Anda di halaman 1dari 26

Hasil Diskusi Praktikum IDK 1 Kelas C

Adaptasi sel, jejas, dan kematian sel


A. Adaptasi Sel
Berikut contoh gambar sel normal

Sel mampu mengatur dirinya dalam dengan cara merubah struktur dan
fungsinya sebagai respons terhadap berbagai kondisi fisiologis maupun
patologis. Kemampuan ini disebut sebagai adaptasi seluler.
Ada 4 tipe adaptasi sel, yaitu:
1. Atrofi
Atrofi adalah pengerutan ukuran dengan hilangnya susbstansi sel. Apabila
mengenai sel dalam jumlah yang cukup banyak, seluruh jaringan akan atau
organ akan berkurang massanya menjadi atrofi. Sel atrofi dapat menurunkan
fungsi sel tetapi sel tidak mati. Atrofi menggambarkan pengurangan
komponen strktural sel, dan akan mempengaruhi keseimbangan antara
sintesis dan degradasi, ini bisa terjadi karena:

a.

atrofi otot lurik yaitu: serat otot lurik tampak menipis, bervakuol dan
lebih pucat daripada normal karena mengandung atrofi yang disertai
dengan penimbunan pigmen lipofusing lebih sedikit miofilamen atau

b.

disebut brown atrofi


atrofi dapat disebabkan oleh faktor general akibat starvation dan usia tua,
penyebabnya adalah berkurangnya beban kerja (misalnya pada pasien

c.

paraplegi) karena hilangnya persyarapan.


berkurangnya suplai darah, nutrisi yang tidak adekuat, hilangnya
rangsangan endokrin dan penuaan.
Atrofi dapat terjadi fisiologis (hilangnya rangsangan hormon pada
menopause) dan patologis (denervasi).

2. Hipertropi
Hipertrofi merupakan penambahan ukuran sel dan menyebabkan penambahan
ukuran organ. Hipertrofi dapat fisiologi ataupun patologi dan disebabkan juga
oleh peningkatan kebutuhan fungsional atau rangsangan hormonal spesifik.
Hipertropi dibedakan menjadi 2 tipe:
a. Hipertropi fisiologis, contohnya pembesaran uterus yang disebabkan oleh
rangsangan hormon estrogen selama kehamilan, pembesaran massa otot
akibat beban berat yang simultan pada atlet binaraga.
b. Hipertropi patologis, contohnya pembesaran jantung pada penderita
hipertensi.
3. Hyperplasia
Hiperplasia merupakan peningkatan jumlah sel mengadakan proliferasi akibat
beban kerja yang bertambah dalam organ atau jaringan. Bila pada hipertrofi
hanya terjadi penambahan ukuran dan tidak ada sel baru tapi pada
hyperplasia ditandai dengan penambahan ukuran sel.
4. Metaplasia dan Displasia
a. Metaplasia adalah perubahan perubahan reversibel, pada perubahan
tersebut satu jenis sel dewasa digantikan oleh jenis sel dewasa lainnya.
Metaplasia merupakan adaptasi selular, yang selnya sensitif terhadap
stress tertentu, digantikan oleh jenis sel lain yang lebih mampu bertahan
pada lingkungan kebalikannya. Contoh metaplasia fisiologis adalah
ketika beredarnya monosit menjadi makrofag dimana mereka berpindah
menuju jaringan yang cedera. Sedangkan metaplasia patologi adalah
ketrika epitel kolumner pseudostratifiet pada bronki berubah menjadi

epitel squamosa pada perokok kronik. Jika stimulusnya hilang maka


metaplasia bronkial dapat kembali ke normal.
b. Displasia adalah keadaan sel yang abnormal yang berubah ukuran,
bentuk,

dan

jumlahnya.

Sel

dalam

proses

metaplasia

yang

berkepanjangan tanpa mereda, dapat mengalami gangguan polarisasi


pertumbuhan sel reserve, sehingga timbul keadaan ini (displasia). Bila
jejas dapat diatasi seluruh bentuk adaptasi dan displasia dapat pulih
kembali normal. Tetapi bila keadaan displasia berat tidak ditanggulangi
akan menjadi perubahan ganas intra epiteal atau insitu (karsinoma tahap
dini).
A. Atrofi
Berbagai kondisi atrofi dan mekanismenya berupa:

1. Atrofi pada testis. Testis mengalami atrofi karena berbagai hal. Kebanyakan,
atrofi testis diawali dengan orkitis yaitu peradangan pada testis yang
desebabkan oleh infeksi. Biasanya, infeksi tersebut ditandai dengan gejala
pembengkakan testis. Pada orkitis dapat terjadi kerusakan pembuluh darah
pada korda spermatic (saluran

yang berisi pembuluh darah, persarafan,

kelenjar getah bening, dan saluran sperma) yang dapat menyebabkan atrofi
testis. Akibatnya testis tersebut mengalami kegagalan fungsi untuk
memproduksi sperma. Sehingga akan terjadi gangguan dalam menghasilkan
keturunan.

2. Atrofi pada otak pada penderita Alzeimer. Contoh pada penderita alzeimer
mengalami atrofi pada otak. Secara anatomi, serebrum mengalami atrofi,
yaitu girus serebrum menjadi lebih kecil sedangkan sulkusnya melebar.
Penderita Alzheimer biasanya akan sulit mengingat nama atau lupa
meletakkan suatu barang. Ini merupakan akibat atrofi otak yang sangat
mematikan, karena sel-sel saraf pada otaknya mati.
Secara makroskopik, perubahan otak pada AD melibatkan kerusakan berat
neuron korteks dan hipokampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh
darah intracranial. Awalnya, AD merusak saraf-saraf pada bagian otak yang
mengatur

memori,

khususnya

pada

hipokampus

dan

struktuyang

berhubungan dengannya. Saat sel-sel saraf hipokampus berhenti berfungsi


sebgaimana mestinya, terjadi kegagalan daya ingat jangka pendek,
dilanjutkan dengan kegagalan kemampuan seseorang untuk melakukan
perbuatan mudah dan tugas-tugas biasa. AD juga mengenai korteks serebri,
khususnya daerah yang bertanggung jawab terhadap bahasa dan pemikiran.
Hilangnya kemampuan berbahasa, menurunkan kemampuan seseorang untuk
membuat keputusan, dan timbul perubahan kepribadian. Emosi yang
meledak-ledak dan gangguan perilak, seperti berjalan tanpa tujuan dan agitasi
mulai timbul, dan lambat laun semakin sering seiring dengan perjalanan
penyakit.

Sumber: Patofosiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Sylvia A price hal11341135
Perawatan yang dapat dilakukan pada perderita Alzheimer dirumah adalah dengan :
a. mendukung fungsi kognitif
b. peningkatan keamanan fisik
c. mengurangi ansietas dan meningkatkan komunikasi
d. meningkatkan aktivitas dalam perawatan diri
e. meningkatkan aktivitas dan istirahat yang seimbang
3. Atrofi pada otot bisep. Seseorang yang mengalami atrofi otot akan
mengalami penurunan kekuatan bahkan yang lebih fatal yaitu dapat
mengakibatkan kelumpuhan. Yang pernah ditemukan ialah kasus pada anak
cerebral palsy, terjadi atrofi sel otot. Mekanismenya ialah Atrofi pada sel otot
mengandung sedikit reticulum endoplasma dan mitokondria serta miofilamen
(bagian dari serat otot untuk mengontrol kontraksi). Atrofi otot disebabkan
kehilangan stimulus saraf, penggunaan oksigen dan asam amino berkurang.
Mekanismenya juga berhubungan dengan berkurangnya sintesis protein dan
atau meningkatnya katabolisme protein.
B. Hipertropi dan Hiperplasia
Perbedaan antara hipertropi dan hiperplasia
Karakteristi
k

Hipertropi

Hiperplasia

Jumlah
Ukuran
Penyebab
Sifat
Fisiologis
Patologis

Tetap
Bertambah
Beban kerja
organ yang
berat
Reversibel
Pembesaran
otot
binaragawan
hipertropi
jantung kiri

Bertambah
Bertambah
Hormonal
Reversibel
Pembesaran
payudara
saat
kehamilan
BPH, kutil

Kelainan hipertropi jantung dikarenakan pada kondisi hipertensi arteri, vaskular


stenosis, dan coarctation pada aorta. Hipertropi meningkatkan kontraksi jantung,
yang dapat mempertahankan kardiak output untuk jangka panjang. Pada dasarnya,
hal ini dipertimbangkan untuk mekanisme adaptasi., tetapi ini dapat menjadi
mekanisme maladaptif, jika kebutuhan nutrisi pada ventrikel hipertropi
melampaui persediaan darah dari arteri koroner (Bullock, 1996).
Hipertropi Ventrikel dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Hipertropi konsentris mengungkapkan penebalan dinding ventrikel tanpa adanya
pembesaran jantung. Hal ini sering terjadi pada stenosis aortik dan kadang kadang pada
hipertensi sistemik.
2) Hipertropi esentrik menghambat sebanding dengan peningkatan ukuran

dinding dan diameter ventrikelar. Hipertropi jenis ini sering terjadi pada
keadaan yang disertai peningkatan preload.
Jantung mengalami hipertrofi dalam usaha kompensasi akibat beban tekanan ( pressure over
load) atau beban volume (volume overload ) yang mengakibatkan peningkatan tegangan
dinding otot jantung. Kebanyakan hipertrofi ventrikel yang terjadi adalah pada ventrikel kiri
karena ventrikel kiri bertanggung jawab untuk memompakan darah ke seluruh tubuh.
Komplikasi yang terjadi pada hipertropi ventrikel kiri :
1. Aritmia.
Hipertensi dengan LVH akan meningkatkan resiko atrial atau ventrikel aritmia. Hal ini
terjadi karena inhomogenitas dari otot jantung dalam menghantarkan impuls atau aliran
listrik otot jantung dimana fibrosis atau infiltrasi serat kolagen akan mempengaruhi
pengaturan kontraksi otot jantung. Proses reentry yang mendasari proses aritmia
menyebabkan kenaikan mortalitas dan menimbulkan 40 50 X kejadian ventrikel extra
sistol pada hipertensi dengan LVH disbanding dengan tanpa LVH.
2. Infarka Miokard.
Konsekuensi dari peningkatan tekanan dinding pada LVH menimbulkan peningkatan
kebutuhan oksigen sementara cadangan aliran koroner terbatas atau tidak dapat
mengimbangi kebutuhan tersebut, sehingga dengan sedikit peningkatan beban kerja otot
jantung akan kekurangan oksigen (iskemik) atau nekrosis (infark miokard). Dengan
demikian otot jantung sangat rentan dengan iskemik, walaupun dengan angiografi masih
terdapat gambaran arteri koroner yang normal.
Penambahan massa miokard membutuhkan pertambahan perfusi jaringan dan
pertambahan jumlah pembuluh darah koroner untuk bisa berkontraksi dengan baik.
Cadangan aliran darah koroner yang tidak mencukupi tergambar dari penurunan
kepadatan pembuluh arteri koroner persatuan miokard, peningkatan rasio antara dinding
dengan lumen arteri, penurunan kapasitas vasodilatasi koroner dan peningkatan tahanana
mikrovaskuler koroner.
3. Gagal Jantung
Apakah hipertensi dengan LVH menyebabkan payah jantung karena

