Anda di halaman 1dari 8

A.

Pendahuluan
Terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik atau “good governance”
merupakan ‘impian’sekaligus harapan semua bangsa di dunia. Pandangan tersebut dapat
dimengerti karena melalui pelaksanaan good governance, upaya penciptaan aparatur
pemerintah yang bersih, bebas dari tindakan yang tidak terpuji serta tidak berpihak pada
kepentingan masyarakat diharapkan dapat diwujudkan secara nyata.

Selain itu, pelaksanaan good governance juga akan bersentuhan atau berkaitan dengan
upaya untuk meningkatkan kinerja birokrasipemerintah yang kemudian berujung pada
peningkatan kualitas pelayanan publik. Oleh sebab itu, pelaksanaan good governance
sudah selayaknya menjadi komitmen semua untuk mewujudkannya. Sudah tidak pada
tempatnya jika masih ada sebagian pihak yang ‘berhasrat’ untuk menunda-
nundapelaksanaan good governance tersebut, baik di tingkat pusat maupun daerah (lokal).
Penundaan atau keterlambatan dalam menterjemahkan konsep good governance secara
nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di lingkungan birokrasi
pemerintah, hanya akan menambah beban dan penderitaan bagi masyarakat.
Istilah ‘good governance’ di Indonesia kembali mengemuka atau sejalan dengan
merebaknya arus reformasi yang di motori oleh kalangan mahasiswa dan kaum
intelektual. Konsep tersebut kemudian merambah keberbagai dimensikehidupan,
termasuk di kalangan aparatur negara yang dianggap sebagai ujung tombak dari
pelaksanaan pemerintah.

B. Pengertian dan Unsur Utama Kepemerintahan Yang Baik


Menurut Ganie & Rochman (2000 : 142) governance diterjemahkan sebagai
“mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi da sosial yang melibatkan pengaruh
sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif”. Sedangakn Pinto
dalam Nisjar (1997 : 119) mengartikan governance sebagai “praktek penyelengaraan
kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam penelolaan urusan pemerintah secara
umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya”. Sejalan dengan pengertian tersebut,
LAN RI (2000 ; 5) mengartikan governance sebagai “proses penyelenggaraan kekuasaan
negara dalam melaksanakan penyediaan public good and servise). Pengertian yang lebih
spesifik dikemukakan oleh UNDP (1996) yang menterjemahkan good governance
sebagai berikut : “governance can be seen as the exercise of outhority to manage all
aspects of a country’s affair at all levels in all spheres (public, private, civil) … it
comprisee the mechanisms, proces.
Berbagai pengertian di atas mengisyaratkan bahwa konsep good
governance sesungguhnya sangat berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan dan
kewenangan negara baik dalam sektor ekonomi, sosial, pelayanan publik, maupun
layanan privar (pribadi). Kemudian secara fungsional pelaksanaan good governance tidak
hanya melibatkan sektor pemerintah semata, tetapi juga melibatkan masyarakat dan
swasta. Oleh sebab itu, munculnya konsep tersebut sebenarnya dibangun atas dasar
faktasebagai berikut : pertama, adanya korelasi positif antara dinamika dan kinerja
pembangunan sumber daya manusia dengan kualitas governance, seperti yang
ditunjukkan oleh suksesnya negara-negara maju. Kualitas governance yang baik ternyata
menghasilkan kinerja pembangunan yang baik dan sustainable. Kedua, kebijakan dan
instrumen yang dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial
belakangan ini pada kenyataan belum mampu menunjukkkan hasil yang maksimal.
Menguatnya fenomena kemiskinan dan ketimpangan sosial, terpuruknya perekonomian
dan krisis politik yang berkepanjangan, menunjukkkan rendahnya kinerja dan buruknya
perilaku aparatur dalam menerjemahkan pelayanan yang diberikan pada masyarakat.
Dengan demikian, mengembangkan kapasitas dan mewujudkan good
governance merupakan instrumen utama untuk mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Tantangan bagi semua masyarakat dewaa ini adalah
bagaimana mewujudkan sistem governance yang mampu merealisasikan terwujudnya
kemakmuran semua orang serta mengantisipasi dampak negatif dari perbuatan korupsi
yang diduga kuat melibatkan sejumlah pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Urgensi untuk mewujudkan good governance bukan hanya dipandang cocok
untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, tetapi juga sangat relevan dengan
kebutuhan untuk proses pemulihan, stabilitas ekonomi dan krisis politik yang kia
memburuk serta rendahnya kinerja dan pelayanan publik. Itulah sebabnya, dalam
pelaksanaan good governance pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus
melibatkan berbagai pihak, baik masyarakat maupun kalangan swasta. Pendapat tersebut
sejalan dengan pandangan Taschereau dan Compos (UNDP), 1997) juga menyatakan
bahwa “Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya
proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling
mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yaitu Government, Civil Society, dan
Business”.
Jadi tiga unsur istilah (Government, Pivate Sector dan Civil Society) yang menjadi
komponen pelaku dalam negara, untuk menciptakan suatu sinergi sehingga tercipta suatu
kesejahteraan dalam masyarakat. Negara berfungsimenciptakan lingkungan politikdan
hukum yang kondusif, sektor swasta mendorong terciptanya lapangan kerja dan
pendapatan masyarakat, sedangkan masyarakat sendiri mewadahi interaksi sosial politik
dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Itulah sebabnya
Miftah Thoha (2000) mengaris bawahi bahwa prinsip demokratis yang melekat pada good
governance meletakkan urgensi untuk menempatkan kekuasaan ditangan rakyat bukan
ditangan penguasa. Kemudian, tidak adanya rasa takut untuk memasuki suatu
perkumpulan atau serikat sesuai dengan kebutuhan hati nurani, dan terakhir dihargainya
moral perbedaan pendapat.
Sejalan dengan pemikiran, Riyaas Rasid dan Mostopadidjaja (2002) menempatkan
aparatur pemerintah sebagai ujung tombak penyelenggaraan good governance yang
bersih dari KKN tampaknya perlu juga ditelusuri sampai sejauh mana bahaya perbuatan
kolusi, korupsi dan nepotisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat
penting untuk dikaji mengingat perbuatan tersebut sangat inheren dengan perilaku
aparatur itu sendiri.
Sejalan dengan pandangan di atas, UNDP (1996) mengemukakan tiga unsure utama
(domains) yang perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good
governance), yakni the state (Negara), the private sector (sektor swasta), dan civil society
organizations (organisasi kemasyarakatan).
Secara fungsional tugas terpenting negara di masa yang akan datangadalah bagaimana
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, melalui peningkatan kinerja birokrasi
pemerintahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Selain itu, negara harus mampu
mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan seraya melakukan penataan
ulang terhadap berbagai sektor yang mendukung terhadap pembangunan kualitas sumber
daya manusia. Berbagai sektor yang dimaksud antara lain ; sektor ekonomi, politik,
sosial, budaya, hukum, pertahanan, insfrastruktur, penguatan demokrasi, desentralisasi,
dan lain-lain.
Pemerintah (Negara) memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam
melakukan penataan dan mengintegrasikan berbagai sektor sebagaimana dijelaskan di
atas, selain itu, pemerintah juga harus mampu mengupayakan perlindungan terhadap
masalah lingkungan terhadap masalah lingkungan, yang selama ini masih terabaikan.
Dalam konteks pelaksanaan good governance, sektor swasta jelas memiliki peran
yang sangat besar dan strategis, karena tanpa adanya keterlibatan pihak swasta, agaknya
sulit bagi pemerintah bahkan tidak mungkin untuk dapat melaksanakan konsep good
governance secara optimal. Salah satu peran penting sektor swasta dalam mendukung
terwujudnya konsep good governance adalah keterlibatan dalam sektor ekonomi, tentu
saja dengan tidak mengabaikan sektor-sektor lainnya, seperti lingkungan hidup, sektor
sosial, budaya dan lain-laain. Namun, pendekatan ekonomi ini tampaknya merupakan
salah satu pilar penting bagi pemerintah (Negara) dalam mendorong pembangunan
ekonomi bangsa, baik menyangkut investasi, pemasaran, maupun produksi, sehingga
pada akhirnya diharapkan mampu mendorong pembangunan ekonomisecara nasional.
Seperti halnya sektor Negara dan swasta organisasi kemasyarakatan (civil society
organizations) pun tampaknya tidak boleh dipandang sebelah mata dalam mendukung
terwujudnya good governance. Secara fungsional, organisasi kemasyarakatan berperan
dalam memfasilitasi insteraksi sosial, politik, ekonomi, hukum, lingkungan hidup maupun
sektor lainnya. Selain itu, organisasi kemasyarakatan juga berperan dalam melakukan
“check and balance” terhadap kewenangan dan kekuasaan pemerintah (Negara) dalam
menjalankan tugasnya serta aktifitas sektor swasta yang berkaitan dengan masalah
kepentingan public. Peran lain yang juga bisa dimainkan oleh organisasi kemasyarakatan
dalam konteks pelaksanaan good governance adalah menyalurkan partisipasi masyarakat
trkait dengan aktivitas sosial, ekonomi, politik, hukum, lingkungan hidup,
ketenagakerjaan dan lain-lain. Intinya, organisasi kemasyarakatan juga dapat berperan
dalam memberikan kontribusi pemikiran dan penekan dalam mempengaruhi kebijakan
yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.
Dengan demikian, good governance merupakan sistem yang memungkinkan
terjadinya mekanisme penyelenggaraan pemerintah negara yang evisien dan efektif
dengan menjaga sinergi yang konstruktif diantara pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat.

C. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik


Good governance, esensinya adalah pemerintahan yang mengikutsertakan semua
lapisan masyarakat dalam rancang bangun pembangunan, transparan, dan bertanggung
jawab, efektif dan adil, serta menjamin terlaksananya supremasi hukum. Good
Governance juga harus dapat menjamin bahwa prioritas di bidang politik, sosial,
ekonomi, serta pertahanan dan keamanan didasarkan pada konsensus masyarakat ;
memperhatikan kepentingan rakyat banyak; mendukung visi strategis pemimpin; dan
masyarakat yang mampu melihat jauh ke depan dari suatu pemerintahan yang baik dan
berorientasi pada pembangunan untuk semua (kelayakan sosial)
Pelaksanaan Good Governance bukanlah suatu proses yang sederhana, tetapi
membutuhkan adanya komitmen dan sejumlah ketentuan yang dapat dijadikan sebagai
pedomanatau landasan bagi semua pihak yang terlibat (stakeholders), khususnya
pemerintah. Untuk itu, pemahaman yang komprehensif terhadap karakteristik good
governance tampaknya tidak bisa di tawar-tawar lagi. Sejalan dengan hal tersebut, UNDP
(1997) telah mengisyaratkan bahwa sebuah governance disebut ‘good’ jika mempunyai
karakteristik sebagai berikut; Partisipatif, Rule of law, Transparan, Renponsif,
Berorientasi pada konsensus, Equity, Efektif, dan Efisien, Akuntable, bervisi strategis,
Legitimasi, Resources prudence, Empowering dan Enabling, Kemitraan dan Berorientasi
pada masyarakat.
Partisipatif mengandung arti bahwa, kepentingan laki-laki dan perempuan dapat
diartikulasikan dalam setiap proses pengambilan keputusan, secara langsung atau melalui
institusi intermidier yang sah. Partisipasi itu hendaknya dibangun atas dasar kebebasan
berorganisasi berbicara.
Dari segi hukum maka harus ada rule of law yang jelas, artinya negara mesti
membangun kerangka hukum yang adil dan tidak memihak terutamamenayangkut Hak
Asasi Manusia (HAM), Undang-undang keamanan dan keselamatan publik. Selain itu,
sebuah entitas pemerintah yang baik harus mempunyai basis legitimasi yang kuat. Artinya
baik produk hukum maupun kerangka kelembagaan dan keputusan-keputusan tertentu
yang dihasilkan harus sesuai dengan prosedur, proses dan kriteria kelembagaan yang bisa
diterima dan syah.
Prinsip transparasi menurut adanya kebebasan arus informasi dimana proses, institusi
dan informasi secara langsung bisa diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Informasi yang memadai harus tersedia sehingga bisa dipahami dan dimonitoring oleh
masyarakat dan pihak yang berkepentingan.
Dalam hal akuntabilitas, maka setiap pengambil keputusan baik dilingkungan
pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil harus akuntabel terhadap
masyarakat luas, konstituen khusus dan kelembagaan stakeholder. Sedangkan,
Empowering dan Enabling artinya semua sektor dalam masyarakat kita harus
diberdayakan sehingga upaya mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang bisa tercapi
secara optimal. Karena governance merupakan sistem pertanggungjawaban yang
menyeluruh maka ia tidak bisa dieksekusi secara efektif hanya oleh pemerintah saja,
maka ia harus melibatkan semua pihak – dalam hal ini publik, aktor swasta, dan
masyarakat luas. Sedangkan prinsip berbasis pada masyarakat artinya governance itu
diarahkan pada pengembangan kemandirian dan otonomi masyarakat lokal.
Dari perspektif pelayanan maka sebuah entitas governance yang baik, dilihat dari segi
kelembagaan dan proses mestinya bisa melayani semua stakeholder. Dilihat dari aspek
alokasi dan penggunaan sumber daya, maka ada tiga karakteristik yang sangat penting,
yaitu; equity, efektifitas, dan efisiensi, ramah lingkungan dan resaurces prudence.
Meskipun keempatnya menyangkut sumber daya manusia akan tetapi secara konseptual
memang berbeda. Equity, terutama berkaitan dengan kesamaan peluang semua laki-laki,
perempuan kelompk rawan untuk mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan.
Karakteristik ramah lingkungan merujuk pada kondisi bahwa upaya memproteksi dan
memproduksi lingkungan yang bisa menjamin sustainabilitas kemandirian.
Dalam resources prudence ada upaya yang jelas bahwa sumber daya dikelola dan
didayagunakan untuk mengoptimalkan kesejahteraan semua orang selama beberapa
generasi kedepan, idealnya seabadi mungkin, tanpa menggadaikan masa depan.
Sedangkan soal efektivitasdan efisiensi menghendaki supaya berbagai keputusan publik
didasarkan pada penggunaan sumberdaya terbaik.
Ciri berorientasi pada konsensus artinya, semua perbedaan yang ada hendaknya
diselesaikan melalui konsensus umum, malah kalau bisa konsensus itu juga menyangkut
kebijakan dan prosedur, yang bisa memuaskan kepentingan kelompok, organisasi,
masyarakat dan negara. Untuk mempunyai berbagai karakteristik tersebut jelaslah bahwa
pemimpin dan masyarakatnya harus mempunyai visi strategis yang luas dan
berjangkapanjang baik mengenai good society maupun god governance. Tentu bervisi
saja belum cukup, ia harus dibarengi dengan kemampuan mengeksekusi visi tersebut
kedalam langkah-langkah nyata. Itulah mengapa kemudian good governance harus
mempunyai ciri bervisi strategis.
Untuk mempertajam pemahaman tentang karakteristik good governance,
Mustopadidjadja AR (1999) dan Riyas Rasyid (2000) merekomendasikan 6 (enam)
karakteristik good governance yang harus menjadi acuan dalam mengarahkan kebijakan
sistem pemerintahan yaitu pertama, adanya kepastian hukum, keterbukaan, profesional
dan memiliki akuntabilitas. Kedua, menghormati hak asasi manusia. Ketiga, dapat
meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan mengutamakan pelayanan primakepada
masyarakat tanpa diskriminasi. Keempat, mampu mengakomodasi kontrol sosial
masyarakat. Kelima, partisipasi, otoaktivitas dan desentralisasi dan keenam,
berkembangnyasistem checks and balance.
Pertama, prinsip kepastian hukum yang dimaksud adalah prinsip kepastian hukum
yang meliputi penciptaan sistem hukum yang benar dan adil dalam lingkup hukum
nasional (dalam keseluruhan tatanan administrasi pemerintahan), hukum adat dan hukum
kemasyarakatan, pemberdayaan pranata hukum, desentralisasi dan penyusunan peraturan
perundang-undangan serta pengawasan masyarakat yang dilakukan oleh DPR.
Kedua, prinsip keterbukaan yang meliputi penumbuhan iklim yang kondusif bagi
terlaksananya pengakuan terhadap hak asasi manusia, transparasi informasi secara benar,
jujur dan adil.
Ketiga, prinsip akuntabilitas, yang meliputi kejelasan rencana kerja prosedur dan
mekanisme kerja, dengan sistem pertanggung jawaban yang jelas serta pemberlakuan
sistem pemberian ganjaran dan sanksi yang konsisten.
Keempat, prinsip profesionalitas yang meliputi kapabilitas, kompetensi dan integritas.
Kelima, partisipasi, otoaktifitas dan desentralisasi sebagai wujud komitmen terhadap
nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Keenam, berkembangya sistem check and balance, pada akhirnya terwujud good
governace memerlukan terlaksananya sistem checks and balance yang berkembangdari
dan dalam keseluruhan unsur penyelenggaraan negara.
Sementara itu, menurut United Nation Development Project (UNDP) terdapat
beberapa prinsip good governance yang amat penting sebagai berikut:
1. Partisipasi : setiap warga negara berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi
seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartipasi
secara konstruktif.
2. Taat hukum (rule of law) kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa
diskriminasi, terutama hukum yang berlaku untuk perlindungan hak asasi manusia.
3. Tranparasi : dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Informasi mengenai proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan kerja lembaga-lembaga dapat diterimaoleh
mereka yang membutuhkan, informasi tersebut harus dapt dipahami dan dapat di pantau.
4. Responsif : lembaga-lembaga negara/badan usaha harus berusaha untuk melayani
stakeholdernya. Responsif terhadap aspirasi masyarakat.
5. Berorientasi Kesepakatan (consensus orientation); good governance menjadi perantara
kepentingan yang lebih luas, dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur
krja.
6. Kesetaraan (equity): semua warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai
kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankankesejahteraan mereka.
7. Efektif dan efisien : proses-prose dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan
apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia hasilnya
sebaik mungkin.
8. Akuntabilitas (accountability): para pembuat keputusan dalam pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-
lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan
yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal
organisasi.
9. Visi Stratejik (strategic vision) : para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif
good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh kedepan
sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.

D. Strategi Penataan Aparatur dalam Pelaksanaan Good Governance Menuju


Pemerintahan Yang Bersih
Untuk mewujudkan pelaksanaan good governance secara konsisten dan sustainable
(berkelanjutan) bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi good governance tersebut
diarahkan pada upaya penciptaan aparatur yang bersih dan berwibawa. Untuk itu, jajaran
birokrasi pemerintahan harus memahami esensi birokrasi itu sendiri dikatkan dengan
penciptaan good governance yang dimaksud.
Dalam konteks ini David Obsorn dan Gaebler (1992) menyampaikan 10 konsep
birokrasi sebagai berikut :
1. Catalytic Government : Steering rather than rowing. Aparatur dan birokrasi berperan
sebagai katalisator, yang tidak harus melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup
mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian aparatur dan
birokrasi harus mampu mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan
kepentingan publik.
2. Community-owned government : empower communities to solve their own problems,
rather than marely deliver service. Aparatur dan birokrasi harus memberdayakan
masyarakat dalam pemberian dalam pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan
sepeti koperasi, LSM dan sebagainya, perlu diajak untuk memecahkan permasalahannya
sendiri, seperti masalah keamanan, kebersihan, kebutuhan sekolah, pemukiman murah
dan lain-lain.
3. Competitive government : promote and encourrage competition, rather than
monopolies”. Aparatur dan birokrasi harus menciptakan persaingan dalam setiap
pelayanan. Dengan adanya persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing
dan terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien.
4. Mission-driven government : be driven by mission rather than rules”. Aparatur dan
birokrasi harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaianapa yang
merupakan “misinya” dari pada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi
diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan misinya.
5. Result-oriented government : result oriented by funding outcomes rather than inputs.
Aparatur dan birokrasihendaknya berorientasi kepada kinerja yang baik. Instansi yang
demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding instansi yang kinerjanya
kurang.
6. Cuntomer-driver government : meet the needs of the customer rather than the
bureaucracy. Aparatur dan birokrasi harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan
mayarakat bukan kebutuhan dirinya sendiri.
7. “ente prising government : concretrate on earning money rather than just speding it.
Aparatur birokrasi harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan menghasilkan
uang untuk organisainya, disamping pandai menghemat biaya. Dengan demikian para
pegawai akan terbiasa hidup hemat.
8. Anticipatory government : invest in preventing problems rather than curing crises.
Aparatur dan birokrasi yang antisipasif. Lebih baik mencegah dari pada memadamkan
kebakaran. Lebih baik mencegah epidemi daripada mengobati penyakit. Dengan
demikian akan terjadi “mental swich” dalam aparat daerah.
9. Decentralilazed government : decentralized authority rahter than build hierarcy.
Diperlukan desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan, dari berorientasi hirarki
menjadi partisipasif dengan pengembangan kerjasama tim. Dengan demikian organisasi
bawahan akan lebih leluasa untuk berkreasi dan mengambil inisiatif yang diperlukan.
10. Market-oriented government : solve problemby influencing market forces rather than by
treating public programs. Aparatur dan birokrasi harus memperhatikan kekuatan pasar.
Pasokan didasarkan pada kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan sebaliknya. Untuk
itu kebijakan harus berdasarkan pada kebutuhan pasar.
Melengkapi konsep diatas, Obsorn dan Peter Plastrik (1996) menyampaikan lima (5)
strategi untuk pengembangan konsep Reinventing Government yang dikenal dengan
istilah “The Five C’S”, sebagai berikut :
1. Strategi inti (Core Strategi) yaitu strategi merumuskan kembali tujuan-tujuan
penyelenggaraan pemerintahan, termasuk otonomi daerah melalui penetapan visi, misi,
tujuan, dan sasaran, arah kebijakan serta peran-peran kelembagaan serta individu aparatur
penyelenggara pemerintaha.
2. Strategi konsekuensi (consekquency strategi), dalam hal ini perlu dirumuskan dan ditata
kembali pola-pola insensif kelembagaan maupun individual, baik melalui pendekatan
manajemen kompetitif, manajemen bisnis (komporatisasi dan privatisasi), atau
manajemen kinerja(performance management).
3. Strategi pemakai jasa (customer strategi) aparatur birokrasi dalam hal ini perlu
melakukan reorientasi dari kepentingan politik pemerintahan, serta orientasi pada
kepentingan kelembagaannya, kearah kepentingan pemenuhan kebutuhan berdasarkan
pilihan-pilihan masyarakat (pemakai jasa publik), peningkatan kualitas layanan, serta
kompetisi pasar yang sehat.
4. Strategi pengendalian ( control strategy), yaitu adanya perumusan kembali dalam upaya
pengendalian organisasi, mulai dari :
a. Pengendalian Strategi yang merupakan proses perumusan dan penetapan organisasi.
b. Pengendalian mamajemen, yang merupakan pengendalian dalam menjaga agar
pelaksanaan telah ditetapkan.
c. Pengendalian tugas sebagai pengendalian yang sifatnya pelaksana (operasional).
Ketiga pengendalian ini bisa dikembangkan melalui pengembangan struktur organisasi
kelembagaan yang bertumpu pada kekuatan aparatur seperti gugus kendali mutu ( total
quality control).
5. Strategi budaya / kultur (cultur Strategi), yaitu adanya upaya reorientasi perilaku dan
budaya aparatur serta birokrasi yang lebih terbuka dan mampu merevitalisasi dan
mengadopsi nilai-nilai budaya (baik budaya lama maupun baru), yang lebih menyentuh
nilai-nilai keadilan dan hati nurani.
Agar lembaga pemerintah lebih mampu melaksanakan fungsi kepemerintahan yang
baik (good governance), perlu disptakan suatu sistem borikrasi dengan ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Memiliki struktur yang sederhana, dengan sunber daya manusia yang memiliki
kompetensi melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan (pengmebangan kebijakan dan
pelayanan) secara arif, efesien dan efektif.
2. Mengembangkan hubungan kemitraan ( partnership) antara pemerintah dan setiap
unsur dalam masyarakat yang bersangkutan (tidak sekedar kemitraan internal diantara
sesama jajaran instansi pemerintahan saja).
3. Memahami dan komit akan manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan
kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai utuk mendorong terciptanya
motivasi, kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) berinisiatif,
partisipatif, yang telah diperhitungkan secara realistik dan rasional.
5. Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode etik) administrasi
publik, juga terhadap nilai-nilai etika dan moralitas yang diakui dengan junjungan tinggi
secara sama dengan masyarakat yang dilayabi.

E. Penutup
Adanya pelayanan publik yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayani (client
centered) insklusif (mencerminkan layanan yang mencakup secara merata seluruh
masyarakat bangsa yang bersangkutan, tanpa ada perkecualian), administrasi pelayanan
publik yang mudah dijangkau ( accessible) masyarakat dan bersifat bersahabat( user
friendly) berasaskan pemerataan yang berkeadilan ( equable) dalam setiap tindakan dan
layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Semua itu mencerminkan wajah pemerintah yan sebenarnya (tidak bermuka dua) atau
tidak menerapkan standart ganda ( double standarts) dalam menentukan kebijakan dan
memberikan layanan terhadap masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat dan
bukannya kepentingan internal organisasi pemerintah (outwardly focused) bersifat
peofesional dan bersikap tidak memihak (non-partisan).

Anda mungkin juga menyukai

  • Statistik Univariat
    Statistik Univariat
    Dokumen9 halaman
    Statistik Univariat
    septri annisa azmi
    Belum ada peringkat
  • PSIKOFARMAKA
    PSIKOFARMAKA
    Dokumen15 halaman
    PSIKOFARMAKA
    septri annisa azmi
    100% (1)
  • Kelompok 4 Terapi Modalitas
    Kelompok 4 Terapi Modalitas
    Dokumen26 halaman
    Kelompok 4 Terapi Modalitas
    septri annisa azmi
    Belum ada peringkat
  • CTG
    CTG
    Dokumen37 halaman
    CTG
    septri annisa azmi
    Belum ada peringkat
  • Debat
    Debat
    Dokumen3 halaman
    Debat
    septri annisa azmi
    Belum ada peringkat
  • Anti Korupsi
    Anti Korupsi
    Dokumen38 halaman
    Anti Korupsi
    septri annisa azmi
    Belum ada peringkat
  • Skenario Pbak
    Skenario Pbak
    Dokumen6 halaman
    Skenario Pbak
    septri annisa azmi
    Belum ada peringkat