”PSIKOFARMAKOLOGI”
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3 (TIGA)
ANGGOTA :
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
PETA MASALAH................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Simpulan...........................................................
3.2 Saran...........................................................
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul
“Psikofarmakologi” dengan tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Psikologi.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini
dan kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua orang. Dengan
demikian, saran dan kritik yang kami harapkan dari pembaca untuk peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Penulis
PETA MASALAH
Obat-obat Prinsip-prinsip
psikotrafika pengaturan dosis
Interpretasi dalam
psikoparmakologi
BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
6. Antiobsesif-kompulsif
Obsesif-Kompulsif adalah keadaan dimana seseorang mempunyai keinginan
tak terkendaliakan untuk melakukan tindakan tertentu berulang- ulang agar
mengurangi keresahan. Dalam membicarakan obat anti obsesikompulsif yang
menjadi acuan adalah klomipramin. Obat anti obsesi kompulsi dapat
digolongkan menjadi :
1) Obat anti obsesi kompulsi trisiklik, contoh klomipramin
2) Obat anti obsesi kompulsi SSRJ, contoh sentralin, paroksin,
flovokamin, Fluoksetin
Mekanisme kerja : Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin
sehingga gejala mereda.
7. Antipanik
Panik adalah keadaan seseorang mengalami kebingungan hebat. Dalam
membicarakan obat antipanik yang menjadi obat acuan adalah imipramin.
Mekanisme kerja : obat antipanik adalah menghambat reuptake
serotonin pada celah sinaptik antar neuron
Efek samping : Mengantuk, kewaspadaan berkurang
2.5 Metode asessemen
Asesmen secara umum dapat didefinisikan suatu proses mengumpulkan
informasi untuk digunakan sebagai dasar bagi keputusan-keputusan atau hasil yang
akan diinformasikan atau dikomunikasikan oleh asesor (penilai) (Nietzel, Bernstein,
& Milich, 1998).
Sundberg, Winebarger, dan Taplin (2007; dalam Wiramihardja, 2012; Ardani
dkk., 2007) membagi tiga tujuan utama dari asesmen:
a. Pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan terjadi pada setiap
kontak dengan seorang klien, termasuk kontak yang pertama; serta terjadi
sepanjang proses asesmen dan intervensi. Pengambilan keputusan yang
dimaksud dapat meliputi apakah kompetensi klinis cukup untuk melayani
klien sendiri, atau perlu dilakukan rujukan ke profesional lain, bagaimana
membuat perencanaan, mengorganisasikan dan menyampaikan informasi
kepada orang lain, membuat formulasi klinis, membuat desain dan
melaksanakan intervensi.
b. Mengembangkan citra atau gambaran (model kerja mengenai klien). Proses ini
dimulai sejak pertemuan pertama dan berlanjut sepanjang keterlibatan klien
dengan klinisi, untuk mendapatkan gambaran yang akurat dan membantu
pengembangan rekomendasi yang tepat, seperti intervensi atau perujukan atau
perawatan inap. Gambaran dibuat dalam bentuk laporan tertulis, baik
digunakan untuk klinis sendiri atau untuk disampaikan pada orang lain.
Laporan bersifat tentatif dan terbuka terhadap modifikasi dengan diperolehnya
informasiinformasi baru.
c. Pengujian hipotesis, dapat berlaku pada penelitian maupun situasi klinis.
Dalam setting penelitian, pengujian hipotesis dapat menguatkan atau
menggugurkan sebuah teori, model atau pertanyaan konseptual. Sedangkan
dalam setting klinis, pengujian hipotesis dapat menguatkan atau
menggugurkan informed guess (dugaan berdasarkan informasi yang cukup)
atau diagnosis.
Tidak hanya melalui pertimbangan teoretis, maka reliabilitas dan validitas
merupakan pertimbangan penting dalam proses pemilihan instrumen asesmen. Faktor
spesifik klinisi dan keluasan serta kedalaman cakupan juga menjadi perhatian (Nietzel
dkk., 1998).