perobahan struktur, abnormalitas biokimia, perobahan mekanisme regulator


atau iskemik belum jelas. Hipertensi paa awalnya menimbulkan gangguan
fungsi diastolic dan peningkatan tekanan arterial yang persisten, kemudian
diikuti oleh gangguan sistolik. Penurunan kekuatan kontraksi pada jantung
LVH dapat disebabkan peregangan yang tidak serentak atau tidak homogen
dari dinding ventrikel.
Faktor resiko penderita hipertropi jantung kiri berupa:
a.
b.
c.
d.

Hipertensi
PJK
Gagal jantung
Aorta stenosis

Penatalaksanaannya pasien dengan penyakit jantung hipertensi terbagi dalam dua kategori
pengobatan dan pencegahan tekanan darah yang tinggi dan pengobatan penyakit jantung
hipertensi. Tekanan darah ideal adalah kurang dari 140/90 pada pasien tanpa penyakit
diabetes dan penyakit ginjal kronik dan kurang dari 130/90 pada pasien dengan penyakit
diatas jantung hipertensi. Berbagai macam strategi pengobatan penyakit jantung hipertensi:
a. Pengaturan diet
Berbagai studi menunjukkan bahwa diet dan pola hidup sehat dan atau dengan obatobatan yang menurunkan tekanan darah dapat menurunkan gejala gagal jantung dan dapat
memperbaiki keadaan LVH.
Beberapa diet yang dianjurkan:
1) Rendah garam, beberapa studi mennjukkanbahwa diet rendah garam dapat
menurunkan tekanan darah pad pasien dengan hipertensi. Dengan pengurangan
konsumsi garam dapat mengurangi stimulasi sistem renin-angiotensin sehingga sangat
berpotensi sebagai anti hipertensi.Jumlah intake sodium yang dianjurkan 50-100
mmol atau setara dengan 3-6 gramgaram per hari.
2) Diet tinggi potassium, dapat menurunkan tekanan darah tapi mekanismenya belum
jelas. Pemberian potassium secara intravena dapat menyebabkan vasodilatasi, yang
dipercaya di mediasi oleh nitric oxide pada dinding vaskular.
3) Diet kaya buah dan sayur mayur.

4) Diet rendah kolesterol, sebagai pencegah terjadinya penyakit jantung koroner.


5) Tidak mengkonsumsi alcohol
6) Olahraga teratur
b. Penanganan disfungsi diastolik LV
Beberapa

golongan

antihipertensi

ACE

inhibitor,

beta-blocker,

dan

nondihydropyridine calcium channel blockers telah membuktikan dapat


memperbaiki parameter ekokardiographi pada simptomatik dan asimptomatik
disfungsi diastolik dan gejala gagal jantung. ( Djohan T.B.A.2004).
Penatalaksanaan gagal jantung
Kelas 1: nonfarmakologi
kelas 2,3: diuretik, digitalis, ACE inhibitor, vasodilator, kombinasi diuretik, digitalis
kelas 4: kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibitor seumur hidup
atasi faktor pencetus : aritmia, infeksi, anemia
Terapi nonfarmakologi: diet rendah garam, batasi cairan, mengurangi berat badan,
menghindari alkohol, manajemen stress, aktivitas fisik.

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:


penurunan curah jantung
gangguan keseimbangan cairan
gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
Intervensi:

berikan posisi semi fowler

berikan lingkungan yang nyaman

berikan oksigen sesuai indikasi

monitoring ttv

berikan cairan intra vena, hindari penggunaan sodium salin

ukur keseimbangan cairan

diet rendah garam dan lunak

anjurkan klien aktivitas berlebihan

Hyperplasia dapat fisiologi ataupun patologi. Hyperplasia fisiologi dibagi menjadi


