Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri


dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai
perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi
masalah yang biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan
mampu.
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kondisi fisik (somatogenik), kondisi
perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi dilingkungan sosial
(sosiogenik). Ketidakseimbangan pada salah satu dari ketiga faktor tersebut
dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial. WHO memperkirakan saat ini di seluruh dunia
terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia sendiri pada
tahun 2006 diperkirakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan
jiwa dengan ratio populasi 1:4 penduduk. Departemen Kesehatan RI mengakui
sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa.
Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana
keadaan sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan gejala sisa seperti
adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenai realitas, serta prilaku
kekanak-kanakan yang berdampak pada penuruna produktifitas hidup. Hal ini
ditunjang dengan data Bank Dunia pada tahun 2001 di beberapa Negara yang
menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted
Life Years (DALYs) sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease, disebabkan
oleh masalah kesehatan jiwa. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi
penurunan produktifitas maka pasien yang dirawat inap dilakukan upaya
rehabilitasi sebelum klien dipulangkan dari rumah sakit. Tujuannya untuk
mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam
pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan

perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat


yang mandiri dan berguna.
Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan oleh multi profesi yang terdiri dari dokter,
perawat, psikolog, sosial worker serta okupasi terapis yang memiliki peran
dan fungsi masing-masing. Dokter memberikan terapi somatik seperti terapi
psikofarmaka dan ECT. Psikofarmaka adalah obat-obatan kimia yang
digunakan untuk klien dengan gangguan mental. Electro Convulsive Therapy
(ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatic dimana arus listrik
digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis.
Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan
rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pengawasan.
Sebagai sebuah tim, perawat memberi peran yang sangat penting dalam
mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota
tim sesuai dengan tujuan yang akan dicapai anatara klien dan tim kesehatan
sehingga rehabilitasi berjalan sesuai tujuan yang diharapkan menurut para
perawat sistem dan budaya kerja yang ada tidak memungkinkan untuk
melaksanakan peran tersebut, sehingga perawat mengerjakan tugas multi
profesi sekaligus dari mulai dokter, psikolog, sosial worker, tenaga gizi sampai
tenaga pertanian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari psikofarmaka
2. Bagaimana sejarah psikofarmaka
3. Apa efek dari psikofarmaka
4. Bagaimana prinsip penatalaksanaan psikofarmaka
5. Apa penggolongan obat-obatan psikofarmaka
6. Apa definisi ECT
7. Bagaimana sejarah ECT
8. Bagaimana mekanisme kerja ECT
9. Apa indikasi ECT
10. Apa kontraindikasi ECT
11. Bagaimana persiapan dan pelaksanaan ECT
12. Apa komplikasi ECT
13. Tujuan
1. Tujuan Umum (TUM)

Setelah diberikan penjelasan diharapkan mengetahui tentang psikofarmaka


dan ETC.
2. Tujuan Khusus (TUK)
a. Untuk mengetahui definisi psikofarmaka
b. Untuk mengetahui sejarah psikofarmaka
c. Untuk mengetahui efek psikofarmaka
d. Untuk mengetahui prinsip penatalaksanaan psikofarmaka
e. Untuk mengetahui penggolongan obat-obatan psikofarmaka
f. Untuk mengetahui definisi ECT
g. Untuk mengetahui sejarah ECT
h. Untuk mengetahui mekanisme kerja ECT
i. Untuk mengetahui indikasi ECT
Untuk mengetahui kontraindikasi ECT
k. Untuk mengetahui persiapan dan pelaksanaan ECT
l. Untuk mengetahui komplikasi
j.

BAB II
PEMBAHASAN
I.

PSIKOFARMAKA
A. Definisi
Psikofarmaka adalah obat-obatan kimia yang digunakan untuk klien
dengan gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang
bersifat neuroleptika (bekerja pada sistem saraf pusat) karena obat-obatan tersebut
dapat mempengaruhi bagian bagian otak tertentu dan menekan atau mengurangi
atau menghilangkan gejala gejala tertentu pada penderita. Gejala tersebut

meliputi : yang berhubungan dengan proses pikir, berhubungan dengan alam


perasaan dan emosi, dan perilaku (behaviour), penghayatan pribadi
manusia.,Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi:
1. Teori biologis (somatik), mencakup: pemberian obat psikofarmaka, lobektomi
dan electro convulsi therapy (ECT)
2. Psikoterapeutik
3. Terapi modalitas
Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management
psikoterapi.Perawat perlu mamahami konsep umum psikofarmaka. Beberapa hal
yang termasuk Neurotransmiter adalah Dopamin,Neuroeprineprin, Serotonin dan
GABA (Gama Amino Buteric Acid),dll. Meningkatnya dan menurunnya kadar /
konsentrasi neurotransmiter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental.
Obat obatan
Neurotransmiter.

psikofarmaka

efektif

untuk

mengatur

keseimbangan

B. Sejarah

Sejarah perkembangan terapi organic dalam psikiatrik dimulai sejak


pertengahan tahun 1800-an sampai sekarang, walaupun pada tahun 1960
kumpulan obat psikiatrik pada dasarnya adalah diketahui terapi organic seperti
terapi elektrokonvulsif (ECT) yang dipelopori oleh Ugo Cerletti dan Licio Bini,
terapi koma insulin dikembangkan oleh Manfreud Sakel, dan bedah psiko (psiko
surgery) diperkenalkan oleh Antonio Egas moniz, semuanya dimulai pada separuh
pertama abad ke X dan disebut sebagai revolusi biologis dalam psikiatri. Tahun
1917 Julius Wagener-Jauregg memperkenalkan toksin malaria untuk mengobati
syphilis dan merupakan satu-satunya dokter psikiatrik yang memenangkan hadiah
nobel.Dalam paruh kedua abad ke XX, kemoterapi sebagai terapi untuk gangguan
mental menjadi biang utama penelitian dan praktek. Hampir segera setelah
diperkenalkannya chlorpromazine (Torazine) pada awal tahun 1950an, obat
psikoterapetik menjadi terapi psikiatrik khususnya untuk pasien dengan penyakit
mental yang serius.Di tahun 1949 dokter psikiatrik Australia John Cade
menggambarkan terapi untuk luapan manik dengan lithium (eskalith). Sambil
melakukan prcobaan terhadap binatang, Cade menemukan bahwa lithium
karbonat menyebabkan binatang menjadi lethargi, dan mengarahkannya
memberikan obat kepada beberapa pasien psikiatrik yang teragitasi yang
mendapatkan manfaat terapetik dari obat. Tahun 1950 Charpenter mensintesis

Chlor promazine (suatu anti psikotik fenotiazine alifatik) dalam usaha untuk
mengembangkan suatu obat histaminic yang akan berperan sebagai pelengkap
anestetik. Laborit melaporkan kemampuan obat untuk menginduksi tidur buatan.
Laporan oleh Paraire dan Siguald , John Delay, Piere Deniker, Hein z Lehmann
dan Narran menggambarkan efektifitas Chlorpromazine dalam mengobati agitasi
parah dan psicosis. Chlorpromazine dengan cepat diperkenalkan kepada dokter
psikiatrik Amerika, dan obat lain dengan efektifitas yang serupa juga disintesis
termasuk haloperidol (haldol) yaiu suatu anti psikotik butyrofenon di tahun 1958
oleh Paul Jansson.Inipramine (Tofranill) yaitu suatu obat yang secara structural
berupa trisiklik yang berhubungan dengan anti psikotik fenotiazine. Sambil
melakukan penelitian klinis pada obat mirip chlorpromazine, Thomas kant
menemukan bahwa inipranin tidak efektif dalam menurunkan agitasi tetapi obat
tersebut dapat menurunkan depresi pada beberapa pasien. Diperkenalkannya
inhibitor monoamine oksidasi (MAOI) untuk mengobati depresi dikembangkan
untuk obat antitubrtkulosis, iproniazide memiliki efek yang meningkatkan mood
pada beberapa pasien. Di tahun 1958 Nathan Kline merupakan salah satu peneliti
pertama yang melaporkan manfaat terapi MAOI pada pasien psikiatrik yang
depresi.Tahun 1960 dengan diperkenalkannya Chlordiazefoxide (Liberium) yaitu
suatu obat antisietas benzodiazepine yang disintesis oleh Richard Sternbach di
Roche laboratories pada akhir tahun 1950an, armada obat psikiatrik memasukkan
anti psikotik (chlorpromazine), obat trisiklik untuk depresi (inpramine), inhibitor
monoamine oksidase untuk depresi (tranilsipromine), lethium, dan
benzodiazepine, barbiturate untuk terapi kecemasan dan insomnia. Tiga puluh
tahun kemudian dipusatkan kemudian pada penelitian klinis yang menunjukkan
manfaat obat-obat tersebut dan untuk mengembangkan obat yang berhubungan
dalam masing-masing kategori. Kemanjuran masing-masing kelas obat untuk
mengobati sindroma psikiatrik yang relative spesifik dan menguraikan efek
farmakodinamiknya memberikan dorongan untuk mengembangkan berbagai
hipotesis neurotransmitter dari berbagai gangguan mental (dopamine untuk
skizoprenia dan hipotesis aminbiogenic untuk gangguan mood).Sejak tahun 1960
tambahan utama terhadap obat psikoterapetik adalah antikonvulsan, khususnya
Charbamazepine (tegretol) dan Valproate, yang efektif dalam mengobati gangguan
bipolar I. Buspirone (BuSpar), suatu ansiolitik non-benzodiazepine, diperkenalkan
dalam pemakaian klinis di amerika serikat pada tahun 1986. Beberapa inhibitor
ambilan kembali spesifik serotonin-sebagai contohnya Fluoxietin (Prozac)- dan

obat trisikllik spesifik serotonergik clomipramine (anafranil) adalah efektif dalam


mengobati depresi dan beberapa gangguan kecemasan, termasuk gangguan
obsessive convulsife. Obat yang paling terakhir diperkenalkan adalah antagonis
reseptor dopamine yang disertai dengan sedikit efek samping neurologist
(risperidone), obat pertama untuk pengobatan penurunan kognitif pada demensia
tipe alzeimer (tacrine), dan dua antidepresan baru, venlafaxine dan nefazodone,
yang akhirnya dapat terbukti memiliki beberapa keuntungan terapeutik di atas
obat-obat yang sekarang ada.
C. Efek Psikofarmaka

Ada dua macam efek dari psikofarmaka yaitu sebagai berikut:


1. Efek Primer
a. Merupakan efek klinis terhadap target
b. Timbul lebih lambat (dibanding efek sekunder)
c. Digunakan untuk tujuan terapi, disesuaikan dengan gejala yang menjadi

sasaran terapi
2. Efek Sekunder
a. Merupakan efek samping penggunaan psikofarmaka
b. Muncul lebih dahulu dibanding efek primer
c. Digunakan untuk tujuan terapi, disesuaikan dengan gejala yang menjadi
sasaran terapi.
D. Prinsip Penatalaksanaan Psikofarmaka

Penatalaksanaan psikofarmaka menggunakan prinsip titrasi dosis. Respon


terhadap obat psikotropika bersifat individual dan perlu pengaturan secara
empirik. Pengaturan dosis dilakukan :
1. Dosis awal (dosis anjuran)
2. Dosis efektif (dosis yg mulai berefek supresi gejala sasaran)
3. Dosis optimal (dosis yg mampu mengendalikan gejala sasaran)
4. Dosis pemeliharaan (dosis terkecil yg masih mampu mencegah kambuhnya
gejala)
Bila sampai jangka waktu tertentu dinilai sudah cukup mantap hasil
terapinya, dosis diturunkan secara gradual sampai berhenti pemakaian obat.

E. Penggolongan Obat-Obatan Psikofarmaka

Obat psikofarmaka/ psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan


diantaranya: antipsikotis, anti depresi, anti mania, anti ansietas, anti insomnia, anti
panik dan anti obsesif kompulsif. Pembagian lainnya dari obat psikitropik antara
lain: transquilezer, neuroleptik, antidepressant, dan psikomimetika. Berikut adalah
penjelasannya:
1. Anti Psikotik

Anti psikotik pemberiannya sering disertai pemberian anti


parkinson. Anti-psikosis disebut juga neuroleptic, dahulu dinamakan major
transquilizer.Salah satunya adalah chlorpromazine (CPZ), yang diperkenalkan
pertama kali tahun 1951 sebagai premedikasi dalam anastesi akibat efeknya
yang membuat relaksasi tingkat kewaspadaan seseorang. CPZ segera
dicobakan pada penderita skizofrenia dan ternyata berefek mengurangi delusi
dan halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan.
a. Mekanisme kerja
Semua obat anti-psikosis merupakan obat-obat potensial dalam
memblokade reseptor dopamin dan juga dapat memblokade reseptor
kolinergik, adrenergik dan histamin.Pada obat generasi pertama (fenotiazin
dan butirofenon), umumnya tidak terlalu selektif, sedangkan benzamid
sangat selektif dalam memblokade reseptordopamine D2.Anti-psikosis
atypical memblokade reseptor dopamine dan juga serotonin 5HT2 dan
beberapa diantaranya juga dapat memblokade dopamin dalam otak (di
ganglia dan substansia nigra) pada sistem limbic, terutama pada
striatum dan sistem ekstrapiramidal.
b. Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati first-pass
metabolism di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat
injeksi short-acting Intra muscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk
beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan flupenthixol), bisa
diberikan larutan ester bersama vegetable oil 3 dalam bentuk depot IM
yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot lebih mudah
untuk dimonitor.Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan
gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.Penggantian obat

disesuaikan dengan dosis ekivalennya.Apabila obat psikosis tertentu tidak


memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu
memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lainnya.
Jika obat anti-psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif
dan efek sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali
untuk pemakaian sekarang. Dalam pemberian dosis, perlu
dipertimbangkan:
1) Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
2) Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
3) Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
4) Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek
samping, sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien
Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran, dinaikkan setiap 2-3
hari hingga dosis efektif (sindroma psikosis reda) dievaluasi setiap 2
minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal, dipertahankan sekitar 8-12
minggu (stabilisasi), diturunkan setiap 2 minggu, dosis maintenance
dipertahankan selama 6 bulan 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2
hari/minggu, tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) kemudian
stop
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi
ketergantungan sangat kecil. Jika dihentikan mendadak timbul
gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual, muntah,
diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika
diberikananticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan
tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau tidak
efektif dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 4cc setiap bulan.
Pemberiannya hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap
skizofrenia.Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik
pada waktu merubah posisi tubuh.Hal ini dapat diatasi dengan injeksi noradrenalin (effortil IM). Haloperidol juga dapat menimbulkan sindroma
Parkinson, dan diatasi dengan tablet trihexylfenidil 3-4x2 mg/hari.
c. Efek farmakologi

Sebagai penenang, menurunkan aktivitas motorik, mengurangi


insomnia, sangat efektif untuk mengatasi: delusi, halusinasi, ilusi dan
gangguan proses berpikir.

d. Indikasi pemberian

Pada semua jenis psikosa, kadang untuk gangguan maniak dan


paranoid.Untuk obat jenis konvesional biasanya hanya mampu
menghilangkan gejala positif saja, tetapi obat jenis atipkal bisa
menghilangkan gejala positif dan gejala negatif. Antipsikosik merupakan
terapi medis utama dalam menangani skizofrenia untuk mengurangi
delusi, halusinasi, gangguan proses dan isi pikiran dan juga efektif dalam
mencegah kekambuhan. Major transquilizer juga efektif dalam menangani
mania, Tourettes syndrome, perilaku kekerasan dan agitasi akibat bingung
dan demensia. Juga dapat dikombinasikan dengan anti-depresan dalam
penanganan depresi delusional. Jenis obat anti psikotik yang sering
digunakan: Chlorpromazine (thorazin) disingkat (CPZ), Halloperidol
disingkat Haldol dan Serenase.
e. Penggolongan antipsikotika
Antisipkotika (antipsikosis) biasanya dibagi dalam dua kelompok
besar, yakni obat typis atau klasik dan obat atypis.
1) Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif; pada
umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai
berikut :
a) Derivat-fenotiazin
:
klorpromazin,
levomepromazin
dan
triflupromazin (Siquil), thioridazin, dan periciazin, perfenazin dan
flufenazin, perzin (Taxilan), trifluoperazin, proklorperazin
(Stemetil) dan Thietilperazin (Torecan).
b) Derivat thioxanthen: klorprotixen (Truxal) dan zuklopentixol
(Cisordinol)
c) Derivat- butirofenon : haloperidol, bromperidol, pipamperondan
droperidol
d) Derivat-butilpiperidin : pimozida, fluspirilen dan penfluridol
2) Antisipsikotika atypis (sulprida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan
quetiapin) bekerja efektif melawan simtom negatif, yang praktis kebal

terhadap obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan,


khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dysnesia tarda. Bila
penggunaan antipsikotika kurang menghasilkan efek yang diinginkan
adakalanya ditambahkan adjuvansi, misalnya suatu antiansietas dan
hipnotik-sedatif (contoh : benzodiazepin), antidepresan (contoh :
garam litium, antidepresiva trisiklis misalnya amitriptilin) dan
antikonvulsi (contoh : karbamzepin):
f. Efek Samping Antipsikotik
Efek samping antipsikotik yaitu sebagai berikut:
1) Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal side efect/EPSE)
1) Parkinsonisme
Efek samping ini muncul setelah 1 - 3 minggu pemberian obat.
Terdapat trias gejala parkinsonisme: Tremor: paling jelas pada saat
istirahat, Bradikinesia: muka seperti topeng, berkurang gerakan
reiprokal pada saat berjalan, dan Rigiditas: gangguan tonus otot
(kaku).
2) Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau bisa juga lama
Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh
tidak terkontrol
3) Akathisia
Ditandai oleh perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan,
seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu santai, gugup,
langkah bolak-balik dan gerakan mengguncang pada saat duduk.
Ketiga efek samping di atas bersifat akur dan bersifat reversible (bisa
ilang/kembali normal).
2) Efek samping pada sistem saraf perifer atau anti cholinergic side efect

Terjadi karena penghambatan pada reseptor asetilkolin. Yang termasuk


efek samping anti kolinergik adalah, Mulut kering, Konstipasi,
Pandangan kabur: akibat midriasis pupil dan sikloplegia (pariese otototot siliaris) menyebabkan presbyopia, Hipotensi orthostatik, akibat
penghambatan reseptor adrenergic, Kongesti/sumbatan nasal
g. Kontraindikasi

10

Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris


yang tinggi, ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan
kesadaran
h. Cara pemberian obat golongan antipsikotik
Golongan Antipsikotik Klasik (Typis)
Contoh:
1) Trifluoperazin
Dosis obat : ekivalensi 5 mg
Batasan dosis rumataan : 10-80 mg/hari
Bentuk yang tersedia: Tablet (1 mg, 2 mg, 5 mg, 10 mg), Konsentrat
10 ml, Suntikan (IM) : 0,25 ml, 1,25 ml, 5 ml, 10 ml
2) Haloperidol
Dosis obat: 2 mg
Batasan dosis rumatan: 5-100 mg
Bentuk yang tersedia: Tablet (0,5 mg, 1 mg, 2 mg, 5 mg, 10 mg, 20
mg, Konsentrat: 2 ml dan Eliksir : 50 ml

2. Anti Depresi

Kelainan depresi mayor dan kelainan distimik merupakan dua tipe


kelainan depresi yang tercantum pada Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. Gambaran penting pada kelainan depresi mayor adalah
keadaan klinis yang ditandai dengan satu lebih episode depresi tanpa riwayat
mania, gabungan depresi mania, atau hipomania. Kelainan distimik adalah
gangguan suasana hati (mood) kronis yang melibatkan depresi suasana hati
dan sekurangnya dua gejala lain, dan kelaianan ini pada umumnya lebih
ringan dibandingkan kelaiana depresi mayor. Untuk mengeliminasi atau
mengurangi gejala depresi dapat di gunakan terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi, namun dalam hal ini yang akan di bahas adalah terapi
farmakologi yaitu dengan penggunaan obat anti depresan.
Hipotesis: syndroma depresi disebabkan oleh defisiensi salah
satu/beberapa aminergic neurotransmitter seperti: norepinefrin (NE), serotonin
(5-HT), dopamin (DA) pada sinaps neuron di SSP, khususnya pada sistem
limbik. Sinonim antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer.
Umumnya yang digunakan sekarang adalah dalam golongan trisiklik
(misalnya imipramin, amitriptilin, dothiepin dan lofepramin)
11

a. Mekanisme kerja obat:


1) Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik neurotransmitter
2) Menghambat re-uptake aminergik neurotransmitter
3) Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase)

sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergik neurotransmitter pada


neuron di SSP.
b. Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan
mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan
jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk sindroma
depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:
Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase
Inhibitor) reversibel.
c. Efek farmakologi dan Indikasi
Efek farmakologi : mengurangi gejala depresi, sebagi penenang
Indikasi: syndroma depresi, Obat obatan ini biasanya digunakan dalam
terapi gangguan depresif mayor, gangguan panik, dan gangguan ansietas
lain, depresi bipolar,dan depresi psikotik. Obat-obatan ini sangat
bermanfaat untuk pengobatan gejala depresi seperti mutisme , hipoaktif
dan disforik. Disamping itu bisa untuk mengobati keadaan panic, enurises,
pada anak dengan gangguan perhatian, bumilia narkolepsi dan ,obsesi
kumpulsif. Anti depresan ini berinteraksi dengan dua neurotransmiter,
norepinefrin,dan serotonin yang mengatur mood, keinginan perhatian,
proses sensori, dan nafsu makan.
d. Penggolongan abat antidepresan
Pada farmakoterapi digunakan obat anti depresan, dimana anti depresan
dibagi dalam beberapa golongan yaitu :
1) Golongan trisiklik, seperti : amitryptylin, imipramine, clomipramine
dan opipramol.
2) Golongan tetrasiklik, seperti : maproptiline, mianserin dan amoxapine.
3) Golongan MAOI-Reversibel (RIMA, Reversibel Inhibitor of Mono
Amine Oxsidase-A), seperti : moclobemide.
4) Golongan atipikal, seperti : trazodone, tianeptine dan mirtazepine.

12

5) Golongan SSRI (Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor), seperti :

sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluxetine dan citalopram


Jenis obat yang sering digunakan: trisiklik (generik), MAO inhibitor,
amitriptyline (nama dagang).
e. Efek samping:

Efek samping dari obat anti depresi yaitu efek samping kolinergik (efek
samping terhadap sistem saraf perifer) yang meliputi mulut kering,
penglihatan kabur, konstipasi, hipotensi orthostatik.
SSRI : nausea, sakit kepala
MAOI : interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic
syndrome dengangejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi,
delirium, confusion dandisorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya:
1) Gastric lavage
2) Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi
3) Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek antikolinergik, dapat
diulangi setiap 30-40 menit hingga gejala mereda.
4) Monitoring EKG

Kontraindikasi
Penyakit jantung koroner, Glaucoma, retensi urin, hipertensi prostat,
gangguan fungsi hati, epilepsy
g. Cara pemberian obat golongan antidepresi: Antidepresan Trisiklik
Nama Obat : Amitriptilin
Rentang dosis dewasa yang lazim : 50-300 mg / hari
Cara pemberian : PO, IM
Sediaan beredar: limbritol (valeant combiphar), mutabon D (ScheringPlough), mutabon M (Schering-Plough).
3. Anti Mania
Obat anti mania mempunyai beberapa sinonim antara lain mood
modulators, mood stabilizers dan antimanik. Dalam membicarakan obat
antimania yang menjadi acuan adalah litium karbonat. Hipotesis: pada mania
terjadi peluapan aksi reseptor amine.
f.

13

a. Mekanisme kerja:

Mekanisme kerja obat antimania yaitu: menghambat pelepasan serotonin


dan mengurangi sensitivitas reseptor dopamin serta meningkatkan
cholinergic muscarinic activity dan menghambat cyclic AMP
(adenosine monophospat).
b. Cara Penggunaan Obat
Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium karbonat.
Pada gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi
diberi litium karbonat sebagai obat profilaks.Daapt mengurangi frekwensi,
berat dan lamanya suatu kekambuahan.Bila penggunaan obat litium
karbonat tidak memungkinkaan dapat digunakan karbamezin.Obat ini
terbukti ampuh meredakan sindroma mania akut dan profilaks serangan
sindroma mania pada gangguan afektif bipolar.Pada ganguan afektif
unipolar, pencegahan kekambuhan dapat juga denagn obat antidepresi
SSRI yang lebih ampuh daripada litium karonat. Dosis awal harus lebih
rendah pada pasien usia lanjut atau pasien gangguan fisik yang
mempengaruhi fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan dengan
mengambil sampeel darah pagihari, yaitu sebelum makan obat dan sekitar
12 jam setelah dosis petang.
c. Efek farmakologi
Mengurangi
agresivitas,
tidak
menimbulkan
efek
sedatif,
mengoreksi/mengontrol pola tidur, iritabel dan adanya flight of idea
d. Indikasi
Mania dan hipomania, lebih efektif pada kondisi ringan.Pada mania
dengan kondisi berat pemberian obat anti mania dikombinasi dengan obat
antipsikotik. Obat-obat ini berguna untuk menghilangkan gejala manik
seperti logorhoe, hiperaktive euphoria
e. Efek samping:
1) Efek neurologik ringan: fatigue, lethargi, tremor di tangan terjadi pada
awal terapi dapat juga terjadi nausea, diare.
2) Efek toksik: pada ginjal (poliuria, edema), pada SSP (tremor, kurang
koordinasi, nistagmus dan disorientasi; pada ginjal (meningkatkan
jumlah lithium, sehingga menambah keadaan oedema.
3) Gejala intoksikasi

14

a) Gejala

dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk,


kosentrasipikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak
jelas, berjalantidak stabil
b) Dengan semangkin beratnya intoksikasi terdapat gejala :
kesadaranmenurun, oliguria, kejang-kejang
c) Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah
4) Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
a) Demam (berkeringat berlebihan)
b) Diet rendah garam
c) Diare dan muntah-muntah
d) Diet untuk menurunkan berat badan
e) Pemakaian bersama diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi
nonSteroid
5) Tindakan mengatasi intoksikasi lithium
a) Mengurangi faktor predisposisi
b) Diuresis paksa dengan garam fisiologis NaCl diberikan secara
IVsebanyak 10 ml
6) Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang
factor predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan diuresis
banyak harusdiimbangi dengan minum lebih banyak, mengenali
gejala dan intoksikasi dan kontrol rutin
f. Macam-macam obat anti mania
Macam-macam obat anti mania yaitu sebagai berikut:
No

Nama generik

1.

Lithium carbonte

2.

Haloperidol

Sediaan

Dosis anjuran
250-500 mg

Tab 0,5 mg,2 mg, 5 mg

4,5-15 mg

Liq 2 mg/hr
Injk 5 mg/ml
3.

Carbamazepine

Tab 200 mg

400-600 mg/hr
2-3 x/hr

g. Kontra Indikasi

Wanita hamil
4. Anti Cemas (Anti Ansietas)

15

Ansietas (gangguan kecemasan) meliputi suatu kumpulan gangguan


dimana kecemasan (ansietas) dan gejala lainnya yang terkait yang tidak
rasional dialami pada suatu tingkat keparahan sehingga mengganggu aktivitas/
pekerjaan.Ciri-ciri khasnya yaitu perasaan cemas dan sifat menghindar. Obat
anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara lain psikoleptik,
transquilizer minor dan anksioliktik.Dalam membicarakan obat antiansietas
yang menjadi obat racun adalah diazepam atau klordiazepoksid. Obat anti
ansietas ini memberi khasiat menghilangkan rasa cemas melalui penguatan
inhibitor GABA (gama acid amino biturat). GABA adalah neurotransmiter
inhibitor utama di sistem saraf pusat (SSP)
a. Mekanisme kerja
Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitasndari system limbic yang
terdiri dari dopaminergic, nonadrenergic, seretonnergic yang dikendalikan
oleh GABA ergic yang merupakan suatu inhibitory neurotransmitter. Obat
antiansietas benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptornya yang akan
meng-inforce the inhibitory action of GABA neuron, sehingga
hiperaktivitas tersebut mereda.
b. Cara Pengguanan
1) Klobazam untuk pasien dewasa dan pada usia lanjut yang ingin tetap
aktif
2) Lorazepam untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati atau ginjal
3) Alprazolam efektif untuk ansietas antosipatorik, mula kerja lebih cepat
dan mempunyai komponen efek antidepresan.
4) Sulpirid 50 efektif meredakan gejala somatic dari sindroma ansietas
dan paling kecil resiko ketergantungan obat.
Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap
3-5 hari sampai mencapai dosis optimal.Dosis ini dipertahankan 2-3
minggu.Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga
tercapai dosis pemeliharan.Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif
pertahankan 4-8 mingu.Terakhir lakukan tapering off.Pemberian obat tidak
lebih dari 1-3 bulan pada sindroma ansietas yang disebabkan factor
eksternal.
c. Efek samping

16

1) Sedasi ( rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerka psikomotor

menurun, kemampuan kognitif melemah)


2) Relaksasi otot ( rasa lemas, cepat lelah dan lain-lain)
3) Potensi menimbulkan ketergntungan lebih rendah dari narkotika
4) Potensi ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih
dapat dipertahankan setelah dosis trerakhir berlangsung sangat singkat.
5) Penghentian obat secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus
obat, pasien menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomania, tremor,
palpitasi, keringiat dingin, dan konvulsi.
d. Kontra Indikasi
Pasien dengan hipersensitif terhadap benzodiazepin, glaukoma, miastenia
gravis, insufisiensi paru kronik, penyakit ginjal dan penyakit hati kronik.
Pada pasien usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan
(paradoxal reaction) berupa kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spasitas
oto meningkat dan gangguan tidur. Ketergantungan relatif sering terjadi
pada individu dengan riwayat peminum alkohol, penyalagunaan obat atau
unstable personalities. Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat,
maksimum lama pemberian 3 bulan dalam rentang dosis terapeutik
e. Penggolongan obat anti cemas
No.

Nama generik

Golongan

Sediaan

Dosis
anjuran

1.

Diazepam

Benzodiazepin

Tab 2- 5 Peroral
mg

10-

30mg/hr,2-3
x/hari
Paenteral
IV/IM
2-10 mg/kali,
setiap

3-4

jam
2.

Klordiazepoksoid Benzodiazepin

Tab 5 mg 15-30
Kap 5 mg mg/hari
2-3 x/sehari

3.

Lorazepam

Benzodiazepin

Tab 0,5-2 2-3 x 1 mg/hr


17

mg
4

Clobazam

Benzodiazepin

Tab 10 mg 2-3 x 10
mg/hr

5.

Brumazepin

Benzodiazepin

Tab 1,5-3- 3 x 1,5 mg/hr


6 mg

6.

Oksazolom

Benzodiazepin

Tab 10 mg 2-3

10

mg/hr
7.

Klorazepat

Benzodiazepin

Cap
10mg

8.

Alprazolam

Benzodiazepin

5- 2-3 x 5 mg /
hr

Tab 0,25- 3 x 0,25-0,5


0,5-

mg/hr

1 mg
9.

Prazepam

Benzodiazepin

Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hr

10.

Sulpirid

NonBenzodiazepin Cap
mg

11.

Buspiron

50 100-200
mg/hari

NonBenzodiazepin Tab 10 mg 15-30


mg/hari

5. Anti-Insomnia

Sinonimnya adalah hipnotik, somnifacient, atau hipnotika.Obat


acuannya adalah fenobarbital.
a. Mekanisme kerja
Obat anti-insomnia bekerja pada reseptor BZ1 di susunan saraf pusat yang
berperan dalam memperantarai proses tidur.
b. Cara Penggunaan
1) Dosis anjuran untuk pemberian tunggal 15-30 menit sebelum tidur.
2) Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat.
3) Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan untuk menghidari oversedation dan intoksikasi. Lama
pemberian tidak lebih dari 2 minggu agar risiko ketergantungan kecil.
c. Efek samping
18

Efek samping dari obat anti insomnia yaitu: supresi SSP pada saat
tidur, Rebound Phenomen. Disinhibiting efect yang menyebabkan perilaku
penyerangan dan ganas pada penggunaan golongan benzodiazepine dalam
waktu yang lama
d. Kontra indikasi
Kontra indikasi dari obat insomnia yaitu: Sleep apnoe syndrome,
Congestive heart failure, Chronic respiratory disease dan wanita hamil dan
menyusui.
e. Penggolongan obat anti insomnia
No

Nama generik

Golongan

Sediaan

Dosis anjuran

1.

Nitrazepam

Benzodiazepin

Tab 5 mg

Dewasa 2 tab
Lansia 1 tab

2.

Triazolam

Benzodiazepin

Tab 0,125 mg Dewasa 2 tab


Lansia 1 tab
Tab 0,250 mg Dewasa 2 tab
Lansia 1 tab

3.

Estazolam

Benzodiazepin

Tab 1 mg

1-2 mg/malam

Tab 2mg
4.

Chloral hydrate

Non-

Soft cap 500 1-2 cap, 15-30

Benzodiazepin

mg

menit sebelum
tidur

II. ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT)


A. Definisi

Electro Convulsive Therapy (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan


somatic dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang
ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal,
yang diharapkan dapat mencapai efek terapeutik. Diperkirakan ECT menghasilkan

19

perubahan-perubahan biokimia di dalam otak (peningkatan kadar norepinefrin dan


serotonin) yang mirip dengan efek obat anti depresan.
ECT adalah bentuk terapi fisik yang masih sering digunakan oleh psikiater
terutama dalam pengobatan depresi berat. Digunakan suatu alat yang
menghantarkan arus listrik dengan voltase yang pasti untuk fraksi yang tepat
selama 1 detik pada elektroda yang dipasang pada kepala, menyebabkan konvulsi.
Modified ECT merupakan ECT dimana konvulsi dimodifikasi dengan
pemberian obat anestesi intravena dan relaksan otot sehingga mengurangi risiko
sekuele yang tidak enak. Akhir-akhir ini ECT selalu dimodifikasi. Unilateral ECT
dilakukan untuk mnghindari dari sekuele amnesia akan kejadian yang baru saja
terjadi. Mekanisme ingatan akan kejadina yang baru terjadi kemunginan terleta
dalam hemisfer serebri yang dominan, yaitu hemisfer kiri pada hampir semua
orang. Dengan demikian, ECT dipasang pada hemisfer kanan untuk mengurangi
gangguan daya ingat.
ECT atau yang lebih dikenal dengan elektroshock atau terapi kejut listrik
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha
pengobatannya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia mendapat terapi ECT
setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT efektif pada
hampir 75% pasien yang menjalankan prosedur dengan benar. Terapi ECT adalah
suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artificial dengan
melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua
temples. (Stuart Sundeen, 1998).

B. Sejarah

ECT berkembang secara empiris sejak tahun 1930-an. Pertama kali yang
mengenalkan dan menggunakan ECT adalah Ugo Carletti dan L. Bini dengan
dasar pemikiran model percobaan epilepsy yang menggunakan sengatan listrik
untuk membangkitkan kejang. Sejak pertama kali digunakan menimbulkan
berbagai kontroversi karena melihat tindakan ECT merupakan tindakan yang
kejam. Beberapa pasien yang mendapatkan terapi tersebut menggambarkan
20

tindakan ECT merupakan hukuman bagi mereka atas tindakan yang telah mereka
lakukan. Oleh karena itu tindakan ECT mengalami perkembangan, sehingga kesan
tersebut dapat berkurang. Pada tahun 1940, A.E. Bernnett mengenalkan ECT
dengan menambah obat muscle relaxant sebelum pelaksanaan tindakan, dengan
alasan untuk meminimalisir efek samping fraktur. Sejak saat itu perkembangan
ECT dimodifikasi dengan: muscle relaxant, anestesi umum, dan oksigenasi.

C. Mekanisme Kerja

Tujuan dari ECT adalah melampaui nilai ambang kejang. Ambang kejang
adalah jumlah minimal muatan listrik yang menginduksi kejang pada Sistem Saraf
Pusat (SSP) secara menyeluruh. Cara kerja ECT sehingga mempunyai efek
terapeutik belum diketahui dengan jelas.
1. Teori Psikodinamik

Efek penyembuhan dari ECT didasarkan pada pemberian hukuman


terhadap perasaan bersalah. Di samping itu, amnesia yang timbul karena terapi
akan menghilangkan ingatan-ingatan yang tidak menyenangkan dan keadaan
ini yang dianggap berperan dalam perbaikan klinis. Tetapi teori in diakui
sangat lemah, neurosis yang terutama disebabkan oleh factor psikogenik
seharusnya akan bereaksi baik, tetapi kenyataannya neurosis bukan indikasi
untuk ECT.
2. Teori Organik
Hipotesanya terjadi perubahan neurotransmitter pada membrane sel. ECT
akan meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap neurotransmitter. ECT juga
meningkatkan turn over dopamine dan serotonin dan akan terjadi peningkatan
pelepasan norepinefrin dari neuron ke reseptor serta terjadi kenaikan sintesis
norepinefrin. ECT akan meningkatkan pelepasan serotonin. Mekanisme kerja
ECT mirip dengan obat anti depresan. Pada depresi terjadi gangguan
neurotransmitter otak, yaitu: penurunan norepinefrin, serotonin, dan
dopamine. ECT menaikkan norepinefrin dan serotonin, maka depresi dapat
disembuhkan karena kedua neurotransmitter kembali normal.

21

Pada skizofrenia terjadi hipersensitivitas system dopamine, sehingga


dopamine pada celah sinapsis meningkat. Dengan meningkatnya turn over
dopamine karena ECT, maka dopamine di celah sinapsis akan normal,
sehingga skizofrenia bisa disembuhkan. Akan tetapi, tindakan ECT pada
skizofrenia hanya ada sedikit bukti dalam mengubah gejala-gejala kronik
skizofrenia. Pada manik, terjadi peningkatan fungsi dopaminergik. Dopamin
di celah sinap meningkat karena turn over dopamin, maka dopamin di celah
sinaps kembali normal, sehingga manic bisa sembuh.
Tujuan ECT sebagai terapeutis adalah membuat kejang klonik dengan
diikuti hilangnya kesadaran selama 15 detik. Meskipun dalam jumlah besar
penelitian telah dilakukan, mekanisme yang tepat dari ECT masih tetap sukar
ditentukan. Alasan utama bahwa otak manusia tidak dipelajari secara langsung
sebelum dan sesudah dilakukan ECT, dan para ilmuwan mengandalkan
binatang model yang depresi dengan keterbatasan. Sementara binatang model
diketahui terbatas hanya pada aspek penyakit depresi, otak manusia dan
binatang adalah sama bentuknya ditingkat molekul dan memungkinkan
penelitian lebih detail yang melibatkan mekanisme molekul pada ECT. Pada
banyak kepustakaan yang menerangkan akibat ECT pada binatang, dengan
model binatang itu, kejadian ini membuktikan bahwa padatnya hubungan
sinaptik didalam hipokampus, kaya terdapatnya hubungan di daerah yang
dalam pada lobus temporalis, dimana terjadi vital kontrol antara mood dan
memory.
ECT menunjukkan bertambahnya tingkat Brain-Derived Neurotrophic
Factor (BDNF) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada
hipokampus rodensia (6). Kebalikannya akibat toksik karena depresi pada area
otak, bertambah pembentukan sinaptik baru dan pembentukan sel-sel otak
yang baru/ hippocampal neurogenesis. Kedua efek ini telah dicatat pada
pemberian antidepresan pada binatang. ECT adalah inducer lebih kuat untuk
terjadi neuroplasti efek dari pada pemberian obat antidepresan. ECT juga
menunjukkan bahwa serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada
pasien depresi yang resisten terhadap obat antidepresan (7) Hal ini merupakan

22

mekanisme action umum dari pada molekuler, meskipun membutuhkan studi


lebih lanjut dan penelitian yang lebih banyak.

D. Indikasi

Berdasarkan pedoman American Psychiatric Association (APA) 2001 dan


kumpulan data serta konsensus, sebelum dipertimbangkan untuk ECT pasien
harus memenuhi tiga kriteria berikut ini yaitu :
1. Diagnosis :

Gangguan bipolar, depresi mayor atau mania persisten dengan atau tanpa
gejala psikotik, gangguan skizoafektif,skizofrenia.
2. Keparahan Gejala dan Derajat Gangguan Fungsional yang Dialami Pasien
Berat atau ada agitasi ekstrim dan berkelanjutan, sedang dengan gejala
telah ada bertahun-tahun, pasien berada pada situasi yang mengancam
kehidupan berupa kelemahan akibat kurang makanan, resiko bunuh diri atau
membunuh.
3. Kurangnya Respon Pengobatan
Kegagalan untuk merespon pada setidaknya dua uji coba psikofarmakologi
yang adekuat. ECT dapat dipertimbangkan segera bila pasien tidak mampu
mentolerir pengobatan psikofarmaka atau tidak dapat menunggu respon
pengobatan psikofarmaka karena mengancam kehidupan. ECT dapat
diindikasikan kembali jika ada riwayat respon positif terhadap ECT.
4. Episode Depresi Mayor.
Depresi mayor merupakan kondisi yang paling sering diberlakukan ECT.
Hal ini terutama diindikasikan jika pengobatan secara medikamentosa telah
gagal atau terdapat resiko yang besar akan bunuh diri. ECT aktif telah
dikatakan superior daripada placebo pada banyak penelitian. ECT juga
dikatakan superior daripada obat antidepresan pada lusinan penelitian. Bentuk
penelitian umumnya subyek dibagi menjadi dua grup dimana satu grup
menerima ECT dan obat placebo, grup yang lain menerima ECT placebo dan
obat.
5. Mania

23

Mania merupakan keadaan kenaikan mood atau iritabilitas dan aktivitas


fisik berlebih. Pengobatan diperlukan untuk memastikan asupan obat dan
cairan dan menghindari kelelahan dan cedera fisik. Populasi ini sulit diteliti
karena beberapa alasan. Pengalaman klinis secara luas menunjukkan bahwa
ECT merupakan pengobatan yang efektif dan dapat menjadi tindakan
penyelamatan. ECT telah ditunjukkan superior daripada litium karbonat pada
mania akut.
6. Schizophrenia

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Medunna menggunakan


kamper untuk meninduksi kejang pada skizofrenia, dan orang pertama yang
menerima ECT merupakan penderita gangguan psikotik. ECT saat ini
digunakan pada skizofrenia ketika ditemukan gambaran katatonik dengan
asupan makanan dan cairan yang terbatas dan jika gejala psikotik tidak
resonsif terhadap medikamentosa.
7. Gangguan Postpartum

Beberapa gangguan psikiatrik dapat muncul mengikuti proses kelahiran.


Sebagian besar dapat ditangani dengan dukungan dan penggunaan medikasi.
Gangguan yang kuat, berat dapat berkembang, dan ibu dapat menghadirkan
bahaya kepada dirinya sendiri mauun bayinya. Sebagai generalisasi, mayoritas
kondisi postpartum berat menyerupai episode depresi mayor, dan lainnya
adalah episode psikotik, dengan delusi atau halusinasi. ECT sangat berguna
pada kasus-kasus berat tersebut. ECT menginduksi remisi secara cepat
sehingga resiko pada ibu maupun bayi menurun dengan cepat, sehingga
kegiatan menyusui dan pengikatan ibu-anak dapat dilakukan tanpa penundaan.
Juga, ECT dapat menghindari penggunaan obat dosis tinggi, sehingga
meminimalisir pengobatan yang mencapai bayi yang sdang menyusui.
8. ECT Rumatan

Saat pengobatan telah gagal dan ECT dibutuhkan untuk mengiduksi remisi
pada depresi mayor dan pengobatan gagal mencegah relapse, ECT rumatan
dipertimbangkan. Hal ini dilakukan pada pasien rawat jalan. Frekuensi ECT

24

ditentukan menurut respon klinis. Seringkali, untuk melengkapi rangkaian


ECT, ketika remisi telah dicapai, ECT terus diberikan dengan interval
seminggu. Kemudian jarak terapi ini diperpanjang hingga empat sampai enam
minggu.

National

Institute

for

Clinical

Evidence

(NICE)

tidak

merekomendasikan CT rumatan, namun American Psychiatric Association


(APA) merekomendasikan metode ini.
E. Kontraindikasi

Menurut American Psychiatric Association (APA) 2001 tidak ada


kontraindikasi absolut untuk ECT. Tetapi beberapa kondisi menimbulkan risiko
yang relatif tinggi. Risiko tinggi dari tindakan ECT adalah :
1. Lesi sistem saraf pusat yang besar
2. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
3. Pergeseran garis tengah otak (midline shift) dengan pencitraan neurologis
4. Tumor otak
5. Riwayat bedah saraf
6. Fraktur tulang tengkorak
7. Stroke atau infark miokardial yang baru terjadi terutama jika ECT diberikan
dalam 4-6 bulan setelah serangan
8. Gagal jantung kongestif yang tidak berkompensasi

F. Persiapan dan Pelaksanaan ECT

Persiapan ECT
1. Pelaksanaan, ECT hanya dapat dilakukan atas saran dari seorang dokter

psikiater. Seorang dokter yang hadir dalam pelaksanaan ECT harus seorang
dokter psikiater konsultan atau psikiater yang telah menyelesaikan kursus ECT
dan berpengalaman dalam mengelola ECT. Dokter yang melakukan tindakan
ECT adalah seorang dokter psikiater yang telah mendapat pelatihan resmi,
dalam penggunaan ECT, sesuai dengan kriteria masing-masing institusi.
2. Pemeriksaan status psikiatri, dokter psikiater menentukan bahwa pasien
memiliki kondisi kualifikasi untuk ECT berdasarkan evaluasi status medis dan
status psikiatri.

25

3. Komunikasi dan penyediaan informasi, tersedia secara tertulis disertai

pertemuan yang cukup sering antara pasien, keluarga dan dokter untuk
konsultasi sangat penting karena beberapa pasien yang sakit parah mungkin
kesulitan mengingat konsultasi pra-ECT. Disarankan bahwa lembar informasi
mencakup sifat pengobatan, prosedur dan manfaat yang diharapkan serta
risiko yang mungkin terjadi.
4. Persetujuan pengobatan. Suatu bentuk persetujuan diberikan secara tertulis,
ditandatangani dan harus diperoleh dari pasien dan keluarga pada setiap
pengobatan ECT.
5. Penilaian kognitif. Berdasarkan fungsi kognitif direkomendasikan
menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE).
6. Pengobatan simultan, secara umum lebih baik untuk mengurangi atau
menghentikan obat sebanyak mungkin untuk mengurangi risiko delirium dan
meminimalkan efek samping kognitif. Obat obat yang akan mengganggu
kejang (antikonvulsan dan benzodiazepin) harus diminimalkan, dan obat yang
mengoptimalkan kondisi medis pasien harus diberikan sebelum ECT.
Tindakan ECT
1. ECT dengan prosedur anestesi, Selama tahun-tahun awal ECT diterapkan pada

pasien tanpa anestesi atau relaksasi otot. Sejak tahun 1950-an dan 1960-an,
beberapa jenis obat diperkenalkan untuk meningkatkan keselamatan dan
akseptabilitas ECT.
2. ECT, untuk memberikan ECT yang tepat maka ambang kejang pasien harus
terlampaui namun nilai sebenarnya dari jumlah listrik yang diperlukan untuk
melakukan ini tergantung pada parameter stimulus yang dibangkitkan. Setiap
mesin ECT mempunyai ukuran unit yang berbeda-beda untuk membangkitkan
stimulus. Ukuran unit selalu disertakan pada petunjuk manual setiap mesin
ECT.
3. Kekerapan tindakan ECT, di United States ECT diberikan 3 kali dalam
seminggu, biasanya untuk 6 - 12 kali pengobatan. Di United Kingdom dan
negara lainnya, ECT diberikan 2 kali dalam seminggu. ECT diberikan hingga
didapat respon terapi maksimal. Respon maksimal dianggap telah terjadi bila
pasien tidak menunjukan perbaikan gejala lagi (plateau) setelah 2 kali
pelaksanaan ECT mendapat respon klinis yang tidak berbeda.
Pemantauan Pasien Segera Setelah ECT

26

Keberhasilan dari ECT secara klinis tergantung dari kualitas aktivitas


kejang yang diinduksi. Kejang generalisata dapat dipantau secara inspeksi
mengamati respon motor iktal (kejang) dan dengan memantau aktivitas iktal
dengan

electroencephalographic

(EEG)

Pemantauan

EEG

iktal

telah

direkomendasikan oleh APA (2001) untuk digunakan secara rutin.


Manajemen setelah ECT
Meskipun ECT adalah pengobatan yang efektif dari suatu episode
penyakit, belum ada bukti bahwa pengobatan ECT dapat mencegah kekambuhan
di masa depan. Farmakoterapi dan/atau pengobatan pemeliharaan lainnya (dalam
beberapa kasus termasuk pengobatan pemeliharaan ECT) harus dimulai setelah
sesi pengobatan terakhir ECT.

G. Komplikasi

ECT dan Kematian


Kematian saat ECT merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. ECT bisa
disebut lebih aman daripada ekstraksi gigi saat di bawah anestesi. Beberapa
kematian terjadi lebih merupakan dampak dari anestesinya daripada ECTnya. Dari
catatan selama 50tahun, satu kematian ditemukan dari 46.770 terapi. Ditemukan
lebih sedikit kematian pada depresi dengan terapi ECT daripada pasien depresi
yang diterapi dengan perangkat lain.
Kerusakan Otak Permanen dan ECT
ECT tidak menyebabkan kerusakan otak. Setiap penyelidikan yang
memungkinkan telah dilakukan termasuk penelitian enzim dalam darah,
pencitraan struktur dan komposisi kimia otak, dan penelitian histologis post
mortem. Tidak dideteksi adanya abnormalitas yang dapat disebabkan ECT.
ECT dan Memori
Kehilangan ingatan mengganggu rasa otonomi dan sangat mengancam
terhadap seseorang. Dua perkembangan sekarang ini telah mengurangi gangguan
memori yang berhubungan dengan ECT.
Pertama adalah pengenalan stimulasi dengan brief square wave (1ms).
ECT masa lampau memberikan gelombang sinus, yang memiliki potensi stimulasi
27

terbatas bergantung pada jumlah energi yang diberikan, dan energi yang tidak
dibutuhkan merusak memori. Saat ini, penggunaan ultra-brief pulse (0,3ms) telah
dilaporkan mengurangi masalah memori. Ke-dua adalah pengenalan adanya
teknik ECT unilateral, yang biasanya tidak menimbulkan keluhan memori
subyektif.
Berikut merupakan hal berkenaan ECT dan memori.
1. Gangguan memori yang mengikuti ECT, dan biasanya hilang dalam beberapa

2.

3.
4.
5.
6.

minggu, bukti menunjukkan bahwa beberapa individu memiliki kesulitan


memori dalam jangka yang lebih panjang.
Stimulus square wave moderen diperkirakan lebih sedikit kemungkinannya
membuat gangguan memori daripada gelombang sinus yang sudah
ditinggalkan. Hal ini dapat diperbaiki lagi dengan pengenalan adanya ultrabrief pulse
ECT unilateral yang berkaitan dengan kesulitan kehilangan memori daripada
ECT bilateral
Mayoritas pasien yang menerima ECT unilateral tidak mengeluhkan adanya
gangguan ingatan.
Jika terjadi gangguan ingatan, lebih sering terjadi pada ingatan yang
impersonal daripada ingatan yang penting
Perlu diingat bahwa depresi dan pengobatan atridepresan juga terkait dengan
kesulitan memori.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran

28

BAB IV
SOAL & JAWABAN

A. Soal
B. Jawaban

29

DAFTAR PUSTAKA

30

Anda mungkin juga menyukai