Anda di halaman 1dari 8

KESELAMATAN PASIEN DAN K3 DALAM KEPERAWATAN

“ CASE STUDY ”

Dosen: Endang Pertiwiwati, Ns., M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 8

Adinda Chofifah Mazaya 1910913220008


Aisyah Kamelia 1910913220012
Dwi Fachruddin Al-farizi 1910913210026
Errieke Dwi sudarwati 1910913320001
Gusti Akhmad Riqi Pujianur 1910913210031
Muhammad Irfansyah 1910913310023
Nanda Sylira Putri 1910913220002
Pahmi Rahman 1910913310022
Rena Noviana 1910913220014
Rismayanti 1910913220037

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


2020
Kasus 2
Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, menunjukkan
sebanyak 7.000 tenaga kesehatan (Nakes) terinfeksi hepatitis B.
Sebanyak 4.900 di antaranya disebabkan karena tertusuk jarum suntik, dan hanya 2.200 yang
terinfeksi dari populasi. Hal ini menunjukkan jika tenaga kesehatan menjadi profesi yang paling
rawan tertular hepatitis B.
Penularan hepatitis B terjadi dalam insiden ‘kecelakaan’. Kecelakaan berupa tertusuk jarum
terjadi saat Nakes mencoba menutup jarum suntik terutama saat selesai melakukan tindakan
seperti setelah selesai melakukan pemberian obat atau pengambilan sampel darah. Dengan
metode penutupan yang salah dan kurang hati-hati, banyak Nakes yang akhirnya tertusuk jarum.
“Rata-rata empat dari tindakan menutup jarum suntik bekas pakai, satu diantaranya tertusuk
jarum,” Peneliti Hepatitis Universitas Indonesia, dr. Lukman Hakim Tarigan MMedSc, ScD, di
Jakarta, kemarin.

Learning Objective
1. Upaya Pencegahan Risiko dan Hazard pada Kasus
Pada kasus menunjukkan bahwa sebanyak 7000 tenaga kesehatan terinfeksi hepatitis B
yang rata-rata disebabkan karena tertusuk jarum suntik. Luka akibat jarum suntik adalah luka
yang di sebabkan oleh benda yang telah terkontaminasi cairan tubuh orang lain. Cidera ini
kebanyakan terjadi pada petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Luka tertusuk jarum dan
benda tajam dapat terjadi sebelum digunakan, selama penggunaan, setelah menggunakan,
sebelum pembuangan, dan selama atau setelah pembuangan(Aulia, 2020).
Hepatitis B adalah penyakit infeksi pada hati (hepar/liver) yang berpotensi fatal yang
disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah satu penyakit yang sering
ditemui dan menular. Penularannya sangat cepat, 100 kali lebih cepat dari HIV/AIDS
dan dapat menyebabkan kematian. Mengingat besarnya kerugian yang diakibatkan oleh
kecelakaan kerja, maka penerapan universal precautions sangat diperlukan. Geller (2001)
juga menekankan pentingnya pendekatan perilaku yang didasari keselamatan (behavior based
safety) dalam upaya meningkatkan keselamatan kerja baik yang bersifat reaktif maupun
proaktif(Aulia, 2020).
Upaya pencegahan kecelakaan kerja pada kasus yaitu dengan melakukan:
1. Praktik Penyuntikan Aman
Program praktik penyuntikan yang aman, artinya tindakan penyuntikan yang tidak
membahayakan bagi si penderita yang akan di suntik dan tidak memberikan resiko
tertusuk pada si perawat yang melakukannya dan tidak menimbulkan sampah medis yang
berbahaya bagi masyarakat. Upaya penyuntikan yang aman harus dilakukan oleh perawat
yang sudsh terlatih, yaitu dengan menggunakan sarung tangan dan segera membuang
bekas jarum suntik ke dalam box jarum suntik yang sudah disediakan, apabila cara ini
dilanggar maka disebut praktek penyuntikan yang tidak aman(Setiaman, 2018).
Menurut Levy and Wegman ada tiga tahapan pengendalian kecelakaan kerja pada
kasus tertusuk jarum suntik yaitu:
a. Pertama, melalui engineering controls, pada tahap pertama ini bagaimana supaya
jarum suntik yang telah dipakai menyuntik tidak bisa menusuk kepada perawat
yang memegangnya.
b. Kedua adalah dengan metoda administrative control, yaitu bagaimana mengatur
atau memberikan aturan cara penyuntikan yang aman, tentunya ini memerlukan
strategi khusus yang melibatkan berbagai unsur mulai dari adanya kebijakan,
prosedur tertulis dan kegiatan pelatihan.
c. Ketiga melalui metoda penggunaan alat pelindung diri, tentunya saat ini belum ada
alat pelindung diri yang kebal terhadap benda tajam sejenis jarum suntik yang bisa
dilakukan adalah jarum bekas pakai terkumpul dalam satu box yang tidak mudah
tertusuk oleh jarum tersebut untuk menghindari tercecernya bekas jarum suntik
yang bisa membahayakan masyarakat umum(Setiaman, 2018).
2. Peningkatan pengetahuan tentang K3, dan job safety analysis (JSA).
Keselamatan (safety) telah menjadi issue global termasuk juga untuk rumah sakit,
ada lima (5) issue penting yang terkait dengan keselamatan (safety) rumah sakit, yaitu :
keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan,
keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap
pencemaran lingkungan dan keselamatan“bisnis” rumah sakit yang terkait dengan
kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting
untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Keselamatan bukan hanya milik pasien semata,
melainkan petugas kesehatan sebagai pelaku kesehatan juga memerlukan perlindungan
keselamatan terutama dalam hal selama melakukan perawatan kepada pasien(Setiaman,
2018).
3. Pengawasan terhadap pelaksanaan SOP.
Luka karena tertusuk benda tajam dan perilaku yang tidak aman (unsafe act)
dengan tidak memakai APD salah satunya terjadi karena tingkat pengetahuan universal
precaution dan pelaksanaan SOP tindakan kurang baik(Kurniati,2019).
4. Pemeriksaan kesehatan secara berkala, pemberian vaksinasi bagi perawat yang berisiko
dan beberapa tindakan lain.
Hazard kecelakaan kerja pada kasus yaitu:
Faktor bahaya fisik yang dominan pada kasus ini yaitu jarum suntik (benda tajam) yang
berdampak luka tusuk dan tertular penyakit menular dari pasien. Nilai risiko tertinggi bahaya
fisik dan biologi pada proses pekerjaan yang menggunakan jarum suntik, jarum donor darah,
jarum infus steril, dan jarum jahit pada pasien sebesar 150 (tinggi) mengharuskan adanya
perbaikan secara teknis. Bahaya biologi yang terjadi yaitu kontak dengan darah pasien yang
berdampak tertular penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV. Bahaya perilaku yang terjadi
dikarenakan tidak menggunakan alat pelindung diri yang berdampak mudah tertular penyakit
Hepatitis, AIDS, dan HIV(Maria, 2015).
Pada kasus tertusuk jarum suntik terdapat dua hazard pada keselamatan dan kesehatan
kerja tenaga kesehatan yaitu:
1. Hazard/bahaya fisik merupakan yang dominan yaitu jarum suntik (benda tajam) yang
berdampak luka tusuk dan tertular penyakit menular dari pasien. Bahaya fisik didapatkan
pada pekerjaan yang menggunakan alat yang tajam, seperti memasang infus dan menjahit
luka.
2. Hazard/Bahaya biologi terdapat pada tindakan invasif, merawat luka, memasang infuse,
dan memberikan obat melalui rektal. Paparan hazard biologis terdiri dari tertusuk jarum,
luka gores, terpapar spesimen atau materi biologis lainnya, terkena penyakit yang
ditularkan lewat udara, penyakit infeksi, penyakit yang ditularkan melalui darah, dan
vektor penyakit. bahaya biologi dan bahaya perilaku yaitu kontak dengan darah pasien
yang terjadi apabila tiba-tiba darah memancar ke arah wajah dan terkena mata, sedangkan
petugas medis tidak menggunakan alat pelindung diri. Dampaknya sangat berbahaya
apabila pasien memiliki riwayat penyakit menular. Petugas kesehatan memiliki
kemungkinan tertular penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV.
2. Alur Pelaporan sesuai SOP
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Tentang
Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit menyatakan bahwa Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit
merupakan salah satu sarana upaya kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat memiliki peran strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan
masyarakat sebagai tujuan pembangunan kesehatan.
Cedera benda tajam merupakan masalah yang serius dalam bidang pekerjaan kesehatan
dan menjadi persoalan keselamatan kerja yang harus di hadapi oleh tenaga kesehatan pada
umumnya. Secara global lebih dari 35 juta tenaga kesehatan di dunia memiliki resiko mengalami
cidera benda tajam baik dari jarum maupun benda medis tajam lainnya yang terkontaminasi
patogen berbahaya setiap tahunnya (Manzoor, et al, 2010).
Keselamatan dan Kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan tenaga kerja
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Penyebab kecelakaan kerja yaitu karena faktor kelalaian individu/ petugas faktor
penggunaan APD yang tidak dilakukan perawat dan pengawasan yang kurang dilakukan.Jenis
Kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik akibat tidak menggunakan Alat Pelindung Diri
(APD) dan Upaya pencegahan/ penanggulangan terhadap kecelakaan yang dilakukan yaitu
memberikan pelatihan dan orientasi kepada pegawai seperti pelatihan tentang k3 dan patient
safety dan pelayanan prima. Serta membuat sistem pelaporan alur kecelakaan kerja.

Prosedur penatalaksanaan tertusuk jarum bekas pakai dan benda tajam:


1. Pertolongan Pertama
a. Jangan panik.
b. Penatalaksanaan lokasi terpapar :
 Segera cuci bagian yang terpapar dengan sabun antiseptik dan air mengalir
 Bilas dengan air bila terpapar pada daerah membran mukosa
 Bilas dengan air atau cairan NaCl bila terpapar pada daerah mata
2. Penanganan Lanjutan :
a. Bila terjadi di luar jam kerja segera ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk
penatalaksanaan selanjutnya
b. Bila terjadi di dalam jam kerja segera ke Poliklinik Penyakit Dalam dengan membawa
surat konsul dari dokter rungan unit kerja
3. Laporan dan Pendokumentasian:
a. Laporan meliputi: Hari, tanggal, jam, dimana, bagaimana kejadian, bagian mana yang
terkena, penyebab, jenis sumber (darah, urine, faeces) dan jumlah sumber yang
mencemari (banyak/sedikit)
b. Tentukan status pasien sebagai sumber jarum dan benda tajam ( pasien dengan riwayat
sakit apa )
c. Tentukan status petugas yang terpapar :
Apakah menderita hepatitis B, apakah pernah mendapatkan imunisasi Hepatitis B, apakah
sedang hamil/menyusuid. Jika tidak diketahui sumber paparannya. Petugas yang terpapar
diperiksa status HIV, HBV, HCVe. Bila status pasien bebas HIV, HBV, HCV dan bukan
dalam masa inkubasi tidak perlu tindakan khusus untuk petugas, tetapi bila diragukan
dapat dilakukan konseling
3. Organisasi IPCN Rumah Sakit

Control Nure/ IPCN merupakan yang mampu memimpin, disegani, memiliki minat dan
aktif dalam pencegahan infeksi. IPCN harus perawat yang bekerja purna waktu dengan rasuio 1
IPCN untuk tiap 100-150 bed. Dalam prakteknya IPCN akan dibantu oleh Infection Prevention
and Control Link Nurse/ IPCLN. IPCN adalah perawat yang ditugaskan dalam komite PPI
bekerja purna waktu dengan perbandingan 100 tempat tidur minimal satu IPCN. IPCN
bertanggung jawab mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi, melatih
petugas tentang PPI, memotivasi dan menegur tentang pelaksanaan kepatuhan PPI (PMK 27,
2017).

Infeksi yang terjadi di Rumah Sakit disebut juga infeksi nosokomial atau Healthcare
Assosiated Infections (HAIs) merupakan problem yang serius bagi kesehatan masyarakat.
Kelengkapan pengisian form surveilans Healthcare Assosiated Infections (HAIs) sangat penting
untuk mengevaluasi kejadian infeksi di suatu rumah sakit. Supervisi yang dilakukan oleh
Infection Prevention Control Nurse (IPCN) adalah salah satu cara dalam memonitoring
keberhasilan dari program surveilans HAIs( Mustariningrum, D.L.T. Dan Koeswo, M., 2015)

Menurut Suarli dan Bachtiar (2009) dalam melaksanakan supervisi yang baik ada 2 hal
yang perlu diperhatikan yaitu pengamatan langsung secara edukatif dan suportif, bukan
menunjukkan kekuasaan atau otoritas dan membangun kerjasama dengan bawahan agar ada
komunikasi yang baik. Dengan demikian penyebab masalah serta upaya alternatif penyelesaian
masalah bisa dibahas secara bersama. Keberhasilan supervisi sangat dipengaruhi oleh supervisor
dalam hal ini adalah atasan langsung (IPCN) dan pimpinan organisasi (Komite PPI).

Setiap anggota IPCN akan melakukan pemeriksaan keseluruh unit yang ada di rumah
sakit dan akan memeriksa setiap tempat sampah apakah sudah sesuai sampah yang dibuang
dengan temapat pembuangannya. Misalnya sarung tangan tidak dimasukkan ke dalam tempat
samaph non medis, atau sampah makanan tidak dimasukkan ke dalam tempat sampah kuning
atau medis, atau badan syringe tidak dimasukkan ke dalam tempat sampah medis. Tetapi
dilapangan masih ada ditemukan samapah makanan dimasukkan kedalam tempat sampah medis,
badan syringe dimasukkan kedalam tempat sampahmedis dan sarung tangan dimasukkan
kedalam tempat sampah non medis(Pasaribu, D.A., 2019).
Berdasarkan penelitian Asmara et al (2019) melakukan penelitian pada 32 IPCN yang
bekerja di beberapa rumah sakit di Indonesia. Para peserta menyelesaikan kuesioner online, yang
dibuat dengan menggunakan Google Form dan tautannya didistribusikan melalui Whats App
Group. Dimana hasil skor kriteria kinerja IPCN adalah 50% buruk dan 50% baik. Selain itu,
penghargaan adalah faktor yang paling terkait dengan kinerja IPCN, dan menyimpulkan bahwa
Kinerja IPCN harus lebih ditingkatkan untukmendorong kualitas layanan yang lebih baik,
terutama dalam mengendalikan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, T. 2020. Risiko Penularan Penyakit Terhadap Petugas Kesehatan Akibat Kecelakaan
Kerja Tertusuk Jarum.
Setiaman, S. 2018. Praktek penyuntikan yang aman oleh perawat (safe injection practices).
Journal of Safety Science and Technology, 2, 108-112
Kurniati, D. 2019. Manajemen Resiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja Asuhan Keperawatan
di IGD.

Maria, S.P.I. Wiyono, J. Candrawati, E. 2015. Kejadian Kecelakaan Kerja Perawat Berdasarkan
Tindakan Tidak Aman. Jurnal Care, 3(2), 9-17.
Mapanawang, S., Pandelaki, K. and Panelewen, J., 2018. Hubungan antara pengetahuan,
kompetensi, lama kerja, beban kerja dengan kejadian tertusuk jarum suntik pada perawat di
RSUD Liun Kendage Tahuna. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan
Akuntansi, 5(3).
Hanafi, I., 2020. ANALISIS KECELAKAAN KERJA PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT
UMUM PKU MUHAMMADIYAH GAMPING KABUPATEN SLEMAN (Doctoral dissertation,
Universitas Ahmad Dahlan).
Nurfikri, A. and Karnadipa, T., 2020. Akreditasi: Pengaruhnya Terhadap Program Hand Hygiene
Di Rumah Sakit Muhammadiyah Cirebon. Jurnal Sosial Humaniora Terapan, 2(2).
Mustariningrum, D.L.T. and Koeswo, M., 2015. Kinerja IPCLN dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi di Rumah Sakit: peran pelatihan, motivasi kerja dan supervisi. Jurnal
Aplikasi Manajemen, 13(4), pp. 643-652.
Pasaribu, D.A., 2019. Hubungan Pengawasan Perawat IPCN (Infection Prevention Control
Nurse) Dengan Kepatuhan Perawat Membuang Sampah Medis Dan Non Medis di RSUD Padang
Lawas. Journal of Midwifery and Nursing, 1(2 April), pp.15-19.
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 27 Tahun 2017 tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai