Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KEPERAWATAN JIWA

"Peran Perawat Dalam Psikofarmaka”

OLEH :

Liwa Unnasari (183110259)

Melia Engla Putri (183110260)

Muhammad Fadhan Jonaf (183110261)

Nabilah Fitri (183110262)

Namira Syabadilla (183110264)

Nurul Qamaria (183110265)

Prettyssa Nandelto (183110266)

Kelas : II C

Dosen Pembimbing :

Happi sasmita, SKp.M.KEP.Sp Jiwa

D-III KEPERAWATAN PADANG

POLITEKNIK KESEHATAN PADANG

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana.Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman dalam menuntut ilmu.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan juga
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang.Oleh Karena itu kami harapkan untuk memberikan masukan-masukan yang
bersikap membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Padang , Februari 2020

Kelompok

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................

Daftar Isi ..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................

1.2 Tujuan Rumusan Masalah...........................................................................

1.3 Metode Penulisan ........................................................................................

1. 4 Sistematika
Penulisan........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Psikofarmaka......................................... ……………………………...

2.2 Klasifikasi Psikofarmaka…....…................................................................. ……….

2.3 Peran Perawat dalam Memberikan


obat...................................................................................

2.4 Cara Penggunaan Obat Psikofarmaka.....................................................................

2.5 Evakuasi Pemberian Obat..........................................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .......................................................................................................

B. Saran..................................................................................................................

Daftar Pustaka ......................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan
keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa
terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu.
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kondisi fisik (somatogenik), kondisi
perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi dilingkungan sosial
(sosiogenik). Ketidakseimbangan pada salah satu dari ketiga faktor tersebut dapat
mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang enyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan
penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.
WHO memperkirakan saat ini di seluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami
gangguan jiwa, di Indonesia sendiri pada tahun 2006 diperkirakan 26 juta penduduk
Indonesia mengalami gangguan jiwa dengan ratio populasi 1:4 penduduk.
Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah
menjadi pasien rumah sakit jiwa. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara
maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan
gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenai realitas,
serta prilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penuruna produktifitas hidup.
Hal ini ditunjang dengan data Bank Dunia pada tahun 2001 di beberapa Negara
yang menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted
Life Years (DALY’s) sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh
masalah kesehatan jiwa. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan
produktifitas maka pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum
klien dipulangkan dari rumah sakit. Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan
mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal
dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa
berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna.
Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan oleh multi profesi yang terdiri dari dokter,
perawat, psikolog, sosial worker serta okupasi terapis yang memiliki peran dan
fungsi masing-masing.

1.2 Tujuan Penulisan


  a. Tujuan Umum
                  1. Mahasiswa mampu berfikir kritis dan analisis dalam memahami peran
perawat dalam terapi psikofarmaka
                 b. Tujuan Khusus
            1. Mahasiswa memahami pengertian psikofarmaka
            2. Mahasiswa memahami klasifikasi obat-obatan psikofarmaka
            3. Mahasiswa memahami peran perawat dalam pemberian obat

1.3 Metode Penulisan


            Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu
dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi
kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun internet.

1.4 Sistematika Penulisan


            Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan
Bab II : Pembahasan terdiri dari pengertian psikofarmaka, klasifikasi obat-obatan
psikofarmaka dan peran perawat dalam psikofarmaka
Bab III : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Psikofarmaka


            Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk klien dengan
gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat
Neuroleptik (bekerja pada sistem saraf). Pengobatan pada gangguan mental bersifat
komprehensif, yang meliputi :
1. Teori biologis (somatik). Mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro
Convulsi Therapi (ECT).
2. Psikoterapeutik
3. Terapi Modalitas
            Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management psikoterapi.
Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka. Beberapa hal yang termasuk
Neurotransmitter adalah Dopamin, Neuroepineprin, Serotonin, dan GABA (Gama
Amino Buteric Acid), dll. Meningkatnya dan menurunnya kadar/konsentrasi
neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental. Obat-obatan
psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan Neurotransmitter.
2.2 Klasifikasi
            Menurut Rusdi Maslim, yang termasuk obat-obatan psikofarmaka adalah
golongan :
A. Anti Psikotik
·         Anti psikotik termasuk golongan Mayor Transquilizer atau Psikotropik :
Neuroleptika
·         Mekanisme kerja : menahan kerja reseptor Dopamin dalam otak (di ganglia)
pada sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal
·         Efek farmakologi : sebagai penenang, menurunkan aktifitas motorik,
mengurangi insomnia, sangat efektif mengatasi Delusi, Halusinasi, Ilusi dan
gangguan proses berpikir
·         Indikasi pemberian anti psikototik : pada semua jenis psikosa, kadang untuk
gangguan maniak dan paranoid.
·         Efek samping pada anti psikotik : efek samping pada sistem syaraf
B. Anti Depresi
·          Hipotesis : Sindroma depresi disebabkan oleh defisiensi salah satu atau
beberapa aminergic neurotransmitter seperti Noradrenalin, Serotonin, Dopamin pada
sinaps neuron di SSP, khususnya pada sistem Limbik.
·       Mekanisme kerja obat :
a. Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik neurotransmitter
b. Menghambat reuptake aminergik neurotransmitter
c. Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase)
mehingga terjadi peningkatan jumlah aminergik neurotransmitter pada neuron
SSP
·         Efek farmakologi : mengurangi gejala depresi dan sebagai penenang.
·         Jenis obat yang digunakan adalah :
a. Trisiklik
b. MAO Inhibitor
c. Aminitriptylin
·         
Efek samping : yaitu efek samping Kolonergik (efek samping terhadap sistem syarat
perifer) yang meliputi mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi.

C. Anti Mania (Lithium Carbonate)

·         Mekanisme kerja : menghambat pelepasan Serotonin dan mengurangi sensitivitas


dari reseptor Dopamin.
·       Hipotesa : pada mania terjadi peluapan aksi reseptor amine
·       Efek farmakologi : mengurangi agresivitas, tidak menimbulkan efek sedative,
mengoreksi/mengontrol pola tidur, irritable. Pada mania dengan kondisi berat
pemberian anti mania dikombinasikan dengan obat anti psikotik
·         Efek samping : efek neurologik ringan seperti kelelahan, letargis, tremor di tangan,
terjadi pada awal terapi dapat juga terjadi diare dan mual.
·        Efek toksik : pada ginjal (poliuri, edema), peningkatan jumlah litium, sehingga
menambah keadaan edema. Sedangkan pada SSP (tremor, kurang koordinasi,
nistagmus dan disorientasi
D. Anti Cema :Termasuk Minor Transquilizer. Jenis obat antara lain Diazepam
E. Anti Insomnia : Phenobarbita
F. Anti Obsesif-Kompulsif : Clomipramin
G. Anti Panik, yang paling sering digunakan oleh klien jiwa : Imipramine

2.3 Peran Perawat Dalam Pemberian Obat

1. Pengumpulan data sebelum pengobatan yang meliputi :


a. Diagnosa Medis
           b. Riwayat Penyakit
           c. Hasil Pemeriksaan Lab
           d. Jenis obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian
           e. Program terapi yang lain
           f. mengkombinasikan obat dengan terapi Modalitas
g. Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga tentang pentingnya minum
obat secara teratur dan penanganan efek samping obat
h. Monitoring efek samping penggunaan obat

2. Melaksanakan Prinsip Pengobatan Psikofarmaka


            a. Persiapan
                        1. Melihat order permberian obat di lembaran obat (status)
2. Kaji setiap obat yang akan diberikan. Termasuk tujuan, cara kerja
obat, dosis, efek samping obat dan cara pemberian
3. Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang obat
4. Kaji kondisi klien sebelum pengobatan
            b. Lakukan minimal prinsip lima benar
           

c. Laksanakan program pemberian obat


                       1. Gunakan pendekatan tertentu
                       2. Pastikan bahwa obat telah terminum
                        3. Bubuhkan tanda tangan pada dokumentasi pemberian obat,
sebagai aspek legal
           a. Laksanakan program pengobatan berkelanjutan melalui program rujukan
           b. Menyesuaikan dengan terapi non famakoterapi
           c. Turut serta dalam penelitian tentang obat psikofarmaka
            Setelah seorang perawat melaksanakan terapi psikofarmaka maka tugas
terakhir yang penting harus dilakukan adalah evaluasi. Dikatakan reaksi obat efektif
jika :
            a. Emosional stabil
            b. Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat
            c. Halusinasi, Agresi, Delusi, menarik diri menurun
            d. Prilaku mudah diarahkan
            e. Proses berpikir kea rah logika
            f. Efek samping Obat
            g. Tanda-tanda Vital
            Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi
psikofarmaka yang tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai salah satu
bagian dari pendekatan holistik pada asuhan pasien. Peran perawat meliputi hal-hal
sebagai berikut :
1. Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberi landasan pandangan
tentang masing-masing pasien.
2. Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai
terapi pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien
3. Pemberian agen psikofarmakologis. Program pemberian obat dirancang
secara professional dan bersifat individual
4. Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun efek
samping yang dapat dialami pasie
5. Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan
aman dan efektif
6. Program Rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien di suatu
tatanan perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
7. Partisipasi dalam penelitian klinis antar disiplin tentang uji coba obat.
8. Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang
digunakan untuk mengobati pasien gangguan ji
9. Kewenangan untuk memberi resep

2.4 Cara Penggunaan Obat Psikofarmaka


Perawat harus memahami 5 prinsip benar dalam pemberian obat psikofarmaka seperti jenis,
manfaat, dosis, cara kerja obat dalam tubuh, efek samping, cara pemberian, kontra indikasi.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai cara pemberian obat psikofarmaka.

1. Obat anti-psikosis

Pada dosis ekivalen semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (klinis) yang sama,
perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping). Pemilihan jenis obat antipsikosis
harus mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Penggantian
obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat anti-psikosis tertentu sudah sudah
diberikan dalam dosis optimal dan dalam jangka waktu yang memadai tetapi tidak
memberikan efek yang optimal maka dapat diganti dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya
dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen, dimana profil efek samping belum
tentu sama. Apabila klien memiliki riwayat penggunaan obat anti-psikosis yang terbukti
efektif dan efek samping obat mampu ditolerir dengan baik maka obat tersebut dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang.

Dengan dosis yang efektif, onset efek primer didapatkan setelah 2-4 minggu pemberian obat,
sedangkan efek sekunder (efek samping) sekitar 2-6 minggu. Waktu paruh obat anti-psikosis
adalah 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari). Dosis pagi dan malam bisa berbeda untuk
mengurangi dampak dari efek samping (dosisi pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga
kualitas hidup klien tidak terganggu.

Dosis awal diberikan dalam dosis kecil, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari hingga dosis
efektif (mulai timbul peredaan sindrom psikosis). Evaluasi dilakukan setiap 2 minggu dan
bila diperlukan dosis dinaikkan hingga mencapai dosis optimal, dan dosis pemberian
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi).Pemberian obat dengan dosis efektif
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun. Setelah waktu tersebut dosis diturunkan tiap 2-4
minggu dan stop.

Pemberian obat anti-psikosis yang bersifat “long acting” sangat efektif diberikan pada klien
yang tidak mau atau sulit minum obat secara teratur ataupun yang tidak efektif terhadap
medikasi oral. Sebelum penggunaan secara parenteral sebaiknya pemberian obat dilakukan
secara oral terlebih dahulu dalam beberapa minggu, hal ini bertujuan untuk mengetahui
apakah terdapat efek hipersensitivitas. Pemberian obat anti-psikosis “long acting” hanya
diberikan pada klien skizoprenia yang bertujuan untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan.
Kontra indikasi penggunaan obat anti-psikosis adalah penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,
kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol, penyakit susunan saraf pusat
(parkinson, tumor otak), gangguan kesadaran.

2. Obat anti-depresi

Pada dasarnya semua obat anti-depresi mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada
dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping). Pemilihan jenis obat
anti-depresi tergantung pada toleransi klien terhadap efek samping dan penyesuaian efek
samping terhadap kondisi klien (usia, penyakit fisik tertentu, jenis depresi).

Sangat perlu mempertimbangkan efek samping penggunaan obat golongan ini, terutama
penggunaan pada sindrom depresi ringan dan sedang. Berikut ini adalah urutan penggunaan
obat anti depresi untuk meminimalisir efek samping langkah pertama pemberian obat
golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), langkah kedua golongan trisiklik,
langkah ketiga golongan tetrasiklik, golongan atipikal, golongan MAOI dan inhibitor
monoamine okside (MAOI) reversible.

Penggunaan litium dianjurkan untuk “unipolar recurrent depression” penggunaan obat


golongan ini bertujuan untuk mencegah kekambuhan, sebagai “mood stabilizer”. Pemberian
Dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer sekitar 2-4 minggu, onset efek skunder
sekitar 12-24 jam, dan waktu paruh 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).

Dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal diberikan malam hari (single dose one hour
before sleep)terutama untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Golongan SSRI diberikan
dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan pagi. Pemberian obat anti-depresi dapat
dilakukan dalam jangka panjang oleh karena potensial adiksinya sangat minimal. Kontra
indikasi pemberian obat anti-depresi adalah penyakit jantung koroner, MCI (myocard infark,
khususnya pada usia lanjut); glaucoma, retensi urine, hipertropi prostat, gangguan fungsi hati,
epilepsy; Sedangkan kontra indikasi penggunaan obat litium adalah kelainan fungsi jantung,
ginjal dan kelenjar tiroid.

3. Obat anti-mania

Haloperidol (IM) merupakan obat indikasi klien mania akut dikombinasikan dengan tablet
litium carbonate. Haloperidol diberikan untuk mengatasi hiperaktivitas, impulsivitas,
iritabilitas, dengan “onset of action” yang cepat. Pada pemberian litium karbonat, efek
antimania baru muncul setelah penggunaan 7-10 hari. Pada gangguan afektif bipolar (manik
depresif) dengan serangan episodic mania/depresi, penggunaan litium karbonat sebagai obat
profilaksi terhadap serangan sindrom mania/depresi dapat mengurangi frekuensi, berat dan
lamanya kekambuhan. Carbamazepin sebagai pengganti litium karbonat dapat diberikan jika
efek samping tidak bias ditolerir dan kondisi fisik yang tidak memungkinkan.

Untuk mencegah kekambuhan, pada gangguan afektif unipolar dapat diberikan obat anti-
depresi SSRI yang lebih ampuh dari litium karbonat. Pemberian dosis perlu
mempertimbangkan onset efek primer 7-10 hari (1-2 minggu), rentang kadar serum terapeutik
0,8-1,2mEq/L (dicapai dengan dosis sekitar 2 atau 3 kali 500 mg per hari) dan kadar serum
toksik diatas 1,5 mEq/L. Litum karbonat harus diberikan hingga 6 bulan, walaupun gejala
mereda. Pemberian obat dihentikan secara gradual bila memang tidak ada indikasi lagi.

Pada gangguan afektif bipolar dan unipolar, penggunaan harus diteruskan sampai beberapa
tahun, sesuai dengan indikasi profilaksis serangan sindrom mania/depresi. Penggunaan obat
jangka panjang sebaiknya dalam dosis minimum dengan kadar serum litium terendah yang
masih efektif untuk terapi profilaksis. Pemberian litium karbonat tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, karena dapat melewati sawar plasenta yang akan mempengaruhi kelenjar tiroid.

4. Obat anti-ansietas

Golongan benzodiazepine merupakan obat anti ansietas yang sangat efektif karena memiliki
khasiat yang sangat tinggi dan efek adiksi serta toksisitas yang rendah, dibandingkan dengan
meprobamate atau phenobarbital. Benzodiazepin adalah obat pilihan dari semua obat yang
mempunyai efek anti-ansietas, disebabkan spesifikasi, potensi, dan keamanannya. Dosis obat
efektif bila kadar obat dalam darah dengan ekskresi obat seimbang. Kondisi ini tercapai
setelah 5-7 hari dengan dosis 2-3 kali per hari.
Pemberian obat dimulai dari dosis awal (dosis anjuran), selanjutnya dosis dinaikkan setiap 3-
5 hari sampai mencapai dosis optimal, dan dosis dipertahankan selama 2-3 minggu,
selanjutnya dosis diturunkan 1/8 x setiap 2-4 minggu sampai dosis minimal yang efektif.
Apabila terjadi kekambuhan dosis obat dapat dinaikan kembali dan bila efektif dosis
dipertahankan hingga 4-8 minggu selanjutnya diturunkan secara gradual.

Lama pemberian obat pada sindrom ansietas yang disebabkan faktor situasi eksternal,
pemberian obat tidak boleh melebihi waktu 1-3 bulan. Pemberian sewaktu-waktu dapat
dilakukan apabila sindrom ansietas dapat diantisipasi kejadiannya. Klien dengan
hipersensitivitas terhadap benzodiazepine, glaucoma, myasthenia grafis, insufisiensi paru
kronis, penyakit renal kronis dan penyakit hepar kronis merupakan kontra indikasi pemberian
obat anti-ansietas.

5. Obat anti-insomnia

Pemilihan obat ini disesuaikan dengan jenis gangguan tidur, bila sulit masuk ke dalam proses
tidur maka obat yang dibutuhkan adalah golongan benzodiazepine short acting; bila proses
tidur terlalu cepat berakhir dan sulit untuk masuk kembali ke proses tidur selanjutnya maka
obat yang dibutuhkan adalah golongan heterosiklik anti-depresan (trisiklik dan tetrasiklik);
bila siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian,
maka obat yang dibutuhkan adalah golongan Phenobarbital atau golongan benzodiazepine
long acting.

Pengaturan dosis, pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum tidur. Dosis awal
dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu,
kemudian secepatnya diturunkan secara gradual untuk mencegah timbulnya rebound dan
toleransi obat. Penggunaan obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih
dari 2 minggu agar resiko ketergantungan kecil. Kontra indikasi penggunaan obat anti
insomnia adalah “sleep apnoe syndrome”, “congestive heart failure”, dan "chronic respiratory
disease”.

6. Obat anti-obsesif kompulsif

Sampai saat ini, clomipramine masih merupakan obat yang paling efektif dari kelompok
trisiklik untuk pengobatan obsesif kompulsif. Dan merupakan pilihan utama pada terapi
gangguan depresi yang menunjukkan gejala obsesif. Selain itu SSRI juga merupakan pilihan
untuk pengobatan gangguan obsesif kompulsif bila ada hipersensitivitas dengan trisiklik.
Pemberian pertama dilakukan dalam dosis rendah untuk penyesuaian efek samping, namun
dosis obat ini umumnya lebih tinggi dari dosis anti-depresi. Dosis pemeliharaan diberikan
dengan dosis yang lebih tinggi meskipun sifatnya individual.

Penghentian pemberian obat ini harus dilakukan secara gradual agar tidak terjadi
kekambuhan dan memberikan kesempatan untuk menyesuaikan diri. dengan maksimal lama
pemberian 2-3 bulan. Meskipun respon terhadap pengobatan sudah terlihat dalam 1-2 minggu
dengan dosis antara 75-225 mg/hari, tetapi lama pemberian obat ini antara tidak boleh
melebihi, untuk mendapatkan hasil yang memadai setidaknya diperlukan waktu 2-3 bulan.
Batas lamanya pemberian obat bersifat individual, umumnya diatas 6 bulan sampai tahunan,
kemudian dihentikan secara bertahap bila kondisi klien sudah memungkinkan. Obat anti-
obsesif kompulsif kontra indikasi diberikan pada wanita hamil atau menyusui.
7. Obat anti-panik

Semua jenis obat anti-panik (trisiklik, benzodizepin, RIMA, SSRI) sama efektifnya guna
menanggulangi sindrom panik pada taraf sedang dan pada stadium awal dari gangguan panik.
Pengaturan dosis pemberian obat anti-panik adalah dengan melihat keseimbangan antara efek
samping dan khasiat obat. Mulai dengan dosis rendah, secara perlahan-lahan dosis dinaikkan
dalam beberapa minggu untuk meminimalkan efek samping dan mencegah terjadinya
toleransi obat.

Dosis efektif biasanya dicapai dalam waktu 2-3 bulan. Dosis pemeliharaan umumnya agak
tinggi, meskipun sifatnya individual. Lama pemberian obat bersifat individual, namun pada
umunmya selama 6-12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila
kondisi klien sudah memungkinkan. Ada beberapa klien yang memerlukan pengobatan
bertahun-tahun untuk mempertahankan bebas gejala dan bebas dari disabilitas. Obat ini
kontra indikasi diberikan pada wanita hamil atau menyusui.

2.5 Evaluasi Pemberian Obat Psikofarmaka

Evaluasi pemberian obat harus terus menerus perawat lakukan untuk menilai efektivitas obat,
interaksi obat maupun efek samping pemberian obat. Berikut ini evaluasi yang harus
dilakukan:

Pemberian obat jenis benzodiazepine, nonbenzodiazepin, antidepresan trisiklik, MAOI,


litium, antipsikotik. Benzodiazepin pada umumnya menimbulkan adiksi kuat kecuali jika
penghentian pemberiannya dilakukan dengan tapering bertahap tidak akan menimbulkan
adiksi. Penggunaan obat ini apabila dicapur (digunakan bersamaan) dengan obat barbiturate
atau alcohol akan menimbulkan efek adiksi. Monitoring timbulnya efek samping seperti
sedasi, ataksia, peka rangsang, gangguan daya ingat.

Penggunaan obat golongan nonbenzodiazepin memiliki banyak kerugian seperti terjadi


toleransi terhadap efek antiansietas dari barbiturate, lebih adiktif, menyebabkan reaksi serius
dan bahkan efek lethal pada gejala putus obat, berbahaya jika obat diberikan dalam dosis
yang besar dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat, serta menyebabkan efek samping
yang berbahaya.

Golongan antidepresan trisiklik dapat menjadi letal bila diberikan dalam dosis yang besar
karena efek obat menjadi lebih lama (3-4 minggu), obat ini relatif aman karena tidak
memiliki efek samping jika digunakan dalam jangka waktu yang lama jika diberikan dalam
dosis yang tepat. Efek samping menetap dapat diminimalkan dengan sedikit menurunkan
dosis, obat ini tidak menyebabkan euphoria, dapat diberikan satu kali dalam sehari. Tidak
mengakibatkan adiksi tetapi intoleransi terhadap vitamin B6.

Penggunaan litium dapat menimbulkan toksisitas litium yang dapat mengancam jiwa.
Perawat harus memantau kadar litium dalam darah. Jika pemberian litium tidak menimbulkan
efek yang diharapkan, obat ini dapat dikombinasi dengan obat anti depresan lain. Perlunya
pendidikan kesehatan untuk klien mengenai cara memantau kadar litium.

Penggunaan anti psikotik harus mempertimbangkan pedoman sebagai berikut bahwa dosis
anti psikotik sangat bervariasi untuk tiap individu. Dosis diberikan satu kali sehari, efek
terapi akan didapatkan setelah 2-3 hari tetapi dapat sampai 2 minggu. Pada pengobatan
jangka panjang, perlu dipertimbangkan pemberian klozapin setiap minggu untuk memantau
penurunan jumlah sel darah putih.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Salah satu somatik terapi (terapi fisik) pada klien gangguan jiwa adalah
pemberian obat psikofarmaka. Psikofarmaka adalah sejumlah besar obat
farmakologis yang digunakan untuk mengobati gangguan mental. Obat-obatan yang
paling sering digunakan di Rumah Sakit Jiwa adalah Chlorpromazine, Halloperidol,
dan Trihexypenidil. Obat-obatan yang diberikan selain dapat membantu dalam
proses penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga mempunyai efek samping
yang dapat merugikan klien tersebut, seperti pusing, sedasi, pingsan, hipotensi,
pandangan kabur dan konstipasi. Untuk menghindari hal tersebut perawat sebagai
tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus
mampu mengimbangi terhadap perkembangan mengenai kondisi klien terutama efek
dari pemberian obat psikofarmaka.
            Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa
Pusat Bandung, ternyata perawat tidak melakukan asuhan keperawatan pemberian
obat secara tepat, misalkan : Perawat hanya memanggil klien satu persatu tanpa
cek kondisi umum klien, misal pemeriksaan tekanan darah, dan lain-lain.

3.2 Saran
            Perawat jiwa yang ada di rumah sakit (rumah sakit jiwa, rumah sakit umum,
panti kesehatan jiwa, yayasan yang merawat pasien gangguan jiwa), pengajar
keperawatan jiwa di sekolah keperawatan, perawat jiwa yang ada di struktur
departemen kesehatan dan dinas kesehatan diharapkan bersatu padu untuk
menyuarakan kesehatan jiwa pada setiap kesempatan mulai dari sekarang pada
setiap orang yang ditemui. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa advokasi dan
action.

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. dkk.2007. Advance Course Community Mental Health


Nursing.Manajemen Community Health Nursing District Level: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai