Anda di halaman 1dari 37

KEPERAWATAN KARDIOVASKULER

“ Pemeriksaan Cardiotokografi (CTG), PEB dan BHD ”

Kelompok 6 : 2.C

Tasya Aulia Putri (183110275)

Tricia Andeska Putri (183110276)

Weri Widiyanto (183110277)

Yanandra Febiola (183110278)

Yuliza Novita (183110280)

DOSEN PEMBIMBING:

Hj. Metri Lidya, S.Kp, M.Biomed

D-III KEPERAWATAN PADANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan anugerah
kepada penulis untuk dapat menulis makalah yang berjudul “ Pemeriksaan Cardiotokografi,
PEB dan BHD ”.

Makalah ini disusun berdasarkan hasil data-data dari media cetak media elektronik
berupa internet. Ucapan terimakasih kepada penulis yang telah menyusun makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah
pengetahuan dan wawasan. Penulis sadar makalah ini belum sempurna, maka dari itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini menjadi sempurna.

Padang, 13 Februari 2020

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................
DAFTAR ISI………………………………………………….................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................
I.2 Rumusan Masalah......................................................................
I.3 Tujuan ......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pemeriksaan Cardiotokografi..............................................................
2.2 Konsep Pemeriksaan PEB...................................................................
2.3 Konsep Pemeriksaan BHD...............................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………………………………….
3.2 Saran ………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipoksia yang dialami oleh janin merupakan salah satu penyebab yang
memicu tingginya angka kematian bayi. Penyulit-penyulit tersebut sebenarnya bisa
saja ditanggulangi, yaitu salah satunya dengan melakukan pemantauan kesejahteraan
janin menggunakan CTG.
CTG atau cardiotocography sendiri adalah salah suatu alat kedokteran yang
digunakan untuk mengetahui gangguan yang berkaitan dengan hipoksia janin,
seberapa jauh gangguan tersebut, hingga akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil
pemantauan tersebut. Petugas kesehatan, ibu, maupun keluarga dapat mengetahui
status janin melalui penilaian denyut jantung janin dalam hubungannya dengan
kontraksi ataupun aktivitas janin dengan alat CTG ini.
Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
trimester III kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada
molahidatidosa. (Hanifa Wiknjosastri, 2007).
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivitas endotel, yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Cunningham et al, 2003, Matthew
warden, MD, 2005). Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi
dapat juga timbul kapan saja pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang
dari Preeklampsia yang ringan sampai Preeklampsia yang berat (geogre, 2007).
Henti jantung berdasarkan The Pediatric Utstein Guidline adalah terhentinya
aktivitas mekanik jantung yang ditentukan oleh tidak adanya respon dari perabaan
pada denyut nadi sentral, dan henti nafas. Pada anak, henti jantung biasanya lebih
banyak disebabkan oleh asfiksia sebagai akibat sekunder dari henti nafas. Hal ini
berbeda dengan kejadian henti jantung pada dewasa yang sebagian besar disebabkan
oleh masalah primer pada jantung.
Penyebab henti jantung yang paling umum adalah gangguan listrik di dalam
jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol irama jantung
tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi dapat menyebabkan irama jantung
yang abnormal, disebut aritmia. Terdapat banyak tipe dari aritmia, jantung dapat
berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak. Ketika
aritmia terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam
sirkulasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Pemeriksaan Cardiotokografi ?
2. Bagaimana Konsep Pemeriksaan PEB ?
3. Bagaimana Konsep Pemeriksaan BHD ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Konsep Pemeriksaan Cardiotokografi
2. Untuk mengetahui Konsep Pemeriksaan PEB
3. Untuk mengetahui Konsep Pemeriksaan BHD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. KONSEP CTG
A. Pengertian CTG
Kardiotokografi menyajikan kesejahteraan janin
Kardio  denyut jantung
Toko  kontraksi uterus
Keduanya disajikan pada waktu yang bersamaan, denyut jantung terdapat
dibagian atas catatan dan kontraksi dibawahnya. Cardiotokografi adalah suatu metoda
elektronik untuk memantau kesejahteraan janin dalam kehamilan dan atau dalam
persalinan.
Dilakukan untuk menilai apakah bayi merespon stimulus secara normal dan
apakah bayi menerima cukup oksigen. Umumnya dilakukan pada usia kandungan
minimal 26-28 minggu, atau kapanpun sesuai dengan kondisi bayi. Cardiotokografi
merupakan pemeriksaan denyut jantung janin untuk menilai kesejahteraanya (fetal-
wellbeing).
Dalam Cardiotokografi terdapat 3 hal yang di catat :
1. Denyut jantung janin
2. Kontraksi Rahim
3. Gerakan janin.
Yang dinilai adalah gambaran denyut jantung janin (djj) dalam hubungannya
dengan gerakan atau aktivitas janin. Pada janin sehat yang bergerak aktif dapat dilihat
peningkatan frekuensi denyut jantung janin. Sebaliknya, bila janin kurang baik,
pergerakan bayi tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi denyut jantung janin.
Jika pemeriksaan menunjukkan hasil yang meragukan, hendaknya diulangi
dalam waktu 24 jam. Atau dilanjutkan dengan pemeriksaan CST (Contraction Stress
Test). Bayi yang tidak bereaksi belum tentu dalam bahaya, walau begitu pengujian
lebih lanjut mungkin diperlukan.

B. Indikasi CTG
Pemeriksaan Cardiotokografi biasanya dilakukan pada kehamilan resiko
tinggi, dan indikasinya terdiri dari :
1. IBU
a) Pre-eklampsia-eklampsia.
b) Ketuban pecah.
c) Diabetes mellitus.
d) Kehamilan > 40 minggu.
e) Vitium cordis.
f) Asthma bronkhiale.
g) Inkompatibilitas Rhesus atau ABO.
h) Infeksi TORCH.
i) Bekas SC.
j) Induksi atau akselerasi persalinan.
k) Persalinan preterm..
l) Hipotensi.
m) Perdarahan antepartum.
n) Ibu perokok.
o) Ibu berusia lanjut.
p) Lain-lain : sickle cell, penyakit kolagen, anemia, penyakit ginjal, penyakit
paru, penyakit jantung, dan penyakit tiroid.

2. JANIN
a) Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
b) Gerakan janin berkurang.
c) Suspek lilitan tali pusat.
d) Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin.
e) Hidrops fetalis
f) Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar.
g) Mekoneum dalam cairan ketuban
h) Riwayat lahir mati.
i) Kehamilan ganda.
j) Dan lain-lain

C. Syarat Pemeriksaan Cardiotokografi


1) Usia kehamilan > 28 minggu.
2) Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).
3) Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui.
4) Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer
(pada Cardiotokografi terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.

D. Kontra Indikasi Cardiotokografi


Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan Cardiotokografi
terhadap ibu maupun janin.

E. Persiapan Pasien CTG


1) Persetujuan tindak medik (Informed Consent) : menjelaskan indikasi, cara
pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak
medik ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (cukup
persetujuan lisan).
2) Kosongkan kandung kencing.
3) Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
4) Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau
gawat janin, ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.
5) Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan
punctum maksimum DJJ.
6) Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera
setelah kontraksi berakhir.
7) Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah
punktum maksimum.
8) Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak,
pencet bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang
dirasakan oleh ibu selama perekaman cardiotokografi.
9) Hidupkan komputer dan Cardiotokograf.
10) Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang
ingin dicapai).
11) Lakukan pencetakkan hasil rekaman Cardiotokografi.
12) Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah sakit).
13) Matikan komputer dan mesin kardiotokograf. Bersihkan dan rapikan kembali
alat pada tempatnya.
14) Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
15) Berikan hasil rekaman cardiotokografi kepada dokter penanggung jawab atau
paramedik membantu membacakan hasi interpretasi komputer secara lengkap
kepada dokter.

F. Cara Melakukan CTG


Persiapan tes tanpa kontraksi :
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari 2 jam setelah sarapan dan tidak
boleh diberikan sedativa.
Prosedur pelaksanaan :
1) Pasien ditidurkan secara santai semi fowler 45 derajat miring ke kiri
2) Tekanan darah diukur setiap 10 menit.
3) Dipasang kardio dan tokodinamometer.
4) Frekuensi jantung janin dicatat.
5) Selama 10 menit pertama supaya dicatat data dasar bunyi.
6) Pemantauan tidak boleh kurang dari 30 menit.
7) Bila pasien dalam keadaan puasa dan hasil pemantauan selama 30 menit tidak
reaktif, pasien diberi larutan 100 gram gula oral dan dilakukan pemeriksaan
ulang 2 jam kemudian (sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari setelah 2
jam sarapan).
8) Pemeriksaan NST ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan hasil NST
secara individual

G. Cara Membaca Hasil CTG


Pembacaan hasil :
1. Reaktif, bila :
a) Denyut jantung basal antara 120-160 kali per menit.
b) Variabilitas denyut jantung 6 atau lebih per menit.
c) Gerakan janin terutama gerakan multipel dan berjumlah 5 gerakan atau lebih
dalam 20 menit.
d) Reaksi denyut jantung terutama akselerasi pola ”omega” pada NST yang
reaktif berarti janin dalam keadaan sehat, pemeriksaan diulang 1 minggu
kemudian.
e) Pada pasien diabetes melitus tipe IDDM pemeriksaan NST diulang tiap hari,
tipe yang lain diulang setiap minggu
2. Tidak reaktif, bila :
a) Denyut jantung basal 120-160 kali per menit
b) Variabilitas kurang dari 6 denyut /menit.
c) Gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit.
d) Tidak ada akselerasi denyut jantung janin meskipun diberikan rangsangan dari
luar.
Antara hasil yang reaktif dan tidak reaktif ini ada bentuk antar yaitu
kurang reaktif. Keadaan ini interpretasinya sukar, dapat diakibatkan karena
pemakaian obat seperti : barbiturat, demerol, penotiasid dan metildopa.
Pada keadaan kurang reaktif dan pasien tidak menggunakan obat-obatan
dianjurkan CTG diulang keesokan harinya. Bila reaktivitas tidak membaik
dilakukan pemeriksaan tes dengan kontraksi (OCT).

3. Sinusoidal, bila :
a) Ada osilasi yang persisten pada denyut jantung asal
b) Tidak ada gerakan janin.
c) Tidak terjadi akselerasi, janin dalam keadaan bahaya. Bila paru-paru janin
matur, janin dilahirkan. Gambaran ini didapatkan pada keadaan isoimunisasi-
RH.
Jika pemeriksaan menunjukkan hasil yang meragukan, hendaknya
diulangi dalam waktu 24 jam. Atau dilanjutkan dengan pemeriksaan CST
(Contraction Stress Test). Bayi yang tidak bereaksi belum tentu dalam bahaya,
walau begitu pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan.

4. Hasil pemeriksaan CTG disebut abnormal (baik reaktif ataupun non reaktif)
apabila ditemukan :
a) Bradikardi
b) Deselerasi 40 atau lebih di bawah (baseline), atau djj mencapai 90 dpm, yang
lamanya 60 detik atau lebih
Pada pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan bila janin
sudah viable atau pemeriksaan ulang setiap 12-24 jam bila janin belum viable.
Hasil CTG yang reaktif biasanya diikuti oleh keadaan janin yang masih
baik sampai 1 minggu kemudian (dengan spesifitas sekitar 90%), sehingga
pemeriksaan ulang dianjurkan 1 minggu kemudian. Namun bila ada faktor
resiko seperti hipertensi/gestosis, DM, perdarahan atau oligohidramnion hasil
CTG yang reaktif tidak menjamin bahwa keadaan janin akan masih tetap baik
sampai 1 minggu kemudian, sehingga pemeriksaan ulang harus lebih sering (1
minggu).
Hasil CTG non reaktif mempunyai nilai prediksi positif yang rendah <30%,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan CST atau pemeriksaan
yang mempunyai nilai prediksi positif yang lebih tinggi (Doppler-USG).
Sebaiknya CTG tidak dipakai sebagai parameter tunggal untuk menentukan
intervensi atau terminasi kehamilan oleh karena tingginya angka positif palsu
tersebut (dianjurkan untuk menilai profil biofisik janin yang lainnya).
5. Saat persalinan
a) Hasil tekanan positif menunjukkan penurunan fungsi plasenta janin, hal ini
mendorong untuk melakukan seksio sesarea.
b) Gawat janin relatif cukup banyak (14,7%) dan terutama pada persalinan,
sehingga memerlukan pengawasan dengan kardiotokografi
c) Hal – hal yang diperhatikan untuk indikasi Seksio sesarea ,dilakukan bila
terdapat :
1) Deselarasi lambat berulang
2) Variabilitas yang abnormal (< 5 dpm).
3) pewarnaan mekonium.
4) Gerakan janin yang abnormal (<5/20 menit).
5) Kelainan obstetri (berat bayi >4000g, Kelainan posisi, partus > 18 jam)

H. Pemeriksaan gambaran CTG yang normal adalah :


1) Denyut jantung janin 110 to 160 denyut per menit (bpm).
2) Variabilitas / amplitude DJJ antara 5 – 25 dpm.
3) Pada kehamilan lebih dari 30 minggu, terdapat akselerasi DJJ lebih dari 15 kali
permenit.
4) yang dapat timbul spontan atau ditimbulkan dengan melakukan
pemeriksaan dalam (vaginam).
5) Pada kehamilan 23 – 30 minggu, akselerasi biasanya normal diatas 10 dpm.
6) Tidak ada deselerasi.
I. Pemeriksaan gambaran CTG yang mencurigakan:
1) Takhikardi
2) Bradikardi
3) Variabilitas saltatori
4) Terdapat variabel deselerasi bersamaan dengan keadaan meragukan lainnya
5) Deselerasi lambat dengan variabiliti yang normal

II. KONSEP BHD


A. Pengertian BHD
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010).
Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi
normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Berdasarkan
pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti jantung atau
cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk
mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak
dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.

B. Etiologi
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai
risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a. Adanya jejas di jantung
Karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain,jantung yang terjejas
atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami
aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang
mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac
arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerosis
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
Karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub
jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung
Karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti
aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac
arrest.Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang
bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam darah
(misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang mengancam
jiwa dan cardiac arrest.
d. Kelistrikan yang tidak normal
Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-
White Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa
menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
e. Pembuluh darah yang tidak normal
Jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering menyebabkan
kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga
atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac
arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f. Penyalahgunaan obat
Merupakan faktor utama terjadinya cardiac arrest pada penderita yang
sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung. Kebanyakan korban
henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia (Diklat Ambulans Gawat Darurat
118, 2010) :
a) Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian
mendadak,pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi
kontraksinya,jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan
yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi.
b) Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena
adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat
adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan
fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah
keventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT
dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika
mentosa lebih diutamakan. Pada kasus Vt dengan gangguan hemodinamik
sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi
dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.
c) Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak
menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak
adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba.
Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera dilakukan.
d) Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada
jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus.
Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

C. Patofisiologi
1) Akibat dari ateroklerosis menimbulkan plak pada pembuluh darah.
2) Penebalan otot jantung dan fibrilasi ventrikel mengakibatkan jantung tidak dapat
berkontraksi secara optimal
3) Takikardi ventrikel terjadi karena pembentukan impuls sehingga frekuensi nadi
cepat yang mengakibatkan pengisian ventrikel menurun. Dari ketiga penyebab
diatas mengakibatkan hambatan aliran darah sehingga sirkulasi darah terhenti
terjadilah cardiac arrest.Akibat cardiac arrest terjadi kemampuan pompa jantung
menurun akibatnya curah jantung menurun sehingga terjadi:
a. Suplai oksigen keseluruh tubuh menurun,dimana darah membawa oksigen
otomatis kebutuhan oksigen keparu-paru tidak terpenuhi terjadilah gangguan
pertukaran gas
b. Suplai oksigen ke otak tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi serebral
c. Suplai oksigen ke jaringan tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi
jaringan
WOC :

PATHWAY

Penyakit Jantung Klainan Bawaan Obat-Obatan, Merokok


(Hipertensi, Infark Miokard, Aritmia)


Aritmia Cardiac

Jantung Kekurangan O2 Aliran Darah Kejantung Menurun

↓ ↓
Suplai O2 Ke Jaringan Tidak Adekuat O2 Dan Nutrien Menurun


Hipoksia Serebral Pembuluh Darah Jaringan Miokard Iskemik

↓ ↓ ↓
Vasokonstriksi Suplai Dan Kebutuhan O2
Penurunan Kesadaran Ke Jantung Tdk Seimbang

↓ ↓ ↓
Pola Nafas Tidak Efektif Metabolisme Iskemia Otot Jantung

↓ ↓

Akral Dingin Kontrak Miokardium

↓ ↓
Gangguan Perfusi Jaringan Perifer Penurunan Curah Jantung
D. Manifestasi Klinis
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai
oksigen termasuk otak
2. Hypoxia cerebral atau tidak adanya oksigen ke otak menyebabkan kehilangan
kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit
dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas)
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat
terasa pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.
7. Dilatasi pupil jika terjadi kerusakan otak irreversible 50%

E. Penatalaksanaan
1. Respons awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar
disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada
tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat
menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat
membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang
singkat setelah henti jantung
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan
dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan
intervensi yang definitive dapat dilaksanakan. Untuk penanganan awal henti
jantung yaitu dengan CAB :
a. Yakinkan lingkungan telah aman, periksa ketiadaan respon dengan
menepuk atau menggoyangkan pasien sambil bersuara keras “Apakah anda
baik - baik saja?”.Jika tidak berespon berikan rangsangan nyeri.
Rasionalisasi: hal ini akan mencegah timbulnya injury pada korban yang
sebenarnya masih dalam keadaan sadar.
b. Apabila pasien tidak berespon segera telfone Emergency Medical Service
(EMS)
c. Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil posisi
sejajar dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan
kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila sangat perlu saja.
Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan pemberi bantuan dapat
memberikan bantuan nafas dan kompresi dada tanpa berubah posisi.

1) Circulation
Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap mempertahankan
terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi pasien,
tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral selama 5 sampai
10 detik. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan kompresi dada.
a. Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian pangkal dari
salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke arah cranial
dari procecus xyphoideus) . Jari-jari bisa saling menjalin atau dikeataskan
menjauhi dada. Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di
sternum, sehingga tekanan yang diberikan akan terpusat di sternum, yang mana
akan mengurangi resiko patah tulang rusuk.
b. Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada tegak
lurus dengan kedua tangan, dengan cepat dan bertenaga tekan bagian tengah
bawah dari sternum pasien ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)
c. Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal.
Lamanya pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya pemberian tekanan.
Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau berubah posisi. Rasionalisasi:
pelepasan tekanan ke dada akan memberikan kesempatan darah mengalir ke
jantung.
d. Lakukan CPR (Cardio Pulmonary Resusitation) dengan dua kali nafas buatan
dan 30 kali kompresi dada. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali(2 menit).
e. Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien. Pemberian kompresi dada
dihentikan jika:
a) Telah tersedia AED (Automated External Defibrillator).
b) korban menunjukkan tanda kehidupan.
c) Tugas diambil alih oleh tenaga terlatih. Rasionalisasi: bantuan nafas
harus dikombinasi dengan kompresi dada. Periksa nadi di arteri carotis,
jika belum teraba lanjutkan pemberian bantuan nafas dan kompresi dada.
f. Sementara melakukan resusitasi, secara simultan kita juga
menyiapkan perlengkapan khusus resusitasi untuk memberikan perawatan
definitive. Rasionalisasi: perawatan definitive yaitu termasuk di dalamnya
pemberian defibrilasi, terapi obat-obatan, cairan untuk mengembalikan
keseimbangan asam basa, monitoring dan perawatan oleh tenaga terlatih di ICU.
g. CPR yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu tangan,sedangkan
untuk bayi hanya menggunakan jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan
anak terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dibagian tengah
tulang dada.

2) Airway
Buka jalan nafas
a. Head-tilt/chin-lift maneuver : letakkan salah satu tangan di kening pasien, tekan
kening ke arah belakang dengan menggunakan telapak tangan untuk
mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang
lainnya di dagu korban pada bagian yang bertulang dan angkat rahang ke depan
sampai gigi mengatub. Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan jalan nafas
dari sumbatan oleh lidah.
b. Jaw-thrust maneuver : pegang sudut dari rahang bawah pasien pada masing
masing sisinya dengan kedua tangan,angkat mandibula ke atas sehingga kepala
mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah metode yang paling aman untuk
membuka jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher.

3) Breathing
a. Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan kita arahkan
ke dada pasien, perhatikan apakah ada pergerakan naik turun dada dan rasakan
adanya udara yang berhembus selama expirasi Rasionalisasi: untuk memastikan
ada atau tidaknya pernafasan spontan.
b. ika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan mouth to mouth atau dengan
menggunakan amfubag. Selama memberikan bantuan pernafasan pastikan jalan
nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang keluar. Berikan bantuan
pernafasan sebanyak dua kali (masing-masing selama 2-4 detik). Rasionalisasi:
pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan dada terlihat
mengembang dan mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari jalan nafas
dan terdengar adanya udara yang keluar saat expirasi.
c. Jika pasien bernafas, posisikan korban ke posisi recovery (posisi tengkurap,
d. kepala menoleh ke samping).

3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)


Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,
mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan
darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang
dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
1) Tindakan intubasi dengan endotracheal tube Pemasangan endotracheal
tube (ETT) atau intubasi adalah memasukkan pipa jalan nafas buatan
kedalam trachea melalui mulut.Tindakan intubasi dilakukan bila cara lain
untuk membebaskan jalan nafas (airway) gagal,perlu memberikan nafas
buatan dalam jangka panjang dan ada resiko besar terjadi aspirasi paru.
2) Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung Defibrilasi
adalah suatu tindakan pengobatan menggunakan aliran listrik secara
asinkron.Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan fibrilasi ventrikel
atau takikardi ventrikel.
3) Pemasangan lini infuse.

4. Asuhan pasca resusitasi


Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support ) dan mudah
dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain
dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan.
Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau
diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang
terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel
sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya
resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka
rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan
untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil
dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang
menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang
berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit
yang mendasari serangan henti jantung tersebut. Pasien dengan kanker, gagal
ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu
kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah
henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan
dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai
harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan
dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.

5. Pengobatan
a. Epinephrine.
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac arrest,
utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-
stimulating (vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari epinephrine dapat
meningkatkan CPP (coronary perfusion pressure/ aortic relaxation “diastolic”
pressure minus right atrial relaxation “diastolic” pressure) dan tekanan perfusi
cerebral selama RJP. Untuk efek β-adrenergik dari epinephrine, masih
kontoversi karena berefek meningkatkan kerja miokardium dan mengurangi
perfusi subendokardial.Berdasarkan kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan
jika pemberian 1 mg epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac
arrest . Dosis lebih tinggi hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti
pada overdosis β -blocker atau calcium channel blocker . Jika akses vena (IV)
terlambat atau tidak ditemukan, epinephrine dapat diberikan endotrakeal
dengan dosis 2 mg sampai 2,5 mg.
b. Dapat diberikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV), ulangi dengan dosis yang lebih
besar jika diperlukan. Dapat diberikan Bic – Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu.
Jika henti jantung lebih dari 2 menit, ulangi dosis ini setiap 10 menit sampai
timbul denyut nadi.
c. Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB.
d. ika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit.
e. Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan juga
memiliki efek α- and β -adrenergic blocking . Amiodarone dapat
dipertimbangkan untuk terapi VF (fibrilsi ventrikel) atau Pulseless VT
(takikardi ventrikel) yang tidak memberikan respon terhadap shock, RJP dan
vasopressor. Dosis pertama dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal
150 mg IV. Pada blinded-RCTs didapatkan pemberian amiodarone 300 mg
atau 5 mg/KgBB secara bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien VF
atau Pulseless VT dirumah sakit, dibandingkan pemberian placebo atau
lidocaine 1,5 mg/KgBB.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh
lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase
listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena
cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa
menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola
listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko
kematian mendadak.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac
arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat
penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
b. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada
pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah
mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan
impuls listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya
aritmia dan sudden cardiac arrest.
c. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-
obatan terlarang.
d. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai
pemicu cardiac arrest.
3. Imaging tes
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah.
Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi
masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil,
seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus
dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah
jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau
pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum ditemukan.
Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia,Tes ini dapat
membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke
berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan
penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat
menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk
mengalahkan penyebab yang mungkin memicu atau menghentikan – aritmia.
Hal ini memungkinkan untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung mampu memompa darah.Ini dapat menentukan
kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal
ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel setiap
detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi
ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini dapat
mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan
dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama
prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung
panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri
di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-
ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara
kateter diposisikan,mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Kaji respon klien
a. Periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien
sambil bersuara keras “Apakah anda baik baik saja?”.Jika tidak berespon
berikan rangsangan nyeri.
b. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi
pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan
dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat
membawa kematian.
2. Periksa arteri carotis,jika tidak ada denyutan segera lakukan RJP/CPR.Cek
kembali arteri carotis,jika sudah berdenyut.
3. Periksa pernafasan pasien
Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini
dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan. Setelah memastikan jalan
nafas bebas, penolong segera melakukan cek pernafasan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan antara lain:
a. Cek pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan
pengembangan dada), listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan
hembusan nafas) selama 10 detik.
b. Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi respirasi
gasping pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pernafasan, maka
berikan 2 kali nafas buatan (masing-masing 1 detik dengan volume yang
cukup untuk membuat dada mengembang).
4. Jika pasien bernafas,maka lakukan posisikan korban ke posisi recovery (posisi
tengkurap, kepala menoleh ke samping).

B. Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif
2. Gangguan perfusi jaringan perifer
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung menurun
A. PENGERTIAN
Preeklampsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan
dalam masa nifas yang terdiri dari trias : hipertensi, proteinuri, dan edema.
Preeklamsia adalah sekumpulan gejala yang secara spesifik hanya muncul selama
kehamilan dengan usia lebih dari 20 minggu.

Preeklamsia adalah sindroma spesifik dalam kehamilan yang menyebabkan perfusi darah
ke organ berkurang karena adanya vasospasmus dan menurunnya aktivitas sel endotel

B. EFIDEMIOLOGI
Preeklampsia dapat ditemui pada sekitar 5-10% kehamilan, terutama kehamilan pertama
pada wanita berusia di atas 35 tahun. Frekuensi pre-eklampsia pada primigravida lebih tinggi
bila dibandingkan dengan multigravida, terutama pada primigravida muda. Diabetes mellitus,
mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, usia > 35 tahun, dan obesitas merupakan
faktor predisposisi terjadinya pre-eklampsia.

Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan pre-eklampsia:

1. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita
hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih
dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten

2. Paritas
angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko lebih
tinggi untuk pre-eklampsia berat

3. Ras / golongan etnik


bias (mungkin ada perbedaan perlakuan / akses terhadap berbagai etnikdi banyak negara)

4. Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat
sampai + 25%
5. Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin

6. Diet / gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu / pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain :
kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga
lebih tinggi pada ibu hamil yang obese / overweight

7. Iklim / musim
Di daerah tropis insidens lebih tinggi

8. Tingkah laku / sosioekonomi


Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil
memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan / insidens hipertensi dalam kehamilan.

C. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari kelainan ini masih belum diketahui, namun beberapa penelitian
menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya preeklampsia dan
eklampsia. Faktor faktor tersebut antara lain, diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan
ganda, hidrops fetalis, usia > 35 tahun, dan obesitas.

D. KLASIFIKASI
1. Preeklampsi ringan ditandai :
- Tekanan darah sistol 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan intrerval 6 jam pemeriksaan.
- Tekanan darah diastol 90 atau kenaikan 15 mmHg.
- BB naik lebih dari 1 Kg/minggu.
- Proteinuri 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif 1 – 2 pada setiap urine kateter atau
midstearh.
2. Preeklampsi berat ditandai :
- Tensi 160/110 mmHg atau lebih.

- Oliguri, urine , 400 cc/24 jam.


- Proteinuri > dari 3 gr/l.

- Keluhan subyektif : nyeri epigastrium, nyeri kepala, gangguan penglihatan, gangguan


kesadaran, oedema paru dan sianosis.

E. Pathofisiologi
Pada preeklampsi terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi peningkatan
hematokrit, dimana perubahan pokok pada preeklampsi yaitu mengalami spasme pembuluh
darah perlu adanya kompensasi hipertensi ( suatu usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan
perifir agar oksigenasi jaringan tercukupi). Dengan adanya spasme pembuluh darah
menyebabkan perubahan – perubahan ke organ antara lain :

1. Otak
Mengalami resistensi pembuluh darah ke otak meningkat akan terjadi oedema yang
menyebabkan kelainan cerebal bisa menimbulkan pusing dan CVA ,serta kelainan visus
pada mata.
2. Ginjal
Terjadi spasme arteriole glomerulus yang menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang
maka terjadi filtrasi glomerolus negatif , dimana filtrasi natirum lewat glomelurus
mengalami penurunan sampai dengan 50 % dari normal yang mengakibatkan retensi
garam dan air , sehingga terjadi oliguri dan oedema.
3. URI
Dimana aliran darah plasenta menurun yang menyebabkan gangguan plasenta maka akan
terjadi IUGR, oksigenisasi berkurang sehingga akan terjadi gangguan pertumbuhan janin,
gawat janin , serta kematian janin dalam kandungan.
4. Rahim
Tonus otot rahim peka rangsang terjadi peningkatan yang akan menyebabkan partus
prematur.
5. Paru
Dekompensi cordis yang akan menyebabkan oedema paru sehingga oksigenasi terganggu
dan cyanosis maka akan terjadi gangguan pola nafas. Juga mengalami aspirasi paru / abses
paru yang bisa menyebabkan kematian .
6. Hepar
Penurunan perfusi ke hati dapat mengakibatkan oedema hati , dan perdarahan
subskapular sehingga sering menyebabkan nyeri epigastrium, serta ikterus.
D. TANDA DAN GEJALA
Selain bengkak pada kaki dan tangan, protein pada urine dan tekanan darah tinggi.

Gejala preeklamsia yang patut diwaspadai adalah:

1. Berat badan yang meningka secara drastis akibat dari penimbunan cairan dalam tubuh
2. Nyeri perut
3. Sakit kepala yang berat
4. Perubahan pada refleks
5. Penurunan produksi kencing atau bahkan tidak kencing sama sekali
6. Ada darah pada air kencing
7. Pusing
8. Mual dan muntah yang berlebihan

E. KOMPLIKASI
Pada ibu:

1. perubahan pada sistem saraf pusat mencakup refleks berlebihan dan kejang.
2. sindrom hemolisis, kenaikan enzim hati, dan hitung trombosit rendah.
Pada bayi:

1. prematuritas
2. keterbatasan pertumbuhan intrauterine ( Intrauterine Growth )

F. EFEK DAN GEJALA PADA JANIN


Preeklampsia dapat menyebabkan gangguan peredaran darah pada plasenta. Hal ini akan
menyebabkan berat badan bayi yang dilahirkan relatif kecil. Selain itu, preeklampsia juga dapat
menyebabkan terjadinya kelahiran prematur dan komplikasi lanjutan dari kelahiran prematur
yaitu keterlambatan belajar, epilepsi, sereberal palsy, dan masalah pada pendengaran dan
penglihatan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu
dan anaknya. Walaupun terjadi preeklamsia sukar dicegah, namun preeklamsia berat dan
preeklamsia biasanya dapat dihindarkan dengan mengenal secara dini penyakit itu dan dengan
penanganan secara sempurna.

Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan:

1. Peningkatan tekanan yang lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg
2. Atau peningkatan tekanan sistolik > 30 mmHg atau diastolik > 15 mmHg
3. Atau peningkatan mean arterial pressure > 20 mmHg atau MAP.> 105 mmHg
4. Proteinuria signifikan , 300 mg/ 24 jam atau > 1 g/ml
5. Diukur 2 kali pemeriksaan dengan jarak waktu 6 jam
6. Udema umum atau peningkatan berat badan ideal
Tekanan darah idealnya diukur setelah pasien istirahat 30 menit. Bila tekanan darah mencapai
atau > 160/110 mmHg, preeklamsia termasuk kriteria berat jika terdapat gejala lain seperti
disebut diatas.

Kriteria diagnosis preeklamsia berat:

1. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110 mmHg
2. Proteinuria sama dengan 5 atau + 3 pada tes celup strip
3. Oliguria, diuresis
4. Sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan
5. Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen atau ada ikterus
6. Udema paru atau sianosis
7. Trombositopenia
8. Pertumbuhan janin yang terhambat

G. PENCEGAHAN
1. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-tanda sedini
mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak
menjadi lebih berat.
2. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada factor-faktor
predisposisi.
3. Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta pentingnya
mengatur diit rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga
kenaikan berat badan yang berlebihan.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penanganan Pre eklampsia Ringan
a. Istirahat di tempat tidur dengan berbaring ke arah sisi tubuh.
b. fenobarbital 3×30 mg per hari (menenangkan penderitaan dan menurunkan tensi)
c. pengurangan garam dalam diet.
d. pemakaian diuretik dan antihipertensi tidak dianjurkan.
e. jika tidak ada perbaikan dan tensi terus mningkat, retensi cairan dan proteinuria
bertambah maka pengakhiran kehamilan dilakukan meskipun janin msh premature.
2. Penanganan Pre eklampsia Berat
a. beri sedativa yang kuat utk mcegah kejang
b. jika oliguria, beri glukosa 20% iv
c. pre eklampsia berat lbh mudah menjadi eklampsia pd saat persalinan
d. perlu analgetika dan sedativa lebih banyak
e. persalinan hendaknya dengan cunam atau ekstraktor vakum dg narkosis umum utk
menghindari rangsangan pada ssp
f. anestesia lokal bila tensi tidak terlalu tinggi dan penderita masih somnolen karena
pengaruh obat
g. pemberian ergometrin rutin pd kala III tidak dianjurkan, kecuali ada perdarahan post
partum.
h. obat penenang diteruskan sampai 48 jam post partum, kemudian dikurangi bertahap
dalam 3-4 hari
i. Pada gawat janin dalam kala I dilakukan segera seksio sesaria
j. Pada gawat janin dalam kala II dilakukan ekstraksi dg cunam atau ekstraktor vakum
k. post partum bayi sering menunjukkan tanda-tanda asfiksia neonatorum maka perlu
resusitasi.
3. Tujuan Pengobatan
a. Mencegah terjadinya eklamsia
b. Anak harus lahir dengan kemungkinan hidup yang besar
c. Persalinan harus dengan trauma yang sedikit-sedikitnya dan jangan sampai
menyebabkan penyakit pada kehamilan dan persalinan berikutnya ( sectio caesarea
menembah bahaya pada kehamilan dan persalinan berikutnya ).
d. Mencegah hypertensi yang menetap
I. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
Pengkajian yang dilakukan terhadap ibu preeklampsi berat antara lain sebagai berikut :

1. Identitas umum ibu


2. Data riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
- Kemungkinan ibu menderita penyakit hipertensi sebelum hamil
- Kemungkinan ibu mempunyai riwayat preeklampsia pada kehamilan terdahulu
- Biasanya mudah terjadi pada ibu dengan obesitas
- Ibu mungkin pernah menderita penyakit ginjal kronis
b. Riwayat kesehatan sekarang
- Ibu merasa sakit kepala di daerah frontal
- Terasa sakit flu di ulu hati/nyeri epigastrium
- Gangguan virus : penglihatan kabur,skotoma,dan diplopia
- Mual dan muntah, tidak ada nafsu makan
- Gangguan serebral lainnya ; terhuyung-huyung, refleks tinggi,dan tidak tenang
- Edema pada ekstermitas
- Tengkuk terasa berat
- Kenaikan berat badan mencapai 1 kg perminggu
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kemungkinan mempunyai riwayat preeklampsi ringan atau berat dan eklampsi dalam
keluarga
d. Riwayat Perkawinan
Biasanya terjadi pada wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun atau diatas 35 tahun
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : lemah
b. Kepala : sakit kepala, wajah edema
c. Mata : konjungtiva sedikit anemis, edema pada retina
d. Pencernaan abdomen : nyeri daerah epigastrium, anoreksia,mual dan muntah
e. Ekstermitas : edema pada kaki dan tangan juga pada jari-jari kaki
f. Sistem persarafan : hiper refleksia, klonus pada kaki
g. Genitourinaria : oliguria, proteinuria
h. Pemeriksaan janin : bunyi jantung janin tidak teratur, gerakan janin melemah
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah:
- Penurunan hemoglobin (nilai rujukan ata kadar normal hemoglobin utk wanita hamil adalah
12-14gr%)
- Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%)
- Trombosit menurun (nilai rujukan 150-450 ribu/mm3
- Urinalisis: ditemukan protein dalam urin
- Pemeriksaan fungsi hati
- Bilirubin meningkat (N= <1 mg/dl)
- LDH (laktat dehidrogenase) meningkat
- Aspartat aminotransferase (AST) >60 ul
- Serum glutamat pirufat trasaminase (SGOT) meningkat (N= 6,7-8,7 g/dl)
- Tes kimia darah: asam urat meningkat (N= 2,4-2,7 mg/dl)
Pemeriksaan radiologi
- Ultrasonografi: ditemukannya retardasi pertumbuhan janin intrauterus. Pernapasan
intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.
- Kardiografi: diketahui denyut jantung bayi lemah
5. Data sosial ekonomi
Preeklampsia berat lebih banyak terjadi pada wanita dan golongan ekonomi rendah, karena
merreka kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung protein dan juga kurang
melakukan perawatan antenatal yang teratur.

6. Data psikologis
Biasanya ibu preeklampsia ini berada dalam kondisi yang labil dan mudah marah, ibu merasa
khawatir akan keadaan dirinya dan keadaan janin dalam kandungannya, dia takut anaknya nanti
lahir cacat atau meninggal dunia,sehingga ia takut untuk melahirkan.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan: Agen injuri biologi
2. Intoleransi aktivitas b.d Kelemahan menyeluruh
3. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan kebutuhan O2
4. Penurunan curah jantung b/d gangguan irama jantung, stroke volume, pre load dan
afterload, kontraktilitas jantung.
5. Kelebihan Volume Cairan b/d kerusakan fungsi glomerolus skunder terhadap penurunan
cardiac output.
6. Risiko Injury dengan faktor resiko dengan faktor resiko fisik
7. Ansietas b.d. ancaman perubahan status kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

1. JNPKKR - POGI ,2000. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta. Yayasan Bina
Pustaka.
2. Manuaba, Ida Bagus Gede ,1998. Ilmu Kebidanan Penyakit kandungan dan KB. Jakarta : EGC.
3. Myles MF, Text Book For Midwive, Churchillivine Stone, London,1998.
4. Prawirohardjo, Sarwono, 1997. Ilmu Kebidanan . Jakarta YBP. SP.
5. Rustam Mocthar, 1992. Sinopsis Obstetri. Jakarta. EGC.
6. Taber. Ben Zion, MD ,1994. Kapita Sclekta : Kedaruratan Obstetri Dan Ginekologi. Penerbit
EGC. Jakarta.
7. Yasmin Asih, 1995. Dasar-Dasar Keperawatan, Maternitas EGC, Jakarta.
8. NANDA International. Nanda International: Nursing Diagnoses 2009-2011. USA: Willey
Blackwell Publicaton, 2009.
9. Moorhead, Sue, Meridean Maas, Marion Johnson. Nursing Outcomes Classification (NOC)
Fourth Edition. USA: Mosby Elsevier, 2008.
10. Bulechek, Gloria M, Joanne C. McCloskey. Nursing Intervetion Classification(NIC) Fifth
Edition. USA: Mosby Elsevier, 2008.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
CTG atau Cardiotokography sendiri adalah salah satu alat kedokteran yang
digunakan untuk mengetahui gangguan yang berkaitan dengan hipoksia janin,
seberapa jauh gangguan tersebut, hingga akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil
pemantauan tersebut. Pemeriksaan cardiotokografi sangat penting untuk ibu hamil.

Terutama kehamilan yang disertai komplikasi seperti pre-eklampsia, pecahnya


ketuban, kehamilan lebih dari 40 minggu, diabetes militus, hipertensi, asma, tiroid, penyakit
infeksi kronis dan komplikasi penyakit lainnya.

NST adalah cara pemeriksaan janin dengan menggunakan kardiotokografi, pada umur
kehamilan ≥ 32 minggu. Pemeriksaan ini dilakukan dengan maksud melihat hubungan
perubahan denyut jantung dengan gerakan janin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan baik pada
saat kehamilan maupun persalinan.
DAFTAR PUSTAKA

AbarwatiA, E R , Sunarsih,T, (2011), KDPK Kebidanan Teori & Aplikasi, Nuha


Medika, Yogyakarta,
Jee, Lofever, J, ( 1997 ), Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, Edisi 6,
EGC, Jakarta.
http://citraabadi2010.blogspot.com/2012/02/cardiotokografi.htm

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai