Anda di halaman 1dari 22

Tesalonika Bella Piri/190402005

Makalah Etika Terapan mengenai “Surrogate Mother/Sewa Rahim”

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada awalnya teknlogi reproduksi buatan diperuntukkan bagi peningkatan


produktivitas, dengan kata lain pada tahun 1790 teknologi ini berguna untuk
mengatasi krisis kekurangan bahan pangan dengan pengembangbiakan hewan-hewan
yang diambil susu dan dagingnya. Hasil yang memuaskan diterima pada saat itu
karena semen yang digunakan dalam pengembangbiakan adalah semen terbaik/
pilihan yang hasilnya menghasilkan hewan-hewan penghasil terbaik. Penemuan ini
akhirnya berkembang pada keingianan. Pada akhirnya timbul keinginan untuk
melakukan hal yang sama pada manusia dalam rangka meningkatkan produksi terbaik
dari manusia.1

Berbagai produk teknologi reproduksi pun dikembangkan sejak abad ke 17.


Salah satu yang paling kontroversial dalam mengawali perkembangan teknologi ini
adalah kehadiran Bank Sperma pada tahun 1984. Hingga saat ini ada banyak produk
yang ditawarkan oleh teknologi reproduksi yang sering juga disebut Artifical
Reproduction Technology, salah satu yang paling popular dan sering dimanfaatkan
ialah Inseminasi buatan (Artificial Insemination) yang berkembang menjadi sub
teknologi dengan spesifikasi yang lebih sempit.

Inseminiasi buatan (Artificial Insemination) adalah teknologi reproduksi yang


membantu membuat pembuahan buatan dan implantasi buatan (in vitro fertilization)
yang dapat dilakukan didalam tubuh maupun diluar tubuh manusia tanpa coitus,
tergantung pada spesifikasi inseminasi yang diinginkan. Implantasi adalah suatu

1
John Jefferson Davis, Evangelical Ethics-Issues Facing The Church Today (New Jersey:
Presbyterian and Reformed Publishing, 1985), hlm. 65-66

1
penanaman embryo yang sudah dikembangkan diluar tubuh terlebih dahulu kedalam
rahim calon ibu.2

Jenis inseminasi buatan yang akan dibahas pada makalah ini adalah suatu
teknologi in vitro fertilization yang masih sangat kontroversial terutama bila ditilik
dari sisi keagamaan dan normative, yaitu Surrogate Mother (Ibu pengganti) atau yang
biasa dikenal dengan istilah sewa Rahim. Teknologi ini termasuk kedalam golongan
Artificial Insemination by Donor yang merupakan pengembangan dari inseminasi
buatan yang biasa (artificial Inseination). Dikatakan pengembangan karena bila
inseminasi butan biasa hanya melibatkan pasangan suami isteri saja, maka dalam
Surrogate Mother ini melibatkan pihak lain selain pasangan suami isteri, yaitu wanita
yang berasal dari dalam anggota keluarga maupun dari wanita yang tidak memiliki
hubungan keluarga dengan pasangan suami isteri tersebut, yang dalam prosesnya
dapat menggunakan prinsip imbalan materi atau tidak.

Surrogate Mother atau sewa rahim mendapat kontroversi dari sisi etika dan
agama, karena prosesnya yang tidak melalui hubungan seks tapi penanamannya pada
orang yang tidak terikat hubungan suami isteri. Dalam makalah ini, penulis akan
membahas lebih jauh mengenai Surrogate Mother atau sewa rahim beserta
bagaimana pandangan Kristen secara khusus Alkitab terhadap surrogate Mother ini.

BAB II
2
Stephen E. Lammers & Allen Verhey, On Moral Medicine-Theological Perspectives in
Medical Ethics (Michigan: William B. Eerdmans Publishing, 1989), hlm. 333

2
PEMBAHASAN

2.1 SURROGATE MOTHER

a. Apa Itu Surrogate Mother

Sewa rahim atau Surrogate Mother adalah sebuah peristiwa yang menjadi
fenomena yang marak diperbincangkan, dan diperdebatkan beberapa tahun
kebelakang ini. Fenomena atas sewa rahim ini merupakan suatu hasil kemajuan
teknologi biotek-medis di bidang kedokteran dalam melakukan inseminasi buatan.
Atas kemajuan teknologi biotek-medis yang berkembang semakin maju terhadap
sewa rahim membuat banyak pasangan suami-istri yang berbondong-bondong untuk
mengikuti program tersebut baik di luar negri maupun di dalam negri.

Surrogery mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu


wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung,
melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi
kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri
tersebut tidak bisa mengandung.3 Perjanjian atas surrogery mother disebut
“gestational agreement”. Dalam Bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu
wali’. Ibu pengganti adalah seorang wanita yang setuju, biasanya dengan kontrak dan
dengan bayaran, untuk melahirkan seorang anak untuk pasangan yang tidak memiliki
anak karena istrinya tidak subur atau secara fisik tidak mampu membawa janin yang
sedang berkembang. Seringkali ibu pengganti adalah ibu kandung anak, mengandung
dengan cara inseminasi buatan dengan sperma dari suami. Pada ibu pengganti
gestasional, istri subur tetapi tidak mampu membawa janin yang sedang tumbuh;
anak dikandung melalui fertilisasi in vitro menggunakan telur istri dan sperma
suaminya, dan embrio yang dihasilkan ditanam di rahim ibu pengganti.

Dalam praktek yang dilakukan ada dua jenis sewa rahim tersebut yaitu : 4

3
http://kinkin-mulyati.blogspot.com/2013/10/surrogate-mother-ibu-penggantisewa.html# ,
diakses pada tanggal 21 Desember, pukul 12.33.
4
Selian M.A.H. 2107. Surrogate Mother; Tinjauan Hukum Perdata Dan ISLAM. Jurnal Yuridis
Vol. 4 No. 2, Desember 2017: 131-147.

3
- Sewa rahim semata (gestational surrogacy) Embrio yang lazimnya berasal
dari sperma suami dan sel telur istri yang dipertemukan melalui teknologi
IVF, ditanamkan dalam rahim perempuan yang disewa.

- Sewa rahim dengan keikutsertaan sel telur (genetic surrogacy) Sel telur yang
turut membentuk embrio adalah sel telur milik perempuan yang rahimnya
disewa itu, sedangkan sperma adalah sperma suami. Walaupun pada
perempuan pemilik rahim itu adalah juga pemilik sel telur, ia tetap harus
menyerahkan anak yang dikandung dan dilahirkannya kepada suami istri
yang menyewanya. Sebab, secara hukum, jika sudah ada perjanjian, ia
bukanlah ibu dari bayi itu. Pertemuan sperma dan sel telur pada tipe kedua
dapat melalui inseminasi buatan, dapat juga melalui persetubuhan antara
suami dengan perempuan pemilik sel telur yang rahimnya disewa itu.

Sewa rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya


adalah:

- Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk


mengandung secara normal karena memiliki penyakit atau kecacatan yang
dapat menghalanginya dari mengandung dan melahirkan anak.

- Seorang perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi


pembedahan rahim.

- Perempuan tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban
kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan
tubuh badannya.

- Perempuan yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus haid
(menopause).

- Perempuan yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari


nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.

4
Pembuahan di luar tubuh atau dalam istilah medisnya disebut dengan fertilisasi
in vitro. Teknik reproduksi buatan adalah penanganan terhadap sel gamet (ovum dan
sperma) serta hasil konsepsi (embrio) sebagai upaya untuk mendapatkan kehamilan di
luar cara-cara alami. Fertilisasi in vitro atau biasanya disebut bayi tabung adalah
proses fertilisasi dengan mempertemukan sel telur dan sperma secara manual di
dalam cawan laboratorium. Apabila proses ini berhasil maka akan dilanjutkan dengan
proses lain yaitu embrio yang bertujuan menempatkan embrio didalam uterus.5

Fertilisasi in vitro dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

- Benih istri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian


dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaidah ini digunakan dalam keadaan
istri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan,
kecacatan yang serius, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang
lain.

- Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang ada telah
disenyawakan, dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang
selepas kematian pasangan suami istri itu.

- Ovum istri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul
dan istri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih istri dalam
keadaan baik.

- Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan


ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila istri ditimpa penyakit
padaovarium(ovary) dan rahimya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau
istri telah mencapai tahap putus haid (menopause).

5
Ahmad Zahari, Kapita Selekta Hukum Islam, FH Untan Press, Pontianak,
2008, hlm.136-137.

5
- Sperma suami dan ovum istri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam
rahim istri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini istri yang lain
sanggup mengandungkan anak suaminya dari istri yang tidak boleh hamil.6

Sedangkan terkait dengan surrogate mother ada beberapa jenis dari penyewaan
rahim, antara lain:
a. Traditional surrogacy
Traditional surrogacy adalah suatu kehamilan yang mana sang wanita
menyediakan sel telurnya untuk dibuahi dengan inseminasi buatan kemudian
mengandung atas janinnya serta melahirkan anaknya untuk orang lain atau
kehamilan yang berasal dari suatu inseminasi buatan, di mana ovum (sel telur)
berasal dari si wanita yang hamil dan mengandung bayi tersebut dalam suatu jangka
waktu kehamilan, kemudian melahirkan anak untuk pasangan lain. Dari defenisi
tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dalam traditional surrogacy bayi
dilahirkan dari surrogate mother membawa gen dari surrogate mother itu karena
ovum berasal dari seorang laki-laki yang bukan pasangan surrogate mother, namun
setelah surrogate mother melahirkan bayi tersebut diserahkan untuk kemudian
diasuh oleh laki-laki tersebut dan pasangannya. Jadi, yang menjadi ayah dan ibu
biologisnya adalah jelas si laki-laki yang memberikan spermanya untuk membuahi
ovum dan surrogate mother yang dari mana ovum itu berasal.
Jenis surrogacy ini dilakukan pada umumnya apabila istri tidak lagi
memproduksi sel telur. Di luar negeri, khususnya di negara-negara yang
memperbolehkan hubungan sesama jenis secara legal, hal ini bisa juga dilakukan
oleh pasangan sesama jenis (homo sexual) yang ingin memiliki keturunan. Oleh
karena pasangan (laki-laki) tidak mungkin dapat menghasilkan sel telur dan
mengandung maka mereka menyewa rahim dari wanita lain sekaligus memanfaatkan
sel telur wanita tersebut untuk dibuahi.

b. Gestational surrogacy
6
Sonny Dewi, Susilowati Suparto, dan Deviana Yuanitasari, Aspek Hukum Sewa Rahim
dalam Perspektif Hukum Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2016.hlm.13.

6
Gestational surrogacy merupakan suatu kehamilan yang berasal dari sel telur
atau ovum seorang wanita yang telah dibuahi oleh sperma seorang pria (umumnya
pasangan dari wanita pemilik ovum) yang dikandung dalam rahim wanita lain (si ibu
pengganti) hingga si ibu pengganti tersebut melahirkan. Berdasarkan defenisi
tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dalam gestational surrogacy anak
yang dilahirkan oleh seorang ibu pengganti secara genetik membawa gen wanita dan
laki-laki lain, sehingga orangtua biologis dari si anak yang dilahirkan si ibu
pengganti adalah si laki-laki yang dari mana sperma berasal dan si wanita yang
memiliki ovum tersebut, bukan si wanita yang mengandung dan melahirkan bayi.
Gestational surrogacy adalah tipe yang paling umum dalam surrogacy. Dalam
tipe ini, surrogate mother hamil dengan sel telur wanita lain dimana sel telur
tersebut telah dibuahi dengan sperma dari sang laki-laki atau donor lain melalui
proses yang dinamakan pembuahan in vitro. Akibatnya, surrogate mother tidak
memiliki hubungan biologis langsung dengan sang jabang bayi. Demi menjaga
kehamilannya, dalam tipe ini surrogate mother diharuskan untuk meminum obat
kesuburan.
c. Intended mother
Intended mother adalah wanita lajang atau yang memiliki pasangan yang
menghendaki kehamilannya dilakukan oleh wanita lain yang menyetujui untuk
dihamili dengan janin dari sel telurnya sendiri maupun dari hasil donasi melalui
suatu perjanjian bisnis.“Intenden mother” diartikan sebagai “ibu yang
menginginkan kehamilan” yang mana hak atas anak akan dialihkan kepadanya
setelah sang anak lahir. Namanya yang akan terdaftar sebagai ibu kandung sang
anak, bukan nama sang ibu pengganti (surrogate mother).
Dalam perkembangan teknologi kedokteran, surrogate mother dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu:
1. Benih yang akan ditanam berasal dari pasangan suami istri kemudian di
tanam kembali ke rahim istri.
2. Salah satu benih dari donor (sperma/ovum) di tanam ke rahim istri. Benih

7
berasal dari pasangan suami istri tapi ditanam pada rahim wanita lain.7

b. Sejarah Munculnya Surrogate Mother

Para ahli di bidang teknologi dan kesehatan telah mengembangkan ilmu


pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dari tahun ke tahun guna memenuhi tuntutan
kebutuhan yang sangat besar dalam memiliki keturunan. Kemajuan IPTEK
kedokteran bidang reproduksi manusia mengalami perkembangan begitu pesatnya.
Saat ini terdapat berbagai cara pelaksanaan dalam upaya kehamilan di luar cara alami,
yang disebut “Teknologi Reproduksi Buatan” (TRB), yang dalam Undang-Undang
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebut “kehamilan diluar cara
alami”. TRB merupakan teknik dimana oosit dimanipulasi sebelum tandur dialihkan 8,
baik sebagai oosit maupun sebagai embrio. Hal ini dilakukan sebagai upaya terakhir
pengobatan pasangan kurang subur (infertil), karena dapat menimbulkan distress
pada pasangan yang bersangkutan, dan dengan cara lain mungkin kehamilannya akan
berhasil. Sejak lahirnya “bayi tabung” pertama yang diberi nama Louise Brown di
Inggris pada tahun 1978, telah dikembangkan berbagai cara TRB.

Setelah keberhasilan bayi tabung, para ahli menemukan masalah lain yang
dikemukakan oleh pasangan suami istri. Masalah lain tersebut yaitu bagaimana
apabila rahim istri yang sudah tidak berfungsi dengan baik karena kondisi yang tidak
memungkinkan untuk mengandung, seperti diantaranya terjadi kanker rahim
sehingga rahim istri harus diangkat. Akhirnya para ahli kembali melakukan inovasi,
dari Teknologi Reproduksi Buatan (TRB) jenis bayi tabung kini bermunculan TRB
yang dikenal sebagai sewa rahim/ibu pengganti/surrogate mother.

7
Sonny Dewi, Susilowati Suparto, dan Deviana Yuanitasari, Op.cit, 14-16.
8
Oosit adalah sel telur, dan Tandur Alih Embryo adalah proses memasukan 2 atau maksimum 3
embryo yang sudah diseleksi ke dalam rahim dengan cara menyemprotkannya secara perlahan ke
dalam rahim melalui leher rahim dengan menggunakan alat bantu kateter dan USG. Dalam Proses
Bayi Tabung, http://teratai-clinic.com/our-services/proses-bayi-tabung/, diakses pada tanggal 26
Oktober 2016 pukul 19.00 WIB.

8
Ibu pengganti (surrogate mother) adalah salah satu cara Teknologi
Reproduksi Buatan (TRB) yang hampir sama dengan Teknologi Reproduksi Buatan
jenis bayi tabung yang telah dikembangkan oleh para ahli kedokteran. Oleh karena
ibu pengganti (surrogate mother) merupakan salah satu dari jenis bayi tabung, maka
tak dapat dipungkiri bahwa sejarah kemunculannya adalah berawal dari lahirnya
teknologi bayi tabung itu sendiri.9

Praktik ibu pengganti (surrogate mother) pertama kali dilakukan pada tahun
1987 di Afrika Selatan. Seorang ibu yang bernama Edith Jones, melahirkan kembar
tiga anak-anak hasil pencangkokan embrio putrinya yang bernama Suzanne dan
suaminya. Kelahiran lewat inseminasi buatan semacam ini dilakukan karena Suzanne
tak memiliki kandungan sejak ia lahir. Proses pembuahannya dilakukan di rumah
sakit BMI Park, Nottingham. Inilah pertama kalinya di dunia, sejarah tentang seorang
puteri (Suzanne), yang menyewa rahim ibunya (Edith Jones), guna mengandung
embrio dari dirinya dan suaminya.10

c. Pelaksanaan Surrogate Mother di dunia

Masalah ibu pengganti (surrogate mother) dewasa ini sudah membudaya di


banyak negara, diantaranya seperti di Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Afrika
Selatan. Teknologi ibu pengganti (surrogate mother) kini sudah mengembangkan
jenis bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor sedangkan ovumnya dari istri
demikian sebaliknya, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri.
Selain itu dapat juga dengan jenis bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum
dari pasangan suami istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim ibu
pengganti (surrogate mother). Hal ini berkembang sangat pesat, menjelang awal
tahun 1989 saja telah lahir 100 anak yang merupakan produk dari ibu pengganti
(surrogate mother).11

9
Salim HS, Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1993, hlm. 8.
10
Luthfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, Jakarta,
1998, hlm. 158.
11
Salim HS, Op. Cit, hlm. 10.

9
Di India cukup banyak wanita yang menyewakan rahimnya untuk ribuan
pasangan yang tidak subur. Pasangan tidak subur ini banyak datang dari luar negeri.
Mereka mencari wanita tidak mampu yang mau dibayar untuk mengandung anak
mereka selama sembilan bulan.12 Kota Anand yang terletak di Negara Bagian
Gujarat, India, telah berubah menjadi tempat “peternakan bayi”, dimana para wanita
wilayah itu meminjamkan rahim mereka untuk membesarkan perkawinan sperma
dan sel telur dari pasangan asing. Ibu pengganti ini bahkan didukung oleh sebuah
klinik resmi yaitu klinik Akanksha yang sudah selama satu dekade membantu para
wanita menjadi ibu pengganti (surrogate mother). Sekitar 700 bayi telah dilahirkan
namun bukan anak mereka. Wanita-wanita ini rahimnya hanya dipinjam sementara
oleh banyak orang barat karena praktik ibu pengganti di negara mereka terlalu
mahal dan illegal. Setiap wanita diperkirakan mendapatkan uang kompensasi
sebesar Rp 90,1 juta per kehamilan. Jumlah uang itu diakui mereka sangat
membantu kehidupan warga desa miskin yang rata-rata hanya berpenghasilan Rp 14
ribu per hari. Sementara biaya melahirkan sekitar Rp 326,2 juta sudah dibayarkan
oleh orangtua biologis si bayi.13

d. Pelaksanaan Surrogate Mother dan pengaturan hukum terkait sewa


rahim di Indonesia
Praktik ibu pengganti (surrogate mother) di Indonesia dituangkan dalam
sebuah perjanjian. Perjanjian ibu pengganti (surrogate mother) terjadi atas dasar
niat atau kesepakatan bersama antara pasangan suami istri dengan ibu pengganti
sebagai yang menyewakan. Perjanjian ibu pengganti (surrogate mother) adalah
perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian
dengan pihak lain (suami-istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan
suami istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan
diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan

12
Ardini Maharani, “Sewa Rahim Marak di India”,dalam
http://www.merdeka.com/dunia/kisah-para hawa-sewakan-rahim-di-india.html diakses pada tanggal
21 Desember 2019.
13
Ibid,.

10
perjanjian yang dibuat.14
Wanita tersebut dibutuhkan sebagai pengganti bagi wanita yang tidak bisa
mengandung dengan berbagai alasan. Beberapa alasan yang menyebabkan
dilakukan praktik ibu pengganti, yaitu : (1)Seorang wanita tidak mempunyai
harapan untuk hamil secara normal karena suatu penyakit atau kecacatan yang
menghalanginya untuk hamil dan melahirkan anak; (2) Rahim wanita tersebut
dibuang karena pembedahan; (3)Wanita ingin memiliki anak tetapi tidak mau
menjalani proses kehamilan, melahirkan dan menyusui anak serta keinginan untuk
memelihara bentuk tubuh dengan menghindari akibat dari proses kehamilan dan
kondisi tubuh setelah melahirkan; (4) Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah
mengalami menopause; (5) Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan
menyewakan rahimnya kepada orang lain.15

Menurut perspektif hukum, ibu pengganti belum jelas apakah diperbolehkan


atau tidak sama sekali. Hal ini dikarenakan tidak secara tegas menyebutkan praktik
ibu pengganti (surrogate mother) dilarang dan adanya kesenjangan pada hukum
kesehatan, dimana pada Undang-Undang Kesehatan yang lama Nomor 23 Tahun
1992 larangan atas praktik di luar bayi tabung disertai sanksi pidana, tetapi dalam
Undang-Undang Kesehatan yang baru Nomor 36 Tahun 2009 sanksi pidana tersebut
ditiadakan. Walaupun dalam kedua peraturan tersebut dengan jelas dikatakan bahwa
praktik di luar bayi tabung dilarang pelaksanaannya di Indonesia, namun hal
tersebut menjadi tidak konsisten antara Undang-Undang Kesehatan yang lama
dengan Undang-Undang Kesehatan yang baru. Adapun isi pasal yang merupakan
larangan praktik ibu pengganti (surrogate mother) dipertegas dengan adanya sanksi
pidana bagi pelaku ibu pengganti (surrogate mother) dalam pasal 82 (2a) Undang-
Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan berbunyi: “Barangsiapa dengan

14
Desriza Ratman, Surrogate mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa
Rahim di Indonesia?, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012),3.
15
Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, “Sekilas Tentang Sewa Rahim”, Badan Kebajikan
Pelajar pelajar Perubatan Malaysia-Mesir (Perubatan), American Open University, Cairo, Februari,
2004, hlm. 3.

11
sengaja melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Kedua UU Kesehatan (lama dan baru) sama-sama mengatur pasangan suami


istri dalam mengupayakan memiliki keturunannya di luar cara alami yaitu hanya
boleh dengan cara bayi tabung (Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Kesehatan yang
lama). Perbedaannya di dalam Undang-Undang Kesehatan Baru dengan tidak
adanya sanksi maka larangan ibu pengganti (surrogate mother) menjadi tidak tegas
dan dipertanyakan. Kejelasan dan ketegasan sangat penting guna terciptanya
kepastian hukum mengenai praktik ibu pengganti (surrogate mother) di Indonesia.

Selain diatur secara implisit dalam UU Kesehatan yang baru, diatur pula
dalam Permenkes/RI No.39/Menkes/SK/I/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Teknologi Reproduksi Buatan dalam Pasal 2 pada Ayat 3 ”Pelayanan teknologi
reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat
perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta
berdasarkan pada suatu indikasi medik.” Ibu pengganti (surrogate mother) juga
tercantum dalam SK Dierjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 Tentang Pedoman
Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit :

1) Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma
dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan;

2)Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas,


sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan
infertilitas secara keseluruhan;

3) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.

Selain itu, muncul aturan terbaru Peraturan Pemerintah No 61/ Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi yang mengatur bahwa dalam pasal 40 ayat (1)
“Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah hanya dapat
dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan

12
mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh keturunan.” dan
dalam pasal 40 ayat (2) “Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara
Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan
hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan
dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.”

Secara formal sampai saai ini surrogate mother belum dilakukan di


Indonesia, namun dalam praktiknya banyak perilaku yang mengarah dilakukannya
surrogate mother. Secara hukum penyewaan rahim di Indonesia dilarang, tetapi
ternyata praktiknya surrogate mother sudah banyak dilakukan secara diam-diam di
kalangan keluarga.

Sebuah situs di internet, yaitu Detik Health16(www.detikhealth.com 18


Oktober 2010) pernah memuat artikel yang berjudul: “Sewa Rahim di Indonesia
Dilakukan Diam-Diam”. Menurut artikel tersebut secara hukum penyewaan rahim di
Indonesia dilarang, tetapi ternyata prakteknya sudah banyak dilakukan secara diam-
diam di kalangan keuarga.Artikel tersebut diangkat dari sebuah seminar tentang
sewa rahim di Unika Soegijapranata, Semarang pada tanggal 5 Juni 2010. Sewa
rahim di Indonesia “ada tapi diam-diam” kata aktivis perempuan Agnes Widanti
dalam seminar: “Surrogate Mother (Ibu Pengganti) Dipandang Dari Sudut Nalar,
Moral dan Legal” di Unika Soegiyapranata, Semarang, Jalan Pawiyatan Luhur,
Sabtu, 05 Juni 2010. Contohya di Papua banyak dilakukan sewa-menyewa rahim,
hanya sewa-menyewa itu tak pernah dimasalahkan karena dilakukan dalam
lingkungan keluarga.Seperti seorang keponakan yang menyewa rahim tantenya agar
bisa mendapatkan anak.

e. Pandangan moral terhadap sewa rahim (Surrogate Mother)

Sewa- menyewa rahim bukan persoalan biologis semata, tetapi juga


kehidupan dan kemanusiaan.17 Kasus seperti ini sebenarnya banyak terjadi di
Indonesia, hanya saja tidak mencuat karena belum menimbulkan permasalahan.
16
Detik Health “Sewa Rahim di Indonesia Dilakukan Diam-Diam”, diakses dari
https://health.detik.com/ibu-dan-anak/1370505/sewa-rahim-di-indonesia-dilakukan-diam-diam
, Pada 21 Desember 2019, pukul 22.43.

13
Tetapi permasalahan baru akan muncul jika ibu yang menyewakan rahimnya tidak
mau menyerahkan bayi yang dikandungnya. Keengganan menyerahkan anak
tersebut muncul karena naluri alamiah seorang ibu yang timbul pada saat dia
mengandung anak, walaupun anak itu bukan berasal dari benihnya. Oleh karena itu
perlu ada undang-undang yang mengatur tentang sewa rahim atau ibu pengganti
(surrogate mother) tersebut.

Selain itu persoalan sewa rahim adalah terkait dengan moral, yaitu mengenai
identitas anak hasil sewa rahim kelak.Secara moral apakah dibenarkan seorang anak
yang dilahirkan dari seorang ibu pengganti, meski bukan berasal dari benih ibu
tersebut, kemudian diserahkan begitu saja kepada keluarga (pasangan suami istri)
yang menyewa rahim. Bahwa rahim yang dimiliki oleh seorang perempuan bukanlah
mesin produksi, namun adalah organ reproduksi manusia, yang proses pembuahan,
masa mengandung, dan persalinannya sarat dengan nilai-nilai moral.

Masa pertumbuhan janin dalam kandungan seorang perempuan tidak sama


dengan proses produksi barang, karena selama masa dalam kandungan di samping
menerima asupan dari makanan ibu yang mengandung juga menerima kasih sayang
dari ibu yang mengandung. Secara moral sebutan ibu diberikan dan ditujukan
kepada perempuan yang pernah mengandung dan melahirkan anak, kendati anak
yang dikandung bukan berasal dari benihnya sendiri.Hal inilah yang perlu
dipertimbangkan tentang keberadaan ibu pengganti dalam perspektif moral.18

BAB III

PERSPEKTIF ALKITAB TERHADAP SEWA RAHIM (SURROGATE


MOTHER)

Sebagaimana isu lain mengenai prokreasi manusia, surrogate mother


17
Husni Thamrin, Hukum Sewa Rahim dalam Bayi Tabung, ( Yogyakarta:Aswaja Pressindo,
Jakarta, 2015 hlm.44-45.
18
Ibid, 47.

14
tentunya menyita perhatian dari sisi keagamaan. Dari sudut pandang Kristiani,
analisa moral dari teknologi reproduksi buatan ini harus mendapatka perhatian serius
terutama terkait dengan tujuan aktifitas seksual dan keutuhan pernikahan. Terlebih
lagi dalam posisi ini generasi manusia ditempatkan dalam level yang seolah-olah
sejajar dengan dengan perkawinan hewan, apalagi teknik yang digunakan pada
prosedur kerjanya sangat mirip.19

Pada tahun 1949 Paus Paus Pius XII dari gereja Katolik Roma adalah tokoh
agama pertama yang menanggapi secara serius masalah reproduksi buatan yang
dilakukan pada manusia. Beliau berkata, “the natural law and the divine law are
such that the procreation of new life may only be the fruit of marriage”, yang artinya
hukum alamiah dari prokreasi manusia (penghamilan) hanya boleh dilakuakan
melalui perkawinan/ persetubuhan yang wajar.”

Bila kita menilik dari segi prosedur pelaksanaan praktik surrogate mother
maka ada proses onani dan masturbasi, yang artinya ada pembuangan sperma yang
secara sengaja yang bila kita lihat dalam Kejadian 38:10. Pada konteks pasal
tersebut cara yang dilakukan untuk mendapatkan keturunan bagi Er, Onan
melakukan persetubuhan yang wajar, namun ia membuang maninya sehingga
matilah Onan karena hal tersebut dipandang jahat oleh Allah.

Ditambah lagi dengan berbagai bentuk dan alasan pasangan untuk melakukan
surrogate mother yang membuat perbuatan ini dipandang keji oleh Allah. Berikut
ulasan dari berbagai bentuk penyewaan rahim disertai dengan respons iman kristiani.

1. Jika sprema dan ovum berasal dari pasangan suami isteri namun mengunakan
rahim wanita lain dengan alasan kecacatan atau ketiadaan rahim sang isteri
karena berbagai faktor. Dalam bentuk penyewaan ini, wanita yang rahimnya
disewa telah seolah-olah menjual rahimnya. Di samping itu, pernikahan yang
dikehendaki oleh Tuhan Yesus adalah pernikahan dengan satu partner. Dalam

19
John Jefferson Davis, Evangelical Ethics-Issues Facing The Church Today (New Jersey:
Presbyterian and Reformed Publishing, 1985), hlm. 69

15
kasus ini, ada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam hubungan pernikahan, ini
merusak kekudusan pernikahan.
2. Benih yang telah disenyawakan ditumpangkan ke wanita lain karena orang tua
benih meninggal. Ini berkitan dengan pandangan dasar dalam teknologi
reproduksi buatan dengan persenyawaan yang tidak alamiah/ dengan bantuan
manusia dan terjadi diluar rahim wanita, yang menjadikannya bukan
perkawinan/ persetubuhan yang tidak wajar.
3. Kecacatan laki-laki atau sperma laki-laki yang membuat ovum wanita harus
dibuahi oleh sperma lain dan kemudian dititipkan ke rahim wanita lain. Keadaan
ini lebih parah lagi, karena selain cara persenyawaan yang tidak wajar juga ada
pihak ketiga dan keempat, yaitu pihak pendonor sperma dan pihak pendonor
sewa rahim. Kerumitan ini telah menghancurkan kekudusan pernikahan dengan
pemaksaan kehendak.
4. Sperma sang suami disenyawakan dengan ovum wanita lain dan ditanam di
rahim wanita lain. Dalam hal ini kerunyaman terjadi bila ada dua wanita
pendonor, yaitu pendonor rahim dan pendonor ovum. Tidak dapat terlihat
keterlibatan langsung pada isteri yang sah. Adopsi anak merupakan usaha yang
lebih sederhana dan mulia dibandingkan cara ini. Atau jika wanita pendonor
ovum dan rahim adalah wanita yang sama, maka kejadian ini mirip dengan apa
yang terjadi pada Abraham, Sarah dan Hagar dalam Kejadian 16 yang pada
akhirnya menimbulkan pertentangan dan masalah.
5. Bentuk yang terakhir adalah bila ovum dan sperma dari suami isteri yang sah
disenyawakan dan ditanam pada isteri yang lain, dalam artian terjadi praktik
poligami. Hal ini dijelaskan dalam Markus 10:11-12 yang berbunyi “Lalu
katanya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan
wanita lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri
menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah”.
Dalam penjelasan diatas jelaslah betapa Allah menghendaki kekudusan
dalam pernikahan karena Ia dari kesatuan suami isteri yang Ia inginkan ialah
keturunan ilahi, sehingga kesetiaan menjadi faktor penentu yang sangat diperlukan

16
dalam hubungan suami isteri (Maleakhi 2: 15-16).20
Berikut adalah Perbandingan Argumen megenai Surrogate Mother (Sewa
rahim) berdasarkan Scott B. Rae dalam Brave New Family

Affirmative (government) Oposisi (Norma Kristiani)

 Sewa rahim sesuai dengan  Sewa rahim termasuk dalam


aturan konstitusional dalam praktik jual-beli anak
kebebasan prokreasi (AS).
 Sewa rahim berpotensi
 Bayaran kepada ibu sewaan mengekspoitasi ibu sewa
adalah sebuah pembayaran jasa (ekspolitasi wanita)
pelayanan, bukan penjualan
 Sewa rahim merusak hak
anak
ibu untuk berasosiasi
 Sewa rahim berbeda dengan dengan anak
adopsi dalam pasar gelap
(perdagangan anak/bayi)

Kitab suci bersifat skeptic tentang kontribusi orang ketiga dalam prokreasi.
Sewa rahim komersial adalah problema bahkan bagi mereka yang tidak percaya
pada kitab suci karena kecenderungan jual-beli bayi yang diciptakan. Jual-beli bayi
adalah adalah masalah moral yang mendapat perlawanan dari kebanyakan orang.21
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Teknologi bioteknologi medis mengenai reproduksi buatan merupakan hasil


kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada prinsipnya bersifat netral dan

20
Ed Wheat, 20 Langkah Menuju Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta: Karismata, 1999), hlm 32
21
Scott B. Rae, Brave New Families (USA: Baker books, 1996), hal167.

17
dikembangkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang bertujuan
mensejahteraan umat manusia dan dalam implementasinya selalu akan bergesekan
dengan sekelompok nilai-nilai moral, etika, dan agama serta terlebih khususnya
permasalahan hukum sehingga menimbulkan problematika atau pertentangan antara
nilai idiil dengan nilai pragmatis dalam mengakomodir kepentingan pihak tertentu
yang ingin mempunyai keturunan dengan memanfaatkan teknologi modern dan telah
diaplikasikan dalam dunia internasional yang kemudian telah dapat diterapkan di
Negara Indonesia dalam mengatasi permasalahan reproduksi.
2. Salah satu teknologi reproduksi buatan ini adalah Surrogery mother (ibu
pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa
rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan
kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang
tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.
Surrogery mother ini sebagaimana teknologi reproduksi buatan lainnya seperti bayi
tabung, donor sperma, dll juga menimbulkan pertentang-pertentangan atau pro kontra
di kalangan masyarakat maupun gereja.
3. Sewa rahim ini dalam beberapa kasus selalu dilatarbelakangi oleh seorang wanita
yang tidak bisa mengandung, menopause, dan keinginan yang besar untuk mendapat
keturunan tapi tidak kunjung mendapat setelah menikah bertahun-tahun. Praktik ibu
pengganti (surrogate mother) di Indonesia dituangkan dalam sebuah perjanjian.
Perjanjian ibu pengganti (surrogate mother) terjadi atas dasar niat atau kesepakatan
bersama antara pasangan suami istri dengan ibu pengganti sebagai yang
menyewakan. Perjanjian ibu pengganti (surrogate mother) adalah perjanjian antara
seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain
(suami-istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami istri tersebut yang
ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan
bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat.
4. Secara formal sampai saai ini surrogate mother belum dilakukan di Indonesia,
namun dalam praktiknya banyak perilaku yang mengarah dilakukannya surrogate

18
mother. Undang-undang di Indonesia sendiri belum secara jelas mengatur tentang
praktek sewa rahim ini.

5. Alkitab memandang praktik surrogate mother atau ibu pengganti untuk


mendapatkan keturunan dilarang. Hal ini seperti yang disabdakan Paus Paus Pius
XII pada tahun 1949 dari gereja Katolik Roma adalah tokoh agama pertama yang
menanggapi secara serius masalah reproduksi buatan yang dilakukan pada manusia.
Beliau berkata, “the natural law and the divine law are such that the procreation of
new life may only be the fruit of marriage”, yang artinya hukum alamiah dari
prokreasi manusia (penghamilan) hanya boleh dilakuakan melalui perkawinan/
persetubuhan yang wajar.” Dalam Kejadian 38:10 menjelaskan bahwa pembuangan
sperma merupakan perbuatan yang dipandang jahat oleh Alah. Pernikahan yang
dikehendaki Allah adalah pernikahan satu partner, sehingga bila dalam meperoleh
keturunan melinatkan perempuan lain maka dianggap mengkhianati kekudusan
pernikahan.

PANDANGAN PRIBADI
Saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Menurut European Centre for
Law and Justice tahun 2012 menyatakan bahwa praktik surrogacy adalah ekploitasi
terhadap anak dan wanita. Hal ini dikarenakan akan merendahkan martabat anak dan
perempuan karena menjadikan mereka sebagai objek kontrak dan komoditi. Tujuan
surrogacy bukanlah kepentingan anak, tetapi untuk memenuhi keinginan orang
dewasa. Selain itu bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, praktik ini
dijadikan kamuflase untuk human trafficking yaitu sengaja mengambil wanita-
wanita muda untuk dijadikan komoditi surrogate mother dengan bayaran sedikit
sedangkan bayaran dari orang tua pembawa benihnya sebenarnya lebih tinggi dari
yang diberikan kepada surrogate mother nya. Bisnis inilah yang dimanfaatkan
segelintir orang tidak bertanggung jawab dengan mengekplotasi wanita.
Praktik surrogacy ini juga dapat menimbulkan banyak masalah seperti
kesulitan mengenai pembentukan filiasi dan kewarganegaraan anak, masalah dapat
timbul dalam situasi jika kesehatan atau kehidupan ibu pengganti akan terancam

19
selama kehamilan, jika ibu pengganti mengubah pikirannya dan ingin menjaga
anaknya, jika anak itu lahir dengan cacat dan orang tua pembawa benih tidak mau
menerima kenyataan itu, atau Jika kecacatan terdeteksi selama kehamilan, dapatkah
ibu pengganti bertanggung jawab menggugurkan? Belum lagi masalh jika yang
melakukan parktik surrogacy ini adalh orang tua tunggal yang mengambil sperma
atau ovum dari donor. Masalah lain akan timbul jika pendonor tersebut meminta hak
asuh atas anak tersebut, lebih jauh lagi jika pendonor tersebut memilki anak dari
pasangannya yang lain dan anak keturunan mereka menikah karena sebelumnya
tidak diketahui keturunannya maka akan terjadi incest (hubungan sedarah) incest ini
secara genetika akan banyak menimbulkan masalah dengan munculnya kelainan-
kelainan genetik pada keturunannya. Dan masalah-masalah lain yang akan timbul
kelak kemudian hari. Oleh sebab itu meskipun banyak perdebatan yang
berkembang, praktik surrogacydi sebagian besar negara secara etika dan moral
dilarang karena itu bertentangan dengan fitrah manusia sebagai mahluk yang berakal
dan berbudi juga mahluk yang memiliki nilai dibandingkan dengan mahluk lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

As-Syaukani, Luthfi. Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih


Kontemporer, Jakarta:1998.

20
Davis, John Jefferson. Evangelical Ethics-Issues Facing The Church Today
New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing, 1985.
HS, Salim. Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,
1993.
M.A.H. Selian 2107. Surrogate Mother; Tinjauan Hukum Perdata Dan
ISLAM. Jurnal Yuridis Vol. 4 No. 2, 2017.
Rae, Scott B. Brave New Families. USA: Baker books, 1996.

Ratman, Desriza Surrogate mother dalam Perspektif Etika dan Hukum:


Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012.

Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, “Sekilas Tentang Sewa Rahim”,
Badan Kebajikan Pelajar pelajar Perubatan Malaysia-Mesir (Perubatan),
American Open University, Cairo, Februari, 2004.

Stephen E. Lammers & Allen Verhey, On Moral Medicine-Theological


Perspectives in Medical Ethics. Michigan: William B. Eerdmans Publishing, 1989.

Sonny Dewi, Susilowati Suparto, dan Deviana Yuanitasari, Aspek Hukum


Sewa Rahim dalam Perspektif Hukum Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama,
2016.

Thamrin, Husni. Hukum Sewa Rahim dalam Bayi Tabung,


Yogyakarta:Aswaja Pressindo Jakarta, 2015.

Zahari, Ahmad. Kapita Selekta Hukum Islam, Pontianak: FH Untan Press,


2008.

Wheat, Ed. 20 Langkah Menuju Pernikahan Yang Bahagia, Jakarta:


Karismata, 1999.
Detik Health “Sewa Rahim di Indonesia Dilakukan Diam-Diam”, diakses
dari https://health.detik.com/ibu-dan-anak/1370505/sewa-rahim-di-indonesia-
dilakukan-diam-diam , Pada 21 Desember 2019, pukul 22.43.

21
http://kinkin-mulyati.blogspot.com/2013/10/surrogate-mother-ibu-
penggantisewa.html#, diakses pada tanggal 21 Desember, pukul 12.33.

Ardini Maharani, “Sewa Rahim Marak di India”, dalam


http://www.merdeka.com/dunia/kisah-para hawa-sewakan-rahim-di-india.html
diakses pada tanggal 21 Desember 2019.

22

Anda mungkin juga menyukai