Nim : 2011A0021
BAB I
PENDAHULUA
N
Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan keharmonisan fungsi
mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga individu
tersebut merasa puas dan mampu (Rasmun, 2001).
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi perkembangan mental-emosional
(psikogenik) dan kondisi dilingkungan social (sosiogenik). Ketidakseimbangan pada salah
satu dari ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa (Maramis,2004).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. WHO memperkirakan saat ini
di seluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia sendiri pada
tahun 2006 diperkirakan26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dengan ratio
populasi 1 berbanding 4 penduduk. Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta
orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa (Setiawan, 2009.http//www.
Gizi.net, diperolehtanggal 1 Jun2010).
Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana keadaan
sebelum sakit, beberapa pasein meninggalkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan
berkomunikasi dan mengenali realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada
penurunan produktivitas hidup. Hal ini ditunjang dengan data Bank Dunia pada tahun2 001
di beberapa Negara yang menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang
Atau Dissabiliiy AdjustedLife Years (DALY's) sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease,
disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa (Setiawan, 2009. http//www. Gizi.net,
diperolehtanggal 1 Juni 2010).
Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan produktifitas maka pada pasien
yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum klien dipulangkan dari Rumah Sakit.
Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam
pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan
dan socials ehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna
(Nasution,2006).
Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan oleh multiprofesi yang terdiri dari dokter, perawat,
1
psikologi, sosial worker serta okupasi therapist yang memiliki peran dan fungsi masing-
masing. Dokter memberikan terapi somatik, psikolog melakukan pemilahan klien
berdasarkan hasil psikotest, kemampuan serta minat klien, social worker menjadi
penghubung antara klien dengan keluarga dan lingkungan serta okupasi terapis memberikan
terapi kerja bagi pasien. Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam
pelaksanaan rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan maupun pengawasan.
Sebagai sebuah team, perawat memberi peran yang sangat penting dalam mengkoordinasikan
berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota team sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai antara klien dan team kesehatan sehingga rehabilitasi berjalan sesuai tujuan yang
diharapkan menurut para perawat sistem dan budaya kerja yang ada tidak memungkinkan
untuk melaksanakan peran tersebut, sehingga perawat mengerjakan tugas multiprofesi
sekaligus dari mulai dokter, psikolog sosial worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian.
Berdasarkan fenomena tersebut peneliti merasa tertarik untuk melihat peran perawat dalam
psikofarmaka.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu berfikir kritis dan analisis dalam memahami peran perawat dalam terapi
psikofarmaka.
Tujuan Khusus
a. Mahasiswa memahami pengertian Psikofarmaka
b. Mahasiswa memahami klasifikasi obat-obatan psikofarmaka
c. Mahasiswa memahami peran perawat dalam pemberian obat
METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan
penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur
yang ada, baik di perpustakaan maupun internet.
SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut :
· Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan
· Bab II: Tinjauan teoritis terdiri dari pengertian psikofarmaka, klasifikasi obat-obatan
psikofarmaka dan peran perawat dalam psikofarmaka
· Bab III : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
2
BAB II
KONSEP TEORITIS
PENGERTIAN
Psikofarmaka adalah obat- obatan yang digunakan untuk klien dengan gangguan
mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat Neuroleptik (bekerja
pada sistim saraf ).Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi :
1. Teori biologis (somatik),mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro Convulsi Therapi
(ECT).
2. Psikoterapeutik.
3. Terapi Modalitas.
Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management psikoterapi. Perawat
perlu mamahami konsep umum psikofarmaka. Beberapa hal yang termasuk Neurotransmiter
adalah Dopamin,Neuroeprineprin, Serotonin dan GABA (Gama Amino Buteric Acid),dll.
Meningkatnya dan menurunnya kadar / konsentrasi neurotransmiter akan menimbulkan
kekacauan atau gangguan mental. Obat – obatan psikofarmaka efektif untuk mengatur
keseimbangan Neurotransmiter.
KLASIFIKASI
Menurut Rusdi Maslim yang termasuk obat-obatan psikofarmaka adalah golongan :
1. Anti Psikotik, pemberian sering disertai pemberian anti perkinson
2. Anti Depresi
3. Anti Maniak
4. Anti Cemas ( Anti Ansietas)
5. Anti Insomnia
6. Anti Obsesif – Kompulsif
7. Anti Panik
8. Yang paling sering digunakan oleh klien jiwa :
9. ANTI PSIKOTIK
3
c. Indikasi pemberian anti psikototik : Pada semua jenis Psikosa, kadang untuk gangguan
Maniak dan Paranoid.
d. Efek samping pada anti psikotik : Efek Samping pada Sistim Syaraf
( Ektrapyramidal Side Efect / EPSE/ EPS / Ekstrapyramidal Syndrome ) :
a. PARKINSON
Efek samping ini muncul 1 - 3 minggu pemberian obat (tergantung respon klien). Terdapat
TRIAS gejala parkinsonisme ;
1. TREMOR : sering terjadi, dan paling jelas pada istirahat.
2. BRADIKINESIA : muka seperti topeng, berkurangnya gerakan reiprokal pada saat
berjalan.
3. RIGITAS : gangguan tonus otot ( kaku )
b. Reaksi DISTONIA kontraksi otot singkat atau bisa juga lama. Tanda - tanda; muka
menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh tidak terkontrol.
c. AKATHISIA
Ditandai dengan perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan, seperti adanya perasaan
cemas, tidak mampu santai, gugup, langkah bolak - balik dan gerakan mengguncang pada
saat duduk. Ketiga efek samping diatas bersifat akur dan bersifat Reversible (bisa hilang atau
kembali normal).
d. TARDIVE DYSKENESIA
Merupakan efek samping yang timbulnya lambat, terjadi setelah pengobatan jangka panjang
dan bersifat Ireversible (susah hilang/ menetap).Berupa gerakan Involunter yang berulang
pada lidah, wajah, mulut / rahang, anggota gerak seperti jari dan ibu jari, dan gerakan tersebut
akan hilang pada saat tidur. Efek samping pada sistim saraf perifer atau CHOLINERGIC Side
Efect. Ini terjadi karena penghambatan pada reseptor Asetilkolin. Yang termasuk Efek
Samping Kolinergic adalah ;
a. Mulut kering
b. Kontipasi
c. Pandangan kabur, akibat midriasis pupil dan Sikloplegia (pariese otot – otot siliaris)
menyebabkan Presbiopia
d. Hipotensi Orthostatik, akibat penghambatan reseptor Adrenergik
e. Kongesti / sumbatan Nasal
f. Jenis obat anti psikotik yang sering di gunakan :
g. Chlorpromazine ( CPZ )
h. Halloperidol ( HALOP )
i. Beberapa Komposisi Haloperidol dalam sediaan injeksi adalah : LODOMER ,
SERENASE , GOVOTIL.(sering dilapangan)
4
ANTI PERKINSON
a. Mekanisme kerja : Meningkatkan reseptor Dopamin, untuk mengatasi gejala parkinson
sebagai akibat penggunaan obat anti psikotik.
b. Efek samping : Sakit kepala , mual , muntah dan hypotensi
c. Jenis obat yang di gunakan : Tryhexyfenidil (THD)
ANTI DEPRESAN
HIPOTESIS : Syndroma Depresi disebabkan oleh defesiensi salah satu / beberapa aminergic
neurotansmiter (seperti Noradrenalin, Serotonin, Dopamin) pada sinaps neuron di SSP,
khususnya pada sistim Limbik.
Mekanisme kerja obat :
a. Meningkatkan sensivitas terhadap aminergik neurotransmiter
b. Menghambat reuptake aminergik neurotansmiter
c. Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) sehingga
terjadi peningkatan jumlah aminergik neurotransmiter pada neuron di SSP. Efek
farmakologi : Mengurangi gejala Depresi dan sebagai Penenang.
Jenis obat yang di gunakan, yang sering di gunakan di lapangan adalah :
a. Trisiklik
b. MAO Inhibitor
c. Aminitriptylin.
Efek samping : yaitu efek samping Kolonergik (efek samping terhadap Sistim Syaraf Perifer)
yang meliputi Mulut kering , penglihatan kabur , Konstipasi , Hipotensi Orthostatik.
5
ANTI CEMAS / ANSIETAS
Termasuk Minor Transquilizer, Jenis obat antara lain Diazepam (CHLORDIAZEPOXIDE)
OBAT ANTI INSOMNIA : Phenobarbital
OBAT ANTI OBSESIF KOMPULSIF : Clomipramine
OBAT ANTI PANIK : Imipramine
6
Setelah seorang perawat melaksanakan terapi psikofarmaka maka tugas terakhir yang
penting harus di lakukan adalah evaluasi. Dikatakan reaksi obat efektif jika :
a. Emotional Stabil
b. Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat
c. Halusinasi,Agresi,Delusi,Menarik diri menurun
d. Prilaku Mudah di arahkan
e. Proses Berpikir ke Arah Logika
f. Efek Samping Obat
g. Tanda – tanda Vital
Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmakologis yang
tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistic
pada asuhan pasien. Peran perawat meliputi hal – hal sebagai berikut :
1. Pengkajian pasien
2. Pengkajian pasien memberikan landasan pandangan tentang masing – masing pasien.
3. Koordinasi modalitas terapi
4. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai terapi pengobatan dan sering
kali membingungkan bagi pasien.
5. Pemberian agens psikofarmakologis
6. Program pemberian obat dirancang secara professional dan bersifat individual.
7. Pemantauan efek obat
8. Termasuk efek yang diinginkan maupun efek samping yang dapat dialami pasien.
9. Penyuluhan pasien
10. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman dan efektif.
11. Program Rumatan obat
12. Dirancang untuk mendukung pasien di suatu tatanan perawatan tindak lanjut dalam
jangka panjang.
13. Partisipasi dalam penelitian klinis antardisiplin tentang uji coba obat
14. Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang digunakan
untuk mengobati pasien gangguan jiwa.
15. Kewenangan untuk memberi resep
16. Beberapa perawat jiwa yang memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman sesuai
dengan undang – undang praktik negaranya boleh meresepkan agens farmakologis
untuk mengobati gejala dan memperbaiki status fungsional pasien yang mengalami
gangguan jiwa.
7
PENGKAJIAN
Sebelum melakukan pengobatan psikofarmakologis, evaluasi psikiatri yang lengkap harus
dilakukan, mencakup hal – hal sebagai berikut :
1. Pemeriksaan fisik
2. pemeriksaan lab
3. Evaluasi status mental
4. Riwayat medis dan psikiatri
5. Riwayat medikasi
6. Riwayat keluarga
8
Isolasi
a. Bentuk terapi dgn menempatkan klien sendiri di ruang tersendiri
b. Di indikasikan : klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan tidak bisa
dikendalikan dengan cara lain
c. Tidak dianjurkan klien yang beresiko bunuh diri, klien yang agitasi disertai gangguan
pengaturan suhu tubuh akibat obat serta klien dengan perilaku sosial menyimpang.
Prosedur Isolasi :
1. Tunjuk seorang pemimpin
2. Perlihatkan kepada klien kekuatan yang ada
3. Buat rancangan yang tepat, siapkan lingkungan ruangan
4. Komunikasikan antar perawat
5. Tangkap klien tanpa menyakiti
6. Kendalikan perilaku agresif klien
7. Pindahkan klien ke ruang isolasi
8. Ganti pakaian dengan yang aman dan nyaman
9. Pindahkan benda-benda yang membahayakan klien
10. Buat rencana askep lanjutan
11. Tetap pertahankan kontak dgn
klien Setelah di ruang isolasi :
1. Bantu pemenuhan KDM klien
2. Observasi sesering mungkin
3. Pertahankan komunikasi verbal
4. Catat dan dokumentasikan hasil observasi
5. Berikan umpan balik tentang perilaku klien
6. Tetap berikan terapi yang lain
7. Segera melepaskan klien dr ruang isolasi jika perilakunya mulai terkendali
ECT ( Elektro Confulsive Therapy )
Bentuk terapi dengan menimbulkan kejang grand mall, dimana mengalirkan arus listrik mll
elektroda yg ditempelkan pd pelipis klien. Awalnya ditujkan untuk klien skizopreni, tetapi
lebih cocok untuk gangguan afektif. Kontra indikasi :
a. Tumor intra kranial
b. Kehamilan
c. Osteoporosis
d. Infarc miokard
e. Asthma
bronchiale Peran
perawat
1. Persiapan :
a. Tangani kecemasan klien
9
b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium
c. Mempersiapkan inform concent
d. Puasakan klien minima 6 jam
e. Hentikan pemberian obat sblm ECT
f. Lepaskan gigi palsu, kontak lens, dll
g. Memakaikan pakaian yg longgar
h. Membantu mengosongkan blass
2. Pelaksanaan :
a. Baringkan klien
b. Siapkan alat
c. Pasang bantalan gigi
d. Sementara ECT dilakukan, tahan persendian dgn supel
e. Setelah selesai, berikan bantuan nafas
3. Setelah ECT :
a. Observasi TTV sampai stabil
b. Jaga keamanan klien
DAFTAR PUSTAKA