Anda di halaman 1dari 15

PSIKOFARMAKOLOGI DALAM KETERKAITANNYA

DENGAN PSIKOLOGI KLINIS


( disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Klinis)

Dosen Pembimbing
Dr. Iin Tri Rahayu, M.Si.Psi

Kelas Psikologi Klinis B


Disusun oleh :

1. Haris Su’udi (200401110018)


2. Nurul Solekah (200401110075)
3. Abdul Aziz (200401110143)
4. Putri Faradilla (200401110158)
5. Zahrotul Auliyah (200401110290)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN PELAJARAN 2021
Kata Pengantar
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Psikofarmakologi Dalam
Keterkaitannya Dengan Psikologi Klinis” dengan tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Klinis. Dalam
makalah ini membahas tentang psikofarmakologi dalam kajian psikologi klinis, gangguan
mental dan penggunaan obat-obat psikotropik serta psikofarmakologi dan pengobatan
gangguan jiwa. Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini
dan kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua orang.
Dengan demikian, saran dan kritik yang kami harapkan dari pembaca untuk peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Daftar Isi
Halaman Judul……………………………………………………………………………… I
Kata Pengantar……………………………………………………………………………....II
Daftar Isi……………………………………………………………………………………III
BAB I………………………………………………………………………………………...1
PENDAHULUAN………………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….. 1
BAB II………………………………………………………………………………………..2
ISI…………………………………………………………………………………………2
2.1 Psikologi Dalam Kajian Psikologi Klinis…………………………………………..2
2.2 Ganngguan Mental dan Penggunaan Obat-obat Psikotropik……………………….2
2.3 Psikofarmakologi dan Pengobatan Gangguan Jiwa………………………………...2
BAB III……………………………………………………………………………………….3
PENUTUP………………………………………………………………………………...3
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………….3
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………...4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikofarmakologi adalah standar pengobatan yang digunakan untuk penyakit
yang patofisiologinya berkaitan dengan masalah neurobiologis (Taylor, 2016).
Psikofarmakologi mempelajari obat khusus yang dinamakan obat-obat psikotropik, obat
yang efeknya pada otak, yang memiliki dampak terapeutik langsung pada proses mental.
Psikofarmakologi terdiri dari beberapa kategori diantaranya antiansietas, antidepresan,
penstabil mood, antipsikotik, antiparkinson dan stimulan (Townsend, 2010). Pemberian
jenis obat disesuaikan dengan gejala yang muncul dan berdasarkan ketidakseimbangan dari
setiap neurotransmitter. Pada psikofarmakologi dikhususkan untuk orang yang mengalami
gangguan kesehatan jiwa, Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan, sebagai
perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang
biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu.
Selain itu Ballester dan Frankel juga menyatakan bahwa sebagian besar
neurotransmitter berperan dalam munculnya gejala masalah gangguan jiwa. Dengan
demikian, penanganan masalah gangguan jiwa melalui terapi psikofarmakologi adalah
tepat, karena salah satu etiologi masalah gangguan jiwa adalah neurotransmitter yang
merupakan bagian dari neurobiologis. Kesehatan seseorang selalu dinamis dan berubah
setiap saat serta dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: kondisi fisik, kondisi
perkembangan mental-emosional dan kondisi dilingkungan sosial. Ketidakseimbangan
pada salah satu ketiga faktor tersebut dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan
adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu atau
hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan secara
maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit beberapa pasein meninggalkan gejala sisa
seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenali realitas serta perilaku
kekanak-kanakan yang berdampak pada penurunan produktifitas hidup. Sebagai salah satu
upaya untuk mengurangi penurunan produktifitas maka pada pasien yang dirawat inap
dilakukan upaya rehabilitasi sebelum klien dipulangkan dari rumah sakit.
Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar- besarnya
penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam
hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat.
Sehingga kami sebagai calon psikolog merasa prihatin dan ingin mengurangi gangguan
jiwa yang terjadi pada saat ini. Oleh karena itu kami tertarik mempelajari lebih dalam
tentang apa itu psikofarmakologi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Psikofarmakologi Dalam Kajian Psikologi Klinis

Psikofarmakologi adalah suatu cabang ilmu atau ilmu pengetahuan yang mempelajari
mengenai obat-obatan yang secara khusus berpengaruh terhadap fungsi-fungsi mental dan
perilaku (disebut juga obat psikoaktif). (Suparno, 2008) (Riskasari & Aquarisnawati, 2016).
Obat-obatan ini berfokus pada otak dan saraf-saraf yang mempengaruhi mental dan perilaku
seseorang. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada pasien yang mengidap gangguan
neuropsikologi.
Obat psikotropik (psikotropika, psikofarmaka) merupakan obat yang bekerja secara
selektif pada Susunan Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental
dan perilaku (Mind and Behavior altering drugs), digunakan untuk terapi gangguan Psikiatrik
(Psychotherapeutic Medication). (Riskasari & Aquarisnawati, 2016).
Menurut Olson (1993) dalam (Riskasari & Aquarisnawati, 2016) penyakit jiwa adalah
penyakit neurotransmisi atau penyaluran listrik-kimiawi-listrik antar neuron. Olson
membedakanya ke dalam dua kelompok berdasarkan peristiwa yang menyebabkannya, antara
lain :
1. Karena terlalu banyak neurotransmisi yang dapat disebabkan oleh neuron yang terlalu
mudah terangsang (Hyperexcitable) serta terlalu banyaknya molekul neurotransmitter
pada reseptor pascasinaps (Postsynaptic Receptor).
2. Terlalu sedikit neurotransmisi karena terlalu sedikitnya NT yang di ikat oleh reseptor
pascasinaps (Postsynaptic Receptor).
Psikofarmakologi berperan dalam mengobati penyakit jiwa atau gangguan perilaku yang
disebabkan oleh gangguan atau kelainan secara fisik pada neurotransmiter.

2.2 Gangguan Mental dan Penggunaan Obat-obat Psikotropik

Psikotropika merupakan zat kimia atau obat-obatan yang dapat mengubah fungsi otak
dan mengubah persepsi, suasana hati, kesadaran, pikiran, emosi, dan perilaku seseorang.
Psikotropika adalah kategori obat yang dapat mengobati berbagai kondisi. Psikotropika bekerja
dengan menyesuaikan tingkat neurotransmitter atau dengan cara merangsang susunan saraf
pusat sehingga menyebabkan perubahan pada aktivitas mental, perilaku yang disertasi
halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir seseorang. Selain itu, psikotropika dapat menyebabkan
perubahan perasaan secara tiba-tiba dan menimbulkan kecanduan pada penggunanya.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997, psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika merupakan jenis obat-obatan yang bisa ditemukan
di apotek, namun penggunaan obat ini harus menggunakan resep dokter karena jika obat ini
disalahgunakan dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya seperti merusak organ
tubuh, hingga menyebabkan kematian.Dalam bidang medis, beberapa jenis obat golongan
psikotropika dimanfaatkan untuk pengobatan gangguan mental tertentu, seperti depresi,
gangguan kecemasan, gangguan bipolar, gangguan tidur, dan skizofrenia.

A. Berbagai Golongan Obat Psikotropika


Di Indonesia, obat psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
Golongan I
Zat dan obat psikotropika golongan I merupakan psikotropika dengan daya adiktif atau
efek candu yang sangat kuat. Contoh psikotropika golongan I adalah MDMA/ekstasi, LSD,
dan psilosin.
Psikotropika jenis ini dilarang digunakan untuk terapi dan hanya untuk kepentingan
pengembangan atau penelitian ilmu kedokteran.
Golongan II
Psikotropika golongan II juga memiliki efek candu yang kuat, tetapi bisa digunakan
untuk kepentingan riset dan pengobatan (dalam supervisi dokter). Contoh obat psikotropika
golongan II adalah amfetamin, deksamfetamin, ritalin, dan metilfenidat.
Golongan III
Psikotropika golongan III merupakan psikotropika yang memiliki efek adiksi sedang
dan bisa bisa digunakan untuk penelitian dan pengobatan. Contoh obat-obatan psikotropika
golongan III adalah kodein, flunitrazepam, pentobarbital, buprenorfin, pentazosin, dan
glutetimid.
Golongan IV
Psikotropika golongan IV memiliki daya adiktif atau efek candu ringan dan boleh
digunakan untuk pengobatan. Contoh jenis psikotropika golongan ini adalah diazepam,
nitrazepam, estazolam, dan clobazam. Efek kecanduan yang timbul akibat penggunaan obat
psikotropika bisa berbeda-beda, mulai dari yang ringan hingga menimbulkan ketergantungan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
melarang penggunaan obat-obatan psikotropika tanpa resep dokter.

B. Manfaat Psikotropika secara Medis


Secara medis dan hukum, obat-obatan psikotropika hanya boleh digunakan sesuai resep
dan pengawasan dokter ahli. Obat-obatan tersebut biasanya digunakan untuk mengatasi
berbagai kondisi atau penyakit tertentu, seperti:
 Gangguan mental atau psikologis
 Kejang atau epilepsi
 Penyakit Parkinson
 Gangguan tidur, misalnya insomnia atau narkolepsi
 Sindrom kelelahan kronis
Selain itu, obat psikotropika juga sering kali digunakan sebagai anestesi atau obat bius untuk
mencegah dan mengatasi nyeri berat akibat tindakan medis tertentu, seperti operasi.

C. Dampak Penyalahgunaan Psikotropika


Meski secara hukum dilarang, penggunaan obat psikotropika secara ilegal atau tanpa
indikasi medis yang jelas masih cukup banyak terjadi. Beberapa jenis obat-obatan psikotropika
yang cukup sering disalahgunakan adalah sabu-sabu atau metamfetamin, ekstasi atau
amfetamin, mushroom, LSD, ganja, dan putau. Jika disalahgunakan, obat psikotropika justru
bisa menimbulkan efek samping yang berbahaya, misalnya:
 Gangguan fungsi otak dan jantung
 Rasa kantuk yang berat
 Penurunan kesadaran atau koma
 Mual dan muntah
 Kerusakan ginjal dan liver
 Overdosis
 Infeksi akibat penggunaan jarum suntik yang kotor, misalnya HIV dan hepatitis
Obat-obatan psikotropika juga bisa menyebabkan seseorang lebih berisiko untuk
terkena berbagai penyakit, misalnya penyakit kardiovaskular dan diabetes. Menyalahgunakan
obat psikotropika tidak hanya berbahaya bagi kesehatan tubuh, namun juga bisa menimbulkan
sanksi pidana. Orang yang terbukti menggunakan, mengedarkan, atau menghasilkan obat-
obatan psikotropika secara ilegal bisa dikenai sanksi dan hukuman sesuai dengan perundang-
undangan di Indonesia.
Oleh karena itu, siapa pun disarankan untuk menghindari penggunaan obat psikotropika
tanpa tujuan medis yang jelas agar tidak terkena efek adiksi atau efek samping lainnya dan
tidak berurusan secara hukum dengan pihak yang berwenang. Jika sudah menimbulkan
ketergantungan, pengguna psikotropika harus menjalani rehabilitasi yang diselenggarakan
oleh pemerintah. Dalam program rehabilitasi tersebut, pengguna obat psikotropika akan
menjalani perawatan dan bimbingan dari tim dokter dan terapis agar adiksinya bisa diatasi.

D. Gejala Gangguan Mental


Gejala dan tanda gangguan mental tergantung pada jenis gangguan jiwa yang dialami.
Penderita bisa mengalami gangguan pada emosi, pola pikir, dan perilaku. Beberapa contoh
gejala dan ciri-ciri gangguan mental adalah:
 Waham atau delusi, yaitu meyakini sesuatu yang tidak nyata atau tidak sesuai dengan
fakta yang sebenarnya.
 Halusinasi, yaitu sensasi ketika seseorang melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu
yang sebenarnya tidak nyata.
 Suasana hati yang berubah-ubah dalam periode-periode tertentu.
 Perasaan sedih yang berlangsung hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
 Perasaan cemas dan takut yang berlebihan dan terus menerus, sampai mengganggu
aktivitas sehari-hari.
 Gangguan makan misalnya merasa takut berat badan bertambah, cenderung
memuntahkan makanan, atau makan dalam jumlah banyak.
 Perubahan pada pola tidur, seperti mudah mengantuk dan tertidur, sulit tidur, serta
gangguan pernapasan dan kaki gelisah saat tidur.
 Kecanduan nikotin dan alkohol, serta penyalahgunaan NAPZA.
 Marah berlebihan sampai mengamuk dan melakukan tindak kekerasan.
 Perilaku yang tidak wajar, seperti teriak-teriak tidak jelas, berbicara dan tertawa sendiri,
serta keluar rumah dalam kondisi telanjang.
Selain gejala yang terkait dengan psikologis, penderita gangguan mental juga dapat mengalami
gejala pada fisik, misalnya sakit kepala, sakit punggung, dan sakit maag.

E. Penyebab Gangguan Mental


1. Faktor biologis (atau disebut gangguan mental organik)
 Gangguan pada fungsi sel saraf di otak.
 Infeksi, misalnya akibat bakteri Streptococcus.
 Kelainan bawaan atau cedera pada otak.
 Kerusakan otak akibat terbentur atau kecelakaan.
 Kekurangan oksigen pada otak bayi saat proses persalinan.
 Memiliki orang tua atau keluarga penderita gangguan mental.
 Penyalahgunaan NAPZA dalam jangka panjang, misalnya heroin dan kokain.
 Kekurangan nutrisi.
2. Faktor psikologis
 Peristiwa traumatik, seperti kekerasan dan pelecehan seksual.
 Kehilangan orang tua atau disia-siakan di masa kecil.
 Kurang mampu bergaul dengan orang lain.
 Perceraian atau ditinggal mati oleh pasangan.
 Perasaan rendah diri, tidak mampu, marah, atau kesepian.
Selain faktor psikologis yang telah disebutkan di atas, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) menyatakan bahwa berada pada situasi pandemi, seperti pandemi COVID-19, juga bisa
menjadi faktor pemicu stres yang kemudian membuat orang lebih rentan mengalami gangguan
mental.Stres tersebut dapat berasal dari rasa takut dan khawatir tentang kesehatan, keuangan,
atau pekerjaan, yang banyak terpengaruh akibat pandemi.

F. Diagnosis Gangguan Mental


Untuk menentukan jenis gangguan mental yang diderita pasien, psikiater akan
melakukan pemeriksaan medis kejiwaan dengan mewawancarai pasien atau keluarganya.
Pertanyaan yang akan diajukan meliputi:
 Gejala yang dialami, termasuk sejak kapan gejala muncul dan dampaknya pada
aktivitas sehari-hari.
 Riwayat penyakit mental pada pasien dan keluarganya.
 Peristiwa yang dialami pasien di masa lalu yang memicu trauma.
 Obat-obatan dan suplemen yang pernah atau sedang dikonsumsi.
Guna menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain, dokter akan melakukan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
tes darah. Melalui tes darah, dokter dapat mengetahui apakah gejala pada pasien disebabkan
oleh gangguan tiroid, kecanduan alkohol, atau penyalahgunaan NAPZA.
G. Komplikasi Gangguan Mental
Gangguan mental dapat menyebabkan komplikasi serius, baik pada fisik, emosi,
maupun perilaku. Bahkan, satu gangguan mental yang tidak diatasi bisa memicu gangguan
mental lainnya. Beberapa komplikasi yang bisa muncul adalah:
 Perasaan tidak bahagia dalam hidup.
 Konflik dengan anggota keluarga.
 Kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain.
 Terasing dari kehidupan sosial.
 Kecanduan rokok, alkohol, atau NAPZA.
 Keinginan untuk bunuh diri dan mencelakai orang lain.
 Terjerat masalah hukum dan keuangan.
 Rentan sakit akibat sistem kekebalan tubuh menurun.

H. Jenis Gangguan Mental


1. Depresi
Depresi merupakan gangguan suasana hati yang menyebabkan penderitanya terus-
menerus merasa sedih. Berbeda dengan kesedihan biasa yang berlangsung selama beberapa
hari, perasaan sedih pada depresi bisa berlangsung hingga berminggu-minggu atau berbulan-
bulan.
2. Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan mental yang menimbulkan keluhan halusinasi, delusi,
serta kekacauan berpikir dan berperilaku. Skizofrenia membuat penderitanya tidak bisa
membedakan antara kenyataan dengan pikirannya sendiri.
3. Gangguan kecemasan
Gangguan kecemasan merupakan gangguan mental yang membuat penderitanya
merasa cemas dan takut secara berlebihan dan terus menerus dalam menjalani aktivitas sehari-
hari. Penderita gangguan kecemasan dapat mengalami serangan panik yang berlangsung lama
dan sulit dikendalikan.
4. Gangguan bipolar
Gangguan bipolar adalah jenis gangguan mental yang ditandai dengan perubahan
suasana hati. Penderita gangguan bipolar dapat merasa sangat sedih dan putus asa dalam
periode tertentu, kemudian menjadi sangat senang dalam periode yang lain.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur merupakan perubahan pada pola tidur yang sampai mengganggu kesehatan dan
kualitas hidup penderitanya. Beberapa contoh gangguan tidur adalah sulit tidur (insomnia),
mimpi buruk (parasomnia), atau sangat mudah tertidur (narkolepsi).
I. Pencegahan Gangguan Mental
Tidak semua gangguan mental dapat dicegah. Namun, ada beberapa langkah yang bisa
dilakukan untuk mengurangi risiko serangan gangguan mental, yaitu:
 Tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan dan aktivitas yang disenangi.
 Berbagilah dengan teman dan keluarga saat menghadapi masalah.
 Lakukan olahraga rutin, makan teratur, dan kelola stres dengan baik.
 Tidur dan bangun tidur teratur pada waktu yang sama setiap harinya.
 Coba latihan untuk menenangkan pikiran dan relaksasi, misalnya dengan meditasi dan
yoga
 Jangan merokok dan menggunakan NAPZA.
 Batasi konsumsi minuman beralkohol dan minuman berkafein.
 Konsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter, sesuai dosis dan aturan pakai.
 Segera ke dokter atau psikolog untuk menjalani skrining awal kesehatan mental, atau
bila muncul gejala gangguan mental.

J. Pengobatan Gangguan Mental
Pengobatan gangguan mental tergantung pada jenis gangguan yang dialami dan tingkat
keparahannya. Selain terapi perilaku kognitif dan pemberian obat, dokter juga akan
menyarankan pasien menjalani gaya hidup yang sehat.

K. Terapi perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif adalah jenis psikoterapi yang bertujuan mengubah pola pikir
dan respons pasien, dari negatif menjadi positif. Terapi ini menjadi pilihan utama untuk
mengatasi gangguan mental, seperti depresi, skizofrenia, gangguan kecemasan, gangguan
bipolar, dan gangguan tidur.Pada banyak kasus, dokter akan mengombinasikan terapi perilaku
kognitif dan obat-obatan, agar pengobatan menjadi lebih efektif.

L. Obat-obatan
Untuk meredakan gejala yang dialami penderita dan meningkatkan efektifitas
psikoterapi, dokter dapat meresepkan sejumlah obat berikut:
 Antidepresan, misalnya fluoxetine
 Antipsikotik, seperti aripiprazole.
 Pereda cemas, misalnya alprazolam.
 Mood stabilizer, seperti lithium.

2.3 Psikofarmakologi dan Pengobatan Gangguan Jiwa


Psikofarmakologi adalah studi tentang obat-obatan yang digunakan untuk mengobati
gangguan mental yang mempengaruhi suasana hati, perhatian, perilaku, dan proses berpikir.
Meskipun obat-obat ini sangat bervariasi dalam komposisi dan kemanjurannya, banyak dari itu
bekerja dengan menargetkan neurotransmitter di otak, biasanya dengan merangsang atau
menghambat pelepasan mereka atau menghalangi pengambilan kembali dalam sistem saraf.
Lebih rincinya, psikofarmakologi mengacu pada studi tentang obat-obatan, pharmakon,
yang mempengaruhi manusia keadaan mental, jiwa, dan perilaku. Istilah "penyakit mental",
"gangguan mental", "gangguan psikiatri" dan "penyakit psikiatri" digunakan secara bergantian
selama kursus. Menurut Aliansi Nasional di Penyakit Mental (NAMI), “penyakit mental adalah
kondisi medis yang mengganggu kehidupan seseorang berpikir, merasa, suasana hati,
kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan fungsi sehari-hari. Sama seperti
diabetes adalah gangguan pankreas, penyakit mental adalah kondisi medis yang sering
mengakibatkan berkurangnya kapasitas untuk mengatasi tuntutan kehidupan biasa”. Istilah
"obat psikofarmakologis", "pengobatan psikofarmakologis", "terapi psikofarmakologis", "obat
psikiatri", “obat psikoaktif”, “psikoaktif obat", dan "obat psikotropika" digunakan secara
bergantian di seluruh kursus. Mereka digunakan untuk merujuk pada obat-obatan yang
digunakan untuk mengobati penyakit mental. Selain itu, istilah "perawatan psikiatri" dan
"terapi psikiatri" digunakan bergantian selama kursus. Mereka didefinisikan sebagai intervensi
keseluruhan, klinis dan nonklinis, digunakan untuk memperbaiki penyakit mental.
Bidang psikofarmakologi bukanlah hal baru. Seperti banyak aspek kedokteran, akarnya
kembali ke zaman kuno. Psikofarmakologi sudah ada selama manusia mulai menggunakan zat
psikoaktif dari sumber tumbuhan dan hewan. Awal mulanya dapat dilacak sejauh ini kembali
ke masa ketika pemburu dan pengumpul mengambil jamur ajaib dan ganja bunga untuk
digunakan saat upacara ritual. Sifat-sifat yang mengubah pikiran dari zat-zat ini
membangkitkan wahyu ilahi yang banyak diambil hati. Itu tidak jauh dari mengatakan bahwa
perang suku telah terjadi karena jamur. Banyak yang telah membayar dengan hidup ketika visi
halusinasi memerintahkan pengorbanan manusia. Para penyintas segera membayar harga juga,
dan begitu pula generasi masa depan mereka. Tanpa sepengetahuan mereka, mereka telah
membuka jalan cara bagi upaya pertama umat manusia ke dalam apa yang disebut oleh manusia
modern rata-rata sebagai "obat" “kebiasaan". Ketidaktahuan adalah kebahagiaan, setidaknya
untuk sementara, sebelum ketergantungan psikologis muncul dan merusak "perjalanan".
Psikofarmakologi modern berfokus pada obat-obatan yang secara klinis relevan dengan
modern praktek psikiatri.
Sejarah telah mengajarkan praktisi medis satu pelajaran bahwa mereka pendahulu telah
membayar mahal untuk belajar control, Riset intensif, dan data historis yang didukung oleh
eksperimen ilmiah telah mengarah pada isolasi senyawa aktif dari sumber tumbuhan dan
hewan, berhasil mengidentifikasi entitas kimia tunggal yang membuat masing-masing aktif
secara psikologis. Akibatnya, psikofarmakologi modern dapat membanggakan banyak manfaat
yang aktif ini senyawa menawarkan untuk pasien dan praktisi sama. Mungkin manfaat yang
paling penting adalah kemiripan kontrol yang diberikan versi sintetis dari obat ini kepada
praktisi dan pasien. Isolasi senyawa aktif menetapkan dasar untuk penjelasan strukturalnya dan
akhirnya, sintesisnya di laboratorium. Asosiasi antara keduanya sekarang dikenal sebagai
hubungan struktur-aktivitas (SAR) dan dipelopori oleh Bovet dan rekan di tahun 1930-an
menggunakan obat psikoaktif yang berhubungan dengan antihistamin. Sintetis variasi dari
komponen aktif yang sama memungkinkan para ilmuwan untuk bereksperimen dengan dosis,
rute pemberian serta mengidentifikasi terapi dan efek samping.
Pengetahuan baru ini menyebabkan pembatasan yang lebih ketat dan pada saat yang
sama, kebebasan dan kepercayaan diri yang paradoks untuk bereksperimen dengan
penggunaannya. Kita ambil contoh Cannabis sativa, tanaman yang biasa disebut
gulma . Gulma mengandung -9-tetrahydrocannabinol (THC), komponen psikoaktif utama
yang bertanggung jawab atas sifat halusinogennya. Saat ini, ganja lebih dari sekadar obat
pilihan dukun untuk membangkitkan jiwa, itu telah menjadi molekul penelitian yang popular
di laboratorium. Ada minat luas dalam penggunaannya dalam pengobatan glaukoma, AIDS
wasting, nyeri neuropatik, pengobatan spastisitas yang berhubungan dengan multiple sclerosis,
dan mual akibat kemoterapi.
Meskipun demikian, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) belum menyetujui
penggunaan "ganja medis" di negara ini, meskipun, itu memungkinkan dan membantu dalam
penelitian ilmiah tentang kegunaan medisnya. Saat ini, ada dua cannabinoids yang mendapat
persetujuan FDA yaitu Dronabinol dan Nabilone. Selain itu, American Marijuana Policy
Project merilis hasil uji klinis yang menunjukkan ganja sebagai pengobatan yang menjanjikan
untuk pasien kanker dan AIDS. Dronabinol digunakan dalam anoreksia terkait dengan AIDS.
Seperti banyak bidang ilmiah, selalu ada banyak ruang untuk perbaikan. Mungkin
berabad-abad dari sekarang, obat benar-benar hanya akan membawa manfaat dan
menghilangkan yang negatif aspek sama sekali. Tapi sekali lagi, mungkin tidak lagi pula, obat-
obatan dan ancaman hamper selalu berjalan beriringan. Dalam konteks kesehatan mental, ada
sedikit keraguan bahwa psikofarmakologi merevolusi psikoterapi pada tahun 1960-an. Selain
mereka dengan bentuk penyakit parah yang menimbulkan ancaman bagi masyarakat,
perawatan psikofarmakologis memungkinkan pasien untuk peran aktif dalam pengobatan
mereka.
A. Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa yaitu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang
berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih
fungsi kehidupan manusia.
B. Penyebab dan Faktor Risiko Gangguan Jiwa
Kejadian gangguan jiwa yang terjadi ini dapat ditimbulkan akibat adanya suatu pemicu
dari fungsi afektif dalam keluarga yang tidak berjalan dengan baik. Apabila fungsi afektif ini
tidak dapat berjalan semestinya, maka terjadi gangguan psikologis yang berdampak pada
kejiwaan dari seluruh unit keluarga tersebut.
C. Gejala Gangguan Jiwa
Terdapat beberapa tanda fungsi fisiologi jiwa yang tidak sehat, yaitu :
a. Perasaan tidak nyaman (inadequacy)
b. Perasaan tidak aman (insecurity)
c. Kurang percaya diri
d. Kurang memahami diri
e. Kurang mendapat kepuasan dalam berhubungan sosial
f. Ketidakmatangan emosi
g. Kepribadiannya terganggu
h. Mengalami patologi dalam struktur sistem saraf (thorpe)
D. Diagnosis Gangguan Jiwa
Salah satu tes yang resmi dan dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan jiwa
adalah dengan MMPI-2 (Minnesota Multifase Personality Inventory). Tes MMPI-2 adalah
sebuah alat tes inventori yang berisi banyak pertanyaan dengan option ya dan tidak, tujuannya
adalah untuk mengetahui kepribadian seseorang, terutama gangguan-gangguan psikologis
yang ada di dalam diri seseorang, seperti gangguan anti sosial, gangguan seksual, gangguan
depresi, kebohongan, dsb.
E. Pengobatan Gangguan Jiwa
Pengobatan untuk masalah gangguan mental harus tepat dan sesuai. Terdapat 2
golongan obat yang biasanya digunakan untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu:
1. Obat anti psikotik
Generasi 2 : Hisperidone, olanzapine, quetiapine, clozapine
Generasi 1 : Haloperidol, chlorpromazine, trifluoperazine
2. Obat anti ansietas
Lorazepam, diazepam, alprazolam, clobazam
Obat-obatan harus sesuai dengan resep dokter dan memerlukan kontrol yang baik.
F. Pencegahan Gangguan Jiwa
1. Figur pendukung
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah gangguan jiwa harus dimulai dari
keluarga. Peran dan keterlibatan keluarga dalam proses penyembuhan dan perawatan pasien
gangguan jiwa sangat penting, karena peran keluarga sangat mendukung dalam proses
pemulihan pengidap gangguan jiwa.
2. Perubahan gaya hidup
Menjalani gaya hidup sehat dapat memperbaiki kualitas tidur penderita gangguan
mental maupun jiwa yang juga mengalami gangguan tidur, terutama bila dikombinasikan
dengan metode pengobatan di atas. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:
 Mengurangi asupan gula dalam makanan.
 Memperbanyak makan buah dan sayur.
 Membatasi konsumsi minuman berkafein.
 Berhenti merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol.
 Mengelola stres dengan baik.
 Melakukan olahraga secara rutin.
 Makan cemilan dengan sedikit karbohidrat sebelum tidur.
 Tidur dan bangun di jam yang sama setiap hari.
Jika mengalami gangguan mental atau jiwa yang cukup parah, penderita perlu
menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Demikian juga jika penderita tidak bisa menjalani
perawatan mandiri atau sampai melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri dan
orang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang sudah dibuat, kita dapat mengetahui bahwa psikofarmakologi
adalah ilmu mengenai obat-obatan yang mempengaruhi berbagai macam aktivitas yang
dikendalikan oleh sistem saraf guna mengubah fungsi psikologis dan status kejiwaan. Dan kita
dapat mengetahui bahwa obat-obatan yang digunakan dalam psikofarmakologi adalah obat
dengan jenis psikotropika. Merupakan obat yang efeknya pada otak, memiliki dampak
terapeutik langsung pada proses mental seperti (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, dan kemampuan kognitif melemah).
DAFTAR PUSTAKA
Riskasari, W., dan Aquarisnawati, P. (2016). PSIKOLOGI KLINIS KELAUTAN (Kasus-
kasus Terkait Dalam Bidang Klinis)

Jouria, Jassin M. (2014). PSYCHOPHARMACOLOGY : A COMPHREHENSIVE REVIEW

Anda mungkin juga menyukai