Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gereja-gereja di Indonesia dibangun dari berbagai tradisi-tradisi yang ada baik yang terjadi
dalam perkembangan masyarakat maupun yang dibawa oleh orang-orang luar termasuk para
penginjil. Dari berbagai tradisi yang dibangun itu cara-cara pandang serta cara beribadah
gereja pun memiliki berbagai corak sesuai tradisi yang ada.

Cara beribadah setiap gereja-gereja di Indonesia terdapat perbedaan-perbedaan dalam


melaksanakan ibadah-ibadah, namun tujuan dari ibadah semua gereja-gereja di Indonesia
tetaplah sama yaitu untuk memanggil dan membangun iman jemaat dalam Tuhan.setiap
gereja memiliki cara mereka sendiri untuk melaksanakan ibadah mereka seperti halnya dalam
pembuatan liturgi yang didalamnya disusun berbagai unsur-unsur yang saling melengkapi
dan terstruktur dengan baik.

Namun masalah yang dihadapi gereja saat ini tentang cara pandang jemaat yang hanya
menganggap unsur-unsur yang ada dalam liturgi hanyalah sebuah kebiasaan atau formalitas
yang terjadi sejak dahulu. Dengan cara pandang seperti itu penghayatan akan makana liturgi
baik dalam ibadah maupun dalam implikasi kehidupan sulit dilakukan jemaat saat ini, hal itu
dibuktikan melalui cerminan kehidupan jemaat yang kurang menggambarkan arti liturgi yang
sebenarnya.

Makalah ini kami buat dalam rangka menjawab beberapa pertanyaan dan kami mencoba
mengubah cara pandang jemaat Kristen saat ini tentang unsur-unsur Liturgi. Banyak
pertanyaan yang muncul dari kalangan jemaat tentang seberapah pentingkah unsur-unsur
yang ada dalam liturgi misalnya berkat, dan lain-lain. Banyak juga pertanyaan dari jemaat
tentang mengapa liturgi harus terdiri dari beberapa unsur dan apa kegunaan unsur tersebut
dalam liturgi dan untuk memanggil jemaat dibangun dalam iman. Untuk itu kami
menjelaskan tentang masing-masing unsur dalam liturgi serta kegunaannya dan bagaimana
unsur itu saling berkaitan dan memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari jemaat dalam
pelaksanaan liturgi yang sebenarnya.

1|Page
1.2 Rumusan Masalah

-Apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam litugi?

-Apa kegunaan unsur-unsur tersebut?

-bagaimana sejarah lahirnya unsur-unsur tersebut dan bagaimana unsur-unsur tersebut


disusun secara sistematis berdasarkan fungsinya masing-masing dalam liturgi?

1.3 Tujuan:

Agar supaya para pembaca diperkaya oleh pengetahuan akan bentuk-bentuk dari unsur-unsur
liturgi itu. dan kita sebagai para pelayan dan hamba Tuhan diperlengkapi dan dipersiapkan
untuk membawakan liturgi dengan baik pada setiap kebaktian.

2|Page
BAB II

PEMBAHASAN

UNSUR UNSUR LITURGI

A. Votum, Salam, dan Introitus

1.Votum

Dalam abad-abad pertama jemaat memulai ibadahnya dengan salam. Calvin(dalam kebaktian
pemberitaan firman) memulainya dengan : Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang
menjadikan langit dan bumi (Mzm.124:8). 1Formula votum tersebut adalah salah satu yang
telah mencirikan warisan atau kebiasaan Calvin bagi gereja-gereja Calvinis(Reformed) di
Indonesia yang berasal dari Belanda. Berdasarkan kebiasaan Calvin tersebut Sinode
Dordrecht(1574) kemudian mewajibkan pemakaian Mazmur 124:8 sebagai votum di dalam
kebaktian. Menurut Kuyper votum itu bukan doa, melainkan suatu keterangan khidmat.
Maksud votum ialah untuk meng-konstatir ‘hadirnya Tuhan Allah’ di tengah-tengah
umatNya. Oleh karena itu, votum harus diucapkan pada permulaan kebaktian.Sesuai dengan
keputusan Sinode Dordrecht (1574), gereja-gereja di Nederland (dan di Indonesia) memakai
rumus votum “Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN, yang menjadikan langit dan
bumi” (Mzm.124:8). Van der Leeuw dan Lekkekerker tidak keberatan kalau pada rumus ini
ditambahkan kata-kata “yang memelihara kesetiaan sampai selama-lamanya dan tidak
meninggalkan (membiaran) pekerjaan tanganNya (Mzm.138:8 dan 146:6). Pemimpin-
pemimpin lain telah merasa cukup dengan rumus Mazmur 124:8, tanpa tambahan apa-apa.
Alasan mereka adalah bahwa votum itu harus pendek dan sederhana.Disamping Mazmur
124:8 dipakai juga Matius 28:19 sebagai rumus votum “Dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus.” Kuyper sedikit memperluas rumus ini seperti berikut “Permulaan ibadah kita adalah
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Lekkerkerker yang tak menyetujui kombinasi
votum dan salam, menganggap Mazmur 124:8 sebagai suatu pengakuan dalam doa pelayan.
Oleh karena itu, ia mengusulkan supaya rumus itu diucapkan dengan mata tertutup.

