kedua sejumlah 1
g dan 0,5 g. Perubahan kelarutan yang terjadi diamati.
6.4 Uji pH
Uji pH diawali dengan dilarutkannya vitamin C sebanyak 1
g dalam 10 ml aquadest. Selanjutnya, kertas lakmus dicelupkan ke
dalam larutan. Perubahan warna yang terjadi diamati.
6.5 Pembuatan Reagen Amilum 0,5%
Amilum ditimbang sebanyak 0,25 g dan dilarutkan dalam
50 ml aquadest panas dalam beaker glass. Larutan diaduk sampai
homogen.
6.6 Pembuatan Reagen Iodine 0,1 N
KI 20 g dilarutkan dalam 100 ml aquadest pada beaker
glass, kemudian ditambahkan 12,6 g I2 ke dalam larutan campuran
hingga larut. Larutan dipindahkan ke dalam beaker glass dan di-ad
dengan aquadest hingga 1 L.
6.7 Pembuatan Larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N
Kristal Na2S2O3 ditimbang sebanyak 2,4 g dan dilarutkan
dalam 100 ml aquadest yang telah dipanaskan dan didinginkan.
6.8 Pembuatan Larutan Kalium Dikromat 0,1 N
K2Cr2O7 kering ditimbang 0,5 g dan dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 ml, lalu di-ad dengan aquadest sampai tanda batas
dan dikocok sampai larutan homogen.
6.9 Pembuatan Larutan KI 10%
Kalium iodida ditimbang 10 g dan dilarutkan dalam 100 ml
aquadest.
6.10 Pembakuan Larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N
Larutan kalium dikromat 0,1 N sebanyak 10 ml
dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 5 ml asam sulfat
pekat dan 10 ml larutan KI 20% kemudian aduk hingga homogen.
Larutan didiamkan selama 5-10 menit dalam keadaan tertutup
rapat. Setelah itu, larutan sebanyak 5 ml dipindahkan ke dalam
erlenmeyer untuk titrasi. Larutan dititrasi dengan larutan natrium
tiosulfat sampai warna kuning jerami, lalu ditambahkan amilum 1-
2 ml dan titrasi dilanjutkan perlahan-lahan sampai warna biru
hilang. Volume natrium tiosulfat yang terpakai dicatat lalu
normalitasnya dihitung (BSN, 2015).
6.11 Pembakuan Larutan Iodine
Larutan natrium tiosulfat 0,1 N sebanyak 10 ml
dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 2 tetes indikator
amilum. Larutan dititrasi dengan larutan I2 dalam buret hingga
terjadi perubahan warna dari bening menjadi biru. Volume I2 yang
terpakai dicatat dan dihitung normalitasnya (Ramdani, 2013).
6.12 Penentuan Kadar Asam Askorbat
Bahan baku vitamin C ditimbang 200 mg dan dilarutkan
dengan aquadest dalam labu ukur 100 ml. Vitamin C dipipet ke
dalam erlenmeyer sebanyak 20 ml dan ditambahkan asam sulfat 2
N sebanyak 5 ml serta 1 ml amilum 0,5%. Larutan dititrasi dengan
larutan iodine 0,1 N secara triplo.

VII. Hasil
Tabel 7.1 Uji Kualitatif
No. Perlakuan Hasil

1 Pengamatan Organoleptis Warna : putih kekuningan


Rasa : Asam
Bau : Tidak berbau

2 Uji Indikator Methylene Blue Larutan berwarna biru tua kemudian biru
muda dan bening

3 Uji Kelarutan Dalam aquadest : mudah larut


Dalam etanol : agak sukar larut

4 Uji pH Asam askorbat memiliki pH asam


Tabel 7.2 Hasil Pembakuan Natrium Tiosulfat
Titrasi ke- N K2CrO4 V K2CrO4 V Na2S2O3

1 0,1 N 5 ml 5,8 ml

2 0,1 N 5 ml 6,6 ml

3 0,1 N 5 ml 6,2 ml

Perhitungan Pembakuan Natrium Tiosulfat

Vrata-rata Na2S2O3 = = = = 6,2 ml

V K2CrO4 x N K2CrO4 = V Na2S2O3 x N Na2S2O3


5 ml x 0,1 N = 6,2 ml x N Na2S2O3

N Na2S2O3 = = 0,08 N

Tabel 7.3 Hasil Pembakuan Iodine


Titrasi ke- N Na2S2O3 V Na2S2O3 V I2

1 0,08 N 10 ml 12 ml

2 0,08 N 10 ml 11,2 ml

3 0,08 N 10 ml 11,3 ml

Perhitungan Pembakuan Iodine

Vrata-rata I2 = = = = 11,5 ml

V Na2S2O3 x N Na2S2O3 = V I2 x N I2
10 ml x 0,08 N = 11,5 ml x N I2

N I2 = = 0,07 N
Tabel 7.4 Hasil Penentuan Kadar Vitamin C
Titrasi ke- N I2 V I2 mEq mg vitamin C % vitamin C

1 0,07 N 6,8 ml 0,476 209,58 mg 104,79%

2 0,07 N 6,9 ml 0,483 212,66 mg 106,33%

3 0,07 N 7 ml 0,49 215,75 mg 107,88%

Rata-rata 106,33%

Perhitungan Penentuan Kadar Vitamin C


mEq1 = V1 I2 x N I2 = 6,8 ml x 0,07 N = 0,476
mEq2 = V1 I2 x N I2 = 6,9 ml x 0,07 N = 0,483
mEq3 = V1 I2 x N I2 = 7 ml x 0,07 N = 0,49
mg1 Vitamin C = mEq1 x BE x Fp
= 0,476 x x

= 0,476 x 88.06 x 5
= 209,58 mg

mg2 Vitamin C = mEq2 x BE x Fp


= 0,483 x x

= 0,483 x 88.06 x 5
= 212,66 mg
mg3 Vitamin C = mEq3 x BE x Fp
= 0,49 x x

= 0,49 x 88.06 x 5
= 215,75 mg

% vitamin C1 = x 100%

= x 100% = 104,79%

% vitamin C2 = x 100%

= x 100% = 106,33%
% vitamin C3 = x 100%

= x 100% = 107,88%

% vitamin C =

= = 106,33%

VIII. Pembahasan
Pada praktikum kali, bahan utama yang digunakan dalam
penentuan mutu adalah vitamin C. Pemastian mutu dilakukan dengan
metode kualitatif serta metode kuantitatif melibatkan titrasi iodimetri.
Analisis kualitatif obat diarahkan pada pengenalan senyawa obat,
meliputi semua pengetahuan tentang analisis yang hingga kini telah
dikenal. Dalam melakukan analisis, praktikan menggunakan sifat-sifat
zat atau bahan, baik sifat-sifat fisik maupun sifat-sifat kimianya.
Teknik analisis obat secara kualitatif didasarkan pada golongan
obat menurut jenis senyawanya secara kimia, dan bukan berdasarkan
efek farmakologinya. Hal ini disebabkan karena kadang-kadang suatu
obat dengan struktur kimia yang sama, mempunyai efek
farmakologi/daya terapeutis yang jauh berbeda.
Dalam bidang farmasi, analisis kualitatif/identifikasi bahan baku
yang digunakan sebagai bahan obat atau bahan baku pembantu/bahan
tambahan, diperlukan untuk memastikan jenis bahan obat atau bahan
tambahan tersebut.
Metode identifikasi obat secara konvensional dapat dilakukan
melalui tiga tahap, yaitu uji pendahuluan, uji penentuan gugusan
fungsional yang khas, dan penentuan jenis zat berdasarkan reaksi-
reaksinya dengan pereaksi tertentu dan pengamatan bentuk kristal
menggunakan mikroskop.
Tahap pemastian mutu secara kualitatif diawali dengan pengujian
organoleptis. Uji organoleptik merupakan uji identifikasi sifat fisik obat
meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa obat menggunakan indera. Hasil
yang didapatkan menunjukkan bahwa asam askorbat berbentuk hablur
putih kekuningan dan memiliki rasa yang asam. Hal ini sesuai dengan
yang tertera dalam literatur, Farmakope Indonesia Edisi IV.
Kelarutan zat dalam pelarut tertentu merupakan sifat fisika kimia
yang dapat digunakan untuk identifikasi obat. Uji kelarutan dilakukan
dengan memasukkan zat sampel ke dalam tabung reaksi kemudian di
dalamnya ditambahkan pelarut kemudian digoyang-goyang dan diamati
apakah zat tersebut dapat larut.
Dalam uji kelarutan, asam askorbat diamati kelarutannya dalam
aquadest dan etanol. Namun, sebelumnya asam askorbat harus
direaksikan terlebih dahulu dengan metilen blue.
Metilen blue dalam praktikum ini digunakan sebagai indikator
raksi oksidasi-reduksi. Indikator ini memiliki karakterisasi khas yaitu
memiliki warna biru terang dalam larutan berair. Metilen biru akan
bereaksi dengan vitamin C membentuk senyawa leukometilen biru.
Vitamin C mengalami proses oksidasi sedangkan metilen biru tereduksi
menjadi senyawa leukometilen biru yang tidak berwarna. Warna metilen
biru dalam larutan berair ini akan memudar oleh hidrogen (berasal dari
reaksi H2SO4 dengan Zn).
Asam askorbat yang dilarutkan dalam aquadest dan etanol
memiliki hasil yang berbeda. Asam askorbat pada etanol membutuhkan
waktu selama 9 menit 5 detik untuk melarut, sedangkan pada aquadest
asam askorbat hanya membutuhkan waktu 3 menit 40 detik. Hal ini
dikarenakan oleh sifat asam askorbat yang memiliki karakteristik mudah
larut dalam air dengan kelarutan 1:3 sampai 1:3,5 dan agak sukar larut
dalam etanol dengan kelarutan 1:25.
Setelah pengujian kelarutan, uji keasaman larutan atau pH larutan
obat/zat juga perlu dilakukan. Uji keasaman asam askorbat secara
sederhana dilakukan menggunakan kertas lakmus merah dan biru. Asam
askorbat akan mengubah warna kertas lakmus biru menjadi merah dan
kertas lakmus merah akan tetap berwarna merah. Hal ini disebabkan
asam askorbat merupakan suatu obat yang termasuk ke dalam golongan
asam.
Analisis kuantitatif adalah analisis untuk menentukan jumlah atau
kadar dari suatu elemen atau spesies yang ada di dalam sampel. Analisis
kuantitatif dalam kimia farmasi secara spesifik bertujuan untuk
mengetahui kadar suatu senyawa obat dalam sampel.
Teknik analisis obat secara kuantitatif didasarkan pada golongan
obat menurut jenis efek farmakologisnya. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan cara menentukan kadar obat masing-masing yang memiliki
efek sama.
Metode yang digunakan dalam menentukan kadar asam askorbat
adalah dengan titrasi iodimetri yang termasuk dalam titrasi oksidasi
reduksi. Titrasi oksidasi reduksi adalah cara analisis volumetri yang
berdasarkan reaksi reduksi oksidasi (redoks). Salah satu ciri reaksi redoks
adalah terjadinya perubahan bilangan oksidasi (biloks) dari zat-zat yang
bereaksi sebelum dan sesudah reaksi.
Titrasi iodimetri sendiri merupakan metode titrasi yang pada
penentuan atau penetapannya didasarkan pada jumlah iodium (I2) yang
bereaksi dengan sampel atau terbentuk dari hasil reaksi antara sampel
dengan iodida (I). Metode ini tergolong titrasi langsung karena dalam
proses titrasi ini I2 berfungsi sebagai pereaksi.
Dalam metode analisis ini, analit dioksidasi oleh I2, sehingga I2
tereduksi menjadi ion iodida:
Areduksi + I2 Aoksidasi + I-
Iod merupakan oksidator yang tidak terlalu kuat (lemah), sehingga hanya
zat-zat yang merupakan reduktor kuat yang dapat dititrasi. Indikator yang
digunakan adalah amilum yang akan memberikan warna biru pada titik
akhir penitaran.
I2 + 2e- 2I-
Indikator amilum merupakan indikator yang sangat lazim
digunakan, namun indikator amilum yang digunakan harus selalu dalam
keadaan segar dan baru karena larutan amilum mudah terurai oleh bakteri
sehingga untuk membuat larutan indikator yang tahan lama hendaknya
dilakukan sterilisasi atau penambahan suatu pengawet. Pengawet yang
biasa digunakan adalah merkurium (II) iodida, asam borat atau asam
formiat. Kepekatan indikator juga berkurang dengan naiknya temperatur
dan oleh beberapa bahan organik seperti metil dan etil alkohol.
Larutan natrium tiosulfat juga harus dibuat dalam keadaan segar
karena larutan tiosulfat tidak stabil dalam waktu yang lama. Bakteri yang
memakan belerang akan masuk ke dalam larutan ini dan proses
metaboliknya akan mengakibatkan pembentukan SO3-, SO42- dan
belerang koloidal.
Larutan iodin yang digunakan dalam penentuan kadar dibuat
dengan melarutkan I2 murni yang selanjutnya akan distandarisasi dengan
natrium tiosulfat. Disebabkan kelarutan iodin dalam air nilainya kecil,
maka larutan I2 dibuat dengan melarutkan I2 dalam larutan KI, dengan
demikian dalam keadaan sebenarnya yang dipakai untuk titrasi adalah
larutan I3-.
Pembakuan larutan natrium tiosulfat dilakukan dengan
menggunakan kalium dikromat sebagai larutan standar primer. Larutan
tiosulfat sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses
iodimetri ini harus distandarkan terlebih dahulu oleh kalium dikromat
yang merupakan standar primer yang kemudian ditambahkan dengan
kalium iodida dan juga asam sulfat pekat yang berfungsi untuk
memberikan suasana asam pada larutan, sebab larutan yang terdiri dari
kalium iodida dan kalium dikromat berada dalam keadaan netral atau
memiliki keasaman rendah. Warna larutan yang bening setelah dititrasi
akan berubah menjadi warna kuning kecoklatan atau kuning jerami.
Indikator yang digunakan dalam proses standarisasi ini adalah
indikator amilum. Penambahan amilum dilakukan saat mendekati titik
akhir titrasi dimaksudkan agar amilum tidak membungkus iod karena
akan menyebabkan amilum sukar untuk dititrasi untuk kembali ke
senyawa semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini
disebabkan sifat I2 yang mudah menguap. Pada titik akhir titrasi iod yang
terikat juga hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru menjadi
hilang dan perubahannya sangat jelas. Penggunaan indikator ini untuk
memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada saat titik akhir
titrasi.
Setelah natrium tiosulfat distandarkan, larutan tersebut digunakan
untuk pembakuan larutan iodin. Reaksi antara iodium dengan tiosulfat
yang mana tiosulfat dioksidasi oleh iodium menjadi tetrationat menurut
reaksi :
2S2O32- + I2 2I- + S4O62-
Titrasi iodium dengan tiosulfat tidak dapat dilakukan dalam
suasana alkalis dan pH yang diperbolehkan tergantung dari konsentrasi
iodium. Agar terjadi oksidasi yang kuantitatif dari tiosulfat menjadi
tetraionat oleh iodium maka pH harus kurang dari 7,6 untuk titrasi
dengan iodium 0,1 N.
Pada pengujian kadar vitamin C menggunakan titrasi iodimetri ini
dilakukan dalam keadaan netral atau dalam kisaran asam lemah sampai
basa lemah. Pada pH tinggi (basa kuat) iodin dapat mengalami reaksi
disproporsionasi menjadi hipoiodat.
I2 + 2OH- IO3- + I- + H2O
Prosedur pertama yang dilakukan adalah menimbang bahan baku
vitamin C sebanyak 200 mg kemudian dilarutkan dengan aquadest dalam
labu ukur 100 ml. Selanjutnya sampel dipipet sebanyak 10 ml dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan asam sulfat serta
indikator amilum. Setelah itu dititrasi dengan larutan iodin 0,1 N. Proses
titrasi dilakukan sampai larutan berubah warna dari larutan bening
menjadi biru. Warna biru yang dihasilkan menandakan bahwa proses
titrasi telah mencapai titik akhir.
Larutan iod berfungsi untuk memperlihatkan jumlah vitamin C
yang terdapat dalam sampel menjadi senyawa dehidroaskorbat sehingga
dapat digunakan untuk menghitung kadar vitamin C. Hal ini sesuai
dengan karakteristik iodium yang akan mengoksidasi senyawa yang
mempunyai potensial reduksi yang lebih kecil. Dalam hal ini adalah
vitamin C mempunyai potensial reduksi sebesar +0,116 volt, sedangkan
iodium mempunyai potensial reduksi sebesar +0,533 volt.
Indikator amilum berfungsi sebagai indikator yang akan
berinteraksi dengan iod ketika vitamin C habis teroksidasi, sehingga akan
terjadi perubahan warna menjadi biru sebagai petunjuk titik akhir titrasi.
Larutan amilum tidak boleh ditambahkan tepat sebelum titik akhir
dicapai. Jika amilum ditambahkan ketika konsentrasi iod tinggi, sedikit
iod akan tetap teradsorpsi bahan pada titik akhir titrasi.
Dalam pelaksanaan titrasi buret dan erlenmeyer harus tertutup dan
dilapisi dengan pembungkus (plastik) berwarna gelap. Hal ini disebabkan
iodium memiliki sifat mudah menguap dan mudah terurai oleh cahaya
matahari sehingga konsentrasi dari larutan iodin tidak stabil.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari percobaan ini, setelah
dilakukan secara triplo, volume titran yang digunakan mempunyai rata-
rata 6,9 ml. kadar vitamin C setelah perhitungan diperoleh sebesar
106,33%. Hal ini melebihi kadar yang seharusnya dalam literatur dimana
asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari
100,5% C6H8O6.
Faktor kesalahan kadar dalam praktikum dapat dipengaruhi karena
faktor umur, konsentrasi, dan tempat penyimpanan bahan baku dan
reagen yang digunakan. Hal lain yang juga dapat menyebabkan
terjadinya kesalahan ialah metode yang digunakan tidak menunjukkan
hasil yang presisi (tepat), seperti pada pembakuan maupun proses titrasi.
Kesalahan ini dapat ditanggulangi dengan lebih melakukan koreksi
terhadap segala persiapan yang akan dilakukan pada saat percobaan,
seperti analisis reagen, kalibrasi alat serta pengawasan.

IX. Simpulan
Berdasarkan praktikum ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Asam askorbat (vitamin C) dapat dipastikan mutu bahan bakunya
dengan uji kualitatif dan dapat ditentukan kadarnya dengan uji
kuantitatif menggunakan titrasi iodimetri.
2. Mutu bahan baku vitamin C pada percobaan sesuai dengan literatur
yang tercantum pada Farmakope Indonesia Edisi IV bahwa asam
askorbat berwarna putih/kuning, memiliki rasa asam, dan tidak
berbau.
3. Kadar vitamin C pada percobaan dengan titrasi iodimetri
menunjukkan angka 106,33%.

X. Daftar Pustaka
Arifin, Helmi., Delvitam Vivi., dan Almahdy. 2007. Pengaruh Pemberian
Vitamin C terhadap Fetus pada Mencit Diabetes. Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi, Vol.12(1).
BPPI. 2010. Penggunaan Asam Askorbat (Vitamin C) untuk
Meningkatkan Daya Simpan Sirup Rosela (Hibiscus sabdariffa
Linn). Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 23(1).
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2015. Mutu dan Metode Uji Minyak
Nabati Murni untuk Bahan Bakar Motor Diesel Putaran Sedang.
Tersedia online di
https://sisni.bsn.go.id/index.php/sni_main/detail_sni/22622
(Diakses pada 17 September 2017).
Burgess, Arthur E. 2014. Kinetics of the Rapid Reaction between Iodine
and Ascorbic Acid in Aqueous Solution Using UV-Visible
Absorbance and Titrasion by Iodine Clock. Journal Chemical
Education, Vol. 91(2).
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Gandjar, Ibnu, G., dan Abdul Rahman. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia.
Haustein, Catherine Hinga. 2014. Oxidation-reduction Reaction.
Farmington Hills: Gale Group.
Karinda, M. 2013. Perbandingan Hasil Penetapan Kadar Vitamin C
Mangga Dodol dengan Menggunakan Metode Spektofotometri
UV-Vis dan Iodometri. Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 2(1).
Kelter, Paul. 2008. Chemistry: The Practical Science. Boston: Houghtpn
Mifflin Company.
Keppy, Nicole Kreuziger. 2010. Analysis of Methylene Blue Reduction by
Ascorbid Acid. USA: Thermo Fisher Scientific.
Masfufatun, Widianingsih, Kumala, Nur., dan Rahayuningsih Tri. 2010.
Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap Vitamin C
dalam Jambu Biji (Psidium guajava). Jurnal Ilmiah Kedokteran
Wijaya Kusuma.
Nuri, Andarwulan., Sutrisno, dan Kaswari. 1992. Kimia Vitamin Edisi
Pertama. Jakarta: Rajawali Press.
Pratama, Anggi., Darjat, dan Setiawan Iwan. 2011. Aplikasi Labview
sebagai Pengukur Kadar Vitamin C dalam Larutan Menggunakan
Metode Titrasi Iodimetri. Tersedia online di
http://eprints.unpad.ac.id/25483/1/ML2F00483.pdf (Diakses pada
17 September 2017).
Rahmawati, Farida dan Choiril Hana. 2015. Penetapan Kadar Vitamin C
pada Bawang Putih (Allium sativum L.) dengan Metode Iodimetri.
CERATA Journal of Pharmacy Science, Vol. 1.
Ramdani, F.A. 2013. Penentuan Aktivitas Antioksidan Buah Pepaya
(Carica papaya L.) dan Produk Olahannya berupa Manisan Pepaya.
Tersedia online di
http://repository.upi.edu/2659/6/S/KIM_1105757_Chapter3.pdf
(Diakses pada 17 September 2017).
Safari, R. 2009. Penentuan Vitamin C dalam Manisan Nanas Secara
Spektrofotometri dengan Pereaksi Metilen Biru. Yogyakarta:
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga.
Safaryani, Nurhayati., Haryanti, dan Endah. 2007. Pengaruh Suhu dan
Lama Penyimpanan terhadap Penurunan Kadar Vitamin C Brokoli
(Brassica olearacea L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi, Vol. 15(2).
Sinaga, Ridwan Habibi. Studi Kandungan Vitamin C pada Tumbuhan
Kol (Brassica oleracia L.) dengan Berbagai Pengolahan. Tersedia
online di
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22943/3/Chapter
%20II.pdf (Diakses pada 24 September 2017).
Siti, Nurjanah., Agustina, Anita., dan Rahmi Nurnaini. 2016. Penetapan
Kadar Vitamin C pada Jerami Nangka (Artocarpus heterpophyllus
L.). Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. 2(1).
Svehla, G. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro
Edisi V. Jakarta: PT Kalman Media Pusaka.
Widodo, Didik Setyo. 2010. Kimia Analisis Kuantitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Lampiran

NO. PERLAKUAN FOTO

1 Pengamatan organoleptis asam askorbat

2 Pembuatan larutan asam askorbat 2%

3 Reaksi antara methylene blue dengan


asam askorbat
4 Uji kelarutan 10 ml aquadest + 1 g asam
askorbat

5 Uji kelarutan 15 ml etanol + 0,5 g asam


askorbat

6 Uji pH asam askorbat


7 Pembakuan larutan natrium tiosulfat
8 Pembakuan larutan iodine

9 Penentuan kadar asam askorbat

Anda mungkin juga menyukai