Anda di halaman 1dari 41

FARMAKOTERAPI PENYAKIT INFEKSI

SEMESTER GANJIL 2018-2019


KASUS 4 : HIV - AIDS

Hari / Jam Kuliah : Jumat/ 08.00-09.40 WIB


Tanggal Kuliah : 30 November 2018 dan 6 Desember 2018

Irawati Nur Hidayah 260110170029 Arini Nurhaqiqi Aminudin 260110170036

Sidka Muhdiati 260110170030 Monica Lintang Kurniasari 260110170037

Dina Hawari 260110170031 Silmi Auliya Zakariya 260110170038

Mutiara Tonthawi 260110170032 Nurul Afifah 260110170039

Destri Yuli Rahmi 260110170033 Ismiatun 260110170040

Hikmah Presa Astuti 260110170034 Moh. Haidar Hilmi 260110170041

Tasya Cyntya Fitrianti 260110170035

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
I. DEFINISI AIDS DAN GEJALA KLINIS
A. DEFINISI

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retro virus golongan


RNA yang spesifik menyerang sistem imun/ kekebalan tubuh manusia.
Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV
memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya
AIDS.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan


gejala/ tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan
(oportunistik) karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah
terinfeksi berbagai penyakit karena imunitas tubuh yang sangat lemah,
sehingga tubuh gagal melawan kuman yang biasanya tidak menimbulkan
penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus,
jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara
lain kulit, saluran cerna/ usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis
keganasan juga mungkin timbul.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi
AIDS bila tidak diberi pengobatan dengan anti retro virus (ARV).
Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung
pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan. Dengan
demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu :

a) Rapid Progressor, berlangsung 2-5 tahun;


b) Average Progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan
c) Slow Progressor, lebih dari 15 tahun
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

Virus HIV termasuk golongan RNA yang berbentuk sferis dengan


inti kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel
hospes diameter 1000 angstrom. Inti virus mengandung protein kapsid
terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan
tiga enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase dan integrase (Savira,
2014).

Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan
hubungan filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya.
Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai
peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit
diantara kedua tipe HIV tersebut. Human Immunodeficiency Virus 1
(HIV-1) yang lebih sering ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis
dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1 (Savira, 2014).

HIV menyerang dan menghancurkan sel CD4 dari sistem


kekebalan. Sel CD4 adalah jenis sel darah putih yang memainkan peran
utama dalam melindungi tubuh dari infeksi. HIV menggunakan mesin sel
CD4 untuk berkembang biak (membuat salinannya sendiri) dan menyebar
ke seluruh tubuh. Proses ini, yang dilakukan dalam tujuh langkah atau
tahapan, disebut siklus hidup HIV (U.S. Department Health and Human
Service. 2018).

Tujuh tahap siklus hidup HIV adalah:

1) Mengikat,

2) Fusi,

3) Reverse Transcription

4) Integrasi,

5) Replikasi,

6) Perakitan,

7) Budding

(U.S. Department Health and Human Service. 2018).


SIKLUS HIDUP HIV

(U.S. Department Health and Human Service. 2018).

Human Immunodeficiency Virus merupakan retrovirus obligat


intraselular dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan
infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada
selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada
permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4+). Sel target
utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit,
mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik).
Glikoprotein terdiri dari dua sub-unit gp120 dan gp41. Sub unit 120
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 dan bertanggung jawab
untuk ikatan awal virus pada sel. Perlekatan ini menginduksi perubahan
konformasi yang memicu perlekatan kedua pada koreseptor. Dua reseptor
kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah CCR5 dan CXCR4.
Ikatan dengan kemoreseptor ini menginduksi perubahan konformasi pada
sub unit glikoprotein 41 (gp41) yang mendorong masuknya sekuens
peptida gp41 ke dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus.
Setelah terjadinya fusi, virus tidak berselubung mempersiapkan untuk
mengadakan replikasi (Savira, 2014).

Material genetik virus adalah RNA single stand-sense positif


(ssRNA), virus harus mentranskripsi RNA ini dalam DNA secara optimal
pada replikasi sel manusia (transkripsi normal terjadi dari DNA ke RNA,
HIV bekerja mundur sehingga diberi nama retrovirus). Untuk
melakukannya HIV dilengkapi dengan enzim unik RNA-dependent DNA
polymerase (reverse transcriptase). Reverse transcriptase pertama
membentuk rantai DNA komplementer, menggunakan RNA virus sebagai
templet. Hasil sintesa lengkap molekul double-strand DNA (dsDNA)
dipindahkan ke dalam inti dan berintegrasi ke dalam kromoson sel tuan
rumah oleh enzim integrase. Integrasi ini menimbulkan beberapa masalah,
pertama HIV dapat menyebabkan infeksi kronik dan persisten, umumnya
dalam sel sistem imun yang berumur panjang seperti Tlimfosit memori.
Kedua, pengintegrasian acak menyebabkan kesulitan target. Selanjutnya
integrasi acak pada HIV ini menyebabkan kelainan seluler dan
mempengaruhi apoptosis. Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan
mengalami replikasi, transkripsi dan translasi. DNA polimerase mencatat
dan mengintegrasi provirus DNA ke mRNA, dan mentranslasikan pada
mRNA sehingga terjadi pembentukan protein virus. Pertama, transkripsi
dan translasi dilakukan dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai
protein virus seperti Tat, Nef dan Rev. Protein Tat sangat berperan untuk
ekspresi gen HIV, mengikat pada bagian DNA spesifik yang memulai dan
menstabilkan perpanjangan transkripsi. Belum ada fungsi yang jelas
protein Nef. Protein Rev mengatur aktivitas post transkripsional dan
sangat dibutuhkan untuk reflikasi HIV. Perakitan partikel virion baru
dimulai dengan penyatuan protein HIV dalam sel inang. Nukleokapsid
yang sudah terbentuk oleh ssRNA virus disusun dalam satu kompleks.
Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran
pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses “budding” dari
membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan
menyebabkan kematian sel (Savira, 2014).

B. GEJALA
1. INFEKSI PRIMER (HIV AKUT)

Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh HIV mengembangkan


penyakit seperti flu dalam satu atau dua bulan setelah virus memasuki
tubuh. Penyakit ini, yang dikenal sebagai infeksi primer atau akut, dapat
berlangsung selama beberapa minggu. Gejala dan tanda yang mungkin
termasuk :

a) Demam;
b) Sakit kepala;
c) Nyeri otot dan nyeri sendi;
d) Ruam;
e) Sakit tenggorokan dan luka mulut yang menyakitkan;
f) Kelenjar-kelenjar mengalami pembengkakan, terutama di leher;
g) Gejala-gejala ini bisa begitu ringan sehingga kebanyakan orang belum
menyadarinya. Akibatnya, infeksi menyebar lebih mudah selama
infeksi primer
(MayoClinic, 2018).
2. INFEKSI LATEN KLINIS (HIV KRONIS)

Pada beberapa orang, pembengkakan kelenjar getah bening terus


terjadi selama tahap ini. Jika tidak, tidak ada tanda dan gejala khusus. HIV
tetap berada di dalam tubuh dan sel darah putih yang terinfeksi. Tahap
infeksi HIV ini biasanya berlangsung sekitar 10 tahun jika Anda tidak
menerima terapi anti retro viral. Tetapi kadang-kadang, bahkan dengan
perawatan ini, itu berlangsung selama beberapa dekade. Beberapa orang
mengalami penyakit yang lebih parah dengan perkembangan yang lebih
cepat.

Tanda-tanda dan gejala kronis seperti :

a) Demam;
b) Kelelahan;
c) Kelenjar getah bening yang membengkak, sering terjadi sebagai salah
satu tanda pertama infeksi HIV;
d) Diare;
e) Berat badan turun;
f) Infeksi jamur ragi (sariawan);
g) Shingles (herpes zoster);
h) Kemajuan ke AIDS;
i) HIV biasanya berubah menjadi AIDS dalam waktu sekitar 10 tahun.

Ketika AIDS terjadi, sistem kekebalan tubuh Anda telah rusak


parah. Anda akan lebih mungkin terkena infeksi oportunistik atau kanker
oportunistik, penyakit yang biasanya tidak akan mengganggu seseorang
dengan sistem kekebalan yang sehat. Tanda dan gejala beberapa infeksi ini
mungkin termasuk :

a) Keringat malam yang berlebih;


b) Demam berulang;
c) Diare kronis;
d) Bintik-bintik putih persisten atau lesi yang tidak biasa di lidah Anda
atau di mulut Anda;
e) Kelelahan terus-menerus dan tidak dapat dijelaskan;
f) Berat badan turun;
g) Ruam kulit atau benjolan
(MayoClinic, 2018).

II. PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK PASIEN AIDS


1. ELISA Test
Digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV dalam tubuh. Jika
hasil dari tes ini positif, biasanya dilakukan Westen blot test.
Sementara jika hasilnya negatif tetapi masih diperkirakan terserang
HIV, dapat dilakukan tes kembali dalam waktu satu hingga tiga bulan
(UCSF, 2018).
2. Viral Load Test
Tes ini dilakukan untuk mengetahui jumlah HIV dalam darah.
Umumnya tes ini digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan
atau mendeteksi infeksi HIV dini. Ada 3 tes yang dapat mengukur
jumlah HIV dalam darah yaitu RT-PCR, bDNA, dan NASBA (UCSF,
2018).
3. Western Blot
Tes yang dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil positif dari
ELISA Test (UCSF, 2018).
4. CD4 Count Test
Tes ini dilakukan untuk mengetahui jumlah sel CD4 dalam
darah. Seseorang yang terserang HIV memiliki jumlah CD4 kurang
dari 200/mm3, karena CD4 yang berperan dalam sistem imun ini
dihancurkan oleh HIV (HIV gov, 2017).
III. TERAPI AIDS SECARA UMUM
A. TUJUAN

Mengurangi morbiditas dan mortalitas, meningkatkan kualitas


hidup, memulihkan dan mempertahankan fungsi kekebalan, dan mencegah
penularan lebih lanjut melalui penekanan maksimum replikasi HIV
(Dipiro, et al., 2015).

B. GENERAL APPROACH
a) Keputusan pengobatan harus individual dengan tingkat risiko yang
ditunjukkan oleh tingkat viral load HIV dan jumlah CD4 plasma;
b) Pengukuran tingkat viral load HIV dan CD4 secara teratur;
c) Penggunaan terapi anti retro viral kombinasi yang poten untuk
menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat deteksi oleh
sensitif plasma HIV RNA assays;
d) Setiap obat anti retro viral yang digunakan dalam rejimen terapi
kombinasi harus selalu digunakan sesuai dengan jadwal dan dosis
optimal;
e) Perempuan harus menerima terapi anti retro viral yang optimal
tanpa memandang status kehamilan;
f) Orang yang terinfeksi HIV, bahkan mereka dengan viral load di
bawah batas terdeteksi, harus dianggap menular dan harus
dikonseling;
g) Perawatan dianjurkan untuk semua orang yang terinfeksi HIV
dengan jumlah CD4 limfosit di bawah 500 (500 × 10⁶/ L). Banyak
dokter juga akan mendukung terapi awal pada pasien asimtomatik
dengan jumlah CD4 di atas 500 (500 × 10⁶ / L)

(Dipiro, et al., 2015).

C. TERAPI FARMAKOLOGI
a) Agen Anti Retro Viral
- Menghambat replikasi virus;
- Ada empat kelompok utama obat yang digunakan : entry
inhibitors, reverse transcriptase inhibitors, integrase strand
transfer inhibitors (InSTIs), and HIV protease inhibitors (PIs);
- Reverse transcriptase inhibitors terdiri dari dua jenis: yang
merupakan turunan dari nukleosida dan nukleotida purin dan
pirimidin (NRTI) dan yang bukan nukleosida atau nukleotida
(NNRTI);
- Rekomendasi saat ini untuk pengobatan awal infeksi HIV
menganjurkan minimal tiga obat antiretroviral aktif : tenofovir
disoproxil fumarate plus emtricitabine dengan PI yang diperkuat
dengan ritonavir (darunavir atau atazanavir), NNRTI efavirenz,
atau InSTI, raltegravir.

Ritonavir is a potent inhibitor of cytochrome P450


enzyme 3A and is used to reduce clearance of other PIs.
Pengobatan Infeksi HIV : Regimen Anti Retro Virus pada Orang dengan
Antiretroviral-Naive

Pengobatan Infeksi HIV : Regimen Anti Retro Virus pada Orang dengan
Antiretroviral-Naive

(Lanjutan)
Karakteristik Farmokologis Senyawa Anti Retro Virus
(Dipiro, et al., 2015).

b) ARV (Anti Retroviral Therapy)

- Saat ini ARV itu sendiri terbagi dalam dua lini;


- Lini ke-1 atau lini pertama terdiri dari paduan nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NRTI) yang meliputi Zidovudin (AZT)
atau Tenofovir (TDF) dengan Lamivudin (3TC) atau Emtricitabin
(FTC), serta non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTI) meliputi Nevirapin (NVP) atau Efavirenz (EFV);
- Lini 2 terdiri dari NRTI, serta ritonavir-boosted protease inhibitor
(PI) yaitu Lopinavir/Ritonavir;

- Lini 1 itu sendiri terdiri dari kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI,


sedangkan lini 2 terdiri dari kombinasi 2 NRTI dan 1 PI.1

(WHO, 2015).

Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna


untuk pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden
infeksi terkait HIV dalam populasi (Kemenkes RI, 2015).
c) Rekomendasi ART

(Kemenkes RI, 2015).


I. Lini Pertama
(Kemenkes RI, 2015).

II. Lini Kedua

(Kemenkes RI, 2015).


III. Lini Ketiga

(Kemenkes RI, 2015).


IV. PENJELASAN PARAMETER LABORATORIUM PADA KASUS
1. Hemoglobin
Hemoglobin pasien 11 gr/dl. Menurut literatur, nilai normal
hemoglobin bagi pria 13 - 18 g/dl sementara pada SI Unit berada pada
rentang 8,1 - 11,2 mmol/L. Lalu nilai normal untuk wanita antara 12 - 16
g/dl dan pada SI Unit 7,4 – 9,9 mmol/L (Kemenkes RI, 2011).
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin menunjukkan pasien
mengalami penurunan hemoglobin. Implikasi klinik untuk pasien yaitu
penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena
kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan
asupan cairan dan kehamilan (Kemenkes RI, 2011).

2. Leukosit

Leukosit pasien: 20.000/UI. Menurut literatur, nilai normal leukosit


berada pada rentang 3200 – 10.000/mm3 atau menurut SI berada pada
rentang 3,2 – 10,0 x 109/L (Kemenkes RI, 2011).

Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh


dengan memfagosit organisme asing dan memproduksi atau mengangkut/
mendistribusikan antibodi (Kemenkes RI, 2011).

Nilai krisis leukositosis yaitu 30.000/mm3. Lekositosis hingga


50.000/mm3 mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone
marrow). Nilai leukosit yang sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat
disebabkan oleh leukemia. Penderita kanker post-operasi (setelah
menjalani operasi) menunjukkan pula peningkatan leukosit walaupun
tidak dapat dikatakan infeksi (Kemenkes RI, 2011).

Hasil laboratorium pada pasien menandakan nilai leukosit pasien


melebihi nilai normal namun belum mencapai nilai krisis leukositosis
(Kemenkes RI, 2011).
3. Trombosit

Hasil pemeriksaan trombosit pasien 160.000/UL. Menurut


literatur, nilai normal berada pada rentang 170 – 380. 103/mm3 atau
sesuai SI berada pada rentang 170 – 380. 109/L (Kemenkes RI, 2011).

Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah.


Trombosit diaktivasi setelah kontak dengan permukaan dinding endotelia.
Trombosit terbentuk dalam sumsum tulang. Masa hidup trombosit sekitar
7,5 hari. Sebesar 2/3 dari seluruh trombosit terdapat disirkulasi dan 1/3
nya terdapat di limfa (Kemenkes RI, 2011).

Pasien mengalami kekurangan trombosit atau trombositopenia.


Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia purpura
(ITP), anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa. Leukimia, multiple
myeloma dan multipledysplasia syndrome. Obat seperti heparin, kinin,
antineoplastik, penisilin, asam valproat dapat menyebabkan
trombositopenia. Penurunan trombosit di bawah 20.000 yang dialami
pasien berkaitan dengan perdarahan spontan dalam jangka waktu yang
lama, peningkatan waktu perdarahan petekia/ekimosis (Kemenkes RI,
2011).

4. LED (Laju Endap Darah)

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan LED pasien 30 mm


menandakan LED pasien berada di atas nilai normal yaitu pada pria
<15mm/1 jam dan pada wanita <20mm/1 jam (Kemenkes RI, 2011).

LED atau juga biasa disebut Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)


adalah ukuran kecepatan endap eritrosit, menggambarkan komposisi
plasma serta perbandingan eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh
berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi bumi (Kemenkes
RI, 2011).
Nilai meningkat terjadi pada kondisi infeksi akut dan kronis,
misalnya tuberkulosis, arthritis reumatoid, infark miokard akut, kanker,
penyakit Hodkin’s, gout, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit
tiroid, luka bakar, kehamilan trimester II dan III. Peningkatan nilai LED >
50mm/ jam harus diinvestigasi lebih lanjut dengan melakukan
pemeriksaan terkait infeksi akut maupun kronis, yaitu: kadar protein
dalam serum dan protein, immunoglobulin, Anti Nuclear Antibody (ANA)
Tes, reumatoid factor (Kemenkes RI, 2011).

5. Na+

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan Na+ pasien 8


mmol/L berada di bawah nilai normal yaitu 135 – 144 mEq/L atau
menurut SI unit 135 – 144 mmol/L (Kemenkes RI, 2011).

Natrium merupakan kation yang banyak terdapat di dalam cairan


ekstraseluler. Berperan dalam memelihara tekanan osmotik, keseimbangan
asam-basa dan membantu rangkaian transmisi impuls saraf. Konsentrasi
serum natrium diatur oleh ginjal, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem
endokrin (Kemenkes RI, 2011).

Pasien mengalami kekurangan kadar Na+ atau dinamakan


hiponatremia. Hiponatremia dapat terjadi pada kondisi hipovolemia
(kekurangan cairan tubuh), euvolemia atau hipervolemia (kelebihan cairan
tubuh). Hipovolemia terjadi pada penggunaan diuretik, defisiensi
mineralokortikoid, hipoaldosteronism, luka bakar, muntah, diare,
pankreatitis. Euvolemia terjadi pada defisiensi glukokortikoid, SIADH,
hipotirodism, dan penggunaan manitol. Sedangkan hypervolemia
merupakan kondisi yang sering terjadi pada gagal jantung, penurunan
fungsi ginjal, sirosis, sindrom nefrotik (Kemenkes RI, 2011).

6. Kalium
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar kalium pasien
2,8 mmol/L berada di bawah nilai nilai normal yaitu 3,6 - 5,2 mEq/L
untuk 0 - 17 tahun atau menurut SI unit antara 3,6 - 5,2 mmol/L
sementara untuk ≥ 18 tahun berada pada rentang 3,6 – 4,8 mEq/L atau
menurut SI unit antara 3,6 – 4,8 mmol/L. Maka dari itu, disimpulkan
pasien mengalami hipokalemia atau kekurangan kalium (Kemenkes RI,
2011).

Kalium merupakan kation utama yang terdapat di dalam cairan


intraseluler, (bersama bikarbonat) berfungsi sebagai buffer utama.
Konsentrasi kalium dalam serum berkolerasi langsung dengan kondisi
fisiologi pada konduksi saraf, fungsi otot, keseimbangan asam-basa dan
kontraksi otot jantung (Kemenkes RI, 2011).

Hipokalemia, adalah konsentrasi kalium dalam serum darah kurang


dari 3,5 mmol/L. Jika dari beberapa tes ditemukan
kecenderunganrendahnya konsentrasi kalium (contoh: 0,1-0,2
mmol/L/hari) akan lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan nilai
yang rendah pada satu pengukuran. Kondisi hipokalemia akan lebih berat
pada diare, muntah, luka bakar parah, aldosteron primer, asidosis tubular
ginjal, diuretik, steroid, cisplatin, tikarsilin, stres yang kronik, penyakit
hati dengan asites, terapi amfoterisin (Kemenkes RI, 2011).

7. Klorida

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar ion Cl- pasien


106 mmol/L, menunjukkan bahwa pasien memiliki kadar klorida yang
normal pada tubuh sesuai dengan nilai normal yaitu antara 97 - 106
mEq/L atau pada SI unit antara 97 - 106 mmol/L (Kemenkes RI, 2011).

Anion klorida terutama terdapat di dalam cairan ekstraseluler.


Klorida berperan penting dalam memelihara keseimbangan asam basa
tubuh dan cairan melalui pengaturan tekanan osmotis. Perubahan
konsentasi klorida dalam serum jarang menimbulkan masalah klinis,
tetapi tetap perlu dimonitor untuk mendiagnosa penyakit atau gangguan
keseimbangan asam-basa (Kemenkes RI, 2011).

V. TERAPI UNTUK PASIEN PADA KASUS

Hasil Lab Indikasi Penyakit

Jumlah protein sebanyak 3,5 g/dL Efusi pleura

CD4 < 200 sel/m3 (Pasien 190


PCP (Pneumocytis penumoneae)
sel/mm3)

Hb 11 g/dL Anemia

Limfosit menurun dikarenakan


Leukosit 20.000/UI
virus HIV menyerang CD4

Trombosit 160.000/UL Tidak terkena trombosit penia

LED 30 mm/jam Tidak terindikasi Tb

Kadar Natrium 8 mmol/L Hiponatremia

Nilai Kadar K 2,8 mmol/L Hipokalemia

Lebih cepat dari normal yaitu 12-20


Frekuensi nafas 28 kali/penit
kali/menit

Lebih cepat dari normal yaitu 60-


Denyut nadi 120 kali/menit
100 kali/menit

Suhu tubuh 39 ̊C Suhu normal 36 – 37,5 ̊C

Conjunctiva pucat Conjunctiva anemis

Sklera mata kuning Sklera tak ikterik

Ronchi +/+ Ronchi basah

Wheezing Ronchi kering


A. PENYEMBUHAN PENYAKIT LAIN YANG DISEBABKAN HIV
1. Diare Berkepanjangan
Pemberian oralit untuk mencegah dehidrasi karena dapat
mengganti cairan tubuh yang keluar saat diare. Jika diare masih terus
terjadi diberikan obat – obatan Zinc. Zinc dapat menghambat enzim INOS
(Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim dapat meningkat
selama diare juga mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc berperan
dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan
fungsi selama kejadian diare (Kemenkes RI, 2011).
2. Sariawan di Mulut yang Tak Kunjung Sembuh
Secara medis obat sariawan yang sering digunakan yaitu
antihistamin, steroid, antijamur, antibakteri, juga vit. C. Tetapi untuk
mencegah adanya efek samping berlebihan maka disarankan
menyembuhkan sariawan secara non – farmakologi seperti :
- Buah apel dan pepaya dikonsumsi rutin selama minimal seminggu
dengan cara Apel dan Pepaya dikupas, dicuci, lalu diblender. Bisa
ditambahkan dengan madu. Dikonsumsi rutin 3 x sehari, minimal 7
hari.
- Oleskan bubuk kopi secukupnya ke bagian yang sariawan. Biarkan
max. 15 menit. Lalu, kumur dengan air matang dan bersih. Lakukan
rutin 3x sehari sampai sembuh.
- Garam dan air matang secukupnya. Buat larutan garam dalam
air hangat. Kumur 3x sehari. Lakukan rutin sampai sembuh.
- Satu buah kelapa hijau, dibelah, diambil airnya, diminum. Boleh
ditambahkan sedikit garam dan madu murni. Minum 1x sehari,
minimal 7 hari (Tyash, 2011).
3. Pengobatan PCP
Pemberian kotrimoksasol guna untuk mencegah terjadinya PCP
(Penumocytis pneumoniae) dan Toxoplasmosis yang disebut sebagai
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) (Kemenkes RI, 2012).
Pasien diberikan kotrimoksasol sesuai dengan hasil pemeriksaan
laboratoriumnya yaitu dengan foto thorax dutemukan pleural effusi kanan
dengan jumlah protein sebanyak 3,5 dan memiliki kadar CD4 190 sel/mm3
(Kemenkes RI, 2012).
Selain itu diberikannya kotrimoksasol diberikan pada semua pasien
dengan stadium klinis 2, 3 dan 4 atau jumlah CD4 < 200 sel/mm3
(Kemenkes RI, 2012).
Pemberian kortimoksasol juga dapat diberikan untuk pengobatan
pada diare berkelanjutan (Mayo, 2018).
Berikan dua minggu (1 x 960 mg sebagai pencegahan IO) sebelum
mulai terapi ARV untuk memastikan tidak ada efek samping yang
tumpang tindih antara Kotrimoksasol dan obat ARV (Kemenkes RI,
2012).
B. PENENTUAN STADIUM
Dapat ditentukan setelah adanya pemeriksaan laboratorium
sehingga di dapat data klinis

(Kemenkes RI, 2012).


C. INFEKSI OPORTUNISTIK (IO) PADA ODHA
Dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat
dua macam tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Anti retroviral pada
orang dewasa pengobatan pencegahan, yaitu :
- Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
- Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya (Kemenkes RI, 2012).
D. PENENTUAN TERAPI ARV
ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200
sel/mm3; dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum
ARV. Hal tersebut berguna untuk
- Mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat
- Menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara
kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol
Saat Memulai terapi ARV yaitu ODHA dengan CD4 < 350
sel/mm3, terlepas ada tidaknya gejala klinis. ODHA dengan gejala klinis
yang berat (Stadium klinis 3 atau 4) berapapun jumlah CD4nya. Sehingga
pasien diperlukan terapi ARV diakarenakan telah memasuki stadium 3 dan
memiliki CD4 190 sel/mm3

(Kemenkes RI, 2012).


E. Lini 1
Terapi Lini Pertama berisi 2 NRTI + 1NNRTI , dengan pilihan :
- AZT + 3TC + NVP
- AZT + 3TC + EFV
- TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
- TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Pemerintah akan mengurangi penggunaan (phasing out) Stavudin (d4T)
sebagai paduan lini pertama karena pertimbangan toksisitasnya . Berikut
jika belum pernah melakkan terapi ARV

(Kemenkes RI, 2012).


F. Lini 2
Apabila pengobatan pada lini pertama tidak efektif lagi maka bisa
dilanjutkan pada lini kedua. Terapi lini kedua harus memakai Protease
Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah
2 NRTI, dengan pemilihan Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF)
tergantung dari apa yang digunakan pada lini pertama dan 3TC. PI yang
ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan adalah Lopinavir/ritonavir
(LPV/r) (Kemenkes RI, 2012).
VI. PENCEGAHAN AIDS
A. Tujuan :

Untuk mencegah penularan terutama bagi orang yang belum tertular


dan membantu orang yang telah terinfeksi untuk tidak menularkan kepada
orang lain atau pasangan (Kemenkes RI, 2016).

B. Pelaksanaan :
1. Penyebaran Informasi
- Informasi umum mengenai HIV – AIDS perlu dilakukan dengan
memerhatikan beberapa hal di antaranya tidak menggunakan gambar
atau foto yang menyebabkan ketakutan, stigma, maupun diskriminasi
serta dengan cara-cara yang dapat diterima masyarakat;
- Informasi ditekankan pada manfaat tes HIV dan pengobatan ARV
(Anti Retrovirus)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
2. Promosi Penggunaan Kondom
- Penggunaan kondom dengan benar setiap kali melakukan hubungan
seksual dapat menurunkan resiko tertular HIV dan IMS (Infeksi
Menular Seksual) lainnya. Karena HIV dapat ditularkan sebelum
ejakulasi melalui sekresi sebelum dan vagina, serta dari anus;
- Kondom sangat penting digunakan sebelum kontak seksual terjadi
antara penis, vagina, mulut, atau anus. Selain itu digunakan juga
pelumas, untuk meningkatkan keamanan yaitu dengan cara menambah
kelembapan pada vagina atau anus saat berhubungan seks;
- Pelumas dapat mengurangi resiko robeknya vagina atau dubur akibat
kekeringan atau gesekan yang terjadi, juga mencegah kerusakan pada
kondom;
- Pelumas yang bisa digunakan hanya yang berbasis air, seperti K-Y
Jelly. Karena dibandingkan pelumas berbasis minyak seperti vaseline
atau baby oil dapat melemahkan lateks pada kondom dan malah
menyebabkan kondom pecah atau robek
(National Health Service, 2018).
3. Skrining Darah, Organ, maupun Jaringan pada Donor
- Karena HIV dapat menular melalui donor darah, organ atau jaringan
dari donor yang mengidap HIV maka sebelum dilakukan transfusi
maka darah, organ, ataupun jaringan tubuh tersebut melalui pengujian
tertentu pada pendonornya supaya aman saat diterima oleh pasien
yang membutuhkannya
(U.S. Department Health and Human Service, 2018).
4. Menghindari Pemakaian Jarum dan Peralatan Suntik Bersama
- Penggunaan jarum suntik bersama sangat berbahaya karena dapat
meningkatkan resiko penularan HIV. Selain beresiko tertular HIV,
dapat juga terkena virus lain seperti Hepatitis C yang dapat ditemukan
pada darah. Penggunaan jarum pada pembuatan tato, tindik, juga perlu
diperhatikan agar selalu steril saat digunakan
(National Health Service, 2018).
5. Menghindari Perilaku Berganti-Ganti Pasangan
- Semakin sering berganti-ganti pasangan, maka kemungkinan besar
akan tertular HIV atau IMS lainnya
(U.S. Department Health and Human Service, 2018).
6. Penggunaan Obat untuk Pencegahan HIV
a. Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP)
- Diperuntukkan bagi seseorang yang negatif HIV tetapi memiliki
resiko tinggi tertular HIV. Profilaksis berarti pencegahan atau
perlindungan dari suatu infeksi atau penyakit;
- PrEP dilakukan dengan pemberian obat ARV yaitu Truvada setiap
hari. Truvada mengandung 2 obat HIV yaitu tenofovir disoproxil
fumarate dan emtricitabine yang dikombinasikan dalam 1 pil. Jika
seseorang terpapar HIV maka obat ini dapat menghentikan HIV
untuk masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh;
- Orang yang beresiko tinggi terpapar HIV di antaranya jika ia
memiliki pasangan dengan HIV positif; pria gay atau biseksual
yang melakukan seks anal tanpa menggunakan kondom, atau
didiagnosis mengidap IMS dalam 6 bulan terakhir; pria atau wanita
heteroseksual yang tidak teratur menggunakan kondom saat
berhubungan seks dengan pasangan yang tidak diketahui status
HIV-nya yang beresiko besar terinfeksi HIV (misalnya orang yang
menyuntikkan narkoba atau wanita yang memiliki pasangan pria
biseksual); orang yang telah menyuntikkan obat-obatan dalam 6
bulan terakhir dan telah berbagi jarum atau orang yang tengah
menjalani perawatan obat dalam 6 bulan terakhir;
- PrEP akan sangat efektif jika dilakukan secara konsisten setiap
hari. Beberapa orang yang menjalani PrEP mungkin akan
mengalami efek samping seperti mual, sakit perut, sakit kepala,
ataupun kehilangan berat badan, namun ini tidaklah serius dan
dapat hilang pada bulan pertama. Jika tidak kunjung hilang
dianjurkan melakukan konsultasi dengan tenaga kesehatan
(U.S. Department Health and Human Service, 2018).

b. Post Exposure Prophylaxis (PEP)

- Adalah penggunaan obat-obatan HIV untuk mengurangi risiko


infeksi HIV segera setelah kemungkinan terpapar HIV. Misalnya,
setelah seseorang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan
seseorang yang mengidap HIV atau setelah petugas kesehatan
secara tidak sengaja terkena HIV di tempat kerja;
- Agar efektif, PEP harus dimulai dalam waktu 3 hari (72 jam)
setelah kemungkinan terpapar HIV yaitu dengan minum obat HIV
setiap hari selama 28 hari. PEP juga mungkin diresepkan untuk
seseorang yang HIV negatif atau tidak tahu status HIV dalam 72
terakhir setelah kemungkinan terpapar, dan bagi pekerja kesehatan
yang mungkin terpapar akibat terkena jarum;
- PEP ditujukan untuk situasi darurat dan tidak dimaksudkan untuk
penggunaan rutin oleh orang-orang yang mungkin sering terpapar
HIV;
- PEP efektif mencegah penularan HIV jika dilakukan dengan benar,
tetapi tidak 100% efektif. Semakin cepat PEP dilakukan setelah
kemungkinan paparan HIV, semakin baik;
- Saat menggunakan PEP, penting untuk tetap menggunakan metode
pencegahan HIV lain, seperti menggunakan kondom dengan
pasangan seks dan hanya menggunakan jarum steril baru saat
menyuntikkan narkoba
(U.S. Department Health and Human Service, 2018).

c. Pencegahan Paparan HIV dari Ibu terhadap Bayi

- Disebut juga pencegahan HIV perinatal;


- Wanita dengan HIV dianjurkan minum obat HIV selama
kehamilan dan persalinan untuk mengurangi risiko penularan HIV
kepada bayi mereka dan untuk melindungi kesehatan mereka
sendiri;
- Bayi mereka yang baru lahir juga menerima obat HIV selama 4
hingga 6 minggu setelah kelahiran;
- Obat HIV mengurangi resiko infeksi dari HIV yang mungkin telah
memasuki tubuh bayi selama persalinan. Penularan HIV dari ibu ke
bayi dapat terjadi selama kehamilan, persalinan (juga disebut
persalinan dan melahirkan), atau menyusui (melalui ASI);
- Dalam beberapa situasi, seorang wanita dengan HIV mungkin
melahirkan sesar yang dijadwalkan (kadang-kadang disebut C-
section) untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi selama
persalinan. Direkomendasikan untuk wanita dengan viral load
yang tinggi atau tidak dikenal di dekat waktu persalinan. C-section
dijadwalkan untuk minggu ke-38 kehamilan (2 minggu sebelum
tanggal jatuh tempo yang diperkirakan seorang wanita);
- Bayi yang lahir dari wanita dengan HIV menerima obat HIV
selama 4 sampai 6 minggu setelah kelahiran. Obat-obatan HIV
mengurangi risiko infeksi dari HIV yang mungkin telah memasuki
tubuh bayi selama persalinan;
- Karena HIV dapat ditularkan melalui ASI, maka bayi diberikan
susu formula untuk mencegah hal itu terjadi;
- Obat HIV bekerja dengan mencegah HIV berkembang biak, yang
mengurangi jumlah HIV di dalam tubuh (viral load). Memiliki
lebih sedikit HIV di dalam tubuh melindungi kesehatan wanita dan
mengurangi risiko penularan HIV pada anaknya selama kehamilan
dan persalinan;
- Beberapa obat-obatan HIV beralih dari ibu hamil ke bayinya yang
belum lahir di seluruh plasenta (juga disebut setelah kelahiran).
Pengalihan obat-obatan HIV ini melindungi bayi dari infeksi HIV,
terutama selama persalinan per vagina ketika bayi melewati jalan
lahir dan terpapar pada HIV dalam darah ibu atau cairan lainnya;
- Ada laporan tentang anak-anak yang terinfeksi HIV dengan makan
makanan yang sebelumnya dikunyah oleh orang dengan HIV. Agar
aman, bayi tidak boleh diberi makan makanan yang sudah
dikunyah;
- Kebanyakan obat-obatan HIV aman digunakan selama kehamilan.
Secara umum, obat-obatan HIV tidak meningkatkan risiko lahir
cacat;
- Secara umum, wanita hamil dengan HIV dapat menggunakan
rejimen HIV yang sama yang disarankan untuk orang dewasa yang
tidak hamil, kecuali risiko efek samping yang diketahui pada
wanita hamil atau bayinya melebihi manfaat rejimen;
- Wanita hamil dengan HIV harus mulai mengonsumsi obat HIV
sesegera mungkin. Secara umum, wanita yang sudah mengonsumsi
obat-obatan HIV ketika mereka hamil harus terus menggunakan
obat-obatan HIV tersebut selama masa kehamilan mereka.
- Pilihan rejimen HIV yang digunakan selama kehamilan tergantung
pada beberapa faktor, termasuk penggunaan obat HIV saat ini atau
sebelumnya, kondisi medis lain yang mungkin dia miliki, dan hasil
tes resistansi obat;
- Dalam kebanyakan kasus, wanita yang sudah menggunakan
rejimen HIV yang efektif harus melanjutkan rejimen yang sama
selama kehamilan mereka. Tetapi kadang-kadang rejimen HIV
seorang wanita dapat berubah selama kehamilan. Misalnya,
perubahan obat HIV mungkin diperlukan untuk menghindari
peningkatan risiko efek samping selama kehamilan. Kadang-
kadang, mengubah dosis obat HIV dapat membantu mengimbangi
perubahan terkait kehamilan yang membuat lebih sulit bagi tubuh
untuk menyerap obat. Tetapi sebelum membuat perubahan pada
rejimen HIV, perempuan harus selalu berbicara dengan penyedia
layanan kesehatan mereka;
- Selama persalinan, obat-obatan HIV yang lewat dari ibu ke bayi di
plasenta mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, terutama di
dekat persalinan;
- Perempuan dengan viral load yang tinggi (lebih dari 1.000) atau
viral load yang tidak diketahui di dekat waktu melahirkan harus
menerima obat HIV yang disebut zidovudine (nama merek:
Retrovir) dengan injeksi intravena (IV);
- Zidovudine lolos dengan mudah dari seorang wanita hamil ke
bayinya yang belum lahir di seluruh plasenta, zidovudine
melindungi bayi dari HIV apa pun yang berpindah dari ibu ke anak
selama persalinan
(U.S. Department Health and Human Service, 2018).

VII. KONSELING
A. TERAPI FARMAKOLOGIS
1. Kortimoksazol
- Kortimoksazol merupakan kombinasi trimetoprim dan
sulfametoksazol dengan perbandingan 1 : 5;
- Kontraindikasi : gagal ginjal dan gangguan fungsi hati yang berat,
porfiria;
- Efek Samping : mual, muntah, ruam (termasuk sindrom Stevens-
Johnson, nekrolisis epidermal toksik, fotosensitivitas) hentikan
obat dengan segera. Gangguan darah (neutropenia,
trombositopenia, agranulositosis dan purpura) hentikan obat
dengan segera. Reaksi alergi, diare, stomatitis, glositis, anoreksia,
artralgia, mialgia. Kerusakan hati seperti ikterus dan nekrosis hati;
pankreatitis, kolitis terkait antibiotik, eosinofilia, batuk, napas
singkat, infiltrat paru, meningitis aseptik, sakit kepala, depresi,
konvulsi, ataksia, tinitus. Anemia megaloblastik karena
trimetoprim, gangguan elektrolit, kristaluria, gangguan ginjal
termasuk nefritis interstisialis
(BPOM RI, 2015).
2. Zidovudin (ZDV, AZT, Retrovir®)
- Indikasi : pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal dan
HIV asimtomatik dengan tanda-tanda risiko progresif, infeksi HIV
asimtomatik dan simtomatik pada anak dengan tanda-tanda imuno
defisiensi yang nyata; dapat dipertimbangkan untuk tansmisi HIV
maternofetal (mengobati wanita hamil dan bayi baru lahir); terapi
kombinasi antiretroviral untuk penanganan infeksi HIV pada
pasien dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun;
- Kontraindikasi : neutropenia dan/atau anemia berat; neonatus
dengan hiper bilirubinemia yang memerlukan terapi selain
fototerapi atau dengan peningkatan transaminase;
- Efek Samping : anemia (adakalanya memerlukan transfusi),
neutropenia dan lekopenia (lebih sering pada dosis tinggi dan
penyakit lanjut); mual, muntah, anoreksia, sakit perut, dispepsia,
sakit kepala, ruam, demam, mialgia, parestesia, insomnia, lesu;
- Pernah dilaporkan kejang, miopati, pigmentasi pada kuku, kulit
dan mukosa, pansitopenia (dengan hipoplasia sumsum tulang dan
kadang-kadang trombositopenia); gangguan hati berupa
perlemakan dan kenaikan bilirubin dan enzim hati (tangguhkan
pengobatan bila terjadi hepatomegali atau peningkatan
transaminase progresif); asidosis laktat
(BPOM RI, 2015).
3. Lamivudin (3TC, Hiviral®)
- Indikasi : infeksi HIV progresif, dalam bentuk sediaan kombinasi
dengan obat-obat antiretroviral lainnya. infeksi hepatitis B kronik
dengan bukti adanya replikasi virus hepatitis B;
- Kontraindikasi : wanita menyusui; hipersensitif terhadap
lamivudine;
- Efek Samping : infeksi saluran nafas bagian atas, mual, muntah,
diare, nyeri perut; batuk; sakit kepala, insomnia; malaise, nyeri
muskuloskelatal; gejala nasal; dilaporkan adanya neuropati
periferal; pankreatitis (jarang, bila terjadi hentikan pengobatan);
neutropenia dan anemia (dalam kombinasi dengan zidovudin);
trombositopenia; dilaporkan terjadinya peningkatan enzim hati dan
amilase serum
(BPOM RI, 2015).
4. Nevirapine (NVP, Viramune®)
- Indikasi : infeksi HIV progresif atau lanjut. Dalam kombinasi
dengan anti retroviral lainnya digunakan untuk infeksi HIV.
Resistensi nevirapin dapat terjadi dengan cepat dan tanpa adanya
bentuk, oleh karena itu nrvirapin harus diberikan secara kombinasi
dengan sekurang-kurangnya 2 antiretroviral lain; Pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak pada wanita hamil;
- Kontraindikasi : hipersensitif terhadap nevirapin, menyusui,
gangguan fungsi hati yang berat; profilaksis setelah pemaparan
(post-exposure prophylaxis);
- Efek Samping : ruam kulit termasuk sindrom Steven-
Johnson (jarang), nekrolisis epidermal toksik (lihat juga perhatian
di atas); mual, hepatitis (lihat juga penyakit hepatik di atas), sakit
kepala; muntah, nyeri abdomen, lelah, demam dan mialgia; diare
(jarang), angiodema, anafilaksis, reaksi hipersensitifitas (termasuk
reaksi hepatik dan ruam kulit, lihat penyakit hepatik di atas),
atralgia, anemia, dan granulositopenia (lebih sering pada anak-
anak); reaksi neuropsikiatri (sangat jarang)
(BPOM RI, 2015).
5. Nistatin
- Indikasi : kandidiasis;
- Efek samping : mual, muntah, diare pada dosis tinggi, iritasi oral
dan sensitisasi, ruam (termasuk urtikaria) dan dilaporkan terjadi
sindrom Steven-Johnson (jarang terjadi)
(BPOM RI, 2015).
B. TERAPI NON FARMAKOLOGIS
Adapun terapi non farmakologi sebagai berikut :
a) Tirah baring (bedrest);
b) Diet lunak tinggi;
c) Kalori tinggi protein;
d) Support dari keluarga;
e) Tidak melakukan tindak seksual, jika ingin disarankan untuk
memakai kondom;
f) Selalu konsultasi ke dokter untuk mengetahui perkembangan dari
penyakitnya;
g) Tidak merokok;
h) Makan makanan yang sehat seperti, buah dan sayur
(Dewita, 2016).
Siapa pun bisa terkena HIV, tetapi Anda dapat mengambil
langkah-langkah untuk melindungi diri dari infeksi HIV.

a) Dapatkan tes dan ketahui status HIV pasangan Anda. Bicarakan


dengan pasangan Anda tentang tes HIV dan diuji sebelum Anda
melakukan hubungan seks;
b) Gunakan kondom. Gunakan kondom dengan benar setiap kali
Anda melakukan hubungan seks;
c) Batasi jumlah pasangan seksual Anda;
d) Jangan menyuntikkan narkoba. Tetapi jika Anda melakukannya,
gunakan hanya peralatan suntik obat steril dan air dan jangan
pernah berbagi peralatan Anda dengan orang lain
(U.S National Library of Medicine, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2015. Kotrimoksasol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol


dengan Perbandingan 1:5) Tersedia secara online di
http://pionas.pom.go.id/monografi/kotrimoksasol-kombinasi-trimetoprim-dan-
sulfa-metoksazol-dengan-perbandingan-15. [Diakses pada tanggal 30
November 2018]

BPOM RI. 2015. Nevirapin. Tersedia secara online di


http://pionas.pom.go.id/monografi/nevirapin. [Diakses 30 November 2018]

BPOM RI. 2015. Lamivudin. Tersedia secara online di


http://pionas.pom.go.id/monografi/lamivudin. [Diakses 30 November 2018]

BPOM RI. 2015. Zidovudin. Tersedia secara online di


http://pionas.pom.go.id/monografi/zidovudin. [Diakses pada tanggal 30
November 2018]
BPOM RI. 2018. Nistatin. Tersedia secara online di
http://pionas.pom.go.id/monografi/nistatin [Diakses pada tanggal 4 Desember
2018]

Dewita, G., Awal B. B., Ali I. Y., Agustyas T. 2016. Pendekatan Diagnostik dan
Penatalaksanaan Pada Pasien HIV-AIDS Secara Umum . Jurnal Medula Unila.
Vol. 6 (1).

Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and Dipiro C. V. 2015.


Pharmacotherapy Handbook, 9th Ed. Inggris : McGraw-Hill Education
Companies.

HIV.gov. 2017. Lab Test and Result. Tersedia online di https://www.hiv.gov/hiv-


basics/staying-in-hiv-care/provider-visits-and-lab-test/lab-tests-and-results
[Diakses pada tanggal 29 November 2018]

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta : Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta : Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan.

Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dan Remaja. Jakarta : Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. 2015. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan HIV dan Sifilis dari Ibu
ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Kemenkes RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87


Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2016. Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan
PIMS Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

MayoClinic. 2018. HIV. Diakses secara online di


https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/hiv-aids/symptoms-
causes/syc-20373524 [Diakses pada tanggal 29 November 2018]

National Health Service. 2018. Prevention HIV and AIDS. Tersedia secara online
di https://www.nhs.uk/conditions/hiv-and-aids/prevention/. [Diakses pada
tanggal 29 November 2018]

Nursalam dan Kurniawati, ND. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien


Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Savira, M. 2014. Imunologi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam


Kehamilan. Jurnal Ilmu Kedokteran. Vol.8 (1) : 1-7

Tyash, R. 2011. Carang Gesang Untuk Mengatasi Sariawan. Jurnal Ilmiah


Mahasiswa. Vol.1 (1).

UCSF. 2018. Diagnosis AIDS. Tersedia online di


https://www.ucsfhealth.org/conditions/aids/diagnosis.html [Diakses pada
tanggal 29 November 2018]

U.S. Department Health and Human Service. 2018. HIV Medicines During
Pregnancy and Childbirth. Tersedia secara online di
https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-sheets/24/70/hiv-
medicines-during-pregnancy-and-childbirth. [Diakses pada tanggal 30
November 2018]

U.S. Department Health and Human Service. 2018. Post-Exposure Prophylaxis.


Tersedia secara online di https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-
sheets/20/87/post-exposure-prophylaxis--pep-. [Diakses pada tanggal 30
November 2018]
U.S. Department Health and Human Service. 2018. Pre-Exposure Prophylaxis.
Tersedia secara online di https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-
sheets/20/85/pre-exposure-prophylaxis--prep-. [Diakses pada tanggal 30
November 2018]

U.S. Department Health and Human Service. 2018. The Basics of HIV
Prevention. Tersedia secara online di https://aidsinfo.nih.gov/understanding-
hiv-aids/fact-sheets/20/48/the-basics-of-hiv-prevention. [Diakses pada tanggal
29 November 2018]

U.S. Department Health and Human Service. 2018. The HIV Life Cycle. Diakses
secara online di https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-
sheets/19/73/the-hiv-life-cycle[ Diakses pada tangal 6 Desember 2018]

World Health Organization. 2015. Guideline on when to start antiretroviral


therapy and on pre-exposure prophylaxis for HIV. Geneva : World Health
Organization.

Anda mungkin juga menyukai