Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR

SKRINING FARMAKOLOGI

Jumat, 7 April 2017


Kelompok 2
Shift B / 13.00 – 16.00

Nama NPM Tugas


Kita Radisa 260110160051 Kesimpulan, Editing
Ai Masitoh 260110160052 Pembahasan
Hammam H. Syahidan 260110160053 Tujuan dan Prinsip
Khoirina Nur S. 260110160054 Pembahasan
Aulia Annisa Putri Heri 260110160055 Teori Dasar
Fajra Dinda Crendhuty 260110160056 Data Pengamatan
Dian Amalia Maharani 260110160057 Teori Dasar
Irsarina Rahma W. 260110160058 Alat dan Bahan
Utari Yulia Alfi 260110160059 Prosedur

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DASAR


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017

Nilai TTD
I. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, diharapkan mahasiswa:
1.1 Dapat menerapkan metode skrining farmakologi dalam penentuan
potensi aktivitas suatu senyawa obat baru
1.2 Dapat mengaitkan gejala-gejala yang diamati dengan sifat
farmakologi suatu obat
1.3 Memahami faktor-faktor yang berperan dalam skrining
farmakologi suatu senyawa obat baru

II. Prinsip
2.1 Skrining Farmakologi
Uji-uji yang dilakukan untuk mengetahui aktivitas
farmakologi suatu obat (Darmono, 2011).
2.2 Skrining Buta
Pada aktivitas skrining ini efek yang terlihat semuanya
diamati sehingga dapat melakukan pemilihan terhadap suatu
sediaan yang mempunyai atau tidak mempunyai efek farmakologis
atau toksik. Selain itu, hasilnya dapat memberikan arahan untuk
penelitian selanjutnya (Katzung, 2004).

III. Teori Dasar


Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan alam semakin
memperjelas peran penting metabolit sekunder tanaman sebagai
sumber bahan baku obat. Metabolit sekunder adalah senyawa hasil
biogenesis dari metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh tumbuhan
tingkat tinggi, yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan
hidup secara langsung, tetapi lebih sebagai hasil mekanisme
pertahanan diri organisma. Aktivitas biologi tanaman dipengaruhi oleh
jenis metabolit sekunder yang terkandung di dalamnya. Aktivitas
biologi ditentukan pula oleh struktur kimia dari senyawa. Unit struktur
atau gugus molekul mempengaruhi aktivitas biologi karena berkaitan
dengan mekanisme kerja senyawa terhadap reseptor di dalam tubuh
(Lisdawati, et al., 2007).
Penapisan (skrining) adalah kegiatan melakukan
percobaan-percobaan farmakologi pada hewan percobaan atau
preparat organ terpisah untuk mendeteksi senyawa-senyawa kimia
yang mempunyai efek farmakodinamik atau kemoterapi untuk
dijadikan obat (Rahardjo, 2009).
Program skrining meliputi serangkaian pengamatan dan evaluasi
hasil-hasil pengamatan. Pada umumnya program skrining dimulai
dengan percobaan-percobaan terhadap hewan, dan senyawa-senyawa
yang diseleksi berdasarkan hasil percobaan pada hewan kemudian
dipastikan khasiatnya pada manusia. Program skrining dapat bersifat
blind screening/skrining buta, skrining terprogram dan skrining
sederhana (Katzung, 2004).
Uji neurologik adalah bagian dari skrining buta, yaitu suatu uji
farmakologi untuk melihat efek farmakologi senyawa obat baru. Uji
ini meliputi pengamatan umum, uji tingkah laku, profil neurologik,
profil otonomik dan toksisitas (Yadav, 2010).
Tujuan skrining yaitu untuk mengurangi morbiditas atau
mortalitas dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus
yang ditemukan. Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini
dimaksudkan untuk mengidentifikasi orang-orang simpatomatik yang
beresiko mengidap gangguan kesehatan serius (Smith, 2002).
Persyaratan skrining menurut Wilson and Jungner (1968),
antara lain:
1. Masalah kesehatan atau penyakit yang diskrining harus
merupakan masalah kesehatan yang penting.
2. Harus tersedia pengobatan bagi pasien yang terdiagnosa setelah
proses skrining.
3. Tersedia fasilitas diagnosa dan pengobatan (Smith, 2002).
Pengembangan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari
berbagai sumber yaitu tanaman, jaringan hewan, kultur mikroba dan
lain sebagainya. Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya
calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji. Pertama dilakukan
uji praklinis, untuk mengetahui profil efikasi (efek farmakologi),
profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang
dilakukan pada ujii praklinik adalah pengujian ikatan obat pada
reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya
dilakukan percobaan pada hewan utuh. Dalam pemilihan hewan, bisa
dipilih hewan yang baku digunakan, yang merupakan galur tertentu
dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau primata
(Sukandar, 2004).
Uji skrining ini merupakan tahap awal penelitian farmakologi
atau zat-zat yang belum diketahui efeknya serta untuk mengetahui
apakah obat tersebut memiliki efek fisiologis atau tidak sehingga
disebut sebagai penapisan hipokratik (penapisan awal). Penapisan ini
masih merupakan prediksi. Penapisan atau skrining farmakologi
dilakukan untuk mengetahui aktivitas farmakologi suatu zat yang
belum diketahui efeknya. Hal ini dilakukan dengan melihat gejala-
gejala yang timbul pada hewan coba setelah diberi zat uji. Pada
percobaan ini akan dilakukan evaluasi dan pengelompokan efek-efek
yang timbul pada hewan uji (tikus) berdasarkan efek yang dapat
ditimbulkan oleh zat atau obat tersebut (Webb, 2005).

IV. Alat dan Bahan


4.1 Alat
a. Alat suntik 1 ml
b. Sonde oral
c. Timbangan mencit
4.2 Bahan
a. Larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi gom arab
b. Mencit putih jantan
c. Obat A dan obat B
4.3 Gambar Alat

a. Alat suntik 1 ml b. Sonde Oral

c. Timbangan mencit

V. Prosedur
Pada praktikum ini, setiap kelompok bekerja dengan 3 mencit.
Sebelum dimulai, mencit ditimbang dan ditandai. Setelah itu, diamati
keadaan mencit sebelum diberi obat meliputi semua hal yang akan
diamati setelah pemberian obat. Setelah diamati, kepada masing-
masing mencit diberikan secara peroral obat A, obat B, atau blanko.
Kemudian mencit ditempatkan pada tempat pengamatan. Selanjutnya
diamati keadaan mencit sesudah diberi obat. Ditentukan waktu mulai
munculnya efek obat, lamanya efek berlangsung, dan intensitas obat
tersebut. Terakhir, dibahas selengkap mungkin semua hasil
pengamatan sehingga dapat disimpulkan kerja farmakologi obat yang
diuji.
Mencit 3 Obat B) Mencit 2 (Obat Mencit 1 (Kontrol)
A)

4
4
4
4
0
0
0

+
+
+
Starte Response
VI.

-
-

4
0
4
0
0
0
Straub Tail

+
+

00
-

0
0
0
0
0
0
0

+
+
+
Tremors

-
0
Twitches
CNS Excitation

4
4
4
4
0
0
0
Convulsions

Body Posture

4
4
4
4
4
4
4

+
+
+
+
Data Pengamatan

Limb Position

4
0
4
0
4
4
4

+
+
+
+
Posture

-
-
-
-

0
0
0
0
0
0
0

Staggering Galt

-
-
-
-

0
4
0
4
0
0
0
Motor

Abnormal Galt
Incoord.

0
0
-

4
4
4
4
0

+
+
+ Righting Reflex

4
0
4
0
4
4
4
+

Limbv Tone

0
4
0
4
4
4
4

+
+
+
+

Grip Strength
-
0

Body Sag

4
4
4
4
4
4
4
+

Body Tone
Muscle Tone

4
4
4
4
4
4
4
+

Abnormal Tone
-

4
4
4
4
4
4
4

+
+
+

Pinna

4
4
4
4
4
4
4

+
+
+
+

Corneal
Reflexes

4
4
4
4
4
4
4

+
+
+
+

Ipsilateral Flexor
-
0

Writhing

4
4
4
4
4
4
4

+
+
+
+

Pupil Size

4
0
4
0
4
4
4

+
+
+
+

Palpebral Opening
-
-

0
0
4
0
0
0
0

+
+

Exophthalmess
-
-

0
0
4
0
0
0
0

+
+

Urination
-
-
-
-

0
0
4
0
0
0
0

Salivation
-

4
0
4
0
0
0
0

+
+
+

Piloerection
Autonomic

0
0
0
0
0
0
0

Hypothermia
-
-
-

0
4
0
4
4
4
4
+

Skin Color
4
4
4
4
4
4
4
+

Heart Rate
4
4
4
4
4
4
4
+

Respiration Rate
-
0

Lacrimation
Misc.

-
0

No. Acute
-
Dead

No. Delayed
Perhitungan
Mencit 1 = x 0,5 = 0,475 ml

Mencit 2 = x 0,5 = 0,525 ml

Mencit 3 = x 0,5 = 0,5 ml

VII. Pembahasan
Pada percobaan kali ini, dilakukan pengamatan aktivitas
hewan percobaan untuk mengetahui aktivitas skrining farmakologi
hewan uji coba, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
skrining, jenis-jenis skrining, dan juga mengaitkan gejala-gejala yang
ditimbulkan mencit atau respons yang diberikan dengan skrining
farmakologi. Skrining obat meliputi proses scanning dan evaluasi.
Scanning ini meliputi suatu uji/serangkain uji yang akan mendeteksi
aktivitas fisiologi obat tersebut. Uji-uji yang dijelaskan pada skrining
ini dibuat untuk mendeteksi secara cepat aktivitas obat.
Skrining yang akan dilakukan adalah skrining buta terhadap
suatu sediaan obat. Diharapkan setelah dilakukan praktikum dapat
terlatih mengenali gejala-gejala yang mempunyai efek farmakologis
dari suatu sediaan obat dan mengetahui atau mencari obat baru yang
belum diketahui khasiatnya. Pada praktikum kali ini dilakukan
skrining awal yaitu melihat aktivitas dan keadaan normal dari hewan
percobaan sebelum pemberian obat. Pengamatan dilakukan terhadap
sikap, profil neurologis, dan profil otonomik. Apabila terjadi
perubahan setelah pemberian obat maka dapat diprediksi efek
farmakologi dari obat tersebut.
Untuk aktivitas yang lebih spesifik, diperlukan uji yang lebih
spesifik untuk aktivitas tertentu. Ada 3 jenis skrining untuk bahan-
bahan farmasi. Perbedaannya terletak pada perbedaan tujuan dari
skrining tersebut. Skrining sederhana dilakukan untuk zat yang telah
diketahui sifatnya/efeknya. Tidak perlu dilakukan serangkaian uji
yang interpretasinya berhubungan antara suatu uji dengan uji yang
lain. Blind screening dilakukan jika terdapat sejumlah senyawa kimia
baru, baik itu yang didapatkan dari bahan alam atau sintesis,
kemungkinan belum ada informasi aktivitas farmakologinya.
Programmed screening, ditujukan untuk menentukan indikasi dari
kemungkinan efek samping dan juga membantu dalam penelitian
informasi farmakologi secara detail dari senyawa tersebut.
Setiap kelompok diberikan mencit dan data pengamatan
dalam bentuk tabel yang berisi indikator-indikator gejala yang mana
merupakan proses perlakuan dalam melakukan uji aktivitas skrining
farmakologi. Efek yang diamati antara lain adalah straub tail atau
mengangkatnya ekor ke udara ketika bergerak, tremor atau
bergetarnya tubuh, postur tubuh, besarnya pupil, efek terkejut, jumlah
urin yang dikeluarkan secara kualitatif jadi tidak usah diukur cukup
berapa kali dan banyak atau tidak dan perhatikan waktunya, respon
mencit ketika telinganya disentuh benda halus, respon ketika kornea
matanya disentuh permukaan kasar, respon ketika kakinya dijepit oleh
pinset, dan ada juga pengujian seperti startle respons, limb position,
grip strength, limb tone, corneal, hypotermia, dan bahkan pengecekan
denyut jantung dan warna kulit juga diamati.
Percobaan kali ini digunakan 3 ekor mencit yang beratnya
masing-masing 19 gram, 21 gram, dan 20 gram. Ketiga mencit
tersebut ditimbang terlebih dahulu lalu ditandai agar mudah dikenali
berdasarkan beratnya, lalu diamati kondisi mencit pada saat sebelum
diberikan obat .
Pada percobaan kali ini mencit diberikan obat A dan obat B
secara oral, tetapi sebelumnya harus dilakukan perhitungan untuk
memperoleh dosis mencit sesuai dengan berat badannya. Untuk
mencit maka dosisnya setelah dibagi berat mencit standar yaitu 20
gram dan dikalikan dengan volume standar untuk mencit 20 gram
pada blanko , obat A dan obat B diperoleh mencit pertama diberikan
dosis seanyak 0,475 ml, mencit kedua dengan berat 21 gram dosisnya
0,525 ml dan mencit terakhir 0,5 ml karena beratnya adalah 20 gram
yaitu sama dengan berat standar mencit pada umumnya.
Semua mencit diberi obat yang berbeda. Untuk mencit
dengan berat badan 19 gram diberikan blanko dengan sonde secara
peroral sebanyak dosis yang telah dihitung yaitu 0,475 ml, kemudian
dua mencit selanjutnya juga diberikan jenis obat yang berbeda yaitu
obat A dan obat B dengan dosis masing-masing 0,525 ml dan 0,5 ml.
Mencit pertama memberikan kondisi awal normal. Aktivitas motorik
yang tinggi, laju pernafasan stabil, pergerakan lincah dan dapat
menggenggam pulpen dengan rentang waktu jatuh lumayan lama
(sekitar 5 menit). Setelah penyuntikkan blanko berupa PGA dengan
dosis 0,475/19 gram berat badan, aktivitas motorik terlihat normal
pada beberapa menit pertama tapi semakin menurun pada menit-menit
selanjutnya.
Laju pernafasan juga menurun secara bertahap, mencit ini
juga jatuh ketika memegang pulpen di udara dalam waktu kurang dari
lima menit (lebih singkat dari sebelumnya), mencit ini juga
mengalami bulu berdiri, respon kaget terhadap suara keras berlebihan
dan juga tremor atau badannya bergetar. Pada awalnya jalannya tidak
sempoyongan tapi setelah dilakukan pengujian diputar di udara mulai
memberikan respon yang lambat ketika bergerak tapi tidak sampai
sempoyongan.
Mencit kedua dengan bobot 21 gram memberikan kondisi
awal normal. Aktivitas motorik yang tinggi, laju pernafasan stabil, dan
tidak jatuh dari pegangan pulpen di udara atau genggamannya sangat
kuat juga pergerakannya sangat cepat bahkan loncat ke udara
beberapa kali. Setelah penyuntikkan obat A secara oral dengan dosis
0,525 ml/21 gram berat badan, aktivitas motorik terlihat menurun,
tremor atau tubuhnya bergetar. Selain itu, laju pernafasan meningkat,
reaksi kaki dijepit responnya menarik kembali menurun tetapi
pergerakan masih normal namun agak lambat atau menurun pada saat
menit-menit terakhir. Pada menit-menit selanjutnya, mencit terus
mengeluarkan urin dan pengeluaran saliva meningkat.
Jadi dapat disimpulkan mencit kedua diberikan obat jenis A
yang kemungkinan adalah obat diuretik. Berdasarkan aspek
mekanisme kerjanya, diuretik dibagi menjadi 2, yaitu aksi langsung
pada sel di nefron ginjal yaitu ada diuretik loop (inhibitor symport
Na+, K+, 2Cl-) dan diuretik tiazid. Diuretik loop adalah diuretik terkuat
karena kemampuannya untuk mengekskresikan Na+ sebanyak 15-
25%. Diuretik ini secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl
dengan cara menghambat symport Na+, K+, 2Cl- bagian membran
luminal pada ansa henle cabang asenden tebal. Diuretik tiazid adalah
diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal (contohnya,
bendroflumetiazid, hidroklorotiazide) dan diuretik terkait (contohnya,
klortaridon, indapamid, dan metolazon (Tjay, T. H., dan Kirana
Rahardja, 2007)
Mencit kedua juga pada menit ke-30 kehilangan righting
reflex, tidak kuat memegang pulpen di udara, segera jatuh setelah
didiamkan bahkan hanya beberapa detik, diberi perlakuan
mengejutkan seperti suara keras dan tepukan memberikan reaksi
positif yaitu lebih terkejut dari biasanya. Jika dibandingkan dengan
mencit pertama yang diberikan blanko, maka mencit kedua ini
memiliki hasil pengujian positif dalam hal kesamaan bahkan lebih
aktivitas farmakologinya dengan mencit pertama. Tetapi masih ada
beberapa efek yang diamati seperti ekornya yang seharusnya
mengangkat ke udara ketika bergerak mencit tidak melakukan hal itu,
juga tidak terjadinya perubahan warna kulit dan perubahan besar pupil
juga responnya terhadap cahaya.
VIII. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan makan dapat
ditarik kesimpulan bahwa skrining farmakologi dilakukan untuk
mengetahui efek yang dimiliki suatu zat dengan cara membandingkan
keadaan hewan uji sebelum dan sesudah pemberian suatu zat (obat).
DAFTAR PUSTAKA

Darmono, Syamsudin. 2011. Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta: UI


Press.
Katzung. 2004. Basic and Clinical Pharmacology 9th Edition. New York: Lange
Medical Books.
Lisdawati, dkk. 2007. Isolasi Dan Elusidasi Struktur Senyawa Lignan Dan Asam
Lemak Dari Ekstrak Daging Buah Phaleria Macrocarpa. Jurnal dan Buletin
Penelitian Kesehatan Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Vol. 35.
Rahardjo, R. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta: EGC.
Smith, A. 2002. Screening for Drug Discovery. New York: Nature 418.
Sukandar, E. Y. 2004. Tren dan Paradigma Dunia Farmasi. Tersedia online di
http://www.itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf (Diakses pada
7 April 2017).
Tjay, T. H. dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-obat Penting Edisi Keenam.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Webb. 2005. Control Strategies for Madeira Vine (Anredera Cordifolia). New
Zealand Plant Protection Journal. 58: 169-173.
Wilson, J. M. G., dan Jungner, G. 1968. Principles and Practice of Screening for
Disease. Geneva: World Health Organization.
Yadav. 2010. A Review: Neuropharmacological Screening Techniques for
Pharmaceuticals. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences 2, Vol. 1 (2) : 10-11.s

Anda mungkin juga menyukai