2 yaitu hormonal dan kompensatoris.
Hormonal, perubahan jumlah dan bentuk sel akibat dari perubahan hormon
androgen, misalnya pada payudara yang membesar saat menyusui dan uterus yang
membesar saat hamil.
Hiperplasia kompensatoris, yaitu hyperplasia yang terjadi saat sebagian jaringan
dibuang atau sakit. Misalnya saat hepar direseksi sebagian, aktifitas mitotic pada
sel yang yang tersisa berlangsung paling cepat 12 jam berikutnya, tetapi akhirnya
terjadi perbaikan hati ke berat normal. Rangsang untuk hyperplasia pada kondisi
ini adalah faktor pertumbuhan popipeptida, yang dihasilkan oleh sisa-sisa
hepatosit serta sel non parenkimal yang ditemukan di hati.
Sedangkan hiperplasia patologis sering kita temukan pada serviks uterus yang
dapat mengakibatkan kanker serviks. Sel-sel pada serviks tersebut mengalami
penambahan jumlah. Biasanya hyperplasia ini diakibatkan oleh sekresi hormonal
yang berlebihan atau faktor pemicu pertumbuhan yang besar.
C. Metaplasia dan Displasia
Metaplasia adalah perubahan perubahan reversibel, pada perubahan tersebut satu
jenis sel dewasa digantikan oleh jenis sel dewasa lainnya. Metaplasia merupakan
adaptasi selular, yang selnya sensitif terhadap stress tertentu, digantikan oleh jenis
sel lain yang lebih mampu bertahan pada lingkungan kebalikannya. Contoh
metaplasia fisiologis adalah ketika beredarnya monosit menjadi makrofag dimana
mereka berpindah menuju jaringan yang cedera. Sedangkan metaplasia patologi
adalah ketrika epitel kolumner pseudostratifiet pada bronki berubah menjadi
epitel squamosa pada perokok kronik. Jika stimulusnya hilang maka metaplasia
bronkial dapat kembali ke normal.
Displasia adalah keadaan sel yang abnormal yang berubah ukuran, bentuk, dan
jumlahnya. Sel dalam proses metaplasia yang berkepanjangan tanpa mereda,
dapat mengalami gangguan polarisasi pertumbuhan sel reserve, sehingga timbul
keadaan ini (displasia). Bila jejas dapat diatasi seluruh bentuk adaptasi dan
displasia dapat pulih kembali normal. Tetapi bila keadaan displasia berat tidak
ditanggulangi akan menjadi perubahan ganas intra epiteal atau insitu (karsinoma
tahap dini).

Struktur maupun fungsi sel diatur melalui program genetik, diferensiasi, dan lain-lain pada sel
normal. Sel akan selalu mempertahankan keadaan homeostasis. Jejas sel merupakan keadaan
dimana sel beradaptasi secara berlebih atau sebaliknya, sel tidak memungkinkan untuk
beradaptasi secara normal. Beberapa diantaranya penyebab jejas sampai pada kematian sel
adalah

1. Kekurangan Oksigen (Deprivasi oksigen)


Hipokisa atau defisiensi oksigen,mengganggu respirasi oksidatif aerobic merupakan
penyebab jejas sel yang paling sering dan terpenting, serta menyebabkan kematian.
Selain hipoksia terdapat pula penyebeb yang lain yaitu: Iskemia yang merupakan
penyebab tersering dari hipoksia. Selain itu, disebabkan oleh oksigenasi darah yang tidak
adekuat, berkurangnya kemampuan pengangkutan oksigen darah (seperti pada anemia
atau keracunan CO Sehingga menghalau pengikatan oksigen)
Kekurangan oksigen pada iskemia disamping mengganggu pengiriman oksigen dan
mengaktivasi spesies oksigen juga mengganggu pengiriman substrat untuk glikolisis,
akibatnya pembentukan energi anaerob tidak terjadi untuk mengganti metabolisme aerob,
akibat kekurangan metabolit atau akumulasi metabolit di sel yang seharusnya akan
dibuang melalui aliran darah. Iskemia juga menyebabkan masuknya kalsium ekstrasel
melintasi membrane plasma, akibat kurangnya ATP untuk mempertahankan transport
kalsium.Peningkatan kalsium intrasel dapat menyebabkan membrane sel sampai
memecah materi genetik.
Efek pertama kondisi hipoksia adalah penurunan respirasi aerob atau fosforilase oksidatif
oleh mitikondria, pembentukan ATP intrasel berkurang. Penurunan ATP mempunyai efek
luas pada banyak system seperti : penurunan pompa natrium, peningkatan glikolisis
anaerob , kerusakan ribosom akibat penurunan kadar ph dan ATP. Jika kondisi berlanjut
dapat menyebabkan jejas irreversible pada sel.

1. Ketidakseimbangan nutrisi

Ketidakseimbangan nutrisi akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan


pemeliharaan pada jaringan, sehingga akan timbul jejas yang akan merugikan bagi tubuh.
B. Jejas Sel
Terdapat beberapa penyebab cedera (jejas) sel:

Insufisiensi kalori protein, defesiensi vitamin tertentu, air mineral dan lainnya

Akumulasi sellular meliputi : zat besi ( iron ), air, karbohidrat dan lipid, protein, kalsium,
asam urat dan lainnya.

Ada lima (5) dari beberapa penyebab umum jejas sel antara lain:

1. Agen infeksius
Beberapa agen infeksius adalah baktri, virus, fungi, dan protozoa. Kerusakan membran
plasma dapat langsung diakibatkan oleh toksin bakteri, protein virus, komponen
komplemen, limfosit sitolitik , yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya jejas dan
kerusakan sel.
2. Bahan kimia dan obat-obatan
Bahan Kimiawi dan Obat-Obatan meliputi racun, polutan lingkungan dan stimuli social
(alcohol serta narkotika).Semua bahan kimia jika terkonsumsi dalam konsentrasi lebih
dari normal dapat menyebabkan jejas, termasuk glukosa, mineral dan oksigen.
3. Kerusakan ditimbulkan oleh gangguan keseimbangan lingkungan osmotic, seperti :
a. Bahan polutan seperti polusi udara, insektisida, karbon monoksida, asbes, etanol,

obat obatan dan lainnya dapat menyebabkan jejas sel. Pada keracunan
karbonmonoksida , gas CO membentuk ikatan yang kuat dan stabil dengan
haemoglobin sehingga menghalangi ikatan hemoglobin dengan oksigen.
b. Bahan kimia racun menyebabkan kerusakan sel akibat perubahan permeabilitas
membrane, gangguan homeostatic osmotik, atau gangguan pada enzim dan kofaktor.

Misalnya bahan kimia merkuri klorida yang berikatan dengan berbagai protein
membran sel dan menyebabkan peningkatan pada permeabilitas membran.
4. Kerusakan radikal bebas termasuk oleh zat kimia, radang,toksisitas, radiasi serta
penuaan sellular dapat mengaktivasi spesies oksigen seperti radikal superoksida,
hihdrogen peroksida,dan hidroksil, yang merupakan mediator penting dalam kematian
sel.
5. Respon Imunitas/ Reaksi Imunologi
Respon imun yang abnormal merupakan respon dari kekebalan tubuh
terhadap suatu keadaan yang dapat menimbulkan jejas sel. sebagai contoh
dalam Skleroderma terjadi pada fase vaskuler. pada fase tersebut dari respon
imun

yang

abnormal

mengakibatkan

akumulasi

lokal

faktor-faktor

pertumbuhan yang menggerakkan proliferasi fibroblas dan menstimulasi


sintesis kolagen. Reaksi imunitas ini berguna untuk melindungi tubuh dan
melawan benda asing, namun reaksi ini dapat menimbulkan jejas sel.
Berdasarkan tingkat kerusakannya, jejas sel dikelompokkan menjadi dua kategori utama
yaitu:
1. Jejas reversibel. Perubahan ultrastruktur jejas reversibel meliputi:
a. Perubahan membran plasma seperti bula (pembengkakan), distorsi mikrofili atau
penumpulan dan longgarnya pelekatan intrasel.
b. Perubahan mitokondrial seperti pembengkakan dan munculnya densitas amorf kaya
fosfolipia.
c. Dilatasi Retikulum Endoplasma dengan kerusakan ribosom dan disosiasi polisom.
d. Perubahan nuklear dengan disagregasi unsur granular dan fibular.
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu adanya peningkatan
kandungan air pada rongga-rongga sel selain peningkatan kandungan air pada
mitokondria dan retikulum endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak
sekali gross (gerombolan) mole yang

berisi

cairan.

Mekanisme

yang

mendasari

terjadinya generasi ini yaitu kekurangan oksigen, karena adanya toksik, dan karena
pengaruh osmotik.
Dua pola perubahan morfologik yang berkaitan dengan jejas reversibel dapat dikenali
dengan mikroskop cahaya:
a.

Pembengkakan sel adalah manifestasi yang pertama terjadi dari hampir semua
bentuk jejas sel; muncul setiap sel tidak mampu mempertahankan homeostatik inik
dan cairan. Pembengkakan sel dapat menjadi perubahan morfologik yang sulit
diamati dengan mikroskop cahaya dan mungkin lebih tampak pada tingkat seluruh
organ. Bila semua sel pada organ terkena, terdapat warna kepucatan, peningkatan
turgor, dan penambahan berat badan. Secara mikroskopik bisa tampak vakuola kecil,
jernih di dalam sitoplasma; vakuola itu menggambarkan segmen retikulum
endoplasma yang berditensi dan menekuk. Pola jejas nonletal, ireversibel tersebut
kadang

kadang

disebut

perubahan

hidroponik

atau

degenerasi

vakuolar

pembengkakan sel bersifar reversibel.


b.

Perlemakan terjadi pada jejas hipoksik dan berbagai bentuk jejas toksik atau
metabolik, bermanifestasi dengan munculnya vakuola lipid dalam sitoplasma.
Perlemakan merupaka reaksi yang kurang sering terjadi, terutama ditemukan pada
sel yang berperan dalam metabolisme lemak (misalnya hepatosit dan sel miokardial,
dan juga bersifat ireversibel)

2. Jejas irreversible.
Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apoptosis dan nekrosis.
Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram. Sedangkan nekrosis merupakan
kematian sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel yang mati pada
nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis pada suatu daerah yang
merupakan respons terhadap inflamasi. Jadi, perbedaan apoptosis dan nekrosis terletak
pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.
Nekrosis menunjukkan sekuens perubahan morfologik yang mengikuti
kematian sel pada jaringan hidup. Manifestasi yang paling sering terjadi
adalah nekrosis koagulatif yang ditandai dengan pembengkakan sel,
denaturasi protein sitoplasma dan pemecahan organela sel. Gambaran
morfologi nekrosis merupakan hasil dua proses penting yang terjadi secara

bersamaan yaitu digesti enzimatik sel dan denaturasi protein. Apabila


denaturasi merupakan pola primer disebut nekrosis loagulatif. Pada keadaan
digesti enzimatik yang dominan hasilnya adalah nekrosis liquefaktif. Pada
keadaan khusus dapat terjadi nekrosis kaseosa atau nekrosis lemak.
Dua fenomana yang secara konsisten menandai keadaan ireversibel.
1. Ketidakmampuan

memperbaiki-disfungsi

mitokondria

(kekurangan

fosforilasioksidatif dan pembentukan ATP), bahkan setelah resolusi jejas asal (misal,
restorasi aliran darah).
2. Terjadinya gangguan fungsi membran yang besar
Bukti sangat kuat menyokong kerusakan membran sel sebagai faktor
sentral pada patogenesis jejas sel ireversibel. Pengaturan volume yang
hilang, peningkatan permeabilitas molekul ekstrasel, dan defek
ultrastruktur membran plasma yang dapat diperlihatkan terjadi, bahkan
pada stadium paling dini jejas ireversibel.
Degenerasi Hidropik: Mola Hidatidosa

Mola Hidatidosa (Kehamilan Mola)


Kehamilan mola ditandai dengan abnormalitas dari vili korionik yang terdiri atas proliferasi
trofoblas & edema dari stroma vilus. Mola biasanya terjadi intrauterine walaupun kadangkadang dapat terjadi di tuba bahkan di ovarium. Ketiadaan bagian fetus atau embrio
membedakan mola hidatidosa menjadi mola komplit dan parsial.
1. Mola Komplit

Pada mola hidatidosa komplit, vili korialis berubah menjadi massa gelembung yang jernih
dengan ukuran bervariasi, berkelompok & menggantung pada pedikel yang tipis. Secara
histopatologi, gambaran yang dapat ditemukan adalah:
a. Degenerasi hidropik & edema stroma vilus
b. Ketiadaan pembuluh darah dalam vilus yang edema
c. Proliferasi epitel trofoblastik dengan derajad yang berbeda-beda
d. Ketiadaan jaringan fetus & amnion.
Mola komplit dibagi menjadi 2 tipe:
Mola komplit androgenetik
Homozigot
Kormosom sel mola terdiri atas 2 komponen kromosom paternal yang identik, yang diperoleh
dari duplikasi kromosom paternal yang haploid. Selalu merupakan sel kromosom perempuan
(46,XX), belum pernah tercatat adanya mola dengan kromosom 46,YY.
Heterozigot
Dapat memiliki kromosom laki-laki ataupun perempuan. Seluruh kromosom berasal dari
sperma, paling sering terjadi akibat fertilisasi dispermia.
Mola komplit biparental
Pada mola jenis ini, terdapat gen dari kedua pihak namun terjadi kegagalan imprinting gen
maternal sehingga hanya genom paternal yang diekspresikan. Mola jenis ini jarang terjadi.
Rekurensi dari mola tipe biparental, yang bersifat familial, diperkirakan diturunkan secara
autosomal resesif.
2. Mola Parsial
Seperti pada mola komplit, pada mola parsial juga terdapat hiperplasia jaringan trofoblastik
& edema dari vili korialis. Pada jenis ini masih terdapat sebagian elemen fetus. Pada
penyakit ini terjadi pembengkakan lambat yang progresif pada stroma yang ditandai dengan

vili korialis yang avaskuler, sedangkan di beberapa bagian lain masih terdapat vili yang
vaskuler dengan sirkulasi fetal-plasenta yang fungsional.
Kista Theca-Lutein
Pada banyak kasus mola hidatidosa, ovarium mengandung kista theca-lutein multipel
dengan ukuran bervariasi. Permukaan kista licin, kekuningan dan dilapisi oleh sel lutein.
Insidens kista ini berkisar antara 25-60% pada kehamilan mola. Diperkirakan kista ini
terjadi akibat overstimulasi dari elemen lutein oleh kadar hCG yang tinggi yang disekresi
oleh sel trofoblas yang berproliferasi. Neoplasma trofoblas gestasional lebih umum terjadi
pada wanita dengan kista theca-lutein, khususnya yang bilateral. Kista dapat mengalami
torsi, infark dan perdarahan. Kista akan mengecil setelah persalinan sehingga tidak perlu
dilakukan ooforektomi kecuali terjadi infark yang luas. Kista ovrium yang besar dapat
didekompresi dengan aspirasi jika menimbulkan keluhan.

ETIOLOGI
Penyebab mola hidatidosa secara pasti belum diketahui.Berbagai factor yang menyebabkan
antara lain:

Faktor ovum : ovum yang sudah patologik mati api terlambat keluar.

Immuno selektif dari trofoblas.

Keadaan sosioekonomi yang rendah

Kekurangan protein

Infeksi virus

Defisiensi vitamin A

Perkawinan usia muda kurang dari 15 tahun atau di atas 45 tahun

GAMBARAN KLINIK
1. Amenorrhoe dan tanda tanda kehamilan

2. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. Merupakan gejala utama
dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama berapa minggu sampai
beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
3. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia kehamilan.
4. Tidak dirasakan tanda tanda adanya gerakan janin maupun ballottement
5. Hiperemesis,
6. Pasien dapat mengalami mual dan muntah cuku berat.
7. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke 24
Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi mola hidatidosa pada perut ibu yang mulai
membesar adalah USG. Pada hasil foto USG ditemukan gambaran vesikular (seperti badai
salju).
Contoh gambaran hasil USG klien dengan diagnosa Mola Hidatidosa:

Virus penyebab utama molatidahidosa salah satunya akibat infeksi virus dan parasit TORCH
(Toxoplasma gondii, Rubella, Cyto Megalo Virus, Herpes Simplex Virus) serta kemungkinan
virus lain namun dampak klinisnya lebih terbatas yaitu: Measles, Varicella, Echovirus,
Mumps, virus Vaccinia, virus polio, & virus coxsackie-B.

Dengan perantara hewan seperti ayam, kucing, anjing, burung, tikus, sapi,
kambing, babi dengan memakan sayur-sayuran mentah (biasanya karena ada
parasit atau virus dari kotoran hewan yang tidak dapat mati jika hanya dicuci dgn
air bersih), kemudian memakan daging yang belum matang, dll.
Berdasarkan perubahan sel yang terjadi, ciri khas yang tampak pada
makrokopik dan mikrokopik mola.

Anatomi makroskopik mola hidatidosa

Secara makroskopis, mola hidatidosa

Secara mikroskopis,

mola

memperlihatkan

pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran

korialis yang hidropik, vaskularisasi vili

yang

yang

bervariasi.
yang

Gambaran
khas

tidak

pembengkakan

total

tampak sebagai gelembung putih, tembus

histopatologiknya

Anatomi mikroskopik mola hidatidosa

adekuat,

dan

vili

proliferasi

adalah

trofoblastik yang signifikan. Mola parsial

degenerasi hidropik dan edema stroma villi,

hanya memperlihatkan edema setempat dan

tidak ada pembuluh darah pada vili yang

proliferasi trofoblastik yang ringan serta

edema. Mola hidatidosa terdiri dari massa

fokal. Sebagian besar mola total memilki

dengan struktur mirip buah anggur yang

kariotipe diploid, sementara mola parsial

berdinding tipis, translusen dan kistik.

biasanya hanya triploid. Kedua bentuk mola

Bagian fetal jarang terlihat pada molatotal

tersebut dapat pula dibedakan lewat ekspresi

tetapi lebih sering ditemukan pada mola

gen p57 yang normalnya ditanamkan secara

parsial.

maternal dan tidak diekspresikan dalam

Sediaan berasal dari mola hidatidosa


yang merupakan suatu tumor jinak pada

sitotrofoblas serta sel-sel stroma pada mola


yang berasal dari pihak ayah. (paternal).

bagian plasenta foetalis. Villi chorialis pada

Mikroskopi tampak edema stroma vili

bagian plasenta tersebut berubah menjadi

tanpa vaskularisasi disertai hiperplasia dari

gelembung seperti cairan jernih, sehingga

lapisan tropoblas. secara sigonetik umumya

secara makroskopik tampak sebagai buah

bersifat

anggur.

pembuatan satu ovum, tidak berinti atau

diploid

46

xx,

sebagai

hasil

intinya tidak aktif, dibuahi oleh sperma yang


mengandung

23

kromosom,

yang

kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46

xx.
Terlihat villi chorialis lebih besar dari

normal.

stroma

menjadi

regang

dan

mengandung vakuola berisi cairan karena


degenerasi hidrofik. Pembuluh darah dalam
stroma

villi

menjadi

menghilang.(avaskular).

berkurang
Juga

atau
terlihat

proliferasi

sel

epitel syncitiotrophoblastdan cytotrophoblas


t.
Mikroskopik trias:

1. Proliferasi dari trofoblast


2. Degenerasi hydropik dari stroma villi
3. Terlambat/ hilangnya pembuluh darah.

Komplikasi kehamilan mola hidatidosa adalah:


1. Perdarahan hebat sampai syok;
2. Perdarahan berulang;
3. Anemia;
4. Infeksi sekunder;
5. Perforasi karena tindakan dan keganasan, dan
6. Keganasan apabila terjadi mola destruens/ koriokarsinoma
Sedangkan, Prinsip penatalaksanaan kehamilan mola hidatidosa adalah evakuasi dan evaluasi.
1. Jika perdarahan banyak dan keluar jaringan mola, maka atasi syok dan perbaiki keadaan
umum terlebih dahulu;
2. Kuretase dilakukansetelah diagnosis dapat ditegakkan secara pasti;

3. Pemeriksaan dan pemantauan kadar hCG pasca kuretase perlu dilakukan mengingat
kemungkinan terjadi keganasan;
4. Penundaan kehamilan sampai 6 bulan setelah kadar hCG normal, dan
Pemberian kemoterapi pada mola hidatidosa dengan resiko tinggi.
C. Kematian Sel: Nekrosis

Dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apoptosis dan nekrosis. Apoptosis merupakan
kematian sel yang terprogram. Contoh untuk apoptosis pada keadaan tertentu proses
apoptosis berlebihan sehingga terjadi kematian sel yang terlalu banyak sehingga
mengakibatkan penyakit, seperti Alzheimer, Parkinson, stroke,penyakit AIDS. Sedangkan
proses apoptosis yang terganggu dapat mengakibatkan kanker, yakni replikasi sel yang tidak
terkontrol. Sedangkan nekrosis merupakan kematian sel/jaringan pada tubuh yang hidup di
luar dari kendali. Sel yang mati pada nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis
pada suatu daerah yang merupakan respons terhadap inflamasi. Jadi, perbedaan apoptosis dan
nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.
Nekrosis menunjukkan sekuens perubahan morfologik yang mengikuti kematian
sel pada jaringan hidup. Manifestasi yang paling sering terjadi adalah nekrosis
koagulatif yang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein sitoplasma
dan pemecahan organela sel. Gambaran morfologi nekrosis merupakan hasil dua
proses penting yang terjadi secara bersamaan yaitu digesti enzimatik sel dan

denaturasi protein. Apabila denaturasi merupakan pola primer disebut nekrosis


loagulatif. Pada keadaan digesti enzimatik yang dominan hasilnya adalah nekrosis
liquefaktif. Pada keadaan khusus dapat terjadi nekrosis kaseosa atau nekrosis
lemak.
Contoh, selama serangan jantung, sel-sel otot jantung yang kekurangan pasokan
oksigen, akibat penyumbatan total pembuluh darah yang mendarahinya mati
akibat nekrosis.

mekanisme terjadinya nekrosis seperti yang dijelaskan oleh sisa pada gambar tersebut antara
lain :
Nekrosis terjadi kerusakan membran, lisososm mengeluarkan enzim ke sitoplasma dan
menghancurkan sel, isi sel keluar dikarenakan kerusakan membran plasma dan
mengakibatkan reaksi inflamatori. Nekrosis adalah pathway yang secara umum terjadi pada
kematian sel yang diakibatkan oleh: ischemia, keracunan, infeksi, dan trauma.
Nukleus
Piknosis : nukleus terlihat lebih bundar, ukuran lebih kecil dan gelap Karioreksis : nukleus
mengalami fragmentasi menjadi kecil dan tersebar Kariolisis: nukleus lisis, tidak terlihat
sehingga rongga kosong dibatasi membran nukleus disebut ghost.

Sitoplasma
Berwarna asidofilik, struktur tidak jelas, jika melanjut: Tidak terlihat garis besar struktur
histologi sel, dan Tidak terlihat adanya pewarnaan.

Ada beberapa jenis nekrosis yaitu :


1. Nekrosis koagulatis adalah terjadi koagulasi(penggumpalan) unsur protein intra sel yang
umumnya terjadi pada daerah infark dengan disertai ekstravasasi eritrosit.
Contohnya : Nekrosis koagulatif terjadi pada organ jantung bentuk dan warnanya
berubah
2. Nekrosis liquefaktif merupakan salah satu tipe nekrosis yang termasuk bakteri fokal atau
infeksi jamur. Sebagai akibat autolisis atau heterolisis terutama khas pada infeksi fokal
kuman, karena kuman memiliki rangsangan kuat pengumpulan sel darah putih.

Salah satu contoh nekrosis liquefaktif di tunjukkan dengan kematian sel hipoksia pada
sistem saraf pusat.nekrosis liquefaktif pada hakikatnya mencerna bangkai kematian sel
dan sering meninggalkan cacat jaringan yang diisi leukosit imidran dan menimbulkan
abse. Materialnya bewarna kuning krem, biasanya ada pada abses pada otak. Nekrosis

liquefactive mengakibatkan sel pada organ jantung menjadi memiliki cairan, sel gosong,
dan kemudian menghilang.

Proses terjadinya adalah


Gangren kaki diabetik: luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat
sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai (Askandar, 2001).
Biasanya kuman yang menginfeksi pada gangren kaki diabetik adalah: Streptococcus
(Soetmadji, 1999)
Faktor-faktor yg mempengaruhi terjadinya gangren kaki diabetik:
a. Faktor endogen:
1) genetik, metabolik
2) angiopati diabetik
3) Neuropati diabetik
b. Faktor eksogen:
1) Trauma
2) Infeksi
Proses terjadinya nekrosis diabetikum:
Hiperglikemi --> penumpukan kadar glukosa dalam sel dan jaringan dan terdapat
transpor glukosa tanpa insulin --> glukosa berlebih --> tidak termetabolisasi habis
secara normal melalui glikolisis --> sebagian glukosa sisa degan enzimaldose
reduktase akan di ubah menjadi sorbitol dan sorbitol akan tertumpuk dalam sel
dan jaringan yang menyebabkan kerusakan fungsi.

Daftar Pustaka

Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia; dari sel ke system edition 6. Alih bahasa
BBrahm U Pendit. EGC . Jakarta
Bullock, B.A. (2000). Focus on pathophysiology. Philadelphia : J.B .Lippincott.
Bullock, B.A.(1994).Pathophysiology : Adaptation & alteration function.
Philadelphia : JB. Lippincott.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16627048
Huether S L, McCance K L .( 2012 ). Understanding Pathophysiology. Fifth Edition . Elsevier
Mosby
Robin, SL (2007). Buku ajar Patologi. Edisi 7. Penerbit EGC
Kumar, V., Cotran, R.S., & Robbins, S.L. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7.Jakarta: EGC
Cunningham F, Leveno K, Bloom s, Hauth J, Glstrap L, Wenstrom K. (2003). Williams
Manual of Obstetrics. USA: McGraw Hills.
Sastrawinata S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah, F. (2003). Ilmu Kesehatan
Reproduksi: Obstetri Patologi E/2. Jakarta: EGC.
www.pengobatanTORCH.com
Richard, N.Mitchell,et all.(2009). Buku saku dasar patologis penyakit.(7 ed.).( Dr. Andry
hartono, penerjemah). Jakarta : EGC
Sudiono, janti.,drg.et all.(2001).Penuntun pratikum patologi anatomi. Jakarta : EGC
Sastrawinata S, dkk.( 2004). Ilmu Kesehatan reproduksi:obsterti patologi. Jakarta:
EGC
Errol, Norwitz. 2006. At Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: erlangga. Hlm:
70-71
Fadlun, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta : Salemba Medika. Hlm:
47.
Linda, Walsh. 2007. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC. Hlm: 452453
Rustam, Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hlm: 238-243.
Kowalak, dkk.( 2011 ). Buku Ajar Patofisiologi. alih bahasa : Andry Hartono.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai