Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

”PSIKOFARMAKOLOGI”

DOSEN PENGAMPU :

BAHJATUN NADRATI, Ners., M.Kep.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3 (TIGA)

ANGGOTA :

ARI ANGGRIAWAN S. MUSFHIA MULYANA HARFI


BIDAYATUR RAMEDONI NURUL ISLAMIATI
ERDA ZIFA FEBRIAN RISKA TIARINI
JASKYA ANANTA SONY ATMAWIGUNA
LIANA TRI WAHYUNI PUJI SUAEB

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM

NUSA TENGGARA BARAT

TAHUN AJARAN 2021/2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i

PETA MASALAH................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang.......................................................................


2.1 Rumusan masalah .................................................................
3.1 Tujuan....................................................................................
4.1 Manfaat.................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Defini psikofarmakologi.....................................................................................


2.2 Ruang lingkup psikofarmakologi..................................................................
2.3 Prinsip-prinsip pengaturan dosis....................................................................
2.4 Obat-obat psikotrafika (cara kerja obat dan efek obat terhadap prilaku manusia........
2.5 Metode asessemen............................................................................
2.6 Intervensi dan rehabilitasi...............................................................
2.7 Interpretasi dalam phycopharmakologi......................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan...........................................................

3.2 Saran...........................................................

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul
“Psikofarmakologi” dengan tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Psikologi.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini
dan kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua orang. Dengan
demikian, saran dan kritik yang kami harapkan dari pembaca untuk peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Penulis
PETA MASALAH

Defini Ruang lingkup


psikofarmakologi psikofarmakologi

Obat-obat Prinsip-prinsip
psikotrafika pengaturan dosis

Metode asessemen Intervensi dan


rehabilitasi

Interpretasi dalam
psikoparmakologi
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan
fungsi mental dan kesanggupan menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga
individu tersebut merasa mampu. Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan
berubah setiap saat serta dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: kondisi fisik, kondisi
perkembangan mentalemosional dan kondisi di lingkungan sosial. Ketidakseimbangan
pada salah satu dari ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan
adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu atau
hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan
3 secara maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasein
meninggalkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan
mengenali realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penurunan
produktivitas hidup. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan
produktifitas maka pada pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi
sebelum klien dipulangkan dari Rumah Sakit. Tujuannya untuk mencapai perbaikan
fisik dan mental sebesarbesarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas
maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga
bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat.
Sehingga kami sebagai calon tenaga kesehatan merasa prihatin dan ingin
mengurangi gangguan jiwa yang terjadi pada saat ini. Oleh karena itu kami tertarik
untuk mempelajari lebih dalam tentang apa itu psikofarmakologi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Defini psikopharmakologi?
2. Bagaimana Ruang lingkup psikofarmakologi?
3. Bagaimana Prinsip-prinsip pengaturan dosis?
4. Seperti apa Obat-obat psikotrafika (cara kerja obat dan efek obat terhadap
prilaku manusia) ?
5. Bagaimana Metode asessemen?
6. Bagaimana Intervensi dan rehabilitasi?
7. Bagaimana Interpretasi dalam phycopharmakologi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui defini psikofarmakologi
2. Mengetahui ruang lingkup psikofarmakologi
3. Mengetahui prinsip-prinsip pengaturan dosis
4. Mengetahui obat-obat psikotrafika (cara kerja obat dan efek obat terhadap
prilaku manusia)
5. Mengetahui metode asessemen
6. Mengetahui intervensi dan rehabilitasi
7. Mengetahui interpretasi dalam phycopharmakologi

1.4 Manfaat

1. Dapat mengetahui defini psikofarmakologi


2. Dapat mengetahui ruang lingkup psikofarmakologi
3. Dapat mengetahui prinsip-prinsip pengaturan dosis
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Defini psikofarmakologi
Psikopharmakologi adalah studi tentang obat-obatan yang mengubah aktivitas-
aktivitas yang dikontrol oleh sistem saraf. (Sunbreg, 2007)
Psikofarmakologi adalah standar pengobatan yang digunakan untuk penyakit
yang patofisiologinya berkaitan dengan masalah neurobiologis (Taylor, 2016).
Psikofarmakologi mempelajari obat khusus yang dinamakan obat-obat
psikotopik, obat yang efeknya pada otak, yang memiliki dampak terapeutik langsung
pada proses mental. Psikofarmakologi terdiri dari beberapa kategori diantaranya
antiansietas, antidepresan, penstabil mood, antipsikotik, antiparkinson dan stimulan
(Townsend, 2010).
Oleh karena itu, salah satu jasa terbesar dari pada obat-obat psikofarmakologi
itu ialah memperingan penderitaan seumumnya dari pada mereka yang terganggu
jiwanya. (Kusumanto Setyonegoro.Disertasi, 1966).

2.2 Ruang lingkup psikofarmakologi


Merupakan pengetahuan wacana obat untuk mengobati gangguan psikiatris.
Pada zaman dahulu, khususnya semenjak tahun 1950, seorang psikiater hanya
mempunyai sedikit obat stimulan dan obat penenang nonspesifik untuk mengobati
kecemasan dan depresi. Bahkan, terapi Elektroconvulsive (ECT) dianggap efektif bagi
pasien depresi, tetapi kurang cantik bagi pasien Skizoprenia kronis. Jadi, belum ada
perawatan yang efektif untuk ribuan, bahkan mungkin jutaan pasien pada rumah sakit
jiwa di seluruh dunia ketika itu.Namun, dalam perkembangan selanjutnya, khususnya
pada tahun 1955, terjadi tiga inovasi farmakologi yang menandai revolusi pengobatan
psikiatri, ialah obat antipsikotik, antridepresan, dan lithium (Pope, 2000: 866).
Obat antipsikotik berfungsi sebagai penetralan khayalan atau doktrin kepada
hal-hal yang tidak kasatmata dan halusinasi (perasaan melihat, mendengar suara, dan
sejenisnya), yang merupakan tanda-tanda umum dalam skizoprenia dan penyakit
kegilaan depresif. Biasanya, obat ini mempunyai imbas yang luar biasa untuk
memperlihatkan penenang kembali ke dunia normal dalam kehidupan sehari-hari dari
gangguan-gangguan psikotik. Namun, obat ini pun mempunyai imbas samping yang
cukup mengganggu, menyerupai sedasi otot kaku, lesu, dan melemahkan fungsi fisik
dan mental.
Obat antidepresan berfungsi meringankan pasien yang mengalami depresi
mayor atau fase tertekan dari penyakit depresi kejiwaan. Biasanya, pasien sangat sulit
tidur ataupun makan, tidak sanggup mengerjakan tugas-tugas, dan selalu berpikir
untuk bunuh diri. Di sinilah obat antidepresan berfungsi untuk penyakit-penyakit
menyerupai itu.
Lithium merupakan obat yang unik di antara obat-obat psikiatri lainnya, terdiri
atas sebuah ion sederhana dan bukan molekul kompleks (Pope, 2000: 867). Fungsinya
untuk menetralkan tahap kegilaan dari depresi berat dan dalam jangka lama, namun
kurang efektif bagi depresi akut, dan menghindarkan pasien dari kambuhnya kegilaan
dan depresi.
2.3 Prinsip-prinsip pengaturan dosis
Berikut prinsip-prinsip pengaturan dosis menurut
1) Preliminar
 Pengaturan dosis ganda adalah suatu pengaturandosis untuk
memperpanjang aktivitas terapetikdengan mempertahankan kadar
plasma obat didalam batas yang sempit untuk mencapai efektivitas
klinik yang maksimal.
 Prinsip pengaturan dosis ditetapkan untuk memberikan kadar plasma
yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan.
 Parameter utama dalam pengaturan dosis ganda : - Ukuran dosis obat -
Frekuensi pemberian obat yakni jarak waktu antara dosis.
2) Prinsip Superposisi.
 Tujuan agar dosis obat sebelumnya tidak mempengaruhi
farmakokinetik dari dosisberikutnya. Obat dieliminasi melalui kinetika
orde kesatudan farmakokinetik obat yang didapat setelah pemakaian
obat dosis ganda.
 Ada suatu keadaan dimanaprinsip superposisi tidak dipakai. Ketika
perubahan patofisiologi pada penderita, penjenuhan suatu sistem
pembawa obat, induksi dan inibisi enzim.
 Bila dosis yang sama diberikan berulang pada frekuensi yang konstan,
diperoleh kurva kadar plasma waktu plateau dan suatu keadaan tunak.
 C maks harus selalu berada di bawah konsentrasi toksik minimum
karena merupakan suatu petunjuk yang baik dari akumulasi obat.
 Akumulasi dipengaruhi oleh waktu paruh eliminasi obat dan jarak
waktu pemberian dosis.
3) Injeksi Intravena Berulang
 Jumlah obat maksimum dalam tubuh setelahsuatu injeksi intravena
cepat adalah samadengan dosis obat. Untuk model kompartemen – satu
terbuka, obat akan dieliminasi menurutkinetika order kesatu.
 Nilai Ka sangat cepat, sedangkan nilai Ksangat kecil sehingga
keberadaanya diabaikan.
 Fraksi (f) dosis yang tinggal dalam tubuhdikaitkan dengan tetapan
eliminasi (K) dan jarak pemberian dosis (τ), sebagai berikut
a. Pengaturan Dosis Oral Ganda
 Dianggap mengikuti model kompartemen satudan dosis
serta jarak dosis konstan, dan pada pemberian dosis
ganda :
 Fluktuasi antara C maks dan C min (rata-rata)yang
besar dapat berbahaya terutama padaobat-obat yang
mempunyai indeks terapetikyang sempit.
b. Penentuan Bioavailabilitas danBioekivalensi
 Sejumlah obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda
untuk pencegahan suatu penyakit yang kronik.
 Misal antikonvulsan, kardiotonika, hipoglikemiauntuk
mencegah serangan akut
 Penentuan bioavailabilitas dengan dosis ganda
dilakukan apabila dengan dosis tunggal tidak terdeteksi
 Adanya malabsorbsi akan mempengaruhi persentase
obat yang terabsorbsi
 Bioavailabilitas menurun jika F menurun dan klirens
tubuh total (K.Vd) naik.
2.4 Obat-obat psikotrafika (cara kerja obat dan efek obat terhadap prilaku
manusia)
Berikut Jenis-jenis obat psikotrafika (Dr. Agus Djamhuri.1990) :
1. Antipsikosis Adalah obat untuk mengatasi kelainan jiwa yang disebut psikosis,
yang dalam bahasa sehari-hari disebut gila. Pada penderita psikosis perasaan,
pikiran dan tindakan tidak berjalan. Persepsi terhadap diri sendiri dan
lingkungan secara nyata. Beberapa obat yang termasuk dalam golongan
antipsikosis :
1) Derivat Fenotiazin Bermanfaat untuk terapi psikosis akut dam kronis.
Efek dari penggunaan ini adalah penderita menjadi rasional, teliti
dalam pekerjaan, mampu menilai diri sendiri, orientasi terhadap masa
lalu lebih baik, lebih sopan, bila bereaksi lebih seimbang dan mengerti
tanggung jawab pekerjaan.
2) Haloperidol Adalah derivat butirofenon dengan efek antipsikosis yang
penggunaannya diutamakan pada keadaan manik-depresif dan
skizofren sindrom paranoid. Efek sampingnya adalah menghambat
muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
2. Antidepresi
Adalah obat untuk mengatasi depresi mental, juga digunakan: untuk
kecemasan dan sindrom nyeri kronis. Ada 3 golongan obat antidepresi:
Penghambat mono-amin-oksidase (nialamin) Trisiklik (imipramin dan
amitriptilin) dan Simpatomimetik sentral (amfetamin, d3 amfetamin). Dari
ketika golongan obat ini, penggunaan trisiklik paling banyak baik untuk
depresi, fobia, dan mengatasi rasa nyeri.
 Efek samping : berupa kenaikan berat badan dan kekacauan mental
dengan agitasi terutama pada penderita diatas 40 tahun.
 Mekanisme kerja : antidepresi sebagian besar dipercaya bekerja
dengan memperlambat pembuangan suatu zat-zatkimia di dalam otak
(neurotransmitter).
3. Antimania
Mania diartikan sebagai gangguan jiwa dengan ciri yaitu, bicara terus
menerus, jalan pikiran melompat lompat, perhatian tidak stabil, tidak atau
kurang tidur, emosi gembira patologis. Obat anti mania mempunyai beberapa
sinonim antara lain mood modulators, mood stabilizers danantimanik. Contoh
obat antimania: Litiumkarbonat, Haloperidol, Karbamazepin Indikasi : Obat
antimania ditujukan pada pasien yang mengalami mania (maniac).
 Mekanisme kerja : antimania mampu mengurangi dopamine reseptor
super sensitivity, meningkatkan cholinergic muscaarinic activity dan
menghambat cyclic AMP (adenosin monophospat).
 Efek samping : mulut kering, haus, mual, muntah, diare feses lunak,
kelemahan otot, peningkatan berat badan, perubahan fungsi tiroid,
gangguan dayaingat dan kosentrasi pikiran
4. Antiensietas
Ansietas diartikan sebagai keadaan dimana seseorang mengalami keresahan.
Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim antara lain
psikoleptik,transquilizer minor dan anksioliktik. Dalam membicarakan obat
antiansietas yang menjadi obat racun adalah diazepam atau klordiazepoksid.
Indikasi : Obat antisietas digunakan untuk pasien yang mengalami sindrom
ansietas.
 Mekanisme kerja : Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitas dari
system limbic yang terdiri dari dopaminergic, nonadrenergic,
seretonnergic yang dikendalikan oleh GABA yang merupakan suatu
inhibitory neurotransmitter. Obat antiansietas akan bereaksi dengan
reseptornya yang akan meng-inforce theinhibitory action of GABA
neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut mereda.
 Efek samping : Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun,kemampuan kognitif melemah) dan
Relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah dan lain-lain).
5. Antiimsonia
Insomnia adalah gangguan dalam tubuh yang ditandai dengan gejala susah
tidur. Anti insomnia sinonimnya adalah hipnotik, somnifacient, atau hipnotika.
Obat acuannya adalah fenobarbital, Indikasi : Sebagai obat untuk mengatasi
gejala sulit tidur.
 Mekanisme kerja : Obat anti-insomnia bekerja pada reseptor BZ1 di
susunan saraf pusat yang berperan dalam memperantarai proses tidur
 Efek samping : Supresi SSP padasaattidur Hati-hati pada pasien
dengan insufisiensi pernapasan dan gangguan fungsi hati, karena pada
keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP sehingga
dapatmemudahkan timbulnya koma. Pada pasien usia lanjut dapat
terjadi sedasi berlebihan sehingga risiko jatuh dan trauma menjadi
besar.

6. Antiobsesif-kompulsif
Obsesif-Kompulsif adalah keadaan dimana seseorang mempunyai keinginan
tak terkendaliakan untuk melakukan tindakan tertentu berulang- ulang agar
mengurangi keresahan. Dalam membicarakan obat anti obsesikompulsif yang
menjadi acuan adalah klomipramin. Obat anti obsesi kompulsi dapat
digolongkan menjadi :
1) Obat anti obsesi kompulsi trisiklik, contoh klomipramin
2) Obat anti obsesi kompulsi SSRJ, contoh sentralin, paroksin,
flovokamin, Fluoksetin
 Mekanisme kerja : Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin
sehingga gejala mereda.

7. Antipanik
Panik adalah keadaan seseorang mengalami kebingungan hebat. Dalam
membicarakan obat antipanik yang menjadi obat acuan adalah imipramin.
 Mekanisme kerja : obat antipanik adalah menghambat reuptake
serotonin pada celah sinaptik antar neuron
 Efek samping : Mengantuk, kewaspadaan berkurang
2.5 Metode asessemen
Asesmen secara umum dapat didefinisikan suatu proses mengumpulkan
informasi untuk digunakan sebagai dasar bagi keputusan-keputusan atau hasil yang
akan diinformasikan atau dikomunikasikan oleh asesor (penilai) (Nietzel, Bernstein,
& Milich, 1998).
Sundberg, Winebarger, dan Taplin (2007; dalam Wiramihardja, 2012; Ardani
dkk., 2007) membagi tiga tujuan utama dari asesmen:
a. Pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan terjadi pada setiap
kontak dengan seorang klien, termasuk kontak yang pertama; serta terjadi
sepanjang proses asesmen dan intervensi. Pengambilan keputusan yang
dimaksud dapat meliputi apakah kompetensi klinis cukup untuk melayani
klien sendiri, atau perlu dilakukan rujukan ke profesional lain, bagaimana
membuat perencanaan, mengorganisasikan dan menyampaikan informasi
kepada orang lain, membuat formulasi klinis, membuat desain dan
melaksanakan intervensi.
b. Mengembangkan citra atau gambaran (model kerja mengenai klien). Proses ini
dimulai sejak pertemuan pertama dan berlanjut sepanjang keterlibatan klien
dengan klinisi, untuk mendapatkan gambaran yang akurat dan membantu
pengembangan rekomendasi yang tepat, seperti intervensi atau perujukan atau
perawatan inap. Gambaran dibuat dalam bentuk laporan tertulis, baik
digunakan untuk klinis sendiri atau untuk disampaikan pada orang lain.
Laporan bersifat tentatif dan terbuka terhadap modifikasi dengan diperolehnya
informasiinformasi baru.
c. Pengujian hipotesis, dapat berlaku pada penelitian maupun situasi klinis.
Dalam setting penelitian, pengujian hipotesis dapat menguatkan atau
menggugurkan sebuah teori, model atau pertanyaan konseptual. Sedangkan
dalam setting klinis, pengujian hipotesis dapat menguatkan atau
menggugurkan informed guess (dugaan berdasarkan informasi yang cukup)
atau diagnosis.
Tidak hanya melalui pertimbangan teoretis, maka reliabilitas dan validitas
merupakan pertimbangan penting dalam proses pemilihan instrumen asesmen. Faktor
spesifik klinisi dan keluasan serta kedalaman cakupan juga menjadi perhatian (Nietzel
dkk., 1998).
1. Reliabilitas, yaitu mengacu pada konsistensi atau kesesuaian di antara data
asesmen. Dapat dievaluasi dengan beberapa cara:
a. Stabilitas temporal, yaitu kemiripan hasil dari pengukuran berulang
pada klien yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur asesmen
memiliki reliabilitas tes-retes yang tinggi.
b. Konsistensi internal, yaitu apabila data dari hasil sebagian asesmen
serupa dengan data dari sebagian yang lain. Selain menunjukkan
konsistensi internal, hal ini juga terkadang disebut reliabilitas splithalf/
(interkorelasi butir tes).
c. Reliabilitas interrater, yaitu apabila data hasil pengukuran antar penilai
pada penggunaan instrumen asesmen yang sama menunjukkan saling
kesesuaian. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur asesmen memiliki
reliabilitas interrater yang tinggi.
2. Validitas, yaitu mencerminkan sejauh mana sebuah instrumen mengukur apa
yang seharusnya diukur. Dapat dievaluasi dengan beberapa cara:
a. Content validity, menjelaskan seberapa baik metode asesmen/ alat ukur
tersebut bersinggungan dengan seluruh dimensi yang relevan dengan
apa yang hendak diukur.
b. Criterion validity, menjelaskan seberapa kuat hasil asesmen
berhubungan dengan kriteria tertentu.
1) Predictive validity, menjelaskan seberapa baik metode
asesmen/ alat ukur tersebut dapat memprediksi peristiwa,
misalnya perilaku kekerasan atau percobaan bunuh diri.
2) Concurrent validity, menjelaskan seberapa sesuai dua metode
asesmen mengukur kualitas yang sama.
c. Construct validity, menjelaskan bahwa hasil dari penggunaan metode
asesmen atau alat ukur secara sistematis dan berkesinambungan
berhubungan dengan konstruk yang seharusnya diukur.
3. Faktor spesifik klinisi.
Pengalaman dan pilihan pribadi turut mempengaruhi pilihan asesmen klinisi
berdasarkan kenyamanan atau kemudahan memperoleh jawaban asesmen.
Selain mempengaruhi pilihan asesmen, faktor personal juga menentukan
kecenderungan penggunaan metode asesmen tertentu secara terus menerus,
bahkan ketika beberapa bukti penelitian kurang mendukung reliabilitas dan
validitasnya.
4. Bandwidth-Fidelity
Baik bandwidth maupun fidelity juga perlu diperhatikan guna efisiensi dalam
proses asesmen. Bandwidth mengacu pada keluasan cakupan hasil dari alat
asesmen, sedangkan fidelity mengacu pada kedalaman dan ketuntasan. Sebuah
hasil asesmen dapat luas cakupannya, namun bisa dangkal/tidak mendalam
(misalnya pada daftar wawancara dengan banyak topik dan waktu terbatas);
begitu pun sebaliknya (misalnya pada wawancara mendalam pengalaman masa
kanak). Klinisi perlu mencari strategi asesmen dan alat ukur yang memberikan
hasil optimal dan seimbang dalam hal bandwidth dan fidelity. Pilihan tidak
hanya ditentukan oleh waktu dan sumber yang tersedia melainkan juga tujuan
dari asesmen, yaitu tentang spesifikasi informasi yang ingin diperoleh.
2.6 Intervensi dan rehabilitasi
1. Intervensi
Jenis-Jenis Intervensi
1) Peer Intervention (Intervensi sebaya) Meskipun intervensi sebaya
paling sering digunakan pada anak-anak usia sekolah dan remaja,
intervensi ini juga menargetkan anak-anak prasekolah, dan orang
dewasa. Cakupan luas intervensi sebaya dibuktikan dalam beragam
bidang masalah klinis yang ditargetkan dan gangguan (bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan sosial dan komunikasi anak-anak dengan
autisme, mengurangi ketakutan medis, mengurangi kenakalan dan
agresi, menyelesaikan konflik, mempromosikan perilaku kesehatan,
dan mencegah bunuh diri). Terdapat dua model peran dalam intervensi
konseling sebaya:
a. Dalam “pendekatan kader”, segelintir anak dilatih untuk
melayani sebagai penasihat untuk membantu anak-anak lain
dalam upaya mereka memecahkan masalahnya.
b. Dalam “pendekatan tubuh siswa” seluruh populasi siswa
dilatih dalam strategi intervensi (misalnya, penyelesaian
masalah, resolusi konflik) dan memiliki kesempatan untuk
melayani sebagai penasihat. Keuntungan dari pendekatan ini
adalah bahwa semua anak mempelajari strategi baru dan dapat
menerapkannya di luar intervensi formal. Teori dan Aplikasi
Dalam penerapannya, terdapat jenis-jenis intervensi sebaya
yang dapat dibagi dalam dua kategori. Jenis-jenis intervensi sebaya
yang pertama adalah:
1) Pemodelan rekan (Peer modelling) Satu atau lebih anak yang
kompeten digunakan untuk mencontohkan perilaku yang
diinginkan.
2) Dorongan dan penguatan teman (Peer prompting and
reinforcement) Prompting mencakup instruksi dan penguatan
untuk mengikuti instruksi dengan tepat.
3) Inisiasi sebaya (Peer initiation) Anak-anak lain digunakan
untuk memulai atau mempertahankan interaksi sosial, seperti
bermain dan percakapan dengan target.
4) Bimbingan belajar sebaya (Peer tutoring) Bimbingan teman
sebaya perlu menyertakan dua atau lebih dari yang berikut:
instruksi kepada siswa, meminta tanggapan yang benar,
pujian, umpan balik korektif, dan mengabaikan perilaku siswa
tertentu.
Adapun jenis-jenis intervensi sebaya yang kedua adalah:
1) Pendidikan sebaya (Peer education) Metode penyebaran
informasi penting atau sensitif di seluruh kelompok sebaya.
2) Pendampingan sebaya (Peer mentoring) Mentor menunjukkan
lebih banyak pengalaman, keterampilan, atau pengetahuan
dalam area tertentu dan mengisi peran meneruskan informasi
ini kepada anak target.
3) Konseling sebaya (Peer counseling) Terlepas dari status non-
profesional mereka, konselor sebaya melayani fungsi yang
mirip dengan konselor profesional. Mereka menawarkan
bantuan kepada anak-anak dan remaja lainnya dengan
mendengarkan, memberikan empati, dan menggunakan
keterampilannya memecahkan masalah
2. Rehabilitasi
Menurut Soeparman rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi
tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus
yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi bagi narapidana di lembaga
pemasyarakatan adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan
pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkotika. Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa rehabiliasi merupakan salah satu upaya pemulihan
dan pengembalian kondisi bagi penyalahguna maupun korban penyalahguna
narkotika agar dapat kembali melaksanakan fungsionalitas sosialnya yaitu
dapat melaksanakan kegiatan dalam masyarakat secara normal dan wajar.
a. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi berasal dari dua kata, yaitu re yang berarti kembali dan
habilitasi yang berarti kemampuan. Menurut arti katanya, rehabilitasi
berarti mengembalikan kemampuan. Rehabilitasi adalah proses
perbaikan yang ditujukan pada penderita cacat agar mereka cakap
berbuat untuk memiliki seoptimal mungkin kegunaan jasmani, rohani,
sosial, pekerjaan dan ekonomi.
Rehabilitasi didefinisikan sebagai ”satu program holistik dan
terpadu atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan
vokasional yang memberdayakan seorang (individu penyandang cacat)
untuk meraih pencapaian pribadi, ebermaknaan sosial, dan interaksi
efektif yang fungsional dengan dunia” (Banja,1990:615).Arah kegiatan
rehabilitasi adalah refungsionalisasi dan pengembangan.
Refungsionalisasi dimaksudkan bahwa rehabilitasi lebih diarahkan
pada pengembalian fungsi dari kemampuan peserta didik, sedangkan
pengembangan diarahkan untuk menggali/menemukan dan
memanfaatkan kemampuan siswa yang masih ada serta potensi yang
dimiliki untuk memenuhi fungsi diri dan fungsi sosial dimana ia hidup
dan berada.
b. Tujuan Rehabilitasi
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan
mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang
cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai
dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Tujuan utama
rehabilitasi adalah membantu penca mencapai kemandirian optimal
secara fisik, mental, sosial, vokasional, dan ekonomi sesuai dengan
kemampuannya. Ini berarti membantu individu tersebut mencapai
kapasitas maksimalnya untuk memperoleh kepuasan hidup dengan
tetap mengakui adanya kendala-kendala teknis yang terkait dengan
keterbatasan teknologi dan sumber-sumber keuangan serta sumber-
sumber lain. Di samping itu, aspek berguna juga dapat mencakup self
realization, human relationship, economic efficiency, dan civic
responsibility. Artinya, melalui kegiatan-kegiatan rehabilitasi, peserta
didik cacat diharapkan:
1. Dapat menyadari kelainannya dan dapat menguasai diri
sedemikian rupa, sehingga tidak menggantungkan diri pada
orang lain (self realization).
2. Dapat bergaul dan bekerjasama dengan orang lain dalam
kelompok, tahu akan perannya, dan dapat menyesuaikan diri
dengan perannya tersebut. Dapat memahami dan melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dapat mengerti batas-batas dari
kelakuan, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial,
etika pergaulan, agama, dan tidak memisahkan diri, tidak
rendah diri, dan tidak berlebihan, serta mampu bergaul secara
wajar dengan lingkungannya (human relationship).
3. Mempunyai kemampuan dan keterampilan ekonomis produktif
tertentu yang dapat menjamin kehidupannya kelak di bidang
ekonomi (economic efficiency).
c. Sasaran rehabilitas
Sasaran rehabilitasi adalah individu sebagai suatu totalitas yang terdiri
dari aspek jasmani, kejiwaan, dan sebagai anggota masyarakat. Sasaran
rehabilitasi cukup luas, karena tidak hanya terfokus pada penderita
cacat saja, tetapi juga kepada petugas-petugas panti rehabilitasi, orang
tua dan keluarga penca, masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah dan
swasta serta organisasi sosial yang terkait. Secara rinci Qoleman
(1988:663) mengemukakan sasaran rehabilitasi adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan insight individu terhadap problem yang
dihadapi, kesulitannya dan tingkah lakunya.
2. Membentuk sosok self identity yang lebih baik pada individu.
3. Memecahkan konflik yang menghambat dan mengganggu
4. Merubah dan memperbaiki pola kebiasaan dan pola reaksi
tingkah
5. Meningkatkan kemampuan melakukan relasi interpersonal
maupun kemampuan-kemampuan lainnya
6. Modifikasi asumsi-asumsi individu yang tidak tepat tentang
dirinya sendiri dan dunia lingkungannya.
7. Membuka jalan bagi eksistensi individu yang lebih berarti dan
bermakna atau berguna.
d. Prinsip Dasar Filosofi Rehabilitasi
Szymanski (2005) menyatakan bahwa prinsip dasar filosofi
rehabilitasi adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang menganut nilai-nilainya sendiri dan itu harus
dihormati.
2. Setiap orang adalah anggota dari masyarakatnya, dan
rehabilitasi
3. Setiap orang adalah anggota dari masyarakatnya, dan
rehabilitasi seyogyanya memupuk agar orang itu diterima
sepenuhnya oleh masyarakatnya.
4. Aset-aset yang terdapat dalam diri individu ditekankan,
didukung, dan dikembangkan.
5. Faktor-faktor realita seyogyanya ditekankan dalam membantu
individu menghadapi lingkungannya.
6. Perlakuan seyogyanya bervariasi dan fleksibel sesuai dengan
karakteristik pribadi orang tu.
e. Fungsi Rehabilitasi
Pada umumnya, rehabilitasi yang diberikan kepada peserta
didik berkelainan berfungsi untuk pencegahan (preventif),
penyembuhan (kuratif), atau pemulihan/pengembalian (rehabilitatif),
dan pemeliharaan/penjagaan (promotif). Fungsi pencegahan, melalui
program dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi peserta didik dapat
menghindari hal-hal yang dapat menambah kecacatan yang lebih berat/
lebih parah/ timbulnya kecacatan ganda. Melalui kegiatan terapi,
bagian-bagian tubuh yang tidak cacat dapat ditambah kekuatan dan
ketahanannya, sehingga kelemahan pada bagian tertentu tidak dapat
menjalar ke bagian lain yang telah cukup terlatih. Dengan demikian
penyebaran kecacatan dapat dicegah dan dibatasi atau dilokalisasikan.
2.7 Interpretasi dalam phycopharmakologi
Menurut Golden,dkk (1922) terdapat beberapa cara untuk menginterpretasikan
data tes neuropsikologis ini. Pertama, taraf kinerja pasien dapat diinterpretasi dalam
konteks data normative. Misalnya, apakah skor pasien secara signifikan berada di
bawah skor rata-rata untuk kelompok yang sesuai, yang menyarankan beberapa
kelemahan dalam fungsi dua daerah ini. Kedua, beberapa perhitungan skor bebrbeda
mengenai dua tes dari seorang pasien: taraf tertentu perbedaan menandakan adanya
kelemahan pada pasien. Ketiga, tanda-tanda pathogmonic cedera otak (misalnya gagal
dalam menggambar bagian kiri suatu gambar) dapat dicatat dapat diinterpretasi.
Keempat, suatu analisis pola skor bisa jadi diusahakan; pola-pola skor tes tertentu
telah diasosiasikan dengan luka atau kelemahan neurologis spesifik. Terakhir,
sejumlah formula statis yang weight score secara berbeda bisa jadi bersesuaian
dengan keputsan-keputusan diagnostic tertentu (A. Wirahimardja, Sutardjo, 2012:
218).
a. Prosedur Neurodoagnostik
Saat ini bidang medis telah memiliki berbagai prosedur prosedur neuro diagnostic,
termasuk pemeriksaan yang sampai neurology, EEG, roentgent,
potret, Compurezed Axial Tomography (CAT), dan yang paling modern adalah
produk Nuclear Magnetic Resonance imaging (NMR atau MRI). Tentu saja tenik-
teknik itu sangat bermanfaat, tetapi masih dirasakan adanya kekurangan sehingga
diperlukan usaha tambahan untuk mendapatkan keterangan mengenai kelemahan
yang akurat, sebaliknya kadang-kadang menghasilkan bukti abnormalitas pada
saat tidak adanya cedera otak yang actual.
b. Penalaran Abtrak
Dalam Winconsing Card Sorting Test (WCST), penalarn abstrak ini diukur oleh
subtes dimanapasien diminta untuk menempatkan suatu kartu yang sesuai
(misalnya sama warna, bentuk, dan jumlah figure bentuk tertentu). Yang esensial
dari pengukuran penalaran abstrak ini adalah dapat atau tidak ditemukannya
persamaan dan atau perbedaan dari dua atau beberapa fenomena. Secara lebih
detail, perumusan penalaran abstrak adalah kemampuan inti berbagai hal atau
pemasalahan atau inti perbedaannya.
c.  Pemrosesan visual-perseptual
Dalam WAIS III hal ini didapat dalam subtes block design.sub tes ini mempunyai
makna lain untuk menggambaekan kecerdasan, kepribadian, neuropsikologis, dan
klinis pada umumnya. Sub tes ini dapat diartikan kemampuan berpikir sintesis
analitis, menggambarkan kekuatan berpikir sehingga dinilai sebagai salah satu
bentuk atau wujud dari Original Quotient (OIQ).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Psikofarmakologi adalah standar pengobatan yang digunakan untuk penyakit
yang patofisiologinya berkaitan dengan masalah neurobiologis.
Ruang lingkup psikofarmakologi Merupakan pengetahuan wacana obat untuk
mengobati gangguan psikiatris. Pada zaman dahulu, khususnya semenjak tahun
1950, seorang psikiater hanya mempunyai sedikit obat stimulan dan obat penenang
nonspesifik untuk mengobati kecemasan dan depresi.
Peer Intervention (Intervensi sebaya) Meskipun intervensi sebaya paling
sering digunakan pada anak-anak usia sekolah dan remaja, intervensi ini juga
menargetkan anak-anak prasekolah, dan orang dewasa.
Rehabiliasi merupakan salah satu upaya pemulihan dan pengembalian kondisi
bagi penyalahguna maupun korban penyalahguna narkotika agar dapat kembali
melaksanakan fungsionalitas sosialnya yaitu dapat melaksanakan kegiatan dalam
masyarakat secara normal dan wajar.
DAFTAR PUSTAKA

Sunbreg, Norman D., dkk. (2007). Psikologis Klinis Edisi Keempat. Yogyakarta :
Pustaka Belajar.
Taylor, D. L. (2016). Psikofarmakologi. Dalam G. W. Stuart (Eds.) Prinsip dan
Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore : Elveiser.
Townsend, MC. (2010). Diagnosa Keperawatan Psikiatri Rencana Asuhan &
Medikasi Psikotropik: Jakarta : EGC.
Kusumanto Setyonegoro.Disertasi, 1966
Djamhuri, Dr. Agus. (1990) . Sinopsis Farmakologi. Jakarta: Hipokrates.
Nietzel, M. T., Bernstein, D. A., & Milich, R. (1998). Introduction to clinical
psychology, 5th edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Sundberg, N. D., Winebarger, A. A., & Taplin, J. R. (2007). Psikologi klinis:
Perkembangan teori, praktik, dan penelitian. Edisi Keempat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wiramihardja, S. A. (2012). Pengantar psikologi klinis. Edisi ketiga. Bandung: PT
Refika Aditama.
Wiramihardja, Surardjo A., Prof, Dr. 2012. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung :
Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai