DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
DITHA EKA WULANDARI (2210121221044)
AGNES DIANA PUTRI (2210121221006)
DEVI PERMATA PUTRI (2210121221037)
TASYA WARDANI (2210121221143)
CAHYA INDAH ARDEINI (2210121221027)
DOSEN PENGAMPU :
Apt. Mevy Trisna, S.Si, M.Farm
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul, “Hipnotika, Sedativa, dan Stimulansia”. Dalam penyusunan makalah ini,
penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Apt. Mevy Trisna, S.Si, M.Farm selaku dosen
Farmakologi yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan
berdasarkan metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami
sehingga dapat menambah wawasan pemikiran para pembaca.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun makalah ini. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata,
semoga segala informasi yang terdapat di dalam makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makin tinggi suatu makhluk hidup berkembang, makin besar pula tingkat
kebutuhannya, dalam hal ini termasuk kebutuhan akan sistem penghantaran informasi, sistem
koordinasi, dan sistem pengaturan, di samping kebutuhan akan organ pemasok dan organ
sekresi.
Pengetahuan tentang sistem saraf pusat dalam dunia kefarmasian sangat penting untuk
dapat mempelajari karakteristik obat secara efisien, akurat dan dapat memberikan efek
terapi dengan mengetahui efek fisiologis obat yang dihasilkan ketika masuk kedalam tubuh.
Sistem saraf pusat manusia adalah suatu jalinan jaringan saraf yang kompleks, sangat
khusus dan saling berhubungan satu sama lain. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan
dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Susunan saraf pusat
terdiri atas otak besar, batang otak, otak kecil dan sum-sum tulang belakang dan diliputi oleh
selaput otak (metix) yang terdiri atas pachmenix dan leptomenix. Obat yang bekerja pada
sistem saraf pusat terbagi menjadi obat anti konvulsi, psikotropik, anestetik umum hipnotik-
sedatif, antiparkinson, analgesik,antipiretik serta anti inflamasi.
Efek perangsangan susunan saraf pusat (SSP) baik oleh obat yang berasal dari alam
atau sintetik dapat diperhatikan pada hewan dan manusia, beberapa obat memperlihatkan efek
perangsangan SSP yang nyata dalam dosis toksik, sedangkan obat lain memperlihatkn
perangsangan SSP sebagai efek samping.
Obat-obat SSP khususnya obat hipnotika, sedative, dan stimulansia adalah obat yang
bekerja dengan cara mempengaruhi SSP. Obat-obat tersebut harus menggunakan resep
dokter. Hipnotik, sedative merupakan golongan obat depresan SSP. Kurang selektif
menyebabkan kantuk hingga hilang kesadaran. Fungsi obat hipnotik sedative yaitu untuk
melemas otot, antiepilepsi, insomnia, antidepresan.
Stimulansia adalah obat-obatan yang menaikkan tingkat kewaspadaan di dalam
rentang waktu singkat. Stimulansia biasanya menaikkan efektifitas dan berbagai jenis yang
lebih hebat sering kali disalahgunakan. Bila pemberian stimulan berlebihan dapat
menyebabkan kegelisahan, panik, sakit kepala, kejang peur dan agresif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Epidemiologi Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia?
2. Apa Etiologi dari Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia?
3. Bagaimana Patofisiologi dari Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia?
4. Bagaimana Penggolongan obat Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia?
5. Bagaimana Farmakokinetika dari obat Diazepam dan Koffein?
6. Bagaimana Farmakodinamik dari obat Diazepam dan Koffein?
7. Apa saja nama paten dari obat Diazepam dan Koffein?
C. Tujuan
1. Mengetahui Epidemiologi dari Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia.
2. Mengetahui Etiologi dari Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia.
3. Mengetahui Patofisiologi dari Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia.
4. Mengetahui Penggolongan obat dari Hipnotik, Sedativa, dan Stimulansia.
5. Mengetahui Farmakokinetik dari obat Diazepam dan Koffein.
6. Mengetahui Farmakodinamik dari obat Diazepam dan Koffein.
7. Mengetahui nama paten obat, logo dan nama produsen dari Diazepam dan Koffein.
BAB II
PEMBAHASAN
2) Kontraindikasi Barbiturat
Barbiturate tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturate, penyakit hati atau
ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturate juga tidak boleh diberikan pada penderita
psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada
penderita usia lanjut.
Nama Obat, Bentuk Sediaan & Dosis Beberapa Obat Barbiturat
Nama Obat Bentuk Sediaan Dosis Dewasa (mg)
Amobarbital Kapsul,tablet,injeksi,bubuk 30-50; 3 x sehari
Aprobarbital Eliksir 40; 3 x sehari
Butabarbital Kapsul,tablet,eliksir 15-30 ; 3-4 x sehari
Pentobarbital Kapsul,eliksir,injeksi,supositoria 20 ; 3-4 x sehari
Sekobarbital Kapsul,tablet,injeksi 30-50 ; 3-4 x sehari
Fenobarbital Kapsul,tablet, eliksir,injeksi 15-40 3 x sehari
b. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah sekelompok obat golongan psikotropika yang mempunyai efek
antiansietas atau dikenal sebagai minor tranquilizer, dan psikoleptika. Benzodiazepin
memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi
otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde.
Benzodiazepin dikembangkan pertama kali pada akhir tahun 1940-an dengan derivat
pertama kali yang dipasarkan adalah klordiazepoksid (semula dinamakan
methaminodiazepokside) pada tahun 1960, kemudian dilakukan biotransformasi menjadi
diazepam (1963), nitrazepam (1965), oksazepam (1966), medazepam (1971), lorazepam
(1972), klorazepat (1973), flurazepam (1974), temazepam (1977), triazolam dan clobazam
(1979), ketazolam (1980), lormetazepam (1981), flunirazepam, bromazepam, prazepam
(1982), dan alprazolam (1983).
Golongan Benzodiazepin menggantikan penggunaan golongan Barbiturat yang mulai
ditinggalkan, Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi
obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, dan tidak
menginduksi enzim mikrosom di hati.Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai
pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam
monitorng anestesi.
1) Penggolongan Benzodiazepin
Berdasarkan kecepatan metabolismenya dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu
short acting, long acting, ultra short acting.
a) Short Acting
Obat-obat ini dimetabolisme tanpa menghasilkan zat aktif. Sehingga waktu
kerjanya tidak diperpanjang. Obat-obat ini jarang menghasilkan efek sisa karena tidak
terakumulasi pada penggunaan berulang.
b) Long Acting
Obat-obat ini dirombak dengan jalan demetilasi dan hidroksilasi menjadi metabolit
aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja) yang kemudian dirombak kembali menjadi
oksazepam yang dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif.
c) Ultra Short Acting
Lama kerjanya sangat kurang dari short acting. Hanya kurang dari 5,5 jam. Efek
abstinensia lebih besar terjadi pada obat-obatan jenis ini. Selain sisa metabolit aktif
menentukan untuk perpanjangan waktu kerja, afinitas terhadap reseptor juga sangant
menentukan lamanya efek yang terjadi saat penggunaan.
4) Farmakodinamik Benzodiazepin
Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP
dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas,
relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan kerja golongan ini
pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner (setelah pemberian dosis terapi golongan
benzodiazepine tertentu secara iv), dan blokade neuromuskular (yang hanya terjadi pada
pemberian dosis tinggi).
5) Farmakokinetik Benzodiazepin
Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepine sangat mempengaruhi
penggunaannya dalam klinik karena menentukan lama kerjanya. Semua benzodiazepine
dalam bentuk nonionic memiliki koefesien distribusi lemak : air yang tinggi; namun sifat
lipofiliknya daoat bervariasi lebih dari 50 kali, bergantung kepada polaritas dan
elektronegativitas berbagai senyawa benzodiazepine.
Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi sempurna, kecuali klorazepat; obat ini
cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-desmetil-diazepam
(nordazepam), yang kemudian diabsorpsi sempurna. Setelah pemberian per oral, kadar
puncak benzodiazepin plasma dapat dicapai dalam waktu 0,5-8 jam. Kecuali lorazepam,
absorbsi benzodiazepin melalui suntikan IM tidak tratur.
Secara umum penggunaan terapi benzodiazepine bergantung kepada waktu paruhnya,
dan tidak selalu sesuia dengan indikasi yang dipasarkan. Benzodiazepin yang bermanfaat
sebagai antikonvulsi harus memiliki waktu paruh yang panjang, dan dibutuhkan cepat masuk
ke dalam otak agar dapat mengatasi status epilepsi secara cepat. Benzodiazepin dengan waktu
paruh yang pendek diperlukan sebagai hipnotik, walaupun memiliki kelemahan yaitu
peningkatan penyalahgunaan dan dan berat gejala putus obat setelah penggunaannya secara
kronik. Sebagai ansietas, benzodiazepine harus memiliki waktu paruh yang panjang,
meskipun disertai risiko neuropsikologik disebabkan akumulasi obat.
c. Obat Lainnya
1) Propofol
Propofol adalah substitusi isopropylphenol yang digunakan secara intravena sebagai
1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25%
gliserol dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari
sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5-2,5
mg/kg BB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kg BB atau methohexital 1,5 mg/kgBB)
dengan penyuntikan cepat (<15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30
detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat
anesthesia lain yang disuntikkan secra cepat. Selain cepat mengembalikan kesadaran,
propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih
sering apabila obat disuntikkan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat
dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan
penggunaan lidokain 1%.
2) Ketamin
Ketamin adalah derivate phencyclidine yang meyebabkan disosiative anesthesia yang
ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Ketamin memiliki
keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate, ketamine larut dalam air dan dapat
menyebabkan analgesik pada dosis subanestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabkan
delirium.
3) Dekstromethorphan
Dekstromethorphan adalah NMDA antagonis dengan afinitas ringan yang paling
sering digunakan sebagai penghambat respon batuk di sentral. Obat ini memiliki efek yang
seimbang dengan kodein sebagai antitusif tetapi tidak memiliki efek analgesic. Tidak seperti
kodein, obat ini tidak menimbulkan efek sedasi atau gangguan sistem gastrointestinal. DMP
memiliki efek euphoria sehingga sering disalahkan. Tanda dan gejala penggunaan berlebihan
DMP adalah hipertensi sistemik, takikardia, somnolen, agitasi, ataxia, diaphoresis, kaku otot,
kejang, koma, penurunan suhu tubuh. Hepatotoksisitas meningkat pada pasien yang
mendapat DMP dan asetaminofen.
4) Paraldelhyd
Paraldehyd merupakan polimer dari asetaldehid. Secara oral, paraldehid diabsorbsi
cepat dan didistribusi secara meluas; tidur dapat dicapai 10 – 15 menit setelah pemberian
dosis hipnotik. Cara pemberiannya oral dan rectal. Nama dagang Paral untuk pengobatan
delirium tremens pada pasien yang dirawat di rumah sakit; eliminasi lewat metabolisme di
hati (75%) dan lewat pernafasan (25%), gejala toksik meliputi asidosis, hepatitis, dan
nefrosis.
5) Kloralhidrat
Kloralhidrat merupakan derivat monohidrat dari kloral. Trokloroetanol terutama
dikonjugasi oleh asam glukuronat dan konjugatnya (asam uroklorat) di ekskresikan sebagian
besar lewat urin. Cara pemberiannya oral, rektal. Cepat diubah jadi trikloroetanol oleh
alcohol dehidrogenase di hati. Penggunaan kronik menyebabkan kerusakan di hati, gejala
putus obatnya berat. Efek samping dan intoksikasi, kloralhidrat mengiritasi kulit dan mukosa
membrane. Efek iritasi ini menimbulkan rasa tidak enak, nyeri epigantrik, mual, dan kadang
– kadang muntah. Efek samping pada SSP meliputi pusing, lesu, ataksia, dan mimpi buruk.
Hang over juga dapat terjadi, keracunan akut obat ini dapat menyebabkan ikterus.
Penghentian mendadak dari penggunaan kronik dpat mengakibatkan delirium dan bangkitan,
yang sering fatal.
6) Etklorvinol
Digunakan sebagai hipnotik jangka pendek, untuk mengatasi insomnia. Secara oral,
diabsorbsi cepat (bekerja dalam waktu 15 -30 menit), kadar puncak dalam darah dicapai
dalam 1- 1,5 jam, dan didistribusi secara meluas. Waktu paruh eliminasi 10 -20 jm. Sekitar
90% obat dirusak di hati. Etklorfvinol dapat memacu metabolisme hati obat – obat seperti
antikoagulan oral. Efek samping yang paling umum adalah aftertaste sperti mint, pusing,
mual, mntah, hipotensi, dan rasa kebal (numbness) di daerah muka. Reaksi idiosinkrasi dapat
merupakan rangsangan ringan hingga sampai kuat, dan hysteria. Reaksi hipersensitifitas
meliputi urikaria. Intoksikasi akut menyerupai barbiturate.
7) Meprobamat
Obat ini pertama kali diperkenalkan sebagai antiansietas, namun saat ini juga dipakai
sebgai hipnotik sedative, dan digunakan pada pasien insomnia usia lanjut. Sifat farmakologi
obat ini dalam bebrapa hal menyerupai benzodiazepine. Tidak dpat menimbulkan anestesi
umum. Konsumsi obat ini secra tunggal dengan dosis yang sangat besar dapat menyebabkan
depresi nafas yang berat hingga fatal, hipertensi, syok, dan gagal jamtung.
Meprobamat tampaknya memiliki efek analgesik ringan pada pasien nyeri tulang otot,
dan meningkatkan efek obat analgetik yang lain. Absorbsi peroral baik. Kadar puncak dalam
plasma, tercapai 1 - 3 jam. Sedikit terikat protein plasma. Sebagian besar dimetabolisme di
hati, terutama secra hidroksilasi, kinetika eliminasi, dapat bergantung kepada dosis. Waktu
paro meprobamat dapat diperpanjang selama penggunaaan kronis, sebagian kecil obat
diekskresikan lewat urin. Pada dosis sedatif, efek samping utama ialah ngantuk dan ataksia.
Pada dosis yang lebih besar, sangat mengurangi kemampuan belajar dan koordinasi gerak,
dan memperlambat waktu reaksi. Meprobamat meningkatkan efek depresi depresan SSP lain.
Gejala efek samping lain yang mugkin timbul antara lain : hipotensi, alergi pada kulit,
purpura nontrombositopenik akut, angioedema, dan bronkospasme.
Penyalahgunaaan meprobamat tetap terjadi walaupun penggunaannya secara klinik
telah menurun. Carisoprodol (SOMA), suatu perelaksasi otot yang menghasilkan
meprobamat sebagai metabolit aktifnya, juga banyak disalahgunakan. Gejala putus obat
terjadi bila obat dihentikan secara mendadak setelah pemberian meprobamat jangka lama.
Gejala yang timbul meliputi : ansietas, insomnia, tremor, ganguan saluran cerna, dan sering
kali timbul halusinasi. Bangkitan umum sering terjadi pada kira – kira 10 % kasus.
b. Kokain
Alkaloid ini dikandung daun pohon Erythroxylon coca (lihat juga Bab 26, Anestetika
Lokal) dan terutama terdapat pada lereng gunung di Bolivia dan Peru. Kedua negara ini
dianggap sebagai penghasil kokain dalam bentuk pasta koka mentah terbesar di seluruh
dunia, sedangkan negara tetangganya Kolumbia, dengan “jungle labs”-nya, memurnikan
pasta ini menjadi serbuk kokain murni. Equador dan Brasil mengkultivasi tanaman sejenis
tumbuhan koka, yang dinamakan epadu dan mengandung 40% lebih sedikit alkaloid aktif
daripada varietas koka yang biasa dikultivasi di pegunungan Andes. Dengan demikian usaha
kokain ini menjerat praktis tiap negara Amerika Selatan.
Dalam dunia drugs kokain diberi pelbagai nama (“cake“, “snow“, “gold dust, “lady“)
dan dijual dalam bentuk serbuk yang bervariasi dalam kemurniannya. Sering kali zat ini
dipalsu melalui “pengenceran“ dengan prokain. Serbuk kokain biasanya digunakan dengan
cara menyedotnya melalui lubang hidung (“sniffing”, intranasal), tetapi sering kali di
injeksikan melalui vena. Penggunaannya melalui lubang hidung dapat menyebabkan
komplikasi lokal di hidung (perforasi septum hidung) maupun sistemik pada praktis semua
organ.
Opium, morfin dan heroin yang memiliki sifat menenangkan terhadap jasmani dan
rohani. Kokain merupakan suatu obat perangsang, sama dengan psikostimulansia golongan
amfetamin, tetapi jauh lebih kuat. Zat ini memacu jantung (bahaya serangan jantung),
meningkatkan tekanan darah dan suhu badan, juga menghambat perasaan lapar dan
menurunkan perasaan letih serta kebutuhan tidur. Mekanisme kerjanya masih belum jelas,
mungkin berdasarkan perintangan reuptake neurotransmitter noradrenalin di ujung neuron,
yang memelihara penyaluran impuls dari SSP di otak. Dalam larutan dengan kadar rendah,
kokain menghambat penyaluran ini, sehingga digunakan untuk anestesi lokal.
Dalam konsentrasi tinggi, kokain merangsang penyaluran impuls listrik. Teori baru
menyimpulkan bahwa dopamin bertanggung jawab bagi banyak efek kokain, termasuk
khasiat stimulasi dan perasaan nyamannya. Kokain memelihara kadar DA tinggi di ujung-
ujung saraf dengan merintangi zat-zat transpor yang berfungsi mengangkut kembali dopamin
ke sel-sel produksinya. Sebaliknya, amfetamin menstimulasi produksi dan pelepasan
dopamin di sel-sel ujung saraf tertentu.
Efek buruk yang dapat timbul pada penggunaan kokain dapat berupa sembelit,
perasaan sangat gugup, kerusakan pada urat saraf, konvulsi, halusinasi, tidak bisa tidur dan
perilaku ganas. Pada dosis tinggi timbul perasaan ketakutan yang sangat kuat, destruksi dari
selaput lendir hidung dan tenggorok, kehilangan berat badan sampai ambruknya jasmaniah
total.
Kehamilan. Ibu-ibu pencandu narkoba terutama metadon, kokain dan heroin dapat
menyebabkan berkembangnya sindrom abstinensi neonatal pada bayi yang dilahirkan.
Peristiwa ini disebabkan narkotika tersebut dapat melintasi plasenta untuk kemudian masuk
ke dalam peredaran darah bayi.
2. Farmakokinetik Kaffein
Kafein merupakan metilxantin yang menghambat enzim fosfodiesterase dan memiliki
aktivitas antagonis pada reseptor adenosin sentral. Ini adalah stimulan SSP, terutama di pusat-
pusat yang lebih tinggi, dan dapat menyebabkan kondisi terjaga dan meningkatkan aktivitas
mental. Meskipun mekanisme pastinya pada apnea prematuritas tidak diketahui, hal ini
diyakini memiliki beberapa efek termasuk stimulasi pusat pernapasan, mengurangi ambang
batas hiperkapnia dan kelelahan diafragma; meningkatkan ventilasi menit, tonus otot rangka,
laju metabolisme dan konsumsi oksigen.
Farmakokinetik Kaffein terdiri dari :
a. Absorpsi
Diserap dengan cepat dan sempurna dari saluran cerna. Waktu untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak: 30 menit hingga 2 jam (neonatus).
b. Distribusi
Didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh; mudah masuk ke SSP dan air liur
(kafein sitrat). Melewati plasenta; memasuki ASI (dalam jumlah kecil). Volume distribusi:
0,8-0,9 L/kg (neonatus); 0,6 L/kg (dewasa). Pengikatan protein plasma: Sekitar 36%.
c. Metabolisme
Hampir sepenuhnya dimetabolisme di hati melalui oksidasi, demetilasi, dan
asetilasi oleh CYP1A2.
d. Eliminasi/Eksresi
Melalui urin (dewasa: sekitar 1% sebagai obat yang tidak berubah; neonatus: 86%
sebagai obat yang tidak berubah). Waktu paruh eliminasi: Sekitar 3-7 jam (dewasa); kira-
kira 3-4 hari (neonatus).
d. Kontraindikasi Diazepam
Depresi pernapasan, gangguan hati berat, miastenia gravis, insufisiensi pulmoner
akut, kondisi fobia dan obsesi, psikosis kronik, glaukoma sudut sempit akut, serangan
asma akut, trimester pertama kehamilan, bayi prematur; tidak boleh digunakan sendirian
pada depresi atau ansietas dengan depresi.
f. Interaksi Obat
Potensi efek dengan obat lain yang bekerja secara sentral (misalnya antipsikotik,
ansiolitik, antikonvulsan, antihistamin, inhibitor MAO, anestesi, barbiturat). Peningkatan
efek sedatif dengan obat lain seperti lofexidine, nabilone, dan disulfiram. Mengurangi
klirens dan mempotensiasi aksi dengan inhibitor CYP3A4 (misalnya simetidin, isoniazid,
eritromisin, omeprazol, ketokonazol). Peningkatan metabolisme dan pembersihan dengan
penginduksi CYP3A4 (misalnya rifampisin, karbamazepin, fenitoin). Efek antagonis
dengan teofilin. Penyerapan tertunda dengan antasida.
Berpotensi Fatal saat penggunaan bersamaan dengan opioid dapat menyebabkan
sedasi, depresi pernafasan, koma dan kematian. Peningkatan risiko sedasi berkepanjangan
dengan zidovudine. Dapat meningkatkan efek depresan SSP dari natrium oksibat.
g. Interaksi Makanan
Mengurangi efek sedatif dan anxiolytic dengan kafein. Peningkatan konsentrasi
plasma dengan jeruk bali atau jus jeruk bali. Penurunan konsentrasi serum dengan St
John's wort. Peningkatan efek depresan SSP dengan alkohol.
h. Overdosis Obat
Apabila overdosis diazepam gejala yang timbul antara lain ataksia, mengantuk,
disartria, sedasi, kelemahan otot, tidur nyenyak, hipotensi, kegelisahan, nistagmus,
kebingungan. Kasus yang parah dapat menyebabkan ataksia, depresi kardiorespirasi,
koma, dan sangat jarang, kematian.
Untuk Penatalaksanaan, pengobatan suportif dan simtomatik. Mulai pemberian
cairan IV, ventilasi yang adekuat, dan bersihkan jalan napas. Pemberian arang aktif dapat
diberikan dalam waktu 1 jam setelah konsumsi. Jika terjadi hipotensi, angkat kaki tempat
tidur dan berikan cairan yang sesuai; berikan agen α-adrenergik seperti norepinefrin untuk
menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik. Flumazenil dapat digunakan untuk
menghilangkan efek sedatif secara keseluruhan atau sebagian, asalkan tindakan yang
diperlukan dalam pengobatan suportif awal telah dilakukan.
2. Farmakodinamik Kaffein
a. Indikasi dan Dosis
Dosis kafein ditentukan berdasarkan usia, kondisi pasien, dan respons tubuh
pasien terhadap obat. Berikut ini adalah pembagian dosis kafein berdasarkan tujuan
penggunaannya:
1) Meredakan kantuk
Dewasa : 50–200 mg, tiap 3–4 jam.
d. Kontraindikasi Kaffein
Gejala atau riwayat aritmia jantung, gangguan kecemasan. Penggunaan
bersamaan dengan xantin lain (misalnya teofilin).
g. Interaksi Makanan
Dapat meningkatkan kadar kafein bila diberikan bersamaan dengan makanan atau
minuman lain yang mengandung kafein yang dapat menyebabkan kegelisahan, mudah
tersinggung, sulit tidur atau detak jantung cepat.
h. Overdosis Obat
Gejala yang timbul bila overdosis kafein antara lain, kejang, kegelisahan,
takipnea, takikardia, opistotonus, kekakuan, gerakan tonik-klonik, hipokalemia, tremor
halus pada ekstremitas, iritasi lambung, kegelisahan, perdarahan saluran cerna,
pergerakan rahang dan bibir yang tidak disengaja, peningkatan jumlah WBC, gangguan
sirkulasi, muntah, demam , agitasi, hipertonia, residu lambung, hipereksitabilitas, perut
buncit, asidosis metabolik, hiperglikemia, peningkatan kadar ureum, pucat, pupil
melebar, insomnia, sakit kepala, bicara cepat, diuresis, tinitus, dan peningkatan
pernapasan.
Untuk penatalaksanaan, pengobatan suportif dan simtomatik. Pantau kadar kafein
dan elektrolit dalam darah (misalnya plasma K). Koreksi hipokalemia dan
hiperglikemia. Pertimbangkan transfusi tukar untuk kasus yang parah. Berikan
antikonvulsan IV (misalnya diazepam, fenobarbital) untuk mengatasi kejang. Dapat
memberikan arang aktif (dewasa: 50 g; anak-anak: 10-15 g) atau melakukan bilas
lambung (pada orang dewasa) dalam waktu 1 jam setelah konsumsi; memperbaiki
ketidakseimbangan elektrolit jika diperlukan. Pantau denyut nadi, irama jantung, dan
tekanan darah. Berikan amiodarone atau disopyramide untuk aritmia ventrikel yang
terjadi pada pasien yang mengalami kejang. Dapat memberikan β-blocker untuk
hipertensi persisten.
b. Valisanbe
1) Komposisi : Diazepam
2) Sediaan : Tablet diazepam 2 mg dan 5 mg ; Ampul diazepam 5 mg/mL
3) Golongan : Psikotropika
4) Nama Produsen : Sanbe Farma
c. Analsik
1) Komposisi : Methampyrone 500 mg dan Diazepam 2 mg
2) Sediaan : Kaplet Methampyrone 500 mg dan Diazepam 2 mg
3) Golongan : Psikotropika
4) Nama Produsen : Sanbe Farma
d. Valdimex
1) Komposisi : Diazepam
2) Sediaan : Tablet diazepam 2 mg dan 5 mg ; Ampul diazepam 5 mg/mL
dan 10 mg/2 mL
3) Golongan : Psikotropika
4) Nama Produsen : Mersifarma Tirmaku Mercusana
BAB III
ISTILAH
EEG : Electroencephalogram
ADHD : Attention deficit hyperactivity disorder
NMDA : N-metil-D-aspartat
PJP : Perawatan jangka panjang
MAO : Monoamin-Oksidase
WBC : White blood cell count
ADHD : Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
GABA : Gamma-Aminobutyric Acid
BDZS : benzodiazepin
NMDA : N-methyl-D-aspartate
DMP : dekstrometorphan
MAO : Monoamin-Oksidase
MAOI : monoamine oxidase inhibitors
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Obat-obat yang berkerja pada sistem saraf pusat (SSP) merupakan salah satu obat
yang pertama ditemukan manusia primitif dan masih digunakan secara luas sebagai zat
farmakologi sampai sekarang. Di samping penggunaannya dalam terapi, obat-obat SSP
digunakan walaupun tanpa resep untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang.
Cara kerja berbagai obat pada SSP tidak selalu dapat dijelaskan. Walaupun
demikian,dalam 30 tahun terakhir, banyak kemajuaan yang diperoleh dalam bidang
metodologi farmakologi SSP. Saat ini telah dapat diteliti cara kerja suatu obat pada sel-sel
tertentu atau bahkan pada kanal ion tunggal didalam sinaps. Informasi yang diperoleh dalam
studi studi semacam ini merupakan dasar dari sejumlah perkembangan yang utama dalam
penelitian SSP
Sedativa hipnotika berkhasiat menekan SSP. Bila digunakan dalam dosis yang
meningkat, suatu sedativum, misalnya barbiturat, akan menimbulkan efek secara berturut-
turut peredaan, tidur dan pembiusan total (anestesia). Pada dosis yang lebih besar lagi terjadi
koma, depresi pernapasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali untuk jangka waktu
yang lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan ketagihan.
Obat stimulansia ini bekerja pada sistem saraf dengan meningkatkan transmisi yang
menuju atau meninggalkan otak. Stimulan dapat meningkatkan denyut jantung, suhu tubuh
dan tekanan darah. Pengaruh fisik lainnya adalah menurunkan nafsu makan, pupil dilatasi,
banyak bicara, agitasi dan gangguan tidur. Bila pemberian stimulant berlebihan dapat
menyebabkan kegelisahan, panik, sakit kepala, kejang perut, agresif dan paranoid. Bila
pemberian berlanjut dan dalam waktu lama dapat terjadi gejala tersebut diatas dalam waktu
lama pula. Hal tersebut dapat menghabat kerja obat depresan seperti alkohol, sehingga sangat
menyulitkan penggunaan obat tersebut. (Sunardi, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Sunaryo., (1995). Perangsang Susunan Saraf Pusat, dalam Farmakologi Dan Terapi. Editor
Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 223-224.
Syarif, Amir, Ari Estuningtyas, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Tan, Hoan, Tjay dan Raharja, Kirana.2015. Obat-obat penting. Edisi Ketujuh. Jakarta : PT.
Elex Media Komputindo.
Utama, Hendra., Vincent HS Gan., (1995). Antikonvulsan, dalam Farmakologi dan Terapi
Bab 12. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 163-165.