1. Reliabilitas, yaitu mengacu pada konsistensi atau kesesuaian di antara data
asesmen. Dapat dievaluasi dengan beberapa cara:
a. Stabilitas temporal, yaitu kemiripan hasil dari pengukuran berulang
pada klien yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur asesmen
memiliki reliabilitas tes-retes yang tinggi.
b. Konsistensi internal, yaitu apabila data dari hasil sebagian asesmen
serupa dengan data dari sebagian yang lain. Selain menunjukkan
konsistensi internal, hal ini juga terkadang disebut reliabilitas splithalf/
(interkorelasi butir tes).
c. Reliabilitas interrater, yaitu apabila data hasil pengukuran antar penilai
pada penggunaan instrumen asesmen yang sama menunjukkan saling
kesesuaian. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur asesmen memiliki
reliabilitas interrater yang tinggi.
2. Validitas, yaitu mencerminkan sejauh mana sebuah instrumen mengukur apa
yang seharusnya diukur. Dapat dievaluasi dengan beberapa cara:
a. Content validity, menjelaskan seberapa baik metode asesmen/ alat ukur
tersebut bersinggungan dengan seluruh dimensi yang relevan dengan
apa yang hendak diukur.
b. Criterion validity, menjelaskan seberapa kuat hasil asesmen
berhubungan dengan kriteria tertentu.
1) Predictive validity, menjelaskan seberapa baik metode
asesmen/ alat ukur tersebut dapat memprediksi peristiwa,
misalnya perilaku kekerasan atau percobaan bunuh diri.
2) Concurrent validity, menjelaskan seberapa sesuai dua metode
asesmen mengukur kualitas yang sama.
c. Construct validity, menjelaskan bahwa hasil dari penggunaan metode
asesmen atau alat ukur secara sistematis dan berkesinambungan
berhubungan dengan konstruk yang seharusnya diukur.
3. Faktor spesifik klinisi.
Pengalaman dan pilihan pribadi turut mempengaruhi pilihan asesmen klinisi
berdasarkan kenyamanan atau kemudahan memperoleh jawaban asesmen.
Selain mempengaruhi pilihan asesmen, faktor personal juga menentukan
kecenderungan penggunaan metode asesmen tertentu secara terus menerus,
bahkan ketika beberapa bukti penelitian kurang mendukung reliabilitas dan
validitasnya.
4. Bandwidth-Fidelity
Baik bandwidth maupun fidelity juga perlu diperhatikan guna efisiensi dalam
proses asesmen. Bandwidth mengacu pada keluasan cakupan hasil dari alat
asesmen, sedangkan fidelity mengacu pada kedalaman dan ketuntasan. Sebuah
hasil asesmen dapat luas cakupannya, namun bisa dangkal/tidak mendalam
(misalnya pada daftar wawancara dengan banyak topik dan waktu terbatas);
begitu pun sebaliknya (misalnya pada wawancara mendalam pengalaman masa
kanak). Klinisi perlu mencari strategi asesmen dan alat ukur yang memberikan
hasil optimal dan seimbang dalam hal bandwidth dan fidelity. Pilihan tidak
hanya ditentukan oleh waktu dan sumber yang tersedia melainkan juga tujuan
dari asesmen, yaitu tentang spesifikasi informasi yang ingin diperoleh.
2.6 Intervensi dan rehabilitasi
1. Intervensi
Jenis-Jenis Intervensi
1) Peer Intervention (Intervensi sebaya) Meskipun intervensi sebaya
paling sering digunakan pada anak-anak usia sekolah dan remaja,
intervensi ini juga menargetkan anak-anak prasekolah, dan orang
dewasa. Cakupan luas intervensi sebaya dibuktikan dalam beragam
bidang masalah klinis yang ditargetkan dan gangguan (bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan sosial dan komunikasi anak-anak dengan
autisme, mengurangi ketakutan medis, mengurangi kenakalan dan
agresi, menyelesaikan konflik, mempromosikan perilaku kesehatan,
dan mencegah bunuh diri). Terdapat dua model peran dalam intervensi
konseling sebaya:
a. Dalam “pendekatan kader”, segelintir anak dilatih untuk
melayani sebagai penasihat untuk membantu anak-anak lain
dalam upaya mereka memecahkan masalahnya.
b. Dalam “pendekatan tubuh siswa” seluruh populasi siswa
dilatih dalam strategi intervensi (misalnya, penyelesaian
masalah, resolusi konflik) dan memiliki kesempatan untuk
melayani sebagai penasihat. Keuntungan dari pendekatan ini
adalah bahwa semua anak mempelajari strategi baru dan dapat
menerapkannya di luar intervensi formal. Teori dan Aplikasi
Dalam penerapannya, terdapat jenis-jenis intervensi sebaya
yang dapat dibagi dalam dua kategori. Jenis-jenis intervensi sebaya
yang pertama adalah:
1) Pemodelan rekan (Peer modelling) Satu atau lebih anak yang
kompeten digunakan untuk mencontohkan perilaku yang
diinginkan.
2) Dorongan dan penguatan teman (Peer prompting and
reinforcement) Prompting mencakup instruksi dan penguatan
untuk mengikuti instruksi dengan tepat.
3) Inisiasi sebaya (Peer initiation) Anak-anak lain digunakan
untuk memulai atau mempertahankan interaksi sosial, seperti
bermain dan percakapan dengan target.
4) Bimbingan belajar sebaya (Peer tutoring) Bimbingan teman
sebaya perlu menyertakan dua atau lebih dari yang berikut:
instruksi kepada siswa, meminta tanggapan yang benar,
pujian, umpan balik korektif, dan mengabaikan perilaku siswa
tertentu.
Adapun jenis-jenis intervensi sebaya yang kedua adalah:
1) Pendidikan sebaya (Peer education) Metode penyebaran
informasi penting atau sensitif di seluruh kelompok sebaya.
2) Pendampingan sebaya (Peer mentoring) Mentor menunjukkan
lebih banyak pengalaman, keterampilan, atau pengetahuan
dalam area tertentu dan mengisi peran meneruskan informasi
ini kepada anak target.
3) Konseling sebaya (Peer counseling) Terlepas dari status non-
profesional mereka, konselor sebaya melayani fungsi yang
mirip dengan konselor profesional. Mereka menawarkan
bantuan kepada anak-anak dan remaja lainnya dengan
mendengarkan, memberikan empati, dan menggunakan
keterampilannya memecahkan masalah
2. Rehabilitasi
Menurut Soeparman rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi
tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus
yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi bagi narapidana di lembaga
pemasyarakatan adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan
pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkotika. Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa rehabiliasi merupakan salah satu upaya pemulihan
dan pengembalian kondisi bagi penyalahguna maupun korban penyalahguna
narkotika agar dapat kembali melaksanakan fungsionalitas sosialnya yaitu
dapat melaksanakan kegiatan dalam masyarakat secara normal dan wajar.
a. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi berasal dari dua kata, yaitu re yang berarti kembali dan
habilitasi yang berarti kemampuan. Menurut arti katanya, rehabilitasi
berarti mengembalikan kemampuan. Rehabilitasi adalah proses
perbaikan yang ditujukan pada penderita cacat agar mereka cakap
berbuat untuk memiliki seoptimal mungkin kegunaan jasmani, rohani,
sosial, pekerjaan dan ekonomi.
Rehabilitasi didefinisikan sebagai ”satu program holistik dan
terpadu atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan
vokasional yang memberdayakan seorang (individu penyandang cacat)
untuk meraih pencapaian pribadi, ebermaknaan sosial, dan interaksi
efektif yang fungsional dengan dunia” (Banja,1990:615).Arah kegiatan
rehabilitasi adalah refungsionalisasi dan pengembangan.
Refungsionalisasi dimaksudkan bahwa rehabilitasi lebih diarahkan
pada pengembalian fungsi dari kemampuan peserta didik, sedangkan
pengembangan diarahkan untuk menggali/menemukan dan
memanfaatkan kemampuan siswa yang masih ada serta potensi yang
dimiliki untuk memenuhi fungsi diri dan fungsi sosial dimana ia hidup
dan berada.
b. Tujuan Rehabilitasi
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan
mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang
cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai
dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Tujuan utama
rehabilitasi adalah membantu penca mencapai kemandirian optimal
secara fisik, mental, sosial, vokasional, dan ekonomi sesuai dengan
kemampuannya. Ini berarti membantu individu tersebut mencapai
kapasitas maksimalnya untuk memperoleh kepuasan hidup dengan
tetap mengakui adanya kendala-kendala teknis yang terkait dengan
keterbatasan teknologi dan sumber-sumber keuangan serta sumber-
sumber lain. Di samping itu, aspek berguna juga dapat mencakup self
realization, human relationship, economic efficiency, dan civic
responsibility. Artinya, melalui kegiatan-kegiatan rehabilitasi, peserta
didik cacat diharapkan:
1. Dapat menyadari kelainannya dan dapat menguasai diri
sedemikian rupa, sehingga tidak menggantungkan diri pada
orang lain (self realization).
2. Dapat bergaul dan bekerjasama dengan orang lain dalam
kelompok, tahu akan perannya, dan dapat menyesuaikan diri
dengan perannya tersebut. Dapat memahami dan melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dapat mengerti batas-batas dari
kelakuan, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial,
etika pergaulan, agama, dan tidak memisahkan diri, tidak
rendah diri, dan tidak berlebihan, serta mampu bergaul secara
wajar dengan lingkungannya (human relationship).
3. Mempunyai kemampuan dan keterampilan ekonomis produktif
tertentu yang dapat menjamin kehidupannya kelak di bidang
ekonomi (economic efficiency).
c. Sasaran rehabilitas
Sasaran rehabilitasi adalah individu sebagai suatu totalitas yang terdiri
dari aspek jasmani, kejiwaan, dan sebagai anggota masyarakat. Sasaran
rehabilitasi cukup luas, karena tidak hanya terfokus pada penderita
cacat saja, tetapi juga kepada petugas-petugas panti rehabilitasi, orang
tua dan keluarga penca, masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah dan
swasta serta organisasi sosial yang terkait. Secara rinci Qoleman
(1988:663) mengemukakan sasaran rehabilitasi adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan insight individu terhadap problem yang
dihadapi, kesulitannya dan tingkah lakunya.
2. Membentuk sosok self identity yang lebih baik pada individu.
3. Memecahkan konflik yang menghambat dan mengganggu
4. Merubah dan memperbaiki pola kebiasaan dan pola reaksi
tingkah
5. Meningkatkan kemampuan melakukan relasi interpersonal
maupun kemampuan-kemampuan lainnya
6. Modifikasi asumsi-asumsi individu yang tidak tepat tentang
dirinya sendiri dan dunia lingkungannya.
7. Membuka jalan bagi eksistensi individu yang lebih berarti dan
bermakna atau berguna.
d. Prinsip Dasar Filosofi Rehabilitasi
Szymanski (2005) menyatakan bahwa prinsip dasar filosofi
rehabilitasi adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang menganut nilai-nilainya sendiri dan itu harus
dihormati.
2. Setiap orang adalah anggota dari masyarakatnya, dan
rehabilitasi
3. Setiap orang adalah anggota dari masyarakatnya, dan
rehabilitasi seyogyanya memupuk agar orang itu diterima
sepenuhnya oleh masyarakatnya.
4. Aset-aset yang terdapat dalam diri individu ditekankan,
didukung, dan dikembangkan.
5. Faktor-faktor realita seyogyanya ditekankan dalam membantu
individu menghadapi lingkungannya.
6. Perlakuan seyogyanya bervariasi dan fleksibel sesuai dengan
karakteristik pribadi orang tu.
e. Fungsi Rehabilitasi
Pada umumnya, rehabilitasi yang diberikan kepada peserta
didik berkelainan berfungsi untuk pencegahan (preventif),
penyembuhan (kuratif), atau pemulihan/pengembalian (rehabilitatif),
dan pemeliharaan/penjagaan (promotif). Fungsi pencegahan, melalui
program dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi peserta didik dapat
menghindari hal-hal yang dapat menambah kecacatan yang lebih berat/
lebih parah/ timbulnya kecacatan ganda. Melalui kegiatan terapi,
bagian-bagian tubuh yang tidak cacat dapat ditambah kekuatan dan
ketahanannya, sehingga kelemahan pada bagian tertentu tidak dapat
menjalar ke bagian lain yang telah cukup terlatih. Dengan demikian
penyebaran kecacatan dapat dicegah dan dibatasi atau dilokalisasikan.
2.7 Interpretasi dalam phycopharmakologi
Menurut Golden,dkk (1922) terdapat beberapa cara untuk menginterpretasikan
data tes neuropsikologis ini. Pertama, taraf kinerja pasien dapat diinterpretasi dalam
konteks data normative. Misalnya, apakah skor pasien secara signifikan berada di
bawah skor rata-rata untuk kelompok yang sesuai, yang menyarankan beberapa
kelemahan dalam fungsi dua daerah ini. Kedua, beberapa perhitungan skor bebrbeda
mengenai dua tes dari seorang pasien: taraf tertentu perbedaan menandakan adanya
kelemahan pada pasien. Ketiga, tanda-tanda pathogmonic cedera otak (misalnya gagal
dalam menggambar bagian kiri suatu gambar) dapat dicatat dapat diinterpretasi.
Keempat, suatu analisis pola skor bisa jadi diusahakan; pola-pola skor tes tertentu
telah diasosiasikan dengan luka atau kelemahan neurologis spesifik. Terakhir,
sejumlah formula statis yang weight score secara berbeda bisa jadi bersesuaian
dengan keputsan-keputusan diagnostic tertentu (A. Wirahimardja, Sutardjo, 2012:
218).
a. Prosedur Neurodoagnostik
Saat ini bidang medis telah memiliki berbagai prosedur prosedur neuro diagnostic,
termasuk pemeriksaan yang sampai neurology, EEG, roentgent,
potret, Compurezed Axial Tomography (CAT), dan yang paling modern adalah
produk Nuclear Magnetic Resonance imaging (NMR atau MRI). Tentu saja tenik-
teknik itu sangat bermanfaat, tetapi masih dirasakan adanya kekurangan sehingga
diperlukan usaha tambahan untuk mendapatkan keterangan mengenai kelemahan
yang akurat, sebaliknya kadang-kadang menghasilkan bukti abnormalitas pada
saat tidak adanya cedera otak yang actual.
b. Penalaran Abtrak
Dalam Winconsing Card Sorting Test (WCST), penalarn abstrak ini diukur oleh
subtes dimanapasien diminta untuk menempatkan suatu kartu yang sesuai
(misalnya sama warna, bentuk, dan jumlah figure bentuk tertentu). Yang esensial
dari pengukuran penalaran abstrak ini adalah dapat atau tidak ditemukannya
persamaan dan atau perbedaan dari dua atau beberapa fenomena. Secara lebih
detail, perumusan penalaran abstrak adalah kemampuan inti berbagai hal atau
pemasalahan atau inti perbedaannya.
c. Pemrosesan visual-perseptual
Dalam WAIS III hal ini didapat dalam subtes block design.sub tes ini mempunyai
makna lain untuk menggambaekan kecerdasan, kepribadian, neuropsikologis, dan
klinis pada umumnya. Sub tes ini dapat diartikan kemampuan berpikir sintesis
analitis, menggambarkan kekuatan berpikir sehingga dinilai sebagai salah satu
bentuk atau wujud dari Original Quotient (OIQ).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikofarmakologi adalah standar pengobatan yang digunakan untuk penyakit
yang patofisiologinya berkaitan dengan masalah neurobiologis.
Ruang lingkup psikofarmakologi Merupakan pengetahuan wacana obat untuk
mengobati gangguan psikiatris. Pada zaman dahulu, khususnya semenjak tahun
1950, seorang psikiater hanya mempunyai sedikit obat stimulan dan obat penenang
nonspesifik untuk mengobati kecemasan dan depresi.
Peer Intervention (Intervensi sebaya) Meskipun intervensi sebaya paling
sering digunakan pada anak-anak usia sekolah dan remaja, intervensi ini juga
menargetkan anak-anak prasekolah, dan orang dewasa.
Rehabiliasi merupakan salah satu upaya pemulihan dan pengembalian kondisi
bagi penyalahguna maupun korban penyalahguna narkotika agar dapat kembali
melaksanakan fungsionalitas sosialnya yaitu dapat melaksanakan kegiatan dalam
masyarakat secara normal dan wajar.
DAFTAR PUSTAKA
Sunbreg, Norman D., dkk. (2007). Psikologis Klinis Edisi Keempat. Yogyakarta :
Pustaka Belajar.
Taylor, D. L. (2016). Psikofarmakologi. Dalam G. W. Stuart (Eds.) Prinsip dan
Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore : Elveiser.
Townsend, MC. (2010). Diagnosa Keperawatan Psikiatri Rencana Asuhan &
Medikasi Psikotropik: Jakarta : EGC.
Kusumanto Setyonegoro.Disertasi, 1966
Djamhuri, Dr. Agus. (1990) . Sinopsis Farmakologi. Jakarta: Hipokrates.
Nietzel, M. T., Bernstein, D. A., & Milich, R. (1998). Introduction to clinical
psychology, 5th edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Sundberg, N. D., Winebarger, A. A., & Taplin, J. R. (2007). Psikologi klinis:
Perkembangan teori, praktik, dan penelitian. Edisi Keempat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wiramihardja, S. A. (2012). Pengantar psikologi klinis. Edisi ketiga. Bandung: PT
Refika Aditama.
Wiramihardja, Surardjo A., Prof, Dr. 2012. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung :
Refika Aditama.