2. Salam

a. Dalam abad-abad pertama salam dipakai di tiga tempat: sebelum kollekta (doa), sebelum
prefasi (bagian doa dan konsekrasi) dan sebelum bubar (akhir kebaktian). Kemudian salam
dipakai juga di bagian-bagian lain; sebelum khotbah (sebagai pendahuluan) dan mungkin
juga sesudah khotbah.

b. Bentuk salam yang paling sederhana yaitu yang dipakai oleh jemaat-jemaat dari gereja
lama “Tuhan menyertai kamu!” dijawab oleh jemaat “Dan menyertai rohmu!” bentuk tersbut
biasanya diganti dengan salam rasuli “Anugerah dan sejahtera adalah dengan kamu dari Allah
Bapa dan dari Yesus Kristus, Tuhan dan dari Roh Kudus.” Golterman mengusulkan rumus
salam “Kasih Karunia menyertai kamu dna damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari
Tuhan Yesus Kristus”(Rm 1:7) atau “Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah

1
Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam sejarah liturgi, Jakarta: Gunung Mulia,2015, hal.150

3|Page
Bapa dan dari Yesus Kristus”. Kalau perlu dapat ditambah dengan “dan Persekutuan Roh
Kudus”.

Salam diucapkan tanpa mengangkat tangan. Dengan tegas Oberman memperingatkan “Salam
itu buka berkat! Jadi, jangan mengangkat tangan. Jangan diucapkan dengan tangan terulur.
Kita belum tiba pada benediksi. Salam pelayan dijawab oleh jemaat dengan “amin!”

3. Introitus

Introitus terdiri dari nyanyian masuk dengan atau tanpa nas pendahuluan.

a. Liturgi-liturgi lama memulai ibadahnya dengan suatu nyanyian yang disebut Inressa atau
Officium. Dari nyanyian ini timbul apa yang kemudian dalam ritus Romawi dinamai
Introitus. Introitus terdiri dari: antifon, mazmur, dan Gloria kecil. Mazmur yang dipakai
selalu bergantian. Introitus pada hakekatnya adalah nyanyian jemaat.

b. cara Lutheran diambil alih oleh gereja-gereja di Nederland dan diimpor ke Indonesia. Isi
dan dasarnya diterangkan oleh van der Leeuw seperti berikut, “Votum memberikan amanat
secara am. Salam mengkonstitusikan persekutuan. Kini introitus menempatkan kebaktian
jemaat dalam suasana dari bagian sejarah selamat, yang dari padanya kita hidup pada saat ini:
kita berada alam kebaktian Adven atau Pentakosta atau Trinitas.

c. sesudah pelayan mengucapkan nas pendahuluan jemaat menyanyikan nyanyian masuk.


Nyanyian itu adalah suatu puji-pujian. Menurut van der Leeuw, “kalau jemaat sudah
menyanyikan suatu nyanyian masuk, cukuplah disini dinyanyikan gloria kecil: Hormat bagi
Bapa serta Anak dan Roh Kudus. Kalau tidak dinyanyikan nyanyian masuk, maka disinilah
tempatnya jemaat menyanyikan suatu kidung atau mazmur puji-pujian. Kidung atau mazmur
itu janganlah diberitahukan! Jangan juga dibacakan!. Tentang jenis nyanyian yang harus
dinyanyikan disini, Golterman mengusulkan: “suatu nyanyian tentang kerinduan akan
Allah;suatu mazmur tentang kepergian ke mezbahNya, suatu kidung puji-pujian dan kidung-
kidung lain.terutama Mazmur.

B. Pengakuan Dosa, Pemberitaan Anugerah dan Hukum

1. Pengakuan Dosa dan Pemberitaan Anugerah

Sesuai dengan kebiasaan yang dipakai dalam abad-abad pertama tata-tata kebaktian
reformatoris menempatkan pengakuan dosa dan pemberitaan keampunan (anugerah) di dua
tempat: sebelum khotbah (akta pribadi dijadikan akta jemaat) atau sesudah khotbah (dipinjam
dari biecht umum sebagai persiapan untuk menerima komuni) 2komuni adalah penerimaan
roti dan anggur. Calvin mempunyai keyakinan bahwa pada pengakuan dosa harus
ditambahkan suatu janji yang memberikan harapan kepada anggota-anggota jemaat tentang
pengampunan dosa dan pendamaian. Pada abad ke-16 berlangsung suatu diskusi yang agak
hebat tentang absolusi. Pada tahun 1535 jemaat Lutheran di Nurnberg dan Sinode nasional
yang diadakan di Middleburg (Nederland) pada tahun 1581 tidak menyutujui absolusi di
dalam kebaktian. Dalam gereja-gereja calvinis pemberitaan keampunan (absolusi) terus
2
Dr.Th.van den End, RAGI CARITA 1, Jakarta: Gunung Mulia,2015, hal.40

4|Page
dipakai. Pemakaian pemberitahuan anugerah bersama-sama dengan penolakan adalah
karakteristik bagi banyak tata kebaktian calvinis. Gereja-gereja ini beranggapan bahwa
absolusi hanya diberikan dengan syarat, dengan perkataan lain, hanya dapat diterima dalam
penyesalan dan percaya. Gereja-gereja Calvinis di Nederland mengambil alih kebiasaan ini
dan dari sana kebiasaan-kebiasaan tersebut diimpor ke gereja-gereja di Indonesia. Rumus
yang digunakan untuk pengakuan dosa ada bermacam-macam ada yang langsung dikutip dari
Alkitab dan ada yang disusun oleh gereja-gereja sendiri. Gereja Protestan di Indonesia antara
lain “Allah yang Mahakasih dan Yang Mahamurah, kami mengaku di hadapan hadiratMu
bahwa kami telah berbuat dosa dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Karena itu kami
mohon kepadaMu: kasihanilah kami, ampunilah segala dosa kami dan sucikanlah kami dari
ketidakbenaran (kecemaran) kami.” Pengakuan dosa yang diucapkan oleh pelayan biasanya
dimulai dengan suatu undangan: “Marilah kita mengaku dosa kita kepada Tuhan” atau
“Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengaku dosa kita kepadaNya” dan
diaminkan oleh jemaat dengan Kyrie Eleison: “Tuhan kasihanlah kami! Kristus kasihanilah
kami! Tuhan, kasihanilah kami! Menurut Golterman pemberitaan anugerah Allah yang
dimaksudkan ialah pemberitaan anugerah Allah yang didalam Kristus telah mendamaikan
diriNya dengan dunia dan berdasarkan kematian Kristus rela untuk mengampuni dosa kita.
Rumus yang dipakai ialah: “sebagai hamba Yesus Kristus saya (kami) memberitakan
pengampunan dosa kepada tiap-tiap orang yang dengan tulus ikhlas telah mengaku dosanya
di hadapan Allah”, disambung dengan suatu nas yang dipilih menurut tahun gerejawi.
Menurut pemimpin-pemimpin Gerakan Liturgia pengakuan dosa,Kyrie eleison dan
pemberitaan anugerah harus diucapkan/didengarkan oleh jemaat sambil berletut. Pada waktu
mempersembahkan puji-pujiannya,ia (jemaat) berdiri.

2. Hukum

a. Lekkerkerker lebih setuju dengan urutan Calvin. Pada umumnya para pemimpin Gerakan
Liturgia mempunyai pendapat seperti Lekkerkerker. Kuyper setuju dengan Calvin, tetapi
tentang tempatnya tidak. “Hukum sebagai peraturan pengucapan syukur tidak boleh
ditempatkan sebelum, tetapi sesudah khotbah.”

a. Hukum yang biasa dibacakan ialah dasafirman (Kel. 20:1-17). Menurut van der Leeuw
dasafirman tidak boleh dibacakan tanpa inti hukum (Mat.22:37-40) sebab inti hukum yang
memberikan arti yang legitim kepada dasafirman bagi umat Kristen. Pembacaan hukum
disambut (diaminkan) oleh jemaat dengan puji-pujian.

C. Gloria Kecil, Kyrie Eleison dan Nyanyian Pujian

Beberapa tata kebaktian dari gereja-gereja di Indonesia memakai Gloria kecil (sesudah
pembacaan Mazmur). Kyrie Eleison (sesudah pengakuan dosa) dan nyanyian pujian (sesudah
pemberitaan anugerah dan pembacaan hukum) sebagai unsur ibadah.

1.Gloria Kecil
Gloria kecil (Hormat bagi Bapa serta Anak dan Rohul Kudus, seperti pada permulaan,
sekarang ini dan selama-lamanya,Amin.) adalah bagian ketiga dari introitus. Bagian yang lain

5|Page
ialah antifon dan Mazmur. Gloria kecil mula-mula rupanya adalah nyanyian jemaat. Namun
ketika diimpor ke Roma, unsur ini diserahkan bersama-sama dengan Mazmur kepada paduan
suara. Kemudian, diusahakan untuk mengembalikannya kepada jemaat,tetapi tidak berhasil.
Abad-abad pertengahan mengenalnya hanya sebagai nyanyian contor (penyanyi) dan koor
(paduan suara). Reformasi melanjutkan perkembangan ini. Usaha-usaha pembaruan yang
dijalankan sejak waktu itu, telah membawa hasil yang menyenangkan. Salah satu diantaranya
ialah Gloria kecil: dalam banyak kebaktian unsur ini sekarang dinyanyikan oleh jemaat
sendiri.

2.Kyrie Eleison
A. Kyrie Eleison (=Tuhan Kasihanilah) adalah suatu doa yang terkenal di antara
bangsa-bangsa kafir (di Mesir,Asia kecil,Konstantinopel,Yunani,Roma dll) sebagai salah satu
unsur dalam kultus (penyembahan) matahari , jauh sebelum Kristus. Dalam semua Liturgia
yang dipakai di seluruh gereja sebelah timur (Liturgia Klementin, liturgia Basilius dan
Chrysostomus, Liturgia Yakub dan Liturgia Markus) Kyrie Eleison menjadi bagian yang
penting baik dalam ibadah pemberitaan firman (sesudah khotbah), maupun di dalam ibdah
perayaan Perjamuan (pada permulaan perayaan sebagai doa orang-orang percaya). Oleh
pengaruh-pengaruh Liturgi ini Kyrie eleison dibawa masuk ke Gereja Barat.
B. Pemakain Kyrie Eleison di gereja-gereja reformatis tidak sama. Yang lebih baik
memelihara tradisi Gereja Lama dibidang ini ialah gereja-gereja lutheran. Dalam gereja-
gereja Calvinis, Kyrie Eleison tidak memainkan peranan yang penting.
C. oleh usaha gerakan Liturgia unsur ibadah ini sekarang dipakai lagi didalam banyak
kebaktian Protestan. Kyrie eleison dinyanyikan sesudah pengakuan dosa. Van der Leeuw
mengatakan “Kyrie Eleison sendiri adalah suatu pengakuan dosa. Oleh karena itu pengakuan
dosa tidak usah turut diucapkan oleh jemaat sekalipun tidak ada keberatan terhadapnya.
Baiklah Kyrie Eleison itu dinyanyikan dalam bentuknya yang lama.

3. Nyanyian Pujian
A. Gloria in excelsis Deo (kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, Luk.
2:14), yang disebut juga “Gloria besar” atau “kidung malaikat”.
B. Pemakaian Gloria in excelsis Deo dalam gereja-gereja reformatoris umumnya
sama saja dengan pemakain Kyrie Eleison. Tata kebaktian-tata kebaktian Lutheran yang
kemudian umumnya memuat kedua unsur itu. Pada saat ini keduanya telah menjadi bagian
yang tetap di dalam ibadah jemaat.
C. Sama seperti Kyrie Eleison demikian pula Gloria in excelsis Deo, oleh usaha
Gerakan Liturgia sekarang dipakai di dalam banyak kebaktian Protestan di Indonesia. Di
Indonesia Gloria in excelsis Deo kita temui dalam dua terjemahan (saduran): Muliakanlah
(NR 29) dan Hormat Diberi (Dua Sahabat Lama).

D. Doa, Pembacaan Alkitab dan Khotbah

1. Para pemimpin gerakan Liturgia sependapat dengan Kuyper. Mereka menekankan bahwa
doa untuk pemberitaan firman Allah tidak sama dengan doa syafaat. Karena itu harus
dijagasupaya keduanya tidak dicampurbaurkan. Dalam doa untuk pemberitaan firman
Allah,jemaat memhonkan pimpinan roh Allah sehubungan dengan pelayanan khotbah yang

6|Page
segera akan berlangsung. Doa tersebut pendek tegas dan mesra. Lekkerkerker lebih setuju
kalau epiklese ditempatkan sebelum pembacaan alkitab. “Ari teologis dari penempatan ini
ialah bahwatanpa penerangan (kesaksian) Roh Kudus, Alkitab adalah aksara (huruf) yang
mati bagi jemaat’. Buku ibadah dari Gereja Hervormd di Nederland memuat sebagai contoh
beberapa “doa untuk penerangan Roh Kudus” yang ditempatkan sebelum pembacaan
Alkitab,antara lain:
- “Bapa yang di sorga, sudilah Engkau sekarang mengartikan kepada kami
firmanMu yang kudus menurut kehendakMu yang ilahi supaya dari firmanMu itu kami
belajar untuk menggantungkan kepercayaan kami hanya kepadaMu dan menariknya dari
segala makhluk yang lain. Berilah supaya manusia kami yang lama dengan segala
keinginannya disalibkan tiap-tiap hari, dan supaya kami mengorbankan diri kami bagiMu
menjadi korban syukur yang hidup untuk kemuliaan namMu dan untuk pembangunan sesama
kami, oleh Than kami, Yesus Kristus. Amin.
- “Ya Bapa yang pengasih, sedengkanlah telingaMu pada doa
kami dan terangilah hati kami dengan rohMu yang kudus supaya firmanMu dapat dilayani
dan dipercayai atas jalan yang benar dan supaya kami boleh mengasihi Engkau dengan
kasih yang abadi, oleh Yesus Kristus,Tuhan kami. Amin.

2. Pembacaan Alkitab

Pembacaan Alkitab telah ditemui dalam ibadah Sinagoge. Di sana dibacakan kitab Taurat
dankitab Nabi-Nabi. 3Pembacaan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi menjadi praktik baku
sebagaimana orang-orang Yahudi mengingat pemberian hukum oleh Allah dan ucapan
Allahkepada mereka melalui para nabi. Kebiasaan ini diambil alih oleh Perjanjian Baru.
Pada saat ini gereja-gereja umumnya mengikuti kebiasaan abad-abad pertama dan
membacakan baik dari Perjanjian Lama maupun dari Perjanjian Baru. Beberapa ahli
berpendapatr bahwa ada baiknya pembacaan Alkitab itu haruslah berbentuk jamak bukan
tunggal. Menurut Kuyper “Tuhan Allah berkata-kata kepada jemaatMya oleh nabi-nabi, oleh
penginjil-penginjil, dan oleh raul-rasulnya”

Bagaimana caranya pembacaan-pembacaan itu harus dilakukan? Para ahli-ahli Liturgia


mencela kebiasaan untuk menyerahkan pemilihan pembacaan Alkitab kepada kemauan atau
kebijaksanaan pelayan. Berhubung dengan hal itu mereka mengusulkan pemakaian salah satu
sistem yang diikuti di gereja-gereja lain. Antara lain lectio selecta (sistem perikop) dan lectio
continua (pembacaan secara kontinu).
Ahli-ahli Liturgi saat ini umumnya setuju saja bahwa pembacaan Alkitab sebaiknya
jangan dilakukan oleh seorang saja. Pembacaan Alkitab biasanya diakhiri dengan
“Berbahagialah orang yang mendengar firman Allah dan yang memeliharanya.
Haleluya!”dan dijawab oleh jemaat dengan nyanyian “Haleluya!Haleluya!Haleluya! pada
masa Adven dan selama mingu-minggu sengsara diganti dengan “Hosiana”.
Sejak dulu pembacaan Alkitab erat hubungannya dengan khotbah. Hubungan yang
erat antara pembacaan Alkitab dan khitbah ini dapat kita temukan dalam KisahPara Rasul 13.
Luther menekankan hubungan ini “Bilamana bagian Alkitab yang dibacakan itu tidak

3
James F.White, PENGANTAR IBADAH KRISTEN, Jakarta: Gunung Mulia,2015, hal.142

7|Page
ditafsirkan, bagian itu tidak ada gunanya bagi jemaat, sama seperti yang terjadi sampai
sekarang didalam biara-biara”

3. Khotbah

Menurut Luther, khotbah itu adalah “bagian yang termulia dan terutama dari tiap-tiap
kebaktian.4 Menurut van der Leeuw khotbah harus memnuhi syarat-syarat berikut: pertama,
khotbah adalah sebagian dari ibadah yang paling penting ialah ibadah, bukan khotbah; kedua,
khotbah tidak boleh lebih dari dua puluh lima atau tiga puluh menit; ketiga, khotbah tidak
boleh menguasai kebaktian, khotbah benar merupakan bagian yang berdiri sendiri, tetapi
bagian-bagian yang lain tidak takluk kepadanya; keempat, khotbah harus membangun jemaat
untuk turut aktif mengambil bagian di dalam ibadah. 5Khotbah adalah bentuk komunikasi
yang didasarkan pada keyakinan bahwa Allah merupakan hal yang sentral dalm proses itu.
Pengkhotbah berbicara atas nama Allah, dari Kitab Suci, oleh otoritas gereja, kepada jemaat.
Tujuan khotbah ialah supaya orang percaya (taat) dan diselamatkan6. Khotbah juga
mempunyai tujuan mempertahankan iman terhadap ancaman-ancamannya.7

E. MAZMUR DAN HALELUYA

1. MAZMUR

a. Kitab Mazmur memainkan peranan yang penting dalam ibadah jemaat; bukan saja ibadah
jemaat Perjanjian Lama (Israel), melaikan juga ibadah jemaat Perjanjian Baru. Sejak abad-
abad pertama kita membaca bahwa pembacaan-pembacaan Alkitab di dalam ibadah selalu
diselingi dengan nyanian mazmur. Kebiasaan ini di ambil alih oleh jemaat-jemaat pada waktu
itu dari ibadah sinagoge. Selain dari tempat ini, mazmur-mazmur dipakai di dalam introitus,
nyanyian perjamuan, gradual dan nyanyian korban. Bukan saja di dalam ibadah biasa,hari
melainkan terutama di dalam ibadah doa tiap-tiap hari, kitab Mazmur memainkan peranan
yang penting (khususnya di dalam biara-biara), kitab ini adalah satu-satunya buku nyanian
dan buku doa yang dipakai oleh rahib-rahib.

b.Tentang pemakaian mazmur di dalam ibadah, pemimpin-pemimpin Gerakan Lirtugia


umumnya mempunyai pendapat yang sama. Juga tentang cara pemakaiannya (cara
membacakan, menyanyikan, atau mengucapkannya sebagai doa)

c.Tentang cara menyanyikan mazmur-mazmur di “gereja-gereja muda”, terutama dalam


jemaat-jemaat di Indonesia, Teutscher mengusulkan yang berikut, “saya menganjurkan
menyian secara resitatif sebab justru cara ini sangat di kenal di Indonesia. Cerita–cerita lama,
dongeng-dongeng, boleh dikatakan dinyanyikan di mana-mana secara resitatif.

2. HALELUYA

4
DR.H.ROTHLISBERGER, Homiletika Ilmu Berkhotbah, Jakarta: Gunung Mulia,2015, hal.9
5
James F.White, PENGANTAR IBADAH KRISTEN, Jakarta: Gunung Mulia,2015, hal.157
6
DR.H.ROTHLISBERGER, hal.27
7
DR.H.ROTHLISBERGER, hal.35

8|Page
a. Unsur ini berasal dari ibadah Yahudi (ibadah bait Allah). Haleluya terutama dinyanyikan
pada hari raya Paskah dalam Haleluya besar (Mazmur 113-118). Dalam abad-abad
pertengahan haleluya banyak sekali dipakai. Terutama dalam liturgia-liturgia misa, unsur ini
sangat berkembang. Pada permulaan reformasi, haleluya dipakai di tempatnya yang biasa.
Dalam formula misaae (1523) Luther menyebutnya sesudah pembacaan surat-surat dan
gradual. Dua tahun kemudian (1525) diputuskan untuk menggantinya dengan nanyian
Jerman, atau suatu sekuens sebagai jawaban (respons) jemaat atas pembacaan surat-surat. Hal
ini rupanya terjadi juga dalam tata-tata kebaktian lainnya. Calvin menyuruh menyanyikan
suatu mazmur sesudah pengakuan dosa. Pollanus dan Micron juga demikian tapi sebelum
pembacaan Alkitab.

b. Pada saat ini haleluya dipakai oleh kebanyakan gereja sesudah pembacaan Alkitab (surat-
surat). “berbahagialah orang yang mendengar firman Allah dan yang memeliharanya.
Haleluya!”. Pada waktu hari raya adven dan sengsara, haleluya di ganti dengan hosiana.

F. PENGAKUAN IMAN

a. Sejak semula pengakuan iman erat hubungannya dengan pelayanan baptisan. Hal itu
berulang-ulang kita baca dalam tulisan-tulisan para pemimpin gereja yang hidup dalam abad-
abad pertama: orang-orang yang dibaptis menjawab soal-soal yang di tujuhkan kepada
mereka dengan “Aku Percayah!” dan sesudah itu mereka di selamkan dalam air. Sesudah
pelayanan baptisan, mereka diurapi, diberkati dan dipakakaikan baju putih (pakaian yang
melambangkan kesucian). Dari tempat baptisan,mereka masuk kedalam gereja untuk turut
mengambil bagian dengan anggota-anggota jemaat yang lain dalam pereyaan perjamuan
malam yang kudus. Kita lihat bahwa pengakuan iman itu mula-mula bebih banyak bersifat
pribadi: diucapkan secara pribadi oleh yang dibaptis. Kemudian pengakuan iman kehilangan
sifatnya yang pribadi ini dan berangsur-angsur merupakan akta bersama: pengakuan jemaat.
Dalam abad ke-5 pengakuan iman mulai dipakai dalam ibadah jemaat di sebelah Timur
(mula-mula di antiokhia, kemudian ke Konstantinopel), sejak tahun 1014 juga di sebelah
Barat, di dalam misa Romawi. Di sini pengakuan iman diucapkan pada akhir ibadah
pemberitaan firman (Missa Catechumenorum) dan permulaan ibadah perayaan eucharistia
(Misa Fidelium). Dalam Missale Romanum sekarang pengakuan iman ditempatkan sesudah
homilia. Hal itu sesuai dengan keputusan yang diambil oleh kongregasi untuk ritus-ritus
Romawi pada 16 Maret 1591, yaitu bahwa pengakuan iman tidak diucapkan sebelum concio
(khotbah), seperti yang dibuat dalam abad-abad pertengahan, tetapi sesudahnya.

b. Reformasi melanjutkan pemakaian pengakuan iman dalam ibadah di dalam ibadah, tetapi
tempatnya tidak tentu: kadang-kadang sebelum, kadang-kadang sesudah khotbah.

Luther menempatkannya sebelum khotbah. Butzer menempatkannya sesudah khotbah .Calvin


juga (dalam tata kebaktiannya untuk Straszburg) menempatkannya sesudah khtobah, atau
lebih tegas, sesudah doa syafaat yang diucapkan sesudah khotbah. Ia selalu memakai
Pengakuanan Iman Rasuli. Terhadap pengakuan Iman Nicea, Calvin banyak mempunyai
kritik (menurutnya pilihan kata-katanya berlebih-lebihan). Zwingli kadang-kadang
menempatkannya sebelum, kadang-kadang sesudah khotbah. Micron menempatkannya
sebelum doa syafaat, didahului dengan “supaya nyata bahwa kita termasuk pada jumlah
9|Page
orang-orang ini, kita akan mengaku Iman kita dengan singkat dan dengan gambira sebagai
berikut ...”
Sinode Dordrecht (1574) menganggap pengakuan iman sebagai doa dan karena itu
menghubungkannya dengan doa syafaat yang mendahuluinya.

a. Pada masa kini ahli-ahli lirtugia masih berbeda pendapat tentang tempat pengakuan iman
di dalam ibadah.

b. Pengakuan-pengakuan imam yang biasa dipakai didalam ibadah ialah Pengakuan Iman
rasuli, Pengakuan Iman Nicea, dan Pengakuan Iman Athanasius.

c. Tetapi bagimana caranya? Terhadap soal ini ahli-ahli liturgia umumnya tidak begitu
berbeda pendapat. Van der leeuw, “Pengakuan iman diikrarkan, bukan dibacakan, bukan
didengarkan. Untuk itu jemaat perlu .... bangkit berdiri sebagai tanda kesediannya untuk
membaktikan diri dalam pelayanan Tuhan. Jemaat perlu juga turut mengucapkan kata-kata
pengakuanj iman “dengan mulut dan hatinya”, seperti yang dimaksud dan dipraktekkan oleh
datuk-datuk kita. Pelayan perlahan-lahan dan dengan jelas mengucapkan tiap-tiap kalimat.
Jemaat mengikutinya dengan dengan mulut dan hati. Dalam pengakuan iman ini terletak
suatu berkat besar. Teranglah bahwa pengakuan iman dapat juga dinyanyikan, seperti yang
dikehendaki Luther dan Calvin .... Tetapi lebih baik, kalau kita mengucapkannya bersama-
sama. Brink berpendapat juga demikian. “Credo adalah jawaban, pengakuan jemaat. Karena
itu Apostolicum tidak boleh dibacakan oleh pendeta dan didengarkan oleh jemaat .... jemaat
sendiri harus mengaku imannya. Karena itu, jemaat harus bangun berdiri. Pengakuan Iman
dalam ibadah adalah ulangan mingguan dari pengakuan iman yang kita ikrarkan waktu kita
diteguhkan menjadi anggota sidi jemaat: selain itu penting sekali bahwa jemaat sendiri
mengaku dengan mulut dan hatinya, artinya turut mengucapkannya (meresitasinya) dengan
suara yang nyaring .... kalau pandangan saudara meresitasi Kredo itu tidak enak didengar,
baikalah saudara menyanyikannya saja, tetapi lebih bagus, kalau dalam bentuk tak bersajak.
Golterman mengusulkan supaya pelayan dan jemaat, yang sama-sama mengucapkan
pengakuan imannya, mengakhirnya dengan “Amin!”, jadi bukan dengan nyanyian.

G. DOA SYAFAAT
Yang dimaksud dengan Doa Syafaat ialah doa yang dalam beberapa tata kebaktian gereja-
gereja di Indonesia disebut doa umum atau doa pastoral. Di luar negeri doa ini terkenal
dengan nama intercession.

a. Dalam ibadah jemaat dari abad ke abad doa syafaat biasanya ditempatkan sesudah
pemberitaan firman. Yustinus Martyr (± 110-165) memberitakan bahwa sesudah “Kedua (=
pelayan) mengajar dan memberi nasihat ... kami semua (jemaat) bangun berdiri dan berdoa
bersama-sama.” Demikian juga dengan ritus Gallia. Di sini doa syafaat dihubungkan dengan
khotbah dan diucapkan dalam bentuk percakapan: diaken menyebutkan orang-orang dan atau
hal-hal yang harus di doakan oleh jemaat diakhiri oleh uskup dengan suatu doa rangkuman
(collectio post precem). Kemudian doa syafaat dipindahkan dari ibadah pemberitaan firman
ke ibadah perayaan perjamuan. Misalnya, dalam liturgia yang dipakai oleh Augustinus di
Hippo: sebelum doa konsekrasi diucapkan dahulu syafaat untuk gereja dan dunia, untuk para
pejabat dan anggota-anggota jemaat, untuk para rahib dan biarawan, untuk kasir dan para
10 | P a g e
tentara, untuk orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir. Dan juga dalam ritus Mozarabia:
perayaan eucharistia didahului oleh doa syafaat untuk orang-orang percaya, orang-orang yang
hidup dan yang mati. Dalam doa itu disebut nama orang-orang yang membawa korban dan
juga nama mereka yang kepadanya korban itu dipersembahkan. Melalui perubahan ini, doa
syafaat makin lama makin erat hubungannya dengan doa eucharistia. Dalam Missale
Romanum, doa syafaat ditempatkan sebelum dan sesudah konsekrasi roti dan anggur;
sebelum kosekrasi, diucapkan syafaat untuk orang-orang yang hidup dan peringatan akan
orang-orang suci, sesudah konsekrasi diucapkan safaat untuk peringatan akan orang-orang
mati dan doa untuk anggota-anggota gereja yaitu para pejabat dan anggota-anggota biasa.

b. Dalam karyanya, De canone epichiresis, Zwingli menempatkan doa syafaat untuk orang-
orang hidup dan peringatan akan orang-orang mati dalam ibadah pemberitaan firman. Leo
Juda juga berbuat demikian, dalam tata kebaktian yang ia susun pada tahun 1523, ia memulai
ibadah dengan peringatan akan orang-orang mati (bila ada yang meninggal) kemudian ia
melanjutkannya dengan syafaat untuk gereja dan pemerintah, untuk orang-orang yang hidup
dalam kesusahan, untuk hasil bumi dan lain-lain. Doa syafaat ini diikuti oleh suatu
pengakuan dosa. Calvin menempatkan doa syafaat sesudah khotbah. Demikian pula Icron,
Pollanus dan pemimpin-pemimpin lain. Penempatan ini, seperti yang tampak diatas, sesuai
dengan kebiasaan yang dipakai gereja lama dalam abad-abad pertama. Juga Luther berbuat
demikian.

c. Kebiasaan ini masih terus dipakai sampai sekarang. Doa syafaat sendiri, menurut van der
Leew, terdiri dari dua bagian yang esensial; syafaat dan Doa Bapa Kami, didahului dengan
salam doa. Yang dimaksudkan di sini dengan salam doa ialah rumus “Tuhan menyertai
kamu!”, diucapkan (dinyanyikan) oleh pelaya dan sebagai jawaban, jemaat mengucapkan
(menyanyikan) “Dan menyertai rohmu!”.

d. Untuk pelayan syafaat pemimpin-pemimpin Gerakan Liturgika sangat menekankan


pemakaian doa-doa formulir.

Dalam perjanjian baru kita mendapati dua macam sikap doa: berdiri dan berlutut. Keduanya
kemudian diambil alih oleh Gereja Lama dan banyak gereja reformatoris. Berhubung dengan
itu ahli-ahli liturgia pada saat ini mau mempertahankan kebiasaan tersebut. Kuyper lebih
menekankan sikap berlutut. Van der Leeuw juga mendukung sikap berlutut. Tapi Golterman
lebih suka sikap berdiri. Lekkerkerker tidak setujuh dengan pandangan-pandangan di atas. Ia
mengatakan bakwa kalau ia mendapat tugas untuk mendirikan sebuah gedung gereja, ia tidak
akan mengizinkan arsitek membuat bangku-bangku yang memberikan kesempatan kepada
anggota-anggota jemaat untuk berlutut waktu berdoa. Hal itu ia buat berdasarkan sebab-sebab
yang berikut. Pertama, karna berlutut waktu berdoa sampai sekarang masih tetap di pengaruhi
oleh kebiasaan Katolik Roma yakni penyembahan terhadap tubuh dan darah Yesus di dalam
hosti. Kedua, karena seorang Protestan tidak begitu cepat menyatakan apa yang terkandung di
dalam hatinya. Hal ini bukan saja mengenai perkara-perkara besar, misalnya demokrasi dari
yang mahakudus dalam prosesi (upacara, arak-arakan gerejawi), yang tidak dapat
diterimanya, melaikankan juga mengenai perkara-perkara kecil, umpamanya apa yang
berlangsung di bilik yang tersembunyi antara dia dengan Tuhan Allah.

11 | P a g e
e. Berdasarkan kebiasaan Gereja lama, pemimpin-pemimpin Gerakan Liturgia menghendaki
supaya doa syafaat dimulai oleh pelayan dengan salam “Tuhan menyertai kamu!” dan di
jawab oleh jemaat dengan “Dan menyertai rohmu!”.

H. Pemberian Jemaat

Persembahan jemaat dalam gereja-gereja di Indonesia disebut kolekte atau korban. Dalam
gereja lama sesudah pengakuan iman dan doa syafaat ibadah dapat dilanjutkan dengan
perayaan perjamuan. Pada abd-abad pertengahan mulai timbul perubahan yaitu ibadah
pemberian firman (khotbah). Ibadah pemberitaan firman tetap diakhiri dengan unsur-unsur
ibadah perayaan perjamuan. Salah satu dari unsur-unsur itu ialah pemberian atau
persembahan jemaat. Pemberian jemaat sejak dulu berhubungan erat dengan perayaan
perjamuan. Pada zaman Pb pemberian tersebut dianggap sebagai diakoni. Di gereja barat
persembahan “korban”( yang dibawa ke mezbah oleh para klerus dan anggota-anggota jemat)
dianggap sebagai suatu peristiwa penting. Persembahan jemaat mula-mula diberikan innatura
(hasil bumi: buah-buahan,minuman,dll) kemudian (dlm abad ke 11) diganti dengan
persembahan uang. Van der Leeuw dengan tegas mengatakan “korban adalah unsur yang
esensial dari ibadah jemaat, malahan lebih dari itu seluruh ibadah adalah ibadah korban.”oleh
sebab itu ia tidak setuju dengan istilah kolekte. Pemimpin-pemimpin gerakan Liturgia
memakai istilah korban untuk pemberian (persembahan jemaat). Namun ada beberapa ahli
yang tidak setuju pemakaan kata korban ini. Secara historis pemberian jemaat harus
ditempatkan sesudah khotbah. Dalam gereja-gereja di Indonesia tentang pemberian jemaat
ada yang menganggapnya sebagai korban ada pula yang tidak. Umumnya dalam semua
gereja di Indonesia pemberian jemaat dipersembahkan dalam bentuk uang.

I. Nyanyian dan Paduan Suara

1.Nyanyian Jemaat

Sejak dahulu nyanyian jemaat menduduki tempat yang penting di dalam ibadah. Tempat itu
masih tetap didudukinya sampai sekarang. Pada waktu reformasi, nyanyian jemaat
dibersihkan dari ragi-ragi Katolik Roma dan diserahkan kembali kepada jemaat. Luther
sendiri banyak mengubah nyanyian jemaat (sebagian besar dari nyanyiannya masih dipakai
oleh gereja-gereja di Indonesia sampai sekarang). Sesudah reformasi nyanyian jemaat terus
berkembang. Di indonesia hampir setiap gereja mempunyai buku nyanyiannya sendiri, dalam
bahasa Indonesia dan atau bahasa daerah. Pendapat para pemimpin gerakan liturgia tentang
bagimana cara menyanyikan nyanyian jemaat adalah sbb: mazmur dan nyanyian jemaat
hendaknya dinyanyikan seluruhnya (semua ayat). Menyanyi dengan suara yang bagtus
(merdu) bukan merupakan syarat mutlak. Tuhan Allah lebih suka mendengarkan suara
nyanyian yang tidak merdu, tetapi dinyanyikan dengan segenap hati daripada suatu nyanyian
yang merdu, tetapi tidak lahir dari hati yang merdu.

2. Paduan suara

12 | P a g e
Ada gereja yang tetap menggunakannya dalam ibadah, ada yang hanya sekali saja dan ada
yang tidak sama sekali berdasarkan larangan Calvin terhadap nyanyian polyphon didalam
ibadah. Para pemimpin gerkan liturgia tidak setuju dengan pandangan ini. Menurut mereka
paduan suara adalah unsur yang tetap dari ibadah jemaat. Dalam pengunaanya perlu
diperhatikan syarat-syarat berikut: pertama, paduan suara yang dipakai di dalam ibadah
jemaat adalah paduan suara gereja, bukan perhimpunan penyanyi. Tiap-tiap jemaat hanya
boleh mempunyai satu atau dua paduan suara. Tugasnya bukanlah untk membuat konser di
dalam ibadah, melainkan untuk memuji Tuhan bersama-sama dengan jemaat. Kedua, di
dalam ibadah paduan suara berdiri di pihak jemaat. Ketiga, di dalam ibadah paduan suara
tidak mepunyai tempat tersendiri. Keempat, didalam paduan suara bertugas melayani.
Kelima, di dalam ibadah paduan suara tidak boleh menyanyikan nyanyiannya sendiri.

J. Berkat

Dalam abad-abad pertama jemaat memakai berkat dalam ibadahnya tetapi berbentuk doa.
Menurut tata gereja Hippolytus berkat diucapkan oleh uskup dengan tangan terulur. Doa ini
banyak mempunyai variasi dan hanya boleh diucapkan oleh uskup. Kemudian (sejak abad
ke5) berhubung dengan timbulnya jemaat-jemaat di daerah-daerah doa berkat boleh
diucapkan juga oleh imam-imam, tetapi dalam bentuk yang lebih sederhana. Menurut
Kuyper, berkat adalah suatu permohonan. Ia selalu menyebutnya permohonan berkat.
Maksutnya ialah mendoakan (memohon) berkat Tuhan bagi jemaat. Sebagai rumus berkat
pemimpin-pemimpin gerkan liturgia mengusulkan 2 korintus 13:13 “Kasih karunia Tuhan
Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” atau
Bilangan 6:24-26 “Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau. Tuahn menyinari
engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia. Tuhan menghadapkan
wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” atau rumus yang biasa dipakai
oleh gereja lama “Kiranya Allah Yang Mahakuasa, Bapa, Anak dan Roh Kudus, memberkati
kamu!”. Berkat diucapkan oleh pelayan dengan tangan terulur dan telapak tangan yang
menghadap ke bawah. Menurut Oberman “Kalau pelayan mau memberkati dengan dua
tangan, seolah-olah mau merangkumi jemaat seluruhnya, baiklah ia berbuat demikian.
Lambang ada baiknya! Tetapi para ahli liturgia lebih menyukai sikap yang lebih sederhana
yaitu dengan satu tangan. Jemaat menerima berkat sambil berdiri, “dengan kepala yang
tertunduk.” Sebagai jawaban atas berkat itu, jemaat mengucapkan: Amin!Amin!Amin!

BAB III

13 | P a g e
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai unsur-unsur liturgi, dapat disimpulkan bahwa liturgi yang
didalamnya terdapat unsur-unsur bukanlah sekedar formalitas melainkan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dari ibadah dan kehidupan jemaat. Unsur- unsur dalam liturgi
bukanlah hanya suatu kebetulan atau hanya sesuatu yang disusun untuk merapikan tata
ibadah saja tetapi unsur-unsur itu dimaksutkan agar iman jemaat dan penghayatan akan karya
Allah dalam kehidupan jemaat dapat dihayati dan diresapi dalam kehidupan jemaat.

Anggapan-anggapan mengenai unsur-unsur liturgi yang tidak terlalu penting bahkan boleh
dihilangkan dalam liturgi sama sekali tidak benar. karena melalui pembahasan yang sudah
dibahas kita sama-sama mengerti dan memahami mengenai tujuan lahirnya unsur-unsur
tersebut dalam liturgi dan dalam kehidupan gereja dan jemaat.

Satu hal yang dapat diambil dan dimengerti bahwa unsur-unsur yang sudah dijelaskan dalam
pembahasan tidak lahir begitu saja tetapi melalui berbagai prose dan lahir dari berbagai
pernyataan iman, untuk tujuannya yaitu bagaimana iman yang dihayati saat itu dihayati juga
oleh jemaat saat ini bukan hanya terfokus pada ibadah tetpi bagiman unsur-unsur itu menyatu
dalam kehidupan sehari-hari baik suka maupun duka untuk menghayati karya Allah dalam
setiap kehidupan manusia.

14 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai