II. Prinsip
2.1 Reaksi Reduksi-Oksidasi
Reaksi redoks merupaka reaksi yang dapat menyebabkan berubahnya
bilangan oksidasi pada reaksi tersebut dan dapat diartikan sebagai proses
transfer elektron (Harvey, 2000).
2.2 Reaksi Kompleksometri
Reaksi dimana akan menghasilkan ion kompleks karena adanya ikatan
kovalen antara atom pusat dari unsur-unsur logam maupun transisi dengan
molekul ligannya (Petrucci, 1995).
III. Reaksi
3.1 Reaksi Redoks Vitamin C dengan Iodin
(Basset,1994)
.
3.4 Reaksi Pembakuan Natrium Tiosulfat
I2 + 2Na2S2O3 → Na2S4O6 + 2NaI
VI. Prosedur
6.1 Uji Kualitatif
a. Uji Organoleptis
Asam askorbat dicicipi dan diamati pemeriannya (rasa warna,
bentuk, bau). Kemudian, dibandingkan dengan data pengamatan yang
terdapat pada farmakope (Depkes RI, 2014).
b. Uji Kelarutan
Disiapkan beaker glass sebanyak dua buah. Kemudian, beaker
glass pertama diisi dengan 5 ml aquades dan beaker glass kedua diisi
dengan 5 ml etanol, Setelah itu ditimbang asam askorbat sebanyak 20
mg dan dilarutkan pada beaker glass yang pertama dan ditimbang
kembali asam askorbat sebanyak 5 mg dilarutkan pada beaker glss yang
kedua, lalu diamati hasil yang terjadi pada kedua beaker glass (Depkes
RI, 2014).
c. Uji pH
pH Indikator dicelupkan kedalam beaker glass pertama yang
berisis larutan 20 mg asam askorbat dan 5 ml aquades pada beaker glass
pertama. Lalu diamati pH dan catat (Zeng, 2013).
d. Uji Warna
Reagen Metilen Blue
Reagen Meti Blue
Ditimbang metilen blue sebanyak 25 mg lalu dilarutkan ke
dalam 100 ml aquades .Selanjutnya metilen blue diencerkan
dengan aquadest hingga mencapai volume 250 ml
Larutan Asam Askorbat
Ditimbang asam askorbat sebanyak 0,2 g lalu dilarutkan ke
dalam 10 ml aquadest. Kemuadian diambil sebanyak 2 ml dan
dimasukkan ke dalam tabung reaski, ditambahkan 4-5 tetes metilen
blue dan diamati perubahan yang terjadi
Reagen Perak Nitrat Amoiakal
Reagen Perak Nitrat Amoniakal
Dilarutan 2,5 g perak nitrai P di dalam 80 ml air, ditambahkan
tetes demi tetes ammonium hidroksida 6 M sampai terbentuknya
endapan larut dan diencerkab dalaan 10 ml aquades
Larutan Asam Askorbat
Ditimbang asam askorbat sebanyak 0,2 g lalu dilarutkan ke
dalam 10 ml aquadest. Kemuadian diambil sebanyak 2 ml dan
dimasukkan ke dalam tabung reaski, ditambahkan 4-5 tetes reagen
perak nitrat amoniakal dan diamati perubahan yang terjadi.
Uji benedict
Reagen Benedict
Dilarutkan 1,73 g CuSO4 dalam 10 ml aquades dan dilarutkan
alumium sitrat 17,3 g ditambahkan Na – Carbonat anhidrat
sebanyak 10 g dan dilarutkan dalam 80 ml dengan bantuan
pemanasan selanjutnya larutan dituangkan kedalam CuSO4 dan
diencerkan hingga 100 ml.
Larutan Asam Askorbat
Ditimbang asam askorbat sebanyak 0,2 g lalu dilarutkan ke
dalam 100 ml aquadest. Kemudian diambil sebanyak 2 ml dan
dimasukkan ke dalam tabung reaski, ditambahkan 0,5 ml reagen
benedict lalu dipanaskan dalam penangas air 100 C selama 3 menit
dan diamati perubahan yang terjadi
Reagen Nessler
Reagen Nessler
Dilarutkan 50 gram kalium iodide pekat kedalam 50 ml.
Ditambahkan larutan KI kedalam larutan merkuri klorida (22 gram
merkuri klorida dalam 350 aquades) hingga endapan larut kembali
kemudian ditambahkan 200 ml NaOH 5M dan di add hingga 1 liter.
Pembuatan Reagen
Larutan Natrium Tiosulfat dan 40 mg Na-karbonat
Ditimbang Na-tiosulfat sebanyak 5.2 gram dan ditimbang 40
mg Nakarbonat lalu dilarutkan dalam 200 ml aquadest panas
Larutan Iodin 0,05 M
Ditimbang KI sebanyak 18 gram lalu dilarutkan dalam 100 ml
aquadest. Selanjutnya menibang 7 gram iodin kemudian dilarutkan
dalam larutan KI dan ditambahkan 1 tetes HCl lalu dimasukan ke
dalam labu ukur 500 ml dan di add hingga 500 ml
Larutan Indikator Amilum 5 %
Ditimbang 2.5 gram amilum dan dilarutkan dalam 50 ml
aquadest yang dipanaskan.
Larutan Kalium Iodat 0,1 N
Ditimbang KIO3 sebanyak 0,05 gram lalu dilarutkan
dengan 25 ml aquadest dalam labu ukur kemudian dimasukan 5
ml larutan KIO3 dalam Erlenmeyer sebanyak dua kali dengan
Erlenmeyer yang berbeda. Selanjutnya enimbang 0,125 gram KI
lalu larutkan kedalam Erlenmeyer.
Pembakuan
Pembakuan Na-tiosulfat
Dimasukkan larutan Na-tiosulfat dalam buret dan Kalium Iodat
dalam erlenmeyer kemudian titrasi hingga berwarna kuning jerami,
lalu ditambahkan indikator amilum dan titrasi kembali hingga
bening.
Pebakuan Iodin
Dimasukkan larutan Na-tiosulfat dalam buret dan 10 ml Idoin
dalam erlenmeyer kemudian titrasi hingga berwarna kuning jerami,
lalu ditambahkan indikator amilum dan titrasi kembali hingga
bening.
VIII. Perhitungan
8.1 Uji Kualitatif
Keterangan :
Wo = Berat krus kosong
W1 = Berat krus + zat sebelum pemijaran
W2 = Berat krus + zat sesudah pemijaran
Diketahui
Wo = 35,8185 g
W1 = 38,0872 g
W2 = 35,9454 g
Ditanyakan : % Sisa pemijaran
𝑤2−𝑤𝑜
% Sisa Pemijaran = 𝑤1−𝑤𝑜 𝑥100%
35,9454−35,8185
% Sisa Pemijaran = 38,0872−35,8185 𝑥100%
b. Pembuatan Iodium
36 𝑔
KI = 100 𝑚𝑙 𝑥500 𝑚𝑙 = 18 𝑔
14 𝑔
I2 = 1000 𝑚𝑙 𝑥500 𝑚𝑙 = 7 𝑔
Fp = 12,5
𝑚𝑔 𝑣𝑖𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛 𝐶
% Kadar Vitamin C = 𝑚𝑔 𝑚𝑢𝑙𝑎−𝑚𝑢𝑙𝑎 𝑋 100%
IX. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan mutu vitamin C atau
asam askorbat secara kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan dari pemerikasaan
mutu vitamin C diantaranya adalah untuk dapat mengetahui kadar vitamin C
yang dimiliki dalam suatu sampel yang berupa vitacimin. Uji kualitatif yang
dilakukan berupa uji organoleptis, uji kelarutan, uji pH, uji menggunakan
reagen methylen blue, Nessler, Benedict, uji logam berat dan uji pemijaran.
Sedangkan uji kualitatif yang dilakukan yaitu uji iodimetri dengan prinsip
reaksi redoks dan juga reaksi kompleksometri.
Asam askorbat atau vitamin C adalah agen reduktor yang baik, maka
dari itu digunakan uji kualitatif dengan reagen methylen blue dan juga titrasi
iodometri untuk menentukan kadar secara kuantitatifnya.
Pada literatur, vitamin C diketahui memiliki kestabilan terhadap cahaya
maupun panas yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena apabila dilihat dari
strukturnya, vitamin C atau asam askorbat memiliki dua gugus hidroksil yang
kurang stabil sehingga dapat dengan mudah direduksi dengan adanya atom
oksigen lain yang merupakan reduktor yang cukup kuat. Asam askorbat dapat
dengan mudah teroksidasi menjadi asam dehidroksiaskorbat ang berwarna
kecoklatan apabila terkena paparan sinar matahari ataupun suhu yang sangat
tinggi. Sifat ini menjadi dasar pembuatan obat kulit dengan kandungan vitamin
C dan menjadi alasan mengapa tidak diperbolehkan memasak makanan
sayuran yang kaya menggandung vitamin C terlalu lama.
Pada uji organoleptis yang dilakukan, dapat diamati vitamin C
berbentuk hablur kristal cukup besar, berwarna putih kekuningan, tidak
memiliki bau yang signifikan dan terasa asam apabila dikecap. Sedangkan pada
uji kelarutan terdahap air dan etanol, vitamin C mudah larut dalam air namun
agak sukar larut dalam etanol. Hal ini disebabkan karena vitamin C atau asam
askorbat memiliki cukup banyak gugus hidroksil yang dapat dengan mudah
membuat ikatan hidrogen dalam air dan memiliki struktur yang tidak simetris,
sehingga memiliki distribusi muatan yang tidak merata.
Uji kualitatif lain yang dilakukan adalah pengujian terhadap pH untuk
mengetahui tingkat keasaman dari asam askorbat. Uji keasaman dilakukan
dengan mencelupkan indikator pH pada beaker glass yang berisi 20 mg asam
askorbat yang telah dilarutkan dengan 5 mL aquadest. Didapatkan pH larutan
sekitar 3 (asam). Hal ini dikarenakan asam askorbat memiliki kemampuan
melepas hidrogen, nampun tidak sekuat asam halida yang memiliki pH 1.
Selanjutnya dilakukan uji sisa pemijaran untuk melihat jumlah suatu
zat uji dalam persen yang mudah menguap atau mudah hilang pada kondisi
yang telah ditetapkan. Menurut farmakope indonesia, uji sisa pemijaran pada
vitamin C harus lebih sedikit atau sama dengan 0,1%. Apabila hasil uji
pemijaran lebih dari 0,1% maka dapat dipastikan vitamin C tersebut
mengandung zat pengotor. Uji sisa pemijaran dilakukan dengan memijarkan
kurs pada suhu kurang lebih 600°C. kemudian didinginkan dalam desikator.
Desikator mengandung silika pada bagian bawahnya sehingga suhu pada kurs
akan cepat meningkat. Setelah dingin, kurs kemudia ditimbang. Kegunaan
pemijaran awal ini adalah untuk membersihkan dan memastikan tidak ada
cemaran atau zat pengotor lain yang menempel pada kurs dan juga sebagai
bentuk penaraan pada kurs tersebut. Selanjutnya asam askorbat dimasukan
dalam kurs dan dipijarkan kembali pada suhu yang sama selama 30 menit.
Setelah itu didinginkan kembali dalam desikator dan kurs yang berisi asam
askorbat tersebut ditimbang. Hasil penimbangan kemudian dibuat presentasi
dan didapatkan hasil sebesar 5,6%. Hal ini tidak sesuai dengan batas maksimal
hasil pemijaran yaitu tidak lebih dari 0,1%.
Uji kualitatif selanjutnya yang dilakukan adalah pengujian asam
askorbat dengan methylen blue. Saat ditetesi dengan methylen blue, terjadi
perubahan warna menjadi biru. Akan tetapi, larutan akan berubah menjadi
kehijauan dan lama kelamaat akan berubah menjadi bening. Hal ini terjadi
karena warna biru tersebut dapat memudar akibat dari teroksidasinya vitamin
C karena adanya katalisator Fe, Cu, enzim askorbat oksidase, sinar dan
temperatur yang cukup tinggi. Reaksi asam askorbat dengan methylen blue
merupakan reaksi reduksi oksidasi dimana methylen blue tereduksi dan asam
askorbat teroksidasi meghasilkan leukomethylen blue ditambah asam
dehidroksi askorbat. 1 mol methylen blue sama dengan 1 mol asam askorbat.
Semakin tinggi konsentrasi asam askorbat maka semakin pekat warna biru
yang dihasilkan. Selain reagen metil biru, dilakukan juga pengujian kualitatif
dengan reagen benedict dan nessler. Reagen benedict terdiri dari CuSO4 dan
Na3-sitrat. Ketika larutan asam askorbat diteteskan reagen tersebut akan
menghasilkan kompleks warna menjadi merah. Sedangkan reagen nessler
terdiri dari kalium iodida yang dilarutkan dalam 50 mL aquadest , larutan KI,
merkuri klorida dan NaOH. Hasil dari uji ini yaitu kompleks warna hitam.
Kemudian dilakukan uji batas logam berat. Uji ini berguna untuk
menentukan ada tidaknya cemaran logam berat pada asam askorbat. Logam
yang menjadi pembanding pada uji ini adalah timbal. Hal yang harus
diperhatikan pada uji ini adalah komposisi dari setiap larutan, diantaranya
adalah larutan uji yang berisi asam askorbat yang dilarutkan dalam aquades,
larutan pembanding yang berfungsi sebagai pembanding terhadap larutan uji,
apabila larutan uji bereaksi sama dengan larutan pembanding maka larutan uji
tersebut mengandung logam berat yang setara dengan larutan pembanding, dan
larutan baku yang berisi larutan timbal. Semua larutan tersebut dimasukan ke
dalam tabung pembanding warna, tabung yang digunakan diharuskan memiliki
alas yang datar, karena apabila menggunakan tabung alas melengkung seperti
tabung reaksi akan mempengaruhi hasil uji. Dimana kondisi pH serta volume
ketiga larutan dibuat sama. Reagen yang digunakan adalah senyawa H2S yang
berwujud gas . Jika H2S dimasukan pada ketiga tabung tersebut, akan
menghasilkan kekeruhan yang terjadi akibat adanya reaksi reduksi oksidasi,
dimana logam akan mengalami korosi dengan senyawa sulfur.
Pada pengujian kuantitatif, ditentukan kadar asam askorbat yang
dikandung, pada uji kuantitatif ditentukan kadar bahan baku vitamin C dengan
metode iodimetri. Iodimetri merupakan titrasi secara langsung dengan iodium
(I2) sebagai titrannya. Pada penentuan kadar vitamin C dilakukan secara
iodimetri hal tersebut dilakukan karena vitamin C dapat bereaksi langsung
dengan I2 dimana potensial reduksi Vitamin C lebih kecil dibandingkan dengan
iodium I2. Potensial reduksi iodium adalah sebesar +0,545 V sedangkan
vitamin C memiliki potensial reduksi sebesar +0,116 V. Dalam hal ini vitamin
C bertindak sebagai zat pereduksi (reduktor) dan iodium sebagai pengoksidasi
(oksidator). Pada titrasi iodimetri digunakan amilum 0.5% sebagai
indikatornya. Amilum haruslah dibuat segar karena larutan amilum tidak stabil
secara fisik dan mudah ditumbuhi mikroorganisme. Dalam pembuatannya
amilum dilarutkan dalam air panas untuk meningkatkan kelarutannya.
Digunakan amilum sebagai indikaator dalam titrasi ini agar titik akhir
titrasi dapat terlihat dengan jelas. Pentiter yang digunakan adalah larutan iodine
(I2) 0,1 N. Pada pembuatannya ditambahkan kalium iodida (KI). Hal ini
dikarenakan kelarutan iodium dalam air rendah, dan akan lebih mudah larut
jika ada ion iodide (I-). Ion iodide tersebut diperoleh dari KI, karena KI akan
terionisasi menjadi K+ dan I- .Dari hasil tersebut I2 akan bereaksi dengan ion
iodide membentuk I3- (triiodida). Selain itu juga penambahan KI berfungsi utuk
mengurangi penguapan larutan I2, dikarenakan titik uap KI lebih tinggi
dibandingkan I2. Larutan iodine sebagai pentiter merupakan larutan baku
sekunder. Maka dari itu harus dibakukan terlebih dahulu dengan larutan
natrium tiosulfat, kemudian natrium tiosufat (Na2S2O3) dibakukan oleh baku
primer KIO3. Larutan natrium tiosufat merupakan baku sekunder dikarenakan
bersifat higroskopis sedangan KIO3 termasuk baku primer dikarenakan
memiliki kemurnian yang tinggi. Larutan iodine (I2) tidak bisa dibakukan
langsung oleh KIO3 dikarenakan sifatnya yang sama-sama oksidator. Maka
dari itu iodine dibakukan terlebih dahulu dengan natrium tiosulfat yang bersifat
sebagai reduktor. Pada pembakuan larutan natrium tiosufat, KIO3 sebagai
analitnya dan natrium tiosulfat sebagai pentiternya. Pembakuan dilakukan
secara iodometri yang merupakan titrasi tidak langsung. Pada larutan kalium
dikromat ditambahkan KI 10% yang berfungsi sebagai reduktor, sehingga
nantinya kalium dikromat yang bersifat oksidator akan mengalami reduksi dan
menghasilkan I2. Kemudian ditambahkan juga asam sulfat (H2SO4) pada
analit yang berfungsi untuk memberikan suasana asam untuk menjaga pH
larutan kurang dari 8. Karena jika pH lebih dari 8 atau dalam suasana alkalis
iodium akan bereaksi dengan hidroksida (OH-). Membentuk iodida dan
hyphoiodit yang selanjutnya terurai menjadi iodida dan iodidat yang dapat
mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat, sehingga reaksi berjalan tidak
kuantitatif. Pada iodometri ini indikator amilum ditambahkan pada saat
mendekati titik akhir titrasi. Hal ini ditandai dengan perubahan warna larutan
yang berubah menjadi kuning jerami. Hal ini bertujuan untuk menghindari
adsorpsi I2 oleh amilum, sehingga nantinya iodium tidak dapat bereaksi
dengan natrium tiosulfat. Setelah ditambahkan amilum, dititrasi kembali
sampai warna biru menghilang yang menandai titik akhir titrasi. Pada
pembakuan larutan iodine, dibakukan oleh larutan natrium tiosufat. Analitnya
adalah larutan natrium tiosulfat sedangkan pentiternya adalah larutan iodine.
Indikator amilum bisa langsung ditambahkan pada analit dikarenakan amilum
tidak akan bereaksi dengan natrium tiosulfat sehingga tidak akan mengganggu
titik akhir titrasi.
Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan larutan warna dari bening
menjadi biru. Pada penentuan kadar vitamin C sampel yang digunakan adalah
Vitacimin sebanyak 100 mg. Dalam membuat larutan vitamin C, dilarutkan
langsung dalam aquades dikarekan kelarutannya yang mudah larut dalam air.
Pada penentuan kadar tersebut larutan asam askorbat sebagai analitnya
sedangkan larutan iodine sebagai pentiternya. Ke dalam larutan asam askorbat
ditambahkan asam sulfat pekat untuk menciptakan suasana asam kuat agar
nantinya amilum yang dipakai sebagai indikator akan terhidrolisis, selain itu
pada keadaan ini iodida (I-) yang dihasilkan dapat diubah menjadi iodine
dengan adanya O2 dari udara bebas, reaksi ini melibatkan H+ dari asam. Hal
tersebut berguna untuk menghasilkan iodium berlebih. Indikator amilum dapat
ditambahkan langsung pada analit sebelum titrasi dimulai dikarenakan amilum
tidak akan mengadsorpsi larutan asam askorbat. Kemudian analit dititrasi
secara triplo dengan larutan iodine. Larutan analit akan berubah dari bening-
kuning jerami (menandai mendekati titik akhir titrasi)-biru yang menandakan
titik akhir titrasi. Terbentuknya titik akhir titrasi tersbut dikarenakan kelebihan
iodine yang bereaksi (diadsorpsi) oleh amilum sehingga membentuk kompleks
iod-amilum. Pembentukan warna biru tersebut dikarenakan pada amilum
memiliki ikatan konfigurasi pada setiap unit glukosa yang berbentuk rantai
helix, kemudian iodium masuk ke dalam unit glukosa tersebut dan
menghasilkan kompleks yang berwarna biru.
X. Simpulan
Dapat diperiksa mutu Vitamin C pada sampel vitacimin secara
kualitatif yaitu dengan pengamatan organoleptis, kelarutan, pH, reagen metilen
blue, dan pemijaran. Sisa pemijaran menghasilkan abu sebanyak 5,6 %.
Mutu Vitamin C pada sampel vitacimin berdasarkan uji kuantitatif
menggunakan titrasi iodimetri menghasilkan kadar sebesar 38,28 % sehingga
dapat disimpulkan vitamin c tersebut tidak memenuhi persyaratan kadar yang
tertera di farmakope yaitu tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 100,5%.
DAFTAR PUSTAKA
Basset, J., R.C. Denney, G. H. Jeffrey, J. Mandhom. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia