Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
I. Pengertian dan Latar Belakang Gerakan Oikumene.
1. Pengertian Etimologi.
Kata Ekumene {Ecumnen Inggris} atau Oikumene diambil
bahasa Yunani { Oikumene } yang terdiri dari dua suku kata, yakni
Oikos {Oikos} berarti Rumah dan Mene{Menein} artinya Berdiam
atau Tempat berdiam. Istilah Oikumene ini adalah Istilah yang
digunakan dalam dunia militer. Istilah Oikumene ini, menunjuk kepada
keseluruhan tempat atau wilayah di bumi yang dihuni oleh manusia.
Oikumene dalam Zaman Yunani Kuno, di bawah Pemerintahan
Alexander Agung, ini menunjuk kepada keseluruhan bagian bumi yang
di diami oleh manusia. Kata ini seringkali digunakan untuk menyebut
daerah-daerah yang di diami oleh orang-orang Yunani, sedangkan
daerah yang tidak di diami oleh Orang bukan Yunani tidak disebut
Ekumene.
Dalam bahasa Yunani Koine di bawah kekaiseran Romawi dan
dalam perjanjian Baru, kata Oikumene secara harafiah artinya dunia,
namun yang dimaksud adalah Dunia di bawah kekuasaan Romawi.
Dalam Surat Ibrani 2:5 kata Oikumene ten mellousan { Oikumene ten
Mellousan } memberikan makna yang merujuk kepada Kerajaan Yesus
Kristus yang akan datang { Dunia yang akan datang }.
Kata Oikumene ini pada awal tidak memiliki makna yang
berkaitan atau berhubungan dengan kehidupan Gereja atau Kekristen.
Namun sejak Konsili di Nicea, { 325 }, yang merupakan Konsili
Oikumene pertama. Istilah Oikumene ini diterima dan disahkan atau
diteguhkan pemakaiannya sebagai Istilah Gerejawi.
Dalam Konsili pertama ini mengundang semua perwakilan
Gereja yang ada di Wilayah Kekaiseran atau Wilayah Kekuasaan
Romawi, dan Istilah Oikumene ini, yang disebut sebagai Wilayah
Kekuasaan Romawi, dan dalam kenyataan inilah dikenal sebagai
Selurh Dunia pada waktu itu. Dengan kata lain, dalam pandangan
Politik dan Keagamaan, maka memang pada waktu itu hanya Wilayah
Romawi yang dipahami sebagai Wilayah yang di diami Manusia dan
sekaligus Masyarakat Gereja.

Kata Oikumene ini merupakan padanan atau Sinonim dari kata


yang juga dipakai dalam istilah Gereja yakni Katolik { Catholica-
Latin }. dan Univaersal. Ketiga Istilah ini merujuk pada pengertian
yang sama yakni menunjuk pada ruang lingkup, hakekat dan tugas
Gerejawi yang meliputi seluruh dunia dan makhluk. Dalam
pengertian ini, maka Gerakan Oikumen selalu dikaitkan dengan
gerakan untuk keutuhan yang mengumpulkan kembali serta menjaga
keutuhan atau integritas Gereja. Dalam zaman modern ini Oikumene
adalah upaya penyatuan atau kerjasama antara denominasi-
denominasi Gereja yang berbeda. Dalam kontekes ini, telah dianggap
adanya kesatuan Umat yang percaya di antara golongan-golongan
Kristen yang berbeda-beda. Pekerjaan atau pelayanan oikumene
berlangsung dalam bentuk negosiasi di antara komisi-komisi dari
berbagai denominasi serta melalui pembicaraan dengan berbagai
organisasi interdenominasional serpti Dewan Gereja-Gereja se- Dunia,
tentang Topik-topik yang relevan termasuk Baptisan, Ekaristi
{ Perjamuan Kudus}, dan pelayanan Kriisten lainnya.
2. Latar Belakang Gerakan Oikumene.
Gereja Katolik Roma Dan Gerakan Oikumene.
Sikap Gereja Katolik Roma terhadap Gerakan oikumenis ditentukan atas
dasar pemahaman bahwa Gereja yang benar adalah pengakuan
Imannya hanya Gereja yang dipimpin oleh Paus, sebagai wakil
Kristus. Keesaan Gereja selaku tubuh Kristus telah menjadi nyata
dalam Gereja Katolik Roma di bawah pimpinan pengganti Petrus wakil
Kristus oleh sebab itu tidak perlu suatu Gerakan Oikumenis, karena
keesaan Gereja sudah ada dalam Gereja Katolik Roma. Atas dasar
dogtrin ini, maka Gereja Katolik Roma menentukan sikap sebagai
berikut :
Gereja Katolik Roma tidak mau ikut secara resmi dalam kegiatan-
kegiatan Oikumene.
Kepausan Gereja Katolik Roma mengeluarkan beberapa surat
keputusan yang menolak gerakan Oikumenis dan mempertegas
ajarannya bahwa Gereja Katolik Roma adalah satu-satunya Gereja
yang benar.
Paus juga melarang orang Roma Katolik untuk menghadiri Sidang
DGD. Di Amesterdam dan Evanston.
Namun demikian pada konperensi Faith and Order di
Edinburg tahun 1937. Hadir dalam konperensi itu Lima Orang Katolik
Roma, yang tidak mewakili Gereja Katolik Roma, dan harus diingat
bahwa sebelum perang dunia kedua memang semangat orang-orang
protestan untuk mencari hubungan dengan Gereja Katolik Roma juga
kurang, bahkan beranggapan bahwa Gereja ini sesat, hanya beberap
tokoh seperti Brent dan Soderblom menegaskan bahwa Oikumene
tanpa Gereja Katolik Roma belum lengkap. Dalam hal ini bukan berarti
bahwa tidak ada usaha-usaha untuk gerakan Oikumene dari Katolik
Roma.. ?
3. Gereja-Gereja Ortodoks Dan Gerakan Oikumene.
Perlu diingat bahwa Gereja Katolik Roma dan Gereja-Gereja Orthodox
mempunyai doktrin yang sama mengenai Ekklesiologi, bahwa Gereja
adalah kelanjutan dari Para Rasul dan dalam hal ini berbeda dengan
Gereja Kristen { Protestan }
Hal ini menimbulkan persoalan dalam diskusi/percakapan Oikumene
antara DGD dan Gereja Katolik Roma dan juga dalam percakapan
Gereja-Gereja Orthodox dengan DGD.
Aspek-aspek yang menarik dalam diskusi atau percakapan Oikumenis
antara Gereja-Gereja Orthodox dan Kristen {Protestan}, sebagai
berikut :
1. Gereja-Gereja Orthodox.
Memahami bahwa Ekklesiologi sebagai Ciptaan Roh Kudus yang
menyelamatkan melalui pelayanan-pelayanan Sakramen, dan
menyatakan, bahwa dogtrin atau pengajaran mereka dirusmuskan
tanpa kekeliruan dan di bawah pimpinan Roh Kudus yang didasarkan
atas tradisi Rasuli serta melalui tujuh konsili Oikumenis. Sperti Konsili
pertama di Nicea tahun 325, dan kedua juga di Nicea tahun 787.
2. Gereja Roma Katolik.
Pandangan Gereja Roma Katolik bahwa ada perbedaan dengan Gereja-
Gereja Orthodox di mana Roma Katolik beranggapan bahwa ajaran
Gereja harus terbuka, sebab melalui Paus yang tidak keliru atau
konsili Roh Kudus dapat menambahkan ajaran-ajaran Gereja baru. Di
mana dalam Katolik Roma Uskup sebagai Penjamin kebenaran dan
keesaan Gereja, namun kedudukan Paus sebagai pengganti Rasul
Petrus, tidak lebih tinggi atau Istimewa dari Uskup-uskup yang lain. Hal
ini menyebabkan perbedaan sehingga terjadilah apa yang disebut
dengan Schisma {Perpecahan} dalam Gereja yakni antara Gereja Timur
dan Barat.
Bagi Gereja-Gereja Orthodox Oikumene { Keesaan Gereja } pada
dasarnya adalah Bersifat Rohani dan dilambangkan dalam Patriarkhat
Oikumene Constantinopel yang berbeda dengan keuskupan Roma
Katolik yang menuntut Primat { Kedudukan Tertinggi } Yuridis di Gereja,
di mana hanya Gereja mempunyai Primat kehormatan.
BAB II
SEJARAH GERAKAN OIKUMENE WCC.{ DEWAN GEREJA SEDUNIA }

A. Sejarah Gerakan Oikumene Hingga Konfrensi Edinburg 1910.


Pada Zaman Reformasi, Gereja Katolik Roma, diperhadapkan dengan
Schisma { Perpecahan } dengan Gereja Orthodox Yunani tahun 1054,
pada saat itu Gereja terancama perpecahan bersar-besaran, walaupun
Marthen Luther dikucilkan, namun tetap diusahakan perdamain dengan
pengikut-pengikutnya, Golongan Injili. Hal ini dilakukan demi kesatuan
Gereja Kristen terhadap ancaman Turki. Usaha-usaha ini dilakukan
dengan pertimbangan-pertimbangan politik, yang menghasilkan dialog
Agama di Leipzig tahun 1539, di Hagenau tahun 1540; di Worms
tahun 1540, dan di Regensburg { Ratisbon 1541 }, di Wilayah
Kekaisaran Jerman dan Colloquium di Poissy 1561 di Prancis, namun
semua usaha ini gagal alias tidak mendapat titik temu atau
persetujuan bersama.
Bagi golongan Injili usaha yang sama ternyata tidak mencapai satu
kesatuan, walaupun sama-sama memberi kritikan kepada Gereja
Katolik Roma, tetapi mengenai Perjamuan Kudus terjadi pemisahan
antara pengikut Marthen Luther dengan golongan Injili di Jerman
Selatan dan Swis.
Pada tahun 1529 usaha perdamaian yang dilakukan melalui
pembicaraan di Marburg juga tidak berhasil, dan pada tahun 1549
Calvin dan Bullinger berhasil dalam usaha untuk mempersatukan
Reformasi Swis melalui apa yang disebut dengan Consensus
Tigurinus akan tetapi terjadi perpecahan dengan para pengikut Luther
tidak dapat dipulihkan.

B. Terntuknya Dewan Gereja-Gereja se-Dunia { WCC }.


Seperti dikatakan bahwa Tujuan dan sasaran Oikumene adalah untuk
mewujudkan kesatua Gereja. Oleh karena itu ada banyak usaha
untuk mewujudkan tujuan tersebut, muncul dalam beberapa bidang
khususnya Bidang Penginjilan Namun dalam proses
perkembangannya Penginjilan sedunia muncul berbagai masalah,
yakni Perbedaan dalam metode Penginjilan. Metode penginjilan ini
muncul dari Teolog-Teolog Liberal di dalam setiap konfrensi Penginjilan
sedunia. Hal ini menghasilkan dua aliran Penginjilan, yakni Aliran
penginjilan Oikumen Sedunia { WCC}, dan Golongan Injil { Golongan
Evangelical }.
Gerakan Oikumene yang memiliki tujuan dan sasaran yang murni,
diwarnai dan dikuasai oleh Golongan WCC { Gereja sedunia } dengan
konsep penginjilan Liberal, yang berbeda dengan golongan injili.
Akhirnya istilah penginjilan dalam kontex Oikumene ini lebih cenderung
pada golongan WCC, yang lebih menunjuk pada golongan Liberal di
Korea dan Amerika Serikat.
Faktro yang menimbulkan gerakan Oikumene yakni Kerjasama dalam
bidang Penginjilan, Pendidikan dan Pelayanan Pemuda-Pemudi. Life and
Work, Faith and Order and Organic Church Union merupakan factor
yang tidak langsung dalam gerakan Oikumene. Faktor yang
menimbulkan gerakan Oikumene yang langsung adalah Konfrensi
Penginjilan sedunia di Edinburg 1910. Konfrensi tersebut adalah titik
tolak menentukan Penginjilan sedunia abad ke 19 dan 20 dalam
sejarah Gereja.
1. Konferensi Edinburg 1910.
Dalam konferensi PI sedunia (Word Missionary Coference) bukan
merupakan pertemuan wakil setiap denominasi gereja tetapi pertemuan
para misi dan wakil dari setiap badan misi seluruh dunia. Latar belakang
denominasi adalah dari denominasi Presbiterian, Anglikan (gereja Inggris),
sampai kelompok Moravian, dll. Tujuan konferensi ini adalah untuk
mewujudkan tujuan dan metode PI sedunia tanpa adanya pengaruh warna
theologia dari denominasi gereja. Pokok pembahasan dalam konferensi ini
adalah Bagaimana menyampaikan Injil Yesus Kristus pada dunia orang
kafir. Konferensi ini membahas tentang strategi penginjilan, khususnya
membicarakan tentang agama non Kristen. Dan juga membentuk komisi
untuk integrasi dan kerjasama dalam penginjilan. Komisi ini sejak tahun
1912 menerbitkan majalah International Review of Missions sampai
sekarang.
Konferensi ini membentuk tiga lembaga yaitu IMC (International Mission
Comite). Faith and Other serta Life and Work. Berarti pertemuan ini
merupakan pertemuan yang murni untuk PI sedunia tanpa adanya
pengaruh warna theologia. Akan tetapi dalam konferensi ini muncul
perbedaan konsep tentang istilah dan pandangan terhadap dunia yang
akan diinjili. Istilah dunia bukan merupakan konsep yang bersifat theilogi
tetapi lebih cenderung pada konsep yang bersifat geografis dan historical.
Dunia dibagi menjadi dua unsur struktur yaitu dunia Kristen dan dunia non
Kristen. Oleh karena itu dunia Kristen harus menguasai dunia non Kriste.
Hubungan dua dunia ini disebut Imperialisme Apostal dan konsep ini
muncul dengan berbagai macam istilah yang militan yaitu tentara,
penguasa, perintah maju, komisi perang, strategi dll. Walaupun salah
imperialism nampak dalam konferensi Edinberg yaitu konferensi yang
mempunyai tujuan mewujudkan PI sedunia tetapi konferensi tersebut
menjadi suatu fondasi PI sedunia yang akan mendatangkan masa depan
cerah dan yang bisa mewujudkan tujuan oikumene.
2. John R. Mott
John R. Mott merupakan seorang misionaris yang menggerakkan gerakan
oikumene. Dia adalah seseorang yang muncul dari SVW. Selama 40 tahun
dia menjadi pemimpin oikumene yang sangat aktif mengunjungi kurang
lebih 90 negara untuk gerakan oikumene yang bersifat interdenominasi
dan missioner melalu kehidupan penginjilan dan penggembalaan. Selain
itu dia juga mengelilingi dunia kurang lebih 2 juta mile. John R. Mott
merupakan ketua yang pertama dalam konferensi oikumene di Edinberg.
3. Munculnya dan Proses Berkembangnya WCC
Dua lembaga yaitu Faith and Order Life and World dalam konferensi
Edinberg di atas tersebut berkembang menjadi factor yang melahirkan
WCC pada tahun 1948, di Amsterdam. Jadi WCC didirikan dengan
kesatuan dua lembaga. Sedangkan IMC berdiri sendiri. Pada tahun 1961
WCC mengambil alih IMC, lalu IMC diintegrasikan dalam WCC dan
muncullah pemikiran teologi Missio Dei (1950) dan pemikiran teologia
bahwa PI harus termasuk dalam gereja sebagai fungsi dan alat gereja.
Gerakan oikumene WCC merupakan gerakan yang lebih cenderung pada
hal organisasi dan struktur daripada hal spiritual, apalagi setelah WCC
dikuasai dan dipengaruhi oleh teologia liberal yang lebih cenderung pada
keselamatan social dan politik dari pada keselamatan jiwa. Tujuan dan
jiwa gerakan oikumene yang Alkitabiah sudah kehilangana arah yang
tepat bahkan semakin jauh dari tujuan semula yaitu yang bermaksud
mewujudkan kesatuan gereja.
Prose konferensi gerakan oikumene dan proses perkeembangan gerakan
oikumene WCC.
C. Gerakan Oikumene Injili (Konservatif)
Pada umumnya denominasi gereja yang terlibat dalam gerakan oikumene
adalah denominasi gereja yang bersifat liberal. Sedangkan denominasi
gereja yang bersifat konservatif atau injili tidak menjadi anggota WCC
bahkan mereka mendirikan lembaga sendiri untuk dapat menghadapi
WCC. Di Indonesia Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) adalah anggota
WCC. Unutk menghadapi gerakan oikumene WCC, pihak injili dan
konservatif membutuhkan lembaga yang bersifat injili, maka berdirilah
beberapa lembaga.
1. NAE (National Accosation Evangelism)
NAE didirikan di Chicago. Tujuan NAE yang sebenarnya bukan untuk
melawan WCC tetapi merupakan suatu respon terhadap ICCC (Komisi
International Church) dan menjadi aliran konservatif yang sangat ekstrim.
ICCC didirikan oleh Karl Makintler dan menyatakan bahwa ICCC melawan
liberalism, melindungi injil secara militant serta mengkritik kaum
konservatif yang kurang aktif. ICCC menuntut supaya denominasi gereja
yang menjadi anggota WCC mengundurkan diri dari WCC. Menurut
mereka, membentuk gereja dengan kaum liberal itu merupakan suatu hal
yang mustahil dan tidak Alkitabiah.
Pada masa kini diterbitkan majalah Christian Becoan. Dalam majalah ini
khotbah dan artikel pemimpin-pemimpin WCC dikritik. Oleh karena itu di
dalam kalangan mereka timbullah tantangan terhadap kepemimpinan
Makintier, sehingga pada tahun 1954 terjadilah perpecahan di dalam ICCC
dan Makintler dituduh menimbulkan perpecahan gereja dengan berbagai
tipuan, kebohongan dan ketidakbenaran. Akhirnya pemimpin-pemimpin
gereja yang termasuk dalam anggota ICCC mulai merasa bahwa mereka
dianggap sebagai pemecah-pemecah gereja. Dengan kesadaran ini,
selanjutnya diharapkan para pemimpin gereja dapat mendirikan suatu
lembaga inijili yang sehat.
Pada tahun 1942 di Saint Luis diadakan pertemuan yang dihadiri oleh 200
wakil dari 34 denominasi gereja dan lembaga. Dalam pertemuan ini
Harold Ockenga dipilih sebagai ketua NAE. Sejak itu banyak gereja dan
lembaga konservatif yang kecewa pada ICCC mulai masuk NAE untuk
menjadi anggotanya. Dan pada tahun berikutnya diadakanlah pertemuan
di Chicago yang dihadiri oleh 1000 wakil dari 60 denominasi gereja
(jumlah jemaat kurang lebih 15 juta). Billy Graham yang adalah
pengkhotbah dan penginjil terbesar pada abad 20 merupakan pendukung
gerakan ini. Seluruh peserta yakin dan percaya bahwa gerakan ini
diberkati Tuhan dan akhirnya gerakan ini tersebar ke seluruh dunia.
Namun gerakan ini juga mengandung pontensial perpecahan, sebab di
dalam gerakan ini banyak tokoh teologi yang memiliki pandangan teologi
liberal.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa di dalam setiap gerakan oikumen jelas
ada kekurangan dan kelemahannya, hal itu dikarenakan oleh keadaan
manusia yang terbatas. Namun semua gereja injili merasa tidak ada
alasan untuk menolak gerakan oikumene tersebut baahkan mereka
mempraktekkan gerakan ini melalui berbagai kegiatan kebangkitan
rohani.
2. Gerakan Oikumene Melalui Kebangunan Rohani
Sejak tahun 1950, melalui Billy Graham terjadilah suatu kebangunan
rohani. Allah memakai Billy Graham secara luar biasa. Dimana Billy
Graham berkhotbah di situ banyak orang dari berbagai macam
denominasi gereja berbondong-bondong untuk datang, bahkan banyak
denominasi gereja menjalin kerja sama untuk mengadakan KKR dengan
Billy Graham tanpa membedakan denominasi gereja. Seluruh denominasi
gereja merindukan berkat dan kasih karunia Tuhan, dan ibadah tersebut
tanpa ada sikap curigadan prasangka di setiap denominasi gereja
tersebut. Walaupun KKR Billy Graham tidak mempersatukan seluruh
denominasi gereja namun dapat meninggalkan azas yang mempersatukan
gereja secara spiritual.

PANDANGAN THEOLOGIS
1. Pandangan Theologis WCC
Gerakan oikumene yang dimulai dari gerakan penginjilan sedunia,
semakin lama semakin berubah kea rah penginjilan yang bersifat politik
dan social hingga kehilangan konsep PI lintas budaya yang sebenarnya.
Hal tersebut pantas disebut sebagai Ecumenical Political Mission.
Setelah IMC diambil alih oleh pihak WCC. Konsep penginjilan yang
tradisional dikuasai oleh teologia yang menekankan pelayanan social
(keselamatan social). Akibatnya WCC lebih memperhatikan masalah
politik, social dan ekonomi daripada masalah rohani (bagaimana orang
yang belum mendengar Injil Yesus bisa dibawa kepada Kristus, dan
bagaimana gereja di bumi bisa menjadi gereja Allah?). Oleh karena itu
pokok pembahasan dalam konferensi WCC sama dengan pokok
pembahasan yang dibicarakan dalam PBB yang selalu membahas
masalah politik dunia.
Kemudian teologi-teologi yang mengubah konsep gerakan oikumene yang
pernah muncul sejak konferensi Edinberg dan dalam setiap konferensi
WCC juga mempengaruhi keadaan konsep oikumene pada zaman ini.
Khususnya teologi yang menekankan keselamatan social yang muncul
sejak 1950, akhirnya mengakibatkan teologi pembebasan berkembang
dengan leluasa, hal ini sangat membahayakan konsep keselamatan dan PI
sedunia yang bersifat tradisi.
Proses Pengaruh Pandangan Liberal Dalam Gerakan Oikumene
Sebelum perang dunia ke-2 teologi Neo-ortodox sangat mempengaruhi
bidang penginjilan, namun setelah perang selesai, situasinya menjadi
berubah dan kemudian pandangan liberal muncul kembali. Melalui
pengaruh ini teologia sekuler menyusup dalam pandangan penginjilan.
Selanjutnya dalam setiap konferensi oikumene dunia mempunyai tujuan
menjalin kerjasama dalam bidang penginjilan sehingga terjadilah
perpecahan karena timbul beberapa perbedaan pandangan teologia dari
tokoh-tokoh di setiap denominasi gereja.
Pada tahun 1948 organisasi WCC berdiri dengan tujuan untuk
mewujudkan kesatuan gereja dalam setiap bidang, khususnya bidang
penginjilan. Bidang penginjilan ini mulai dikuasai oleh pandangan teologi.
Hal ini menyebabkan banyak denominasi gereja tidak setuju pada arah
dan tujuan yang semakin menyimpang dari pandangan teologia yang Injili
tersebut dan akhirnya mereka memisahkan diri dari WCC.
Sebenarnya pandangan teologia yang liberal sudah muncul sejak
konferensi pertama, tetapi hal itu tidak menyebabkan denominasi gereja
di dunia mengalami perpecahan secara langsung. Setelah konferensi
Yerusalem, barulah teologia liberal mulai secara langsung dan bahkan hal
itu menjadi motto dalam penginjilan sedunia.

a. Konferensi Yerusalem 1928


How Mission? (metode) merupakan tema konfereni Edinberg, Way Mission
(keharusan) menjadi tema dalam konferensi Yerusalem. Hal ini berarti injil
Pietisme telah ditinggalkan dan muncul syncretistic Approach. Pandangan
ini sangat mengurangi nilai intisari Injil sebab agama kafir dinilai sebagai
agenda yang mengandung unsur Mesias.
Kemudian perhatian social (Social Concern) nampak. Konferensi Yerusalem
menyatakan bahwa Injil Kristus bukan saja message untuk rohani pribadi
seseorang tetapi juga dunia struktur social dan hubungan ekonomi yang
dia tempati. Dan juga hal memisahkan kelahiran baru seorang pribadi
dan kelahiran baru social merupakan kekeliruan. Pada waktu itu teologi
Harnak, Darwin, Ritsche Albrecht, Schlelermacher mulai mempengaruhi
dunia teologia. Dan hal ini melemahkan konsep penginjilan tradisi. Di
konferensi Yerusalem teologia pelayanan diganti dengan posisi teologia
pertobatan. Dan juga tidak bisa mengabaikan pengaruh teologia
sinkritisme Hocking yaitu dosen Harvad.
b. Konferensi Madras
Salah satu tema yang mendatangkan pertobatan adalah tema mengenai
hubungan agama Kristen dengan agama kafir dari H. Kreaemer. Dalam
bukunya The Christian Message in a Non-Christian World. H. Kreaemer
memandang bahwa Poin of Contact (titik pendekatan) sebagai
Discontinuilty (ketidaksinambungan) dalam hubungan antara agama
Kristen dan agama non-Kristen. Namun di dalam konferensi banyak wakil
dari denominasi gereja lain yang protes, akhirnya konferensi mengakui
nilai moral dan pengalaman agama kafir. Konferensi ini membahas
mengenai dialog dengan agama lain yaitu bagaimana bisa menilai budaya
non-cultural atau indigenization. Kemungkinan dialog dengan agama lain
sudah membahas pintu baha agama Kristen bukan merupakan agama
yang mutlak.
Secara khusus konsep Larger Evangelism (penginjilan luas) mulai dipakai
istilah ini pernah dipakai oleh John Motto. Konsep ini merupakan pemikiran
Perluasaan pengaruh agama Kristen di seluruh lingkungan manusia . Di
pihak gereja Reform yaitu J.H. Bavink mengakui perlunya pendekatan
dalam penginjilan terhadap agama kafir, jika perlu dialog dengan agama
kafir bisa dilakukan dengan memakai istilah the silent work of God and
Common Grace.
c. Konfereni Wellinggen 1952
Saat sesudah dan sebelum konferensi Welinggen dilaksanakan,
merupakan situasi yang paling mengecewakan dan putus asa dalam
sejarah penginjilan. Melalui adanya perang, benua China dan Korea
menjadi negeri Komunis, sehingga badan misi yang terbesar CIM (China
Inland Mission) ditarik dari ladang pelayanan dan kemudian tersebar di
berbagai daerah di dunia ini dengan air mata dan kesedihan.
Karena menyadari bahwa penginjilan agama Kristen menghadapi suatu
pencobaan lagipula pada tahun 1948 dalam konferensi WCC yang
pertama mulai dibahas tentang persatuan antara WCC and IMC dengan
memberi pertanyaan mengenai hakekat PI dan gereja maka akhirnya
timbul suatu pernyataan dalam sebuah tema yang berjudul Kewajiban PI
Gereja. PI bukan merupakan salah satu fungsi gereja tetapi merupakan
hakekat gereja mak antara PI dan gereja harus bersatu.
d. Konferensi Gahna 1958
Dalam konferensi ini ada suatu keputusan. Yang pertama adalah
mendirikan TEF (Theological Education Fund) yang bertujuan untuk
menghasilkan banyak pemimpin gereja Negara ke-3 sambil meningkatan
mutu pendidikan teologia. Yang kedua adalah keputusan untuk persatuan
WCC dan IMC. Sekretaris IMC Newbegin menekankan hal itu dengan
rumusan gereja adalah PI bahwa perpisahan PI dan gereja
mengakibatkan gereja di daerah non-Kristen diasingkan (terisolir) secara
internasional dan Negara menjadi suatu hambatan dari segi ekonomi dan
administrasi, lagipula menjadi hambatan untuk gerakan oikumene. Namun
banyak orang yang tidak setuju mengenai integrasi antara WCC dan IMC
dengan alasan kehilangan kebebasan PI yang fleksibel.
e. Konferensi New Delhy: Konggres WCC III
Dalam konferensi ini pandangan teologia Hoekendlek yaitu Kerygma
(penyataan), Koinonia (Persekutuan) dan Diakonia (pelayanan) menjadi
pokok pandangan teologia PI WCC. Di dalam konferensi ini konsep
universalism muncul dengan kalimat Yesus berfirman kepada mereka
(orang yang beragama lain) melalui kita, Yesus berbicara kepada kita
melalui mereka.
Khususnya di konferensi New Delhy muncullah suatu pandangan teologia
yang radikal yaitu Theology of Liberation (Theologia Pembebasan) dengan
berdasarkan pada kitab Keluaran 6:9. Pandangan teologi ini menekankan
bahwa penginjil pada zaman ini harus berani menghadapi penguasa,
melibatkan dirinya dalam kehendak Allah serta mengikuti perjuangan
untuk keadilan social seperti Musa. Inilah keselamatan yang sejati. Melalui
pandangan ini konsep keselamatan antara gereja Liberal dan Konservatif
semakin jauh.
f. Konferensi Upsala 1968
Humaniza menjadi salah satu bahan pokok pembicaraan. Kemanusiaan
baru merupakan tujuan PI. Menurut tema ini penginjilan pada zaman
dahulu tujuan PI lebih cenderung pada konsep bahwa manusia
menghadap Allah daripada Allah menghadap manusia. Sekarang
persoalan yang paling penting adalah dalam PI terdapat manusia sejati,
oleh karena itu perhatian gereja yang melaksanakan penginjilan yang
sebenarnya adalah meletakkan manusia sebagai tujuan PI dalam Kristus.
Konsep ini dipengaruhi oleh Shalom of Theologis dari Hoekendiek. Konsep
ini menyebabkan gereja terlibat dalam masalah social, politik, ekonomi
serta hak-hak asasi manusia.
Missio De (P.I. Allah) menafsirkan bahwa konsep P.I yang bersifat apostolic
berubah menjadi konsep pelayanan. Konsep ini lebih menonjolkan
pelayanan social daripada penginjilan. Konsep ini menyebabkan WCC
semakin dekat pada pelayan-pelayan social.
Akhirnya konsep Missio Dei memberikan penafsiran baru mengenai
sejarah dan dunia, khususnya pemilikan sikap yang lebih positif terhadap
agama non-Kristen. hal itu membuat konsep dialog dengan agama Kristen
lebih berkembang. Konferensi Upsala menghilangkan konsep
keseimbangan vertical (hubungan dengan Allah) dan horizontal
(hubungan dengan sesama manusia).
g. Konferensi Bangkok 1973
Tema yang dibahas dalam konferensi ini adalah Salvation Today. Konsep
ini menyajikan 4 sasaran:
(1) Keselamatan adalah perjuangan eksploitasi terhadap manusia untuk
mendirikan keadilan ekonomi social.
(2) Keselamatan terwujud dalam perjuangan untuk membangun martabat
manusia terhadap penindasan politik pada manusia.
(3) Keselamatan terwujud dalam perjuangan untuk mempersatukan
gerakan agar dapat mengatasi keterasingan antar umat manusia.
(4) Keselamatan dilaksanakan dalam perjuangan untuk menjadi
pengharapan yang berjuang terhadap keputusasaan dalam kehidupan
manusia.
Kesimpulan: Konferensi Bangkok menolak keselamatan Alkitab dan
cenderung pada keselamatan social, politik serta ekonomi secara sepihak.
Oleh karena itu PI tradisi Alkitabiah diganti dengan usaha yang mengubah
struktur social dengan kata lain seluruh aktivitas manusia untuk keadilan
adalah PI.

h. Konferensi Nairobi 1975: Kongres WCC V


Teologia pembebasan sangat menonjol dalam kongres tersebut. Orang
Kristen diberi perintah oleh Tuhan untuk berjuang agar mewujudkan
kehendak Allah bagi kebebasan dan keadilan dalam masyarakat. Dengan
konsep ini semua isu, perpecahan suku, sexual, kemiskinan, kejahatan
social politik dan kebersamaan merupakan factor yang harus diperhatikan
dalam PI.
Demikianlah pandangan teologia liberal mengenai PI, yang mengubah
konsep oikumene yang Alkitabiah. Dalam setiap konferensi oikumene
dunia, terlihat upaya-upaya yang dilakukan untuk mewujudkan oikumene
yang sebenarnya, namun sering mengalami kegagalan karena adanya
perbedaan pandangan yang berbau teologia liberal dan konservatif.

Teologia Pembebasan
(1) Praxia
(2) Dependence Theory
(3) Kontext: Text

2. Pandangan Theologis Injili (berdasarkan Theologia Misiologi 1960-


1970)
a. Konsili Berlin 1966
Pada tahun 1966 di Berlin pemimpin-pemimpin gereja dan seluruh dunia
berkumpul. Dalam konsili ini dinyatakan kembali bahwa PI sedunia
merupakan tujuan yang paling utama dalam Amanat Agung Tuhan Yesus.
Mereka menunjukkan bahwa konsep PI tersebut memang melaksanakan
tanggungjawab social dan mandate dari berbagai segi budaya. Tetapi di
dalam PI bagaimanapun juga inti pemberitaan Injil harus menjadi yang
utama. Dan dalam hal tugas yang melaksanakan tanggungjawab social
dan budaya tersebut merupakan salah satu sisi dari Injil atau akibat dari
perwujudan pemberitaan Injil.
Tujuan konsep ini adalah untuk menjaga konsep PI tradisi dari
kemungkinan adanya pengaruh dan bahaya yang bisa menimbulkan
potensi konsep Missio Dei dan konsep kontekstualisasi yang ekstrim.
Maksudnya ialah konsep kontekstualisasi yang ekstrim dan Mission Dei
yang bisa membuat teologia missiologi menyimpang dari konsep PI
melalui Amanat Agung di bumi secara tradisional. Jika meletakkan konsep
kebenaran, Injil tradisi itu menjadi dasar mandate di bumi maka akan bisa
menghadapi konsep PI liberal yaitu Missio Dei dan kontekstualisasi yang
ekstrim tersebut bahkan bisa juga merangkul kedua konsep tersebut. Oleh
karena itu konsili Berlin merupakan konsili yang menyajikan pengarahan
yang penting dalam misiologi bagi kaum Injili.
b. Konferensi Loussane 1974
Setelah konsili Berlin tahun 1966, konsili yang sekali lagi mempengaruhi
kalangan Injili adalah konsili Lousane. Memang konsili ini diadakan dengan
tujuan yang sama dengan konsili Berlin dan pengaruh dua pemimpin PI.
Oleh karena itu pengaruh tersebut tertuju pada arah teologi Misiologi.
John Stoot merupakan salah seorang tokoh yang sangat mempengaruhi
konsep PI kalangan injil. Menurutnya titik tujuan PI adalah penyebaran
Injil, tanggung jawab terhadap social merupakan akibat dari penyebaran
injil pada waktu konsili Berlin. Tetapi lebih luas, penyebaran Injil
mengandung konsep penginjilan dan tanggungjawab social. Pandangan ini
didasarkan pada Yohanes 20:23.
Dan kemudian seorang tokoh yang sangat mempengaruhi teologi PI,
adalah Donald McGavran. Dia memberi pengaruh pada proses
pembentukan teologi PI. Injili dari sisi dimensi lain. Dia mempertahankan
pernyataan Berlin dan Lousane serta berperan mengikat penginjialan
dengan budaya. Dia menyebutnya sebagai teologia pertumbuhan gereja
jika konsili Berlin menekankan penginjilan, konsili Lousane menekankan
penginjilan dan budaya dengan mempertimbangkan budaya seperti
misalnya dalam berbagai variasi budaya yang bersifat mozaik dan
pengembangan metode penginjilan. Hal ini sangat mempengaruhi seluruh
kalangan ilmu misiologi sebagai sebutan Teologia Pertumbuhan Gereja.
Dengan singkat, teologia ini menekankan konsep penginjilan tradisi dan
metode penginjilan yang harus nampak sesuai dengan budaya setempat.
Sebagai akibat dari itu gereja bertumbuh. Pengaruh dua orang tersebut di
Lousane teologia misiologi Injili nampak dengan bentuk baru yaitu
penginjilan, tanggungjawab social adan pertimbangan budaya setempat.
Pengaruh metode ini sampai awal tahun 1990, kemudian setelah
memasuki tahun 1990 banyak metode dan evaluasi buku yang
dikembangkan dari konsep teologia tersebut.
c. Arah PI setelah McGavran.
Setelah McGravan, ada lagi gerakan yang menutupi kekuarangan dan
metode PI persatuan budaya dan penginjilan. Jika penginjilan dihubungkan
dengan factor budaya setempat maka dari sisi lain ada juga kebaikannya
karena penginjilan bisa diilmiahkan. Namun metode penginjilan terlalu
berfokus pada hal ilmiah, maka unsur kekuatan (Dynamic) berkurang
dalam penginjilan. Terhadap masalah ini sebagai solusi muncullah
beberapa teori PI, misalkan Christianity With Power dari Craft,
sedangkan :Sings and Wonder dari John Wimber dan Power Encounter
dari Peter Wagner.
Masalah hubungan penginjilan dan tanggungjawab social masih timbul
sampai sekarang. Akan tetapi pihak kaum Injili tidak bisa menghindari
tanggungjawab social dari penginjilan. Dan juga akhir-akhir ini dari pihak
WCC (gerakan Oikumene) ada gerakan yang ingin kembali kepada PI
tradisi. Dahulunya kaum dunia mulai berubah menjadi PI holistic yaitu jiwa
dan jasmani manusia. Namun pihak WCC tetap mempertahankan PI. Allah
terus difokuskan pada Mission Dei yaitu perhatian terhadap unsur
ketidakmanusiawian dan kecemaran bumi serta masalah social dan
politik.
Sebagai kesimpulan sampai sekarang gerakan oikumene tradisi masih
sulit terwujud karena dua kalangan yaitu kalangan Lousane dan gerakan
WCC dan konsep Oikumene memiliki pandangan yang berbeda karena
pandangan PI.

NADA SILITONGA

III
GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA

A. DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA


Salah satu bentuk gerakan oikumene di Indonesia adalah hadirnya DGI di
tengah-tengah gereja yang majemuk (beraneka ragam denominasi).
Gagasan dasar pembentukan DGI itu didorong oleh motivasi teologis
bahwa perlu dilakukan musyawarah dan koordinasi dari gereja-gereja
melalui suatu dewan yang dibentuk oleh gereja-gereja itu sendiri dan
bahwa kesatuan gereja-gereja di Indonesia adalah suatu keharusan.
Akhirnya pada tahun 1948 terbentuklah panitia perancang persiapan DGI
di Jakarta. Dalam sidangnya di bulan November 1949, panitia ini
bermufakat bahwa DGI akan menjadi jembatan menuju kepada keesaan
gereja-gereja. Kesepakatan ini terbuka bagi penafsiran dan pemahaman
bagaimana mencapai tujuan tersebut, tetapi tidak dalam arti membentuk
satu gereja super. (Bandingkan dengan Dewan Gereja-gereja sedunia).
Pada tanggal 25 Mei 1950 pukul 12.00 WIB di Jakarta, sesuai dengan
notulen, konferensi pembentukan DGI berhasil mendirikan DGI. Konferensi
pembentukan DGI itu juga merupakan konferensi sekaligus sidang raya I
DGI. Tujuan DGI adalah untuk membentuk gereja Kristen yang Esa di
Indonesia, isi dan rumusan tentang usaha-usaha mencapai tujuan DGI
tersebut cukup lama dipersoalkan dalam sidang raya I DGI.
Nama DGI akhirnya berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI) pada tahun1984 dalam keputusan sidang raya DGI-X di
Ambon.
1. Latar Belakang
Salah satu maksud pendirian DGI adalah dalam rangka membentuk gereja
Kristen yang esa di Indonesia. Hal ini didorong oleh semakin meresapnya
jiwa oikumenis sebagai ungkapan dari pemahaman sikap teologis baru,
yakni: bersama-sama selaku satu gereja menjalankan tugas missioner dan
diaconal dari gereja yang esa di Indonesia.
Dalam buku Dua puluh lima tahun DGI, Dr. TB Simatupang menunjuk
pada lima jenis pengaruh yang nyata dalam sejarah pembentukan DGI.
Kelima jenis pengaruh tersebut sebagai berikut:
a. Alkitab (Yohanes 17:21) dan pengakuan iman (Kredo)
b. Nasionalisme di Indonesia dan pasca perang Dunia II
c. Pengalaman pemuda Kristen dalam Christianity Student Vereninging
(CSV: perhimpunan mahasiswa-mahasiswa Kristen) dan pada sekolah
Theologia Tinggi (sekarang Sekolah Tinggi Theologia) di Jakarta.
d. Pengalaman pada masa Jepang
e. Pengaruh gerakan oikumenis dari luar (IMG, WSCF, DGD) dan
pengaruh para tokoh di kalangan pekabaran injil.
2. Pembentukan DGI
Konferensi gereja-gereja di Indonesia yang disebut konferensi persiapan
pembentukan dewan gereja-gereja di Indonesia berlangsung tanggal 6-13
November 1949. Konferensi ini sangat penting, karena merupakan
langkah untuk menentukan persiapan gereja-gereja di Indonesia
memasuki zaman baru dalam sejarah bangsa dan sejarah gereja. Gereja-
gereja yang hadir dalam konferensi tersebut menyatakan pengakuan
bahwa perpisahan dan perpecahan berarti ketidaktaatan kepada
kehendak Allah untuk menyatkaan keesaan gereja selaku tubuh Kristus.
Konferensi pembentukan DGI berlangsung di STT Jakarta, pada tanggal
21-28 Mei 1950. Pada tanggal 25 Mei 1950, bertepatan dengan hari raya
Pentakosta, mereka yang hadir menanyakan berdirinya DGI.
Kami anggota-anggota konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di
Indonesia, mengumumkan dengan ini, bahwa sekarang dewan gereja-
gereja di Indonesia telah didirikan, sebagai tempat permusyawaratan dan
usaha bersama dari gereja-gereja di Indonesia menuju kepada keesaan
gereja-gereja di Indonesia, seperti termaktup dalam anggaran dasar
dewan gereja-gereja di Indonesia, yang telah ditetapkan oleh sidang pada
tanggal 25 Mei 1950.
3. Keunikan DGI
Bila dibandingkan dengan Dewan Gereja Nasional yang terdapat di
Negara-negara lain, DGI memiliki keunikan dan memiliki tujuan yang
tegas dan jelas yakni: pembentukan gereja yang esa di Indonesia. Dengan
demikian keanggotaannya jelas hanya diperuntukkan bagi gereja saja,
yang berarti tidak menerima organisasi maupun badan atau yayasan
Kristen lain sebagai anggotanya.
Untuk mencapai tujuan tersebut para anggota DGI dapat melakukan
musyawarah dan usaha bersama, bekerjasama. Keunikan itu didasarkan
pada doa Tuhan Yesus supaya mereka semua menjadi satu .supaya
dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku (Yohanes
17:21).
4. Usaha-usaha DGI
a. Meningkatkan kesadaran dan penghayatan warga jemaat untuk lebih
menempatkan persekutuan dalam kesatuan Roh (Ef 4:3) dengan
mengadakan kebaktian dan perjamuan kudus bersama.
b. Meningkatkan kebersamaan dalam pelayanan dan kesaksian (Kis
2:42).
c. Meningkakan rasa persaudaraan dan sikap tolong menolong (Gal 6:2).
Usaha-usaha tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok
tugas bersama (PTPB), yang ditetapkan dalam setiap sidang raya untuk
dilaksanakan bersama-sama, dengan melihat seluruh Indonesia sebagai
wilayah pelayanan dan kesaksian bersama.
5. Keanggotaan DGI
a. Gereja di Indonesia, yaitu gereja yang berkedudukan di Indonesia dan
mempunyai tata cara gereja sendiri.
b. Mempunyai anggota dewasa yang sudah dibaptis/sidi sekurang-
kurangnya 2000 orang.
c. Menunjukkan kerjasama yang baik dengan gereja-gereja tetangganya
d. Menyatakan persetujuannya secara tertulis terhadap tata dasar PGI
serta kesediaannya untuk melaksanakan semua hak dan kewajibannya
sebagai gereja dengan sungguh-sungguh.
e. Mencantumkan keterangan Anggota PGI di belakang namanya.
6. Hak dan Kewajiban DGI
a. Kemandirian dan karunia masing-masing anggota gereja dihormati
sepenuhnya dalam rangka persekutuan dan kekeluargaan di antara
gereja-gereja anggota.
b. Gereja anggota bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusan
yang telah disepakati bersama dan berkewajiban untuk melaksanakannya.
c. Urusan dalam masing-masing gereja anggota hendaknya tidak
dicampuri oleh siapapun juga yaitu campur tangan dari pihak lain di luar
kemauan gereja anggota yang bersangkutan.
d. Gereja-gereja anggota membuka diri untuk menerima pelayaan dari
alat-alat kelengkapan PGI dan dari gereja-gereja anggota lain.
e. Gereja anggota menempatkan pelaksanaan tugas panggilannya
dalam rangka pelaksanaan PTPB.
f. Gereja anggota Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) di
Indonesia dan melaksanakan Piagam Saling Mengakui dan Saling
Menerima (PSMSM)
g. Gereja anggota memberikan sumbangan yang sepadan dengan
anugerah yang diterimanya dalam usaha untuk mencapai kemandirian di
bidang teologis, daya dan dana bagi semua gereja dan untuk membiayai
pelaksanaan keputusan bersama.
7. Pengorganisasian DGI
Pada sidang raya I DGI, pembahasan lebih dititikberatkan pada masalah-
masalah organisatoris, untuk menyelesaikan apa yang telah dikerjakan
oleh Panitia Konferensi Persiapan tanggal 6-13 November 1949 itu.

a. Anggaran Dasar
Pada sidang raya I DGI, telah disahkan Anggaran Dasar (AD) yang
kemudian menjadi salah satu alat organisasinya. Selain AD disahkan dan
diterima pula Anggaran Rumah Tangga (ART), yang menjadi acuan
operasional DGI.
b. Perlengkapan
Selaras dengan AD DGI pasal 6, di dalam tubuh DGI dikenal adanya
sidang-sidang dan badan-badan sebagai berikut:
1) Sidang Raya adalah:
a) Sidang dari para utusan seluruh anggota DGI
b) Badan tertinggi dalam struktur DGI
c) Mempunyai hak untuk menelorkan keputusan-keputusan yang
prinsipil, misalnya:
i) Hak-hk untuk menempatkan dan mengangkat badan pekerja
ii) Melakukan perubahan/penambahan AD
iii) Pembubaran DGI dan lain-lain
2) Badan Pekerja adalah:
a) Anggotanya dipilih dan diangkat oleh SR DGI
b) Memiliki masa kerja tertentu
c) Tugasnya: menjalankan keputusan-keputusan SR DGI
i) Menyiapkan bahan/usulan untuk sidang berikutnya
ii) Menyiapkan konsep anggaran belanja DGI
iii) Melaporkan/mempertanggungjawabkan hal-hal tersebut pada
sidang berikutnya.
d) Bertugas menjalankan kepemimpinan DGI melalui BPH-nya
e) Sehubungan dengan tugas menjalankan kepemimpinan DGI melalui
BPH-nya maka berhak mengangkat pihak-pihak tertentu dalam rangka
mendukung pelaksanaan tugasnya.
Sejak SR III DGI (di Jakarta 8-17 Juli 1956) dikenal badan pekerja lengkap
(BPL), mengingat semakin berat dan meluasnya tugas yang diembannya.
Sehingga dikenal adanya BPL dan Badan Pekerja Harian (BPH).
3) Badan-badan lainnya adalah:
a) Komisi-komisi, panitia-panitia dll
b) Diangkat oleh SR DGI untuk mengemban tugas khusus
c) Mempertanggungjawabkn segala pekerjaannya kepada SR DGI
4) Lembaga DGI adalah:
a) Sebuah kapal, tersalib yang tengah berlayar di seluruh perairan dunia
dengan muatan Iman Persekutuan Pengharapan.
b) Artinya: kapal oikumenika yang di tengah-tengahnya tertanam salib
itu mengingatkan tentang kapal yang dipergunakan oleh Tuhan Yesus
beserta para murid-Nya di tasik Galilea.
8. Sidang-sidang Raya DGI/PGI
Sampai dengan tahun 1995 DGI telah mengadakan Sidang Raya sebanyak
12 kali. Beberapa sidang raya tersebut (kecuali SR I DGI), biasanya
menggunakan tema-tema tertentu yang dijadikan arahan bagi setiap SRl;
dilakukan berdasarkan pertimbangan yang masak. Karena tema-tema
yang dipakai biasanya dihubungkan dengan konteks pergumulan gereja-
gereja dan masyarakat di Indonesia dan di dunia; selain itu tentunya juga
dikaitkan dengan kehidupan oikumene itu sendiri.
No URUTAN SIDANG RAYA TANGGAL TEMPAT
1 Sidang Lengkap I (pembentukan 21-28 Mei 1950 Jakarta
DGI)
2 Sidang Lengkap II DGI 20-30 Juni 1953 Jakarta
3 Sidang Lengkap IIi DGI 8-17 Juli 1956 Jakarta
4 Sidang Lengkap IV DGI 3-13 Juli 1960 Jakarta
5 Sidang Lengkap V DGI 3-14 Mei 1964 Jakarta
6 Sidang Lengkap VI DGI 29 Okt-8 Nov Makasar
1967
7 Sidang Raya VII DGI 18-28 April 1971 Pematang Siantar
8 Sidang Raya VIII DGI 1-12 Juli 1976 Salatiga
9 Sidang Raya XI DGI 19-31 Juli 1980 Tomohon
10 Sidang Raya X DGI 21-31 Okt 1984 Ambon
11 Sidang Raya XI DGI 23-30 Okt 1994 Jayapura

B. DEWAN GEREJA-GEREJA WILAYAH


Sebetulnya, sebelum DGI dibentuk ada badan-badan berupa Dewan
Gereja-gereja Wilayah, yang berperanan penting di dalam pembentukan
DGI.
Badan-badan gereja wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Badan Permusyawaratan gereja-gereja di Indonesia (DPG), Yogyakarta
2. Majelis Usaha Kristen di Indonesia Timur, tahun 1947 di Malino
Sulawesi
3. Dewan gereja-gereja Kristen Tiong Hoa di Indonesia (DGTI), tahun
1948 di Bandung.
4. Dewan Kristen di Sumatra, tahun 1949 di Medan.
Tetapi anehnya, sejak terbentuknya DGI selama 15 tahun (1950-1964)
badan-badan tersebut tidak lagi memiliki peranan yang berarti. Hal
tersebut diakibatkan oleh kenyataan bahwa daerah di mana badan-badan
tersebut beroperasi, tidak terdapat pertentangan oikumenis tingkat
wilayah yang berarti. Penyebabnya antara lain, karena perhatian gereja-
gereja anggota DGI dalam hubungannya dengan keesaan lebih
menitikberatkan pada upaya-upaya yang dilakukan pada lingkup nasional
melalui wadah DGI. Disamping itu, perkembangan politik, ekonomi dan
lain-lainnya yang bersifat nasional, seolah-olah menuntut supaya DGI
lebih bdaripada badan-badan tersebut.
Namun setelah tahun 1964, dirasakan kembali perlu adanya badan-badan
daerah yang kemudian dikenal sebagai Dewan Gereja-gereja Wilayah,
yang ditempatkan di beberapa daerah di Indonesia.
1. Pembentukan Dewan Gereja-gereja Wilayah:
Pada tanggal 24 Agustus 1964 Badan Pekerja Harian DGI menunjuk 10
gereja di 10 wilayah untuk bertindak selaku pengundang pertemuan
dalam rangka pembentukan Dewan Gereja-gereja Wilayah (DGIW),
sehingga diharapkan dapat terbentuk DG di wilayah-wilayah Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi Utara Tengah, Sulawesi Tenggara Selatan, Jawa
Barat (dan Jakarta Raya), Jatim-Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan
Irian Barat. Di kemudian hari setelah terbentuknya beberapa DGW yang
direncanakan itu hanya sedikit dari jumlah tersebut yang aktif melakukan
fungsinya dengan semestinya.
2. Hakekat dan Wujud DGW
Karena tugas DGW adalah untuk memperkuat DGI dalam mencapai
keesaan gereja-gereja di Indonesia, maka DG dapat dianggap sebagai
cabang BPH DGI, meskipun pembentukan dan kegiatannya adalah
menjadi tanggungjawab dari gereja-gereja di wilayah masing-masing. Sifat
dualistis DGW inilah yang mengakibatkan DGW-DGW kurang dapat
memperkuat keesaan dari gereja-gereja (tujuan DGI) di Indonesia.
Bertolak dari kenyataan itu, maka dalam SR VII DGI di Pematang Siantar
ditegaskan kembali bahwa tugas DGW adalah menjadi alat gereja-gereja
untuk menyatakan keesaan gereja di suatu wilayah. Dengan demikiansifat
dualistis yang ada dapat dihilangkan.
Tugas DGW diuraikan dalam kegiatan-kegiatan yang berupa:
a. Penyelenggaraan musyawarah-musyawarah untuk gereja-gereja
b. Membantu gereja-gereja melakukan usaha-usaha yang direncanakan
c. Menciptakan kemungkinan bagi gereja-gereja sewilayah untuk
melakukan usaha bersama dalam melaksanakan misi gereja masing-
masing.
d. Membantu BPL dan BPH DGI dalam menjalankan keputusan-
keputusan yang diambil oleh SR DGI.
Sejak DGI berganti nama menjadi PGI, maka DGW pun ikut berganti nama
dengan sendirinya dan kita lebih dikenal sebagai PGI wilayah.

C. LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA (LDKG)


1. Latar Belakag Penetapan LDKGP
Setelah sidang raya IX di Tomohon 1980, DGI merumuskan lima dokumen
yang harus menjadi pegangan untuk gereja yang esa, yang pada waktu
itu akan dibentuk di Indonesia pada SR X di Ambon 1984. Konsep-konsep
disusun oleh DGI dan dikirim kepada gereja-gereja anggota untuk
dibicarakan. Selanjutnya, sidang BPL-DGI di Rantepoa 1983 menetapkan
naskah dari konsep-konsep tersebut untuk sidang raya DGI di Ambon.
Konsep-konsep itu dibahas gereja-gereja anggota DGI dalam konsultasi-
konsultasi wilayah. Akhirnya dokumen-dokumen itu diterima di dalam
sidang raya X DGI di Ambon 1984.
2. Penjelasan Isi
LDKG diterima secara sah dalam SR PGI X di Ambon, yakni:
a. Pokok-pokok tugas panggilan bersama (PTPB) 1984-1989, semacam
GBHN untuk PGI, di dalamnya apa yang harus dikerjakan oleh gereja-
gereja selama periode 1984-1969.
b. Pemahaman Bersama Iman Kristen di Indonesia (PBIKI), suatu
pengakuan iman yang menggantikan pemahaman bersama dari tahun
1967 (yang tidak pernah diterima secara resmi).
c. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) di antara
gereja-gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, semacam
BEM untuk gereja-gereja anggota PGI dengan perbedaan bahwa PSMSM
lebih singkat dan lebih kongkrit dari pada BEM, karena mengatur, saling
mengakui secara praktis dan tidak hendak mendalami masalah-masalah
teologis berkaitan dengan saling menerima.
d. Tata Dasar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang
menggantikan tata dasar lama. Mencantumkan nama yang baru untuk
dewan gereja-gereja di Indonesia dan mencantumkan Pancasila sebagai
satu-satunya asas untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sesuai dengan undang-undang bagi organisasi-organisasi masa (ormas).
e. Kemandirian teologi, daya dan dana secara khusus membahas
masalah pendewasaan gereja-gereja di Indonesia (band Ef. 4:13), supaya
gereja-gereja di Indonesia dapat bebas dari ketergantungan pada gereja-
gereja luar negeri dalam soal pembiayaan dan dalam soal teologi. Gereja-
gereja di Indonesia diharapkan dapat mempergunakan dan
mengembangkan daya anggota-anggota gereja sendiri.
Pembahasan selanjutnya dapat disimak dalam buku Menuju Keesaan
Gereja, oleh Christian de Jonge (BPK Gunung Mulia, 1990) halaman 126-
132. Buku yang membahas LDKG secara terperinci adalah dalam
kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan PGI, (BPK
Gunung Mulia, 1991).

D. KELOMPOK-KELOMPOK GEREJAWI DI INDONESIA


1. Mengenal Kehadiran Aliran-aliran Gerejawi di Indonesia.
Kata aliran dalam konteks gerejawi, biasanya disamakan dengan kata
sekte atau denominasi". Di Indonesia banyak dijumpai alirang gerejawi
yang berasal dari luar Indonesia, hal ini disebabkan karena agama asli
orang Indonesia adalah agama suku. Bersamaan dengan kedatangan
bangsa-bangsa lain ke Indonesia, maka secara tidak langsung budaya dan
agama masuk bersama-sama dengan para pendatang tersebut.
Secara singkat dapat disebutkan contoh-contoh alirang gereja yang ada di
Indonesia sebagai berikut:
a. Calvinis (GKI, GKJ, dll)
b. Lutheran (HKBP)
c. Methodis (Gereja Methodis/Wesleyan)
d. Baptis (GBI, PIBI, KGBI, Baptis Independent)
e. Advent (Gereja Advent Hari Ketujuh)
f. Salvation Army (Bala Keselamatan)
g. Pantekosta (GPDI, GPPS, GDP, GSJA, dll)
h. Bethel (GBI, GBT, dll)
i. Kharismatis (gereja-gereja/persekutuan dengan nama baru)
2. Wadah/Organisasi Gerejawi di Indonesia
Selain PGI, rupanya terdapat dua buah wadah lain (di lingkungan Gereja
Kristen) yang bersifat nasional seperti PGI, yakni: Persekutuan Injili
Indonesia (PII) dan Dewan Pantekosta Indonesia (DPI) serta satu buah lagi
di lingkungan gereja Katolik, yakni: KWI (Konferensi Waligereja Indonesia).
PGI dengan tujuannya menguasahakan keesaan gereja-gereja di
Indonesia, membuka diri untuk melakukan hubungan dan kerjasama
mereka. Dengan demikian, adanya prasangka dari masing-masing pihak
perlu dilukis secara bijaksana. Diharapkan perlu saling menjaga, agar
diantara wadah-wadah gerejawi (PGI, PII, DPI dan KWI) tidak terjadi
perpecahan. Di bawah ini akan dibahas satu persatu.
3. Persekutuan Injili Indonesia (PII)
PII didirikan pada tahun 1971, di Jakarta. Pada hakekatnya PII merupakan
persekutuan dari orang-orang, badan-badan dan gereja-gereja yang
berpaham Injili (evangelical), yang ingin menghayati hubungan dan
kerjasama di dalamnya. PII adalah lembaga gerejawi yang bersifat
interdenominasional. Anggota PII yang berupa organisasi gereja ada yang
menjadi anggota PGI sekaligus, misalnya Gereja Bethel Indonesia (GBI),
GPPS, GIA, GBIS dll. Di dalam beberapa hal, PII sudah menjalin hubungan
kerjasama dengan pihak PGI, misalnya dalam kegiatan penataran/up
grading pendeta.
a. Tujuan
1) Menggalang persekutuan sebagai perwujudan organism yang hidup
sebagai Tubuh Kristus yang kudus dan am.
2) Mendorong usaha-usaha pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja,
lembaga-lembaga gerejawi dan badan-badan misi Injil
b. Usaha-usaha yang dilakukan
1) Memajukan pekabaran Injil dengan cara membantu anggota-anggota
PII dalam pelayanan di bidang penginjilan, pendidikan teologi dan
pendidikan umu, pelayanan social, kesehatan dan pengembangan
masyarakat, pelayanan komunikasi masa, pelayanan kategorial misalnya
wanita, pemuda, mahasiswa, anak-anak, golongan professional dll.
2) Membela dan meneguhkan berita Injil dengan cara memelihara
kemurnia asas Injili
3) Mewujudkan persekutuan dan pelayanan dalam terang Tuhan dengan
cara mengintensifkan komunikasi serta meningkatan moral dalam rangka
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam rangka koordinasi, integrasi
dan sinkronisasi usaha-usaha elayanan anggota-anggota PII.
4) Membantu pemerintah dalam usaha menyukseskan pembangunan
nasional.
5) Menjalin kerjasama internasional dalam bidang penginjilan,
pendidikan dan pelayanan masyarakat.
c. Pengakuan Iman
Sebagai persekutuan yang terpanggil untuk bersekutu dan memberitakan
Injil, kami percaya bahwa:
1) Alkitab adalah Firman Allah yang diilhamkan tanpa salah dan
merupakan otoritas tertinggi dalam segala segi kehidupan manusia.
2) Allah adalah Esa yang keberadaanNya kekal di dalam tiga oknum,
Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.
3) Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, lahir dari anak dara
Maria, suci, sempurna tanpa dosa. Ia mati sebagai penebus, dikuburkan,
bangkit pula dari antara orang mati, naik ke sorga, duduk di sebelah
kanan Allah Bapa dan akan datang kembali dalam kuasa dan kemuliaan.
4) Roh Kudus memeteraikan orang-orang beriman menjadi anak-anak
Allah dan memimpin mereka untuk hidup suci dan mampu bersaksi bagi
Tuhan Yesus Kristus.
5) Keselamatan manusia diperoleh hanya oleh iman pada penebusan
darah Yesus Kristus melalui pekerjaan oleh Roh Kudus.
6) Persekutuan orang-orang beriman sebagai Tubuh Kristus merupakan
perwujudan Gereja yang Kudus dan Am.
7) Kebangkitan berlaku bagi semua orang mati, bagi yang percaya
mendapat hidup kekal dan bagi yang tidak percaya kebinasaan kekal.

d. Hubungan dan Kepentingannya


1) Dengan Pemerintah
a) PII berfungsi untuk menyalurkan aspirasi kaum Injili Indonesia kepada
pemerintah RI.
b) PII berfungsi untuk menyalurkan harapan dan penyampaian informasi
dari pemerintah kepada anggota-anggota PII
c) PII berfungsi memberikan sumbangan gagasan-gagasan kepada
pemerintah dalam rangka kerukunan antar umat beragama.
2) Dengan Gereja
a) PP-PII dapat menjalin hubungan kerjasama dengan gereja-gereja dan
lembaga-lembaga gerejawi yang bukan anggota PII.
b) PP-PII membantu menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di
antara sesama anggota PII dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga
gerejawi lainnya.
3) Dengan Dunia Internasional
a) PII berfungsi untuk menyalurkan aspirasi kaum Injili Indonesia kepada
dunia internasional
b) PII berfungsi membantu para anggotanya dalam rangka kerjasama
dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga gerejwai secara
internasional.
c) PP-PII mewakili PII dalam memberikan saran dan rekomendasi badan-
badan misi Injili dari luar negeri yang akan melayani.
d) PII adalah anggota World Evangelical Fellowship, Community
Evangelization dan Evangelical of Asia (Agustus 1982).
4. Dewan Pantekosta Indonesia (DPI)
DPI yang didirikan pada tahun 1979 di Surabaya, merupakan lembaga
koordinatif dari gereja-gereja yang berpaham Pantekosta. DPI belum
menunjukkan bentuk kerjasama dengan PGI.
a. Tujuan
1) Memupuk kerjasama antar gereja yang beraliran Pantekosta
2) Membina kerjasam antara para pendeta gereja Pantekosta seluruh
Indonesia.
b. Keanggotaan: anggotanya meliputi 37 gereja
c. Sejarah ringkat
1) Atas prakarsa pengurus pusat GPDI (Pdt. Lesnussa Lumoindong, RM
Suprapto) kira-kira 1961 didirikanlah Dewan Kerjasama Gereja-gereja
Aliran Pantekosta di Bandung, dengan ketua-ketuanya, Pdt. Lesnussa dan
Pdt. Korompis (Bandung) dan Sekretarisnya adalah (alm) Gideon Sutrisno
2) Tahun 1970 Pdt. Lesnuss meninggal dunia
3) Setelah tahun 1970, Dewan Kerjasama Gereja-gereja Aliran
Pantekosta menggabungkan diri dengan Goikar.
4) Tahun 1976 Pdt. Bolan (anggota MPR) selaku ketua GPDI
memprakarsai persekutuan Pantekosta Indonesia (PII)
5) Tahun 1978, PPI dan Dewan Kerjasama bergabung dengan nama
Persekutuan Pantekosta Indonesia dan diresmikan tahun 1979 di Surabaya
oleh Mentri Agama RI Bp. Alamsyah Ratu PN
6) Beberapa anggota keluar dengan alasan tidak mau ikut berpolitik
7) Secretariat sekarang di Jl. Prof Dr. Supomo 47 Jakarta.

5. KESIMPULAN TENTANG GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA


a. Muncul dan perkembangan Gerakan Oikumene di Indonesia diilhami
oleh gerakan Oikumene di bagian dunia lain yang merupakan tempat asal
pembawa agama-agama Kristen ke Indonesia, yakni Eropa.
b. Gerakan Oikumene di Indonesia sebenarnya diawali oleh kegiatan
perorangan Kristen dari berbagai bidang kehidupan dan baru melibatkan
Gereja sebagai lembaga. Pola gerak yang serupa terlihat di Eropa.
c. Dengan adanya oikumene di Indonesia dalam diri:
1) PGI dengan 54 anggota gereja
2) PII dengan anggota yang terdiri dari
a) 29 organisasi gereja
b) 48 Yayasan
c) 15 Sekolah-sekolah Teologia
d) 9 orang (kelompok pribadi)
3) DPI dengan 37 buah gereja
Menunjukkan adanya intensivitas gerak lembaga oikumenis di Indonesia
sehingga praktis semua umat Kristen melalui Gereja Protestan sudah
diwadahii di dalamnya.
d. Kebhinekaan sifat anggota di dalam lembaga gerakan oikumene itu
menunjukkan kesungguhan pengurus masing-masing lembaga untuk
mengikat dan mendukung segala potensi yang ada.
e. Persamaan tujuan pokok ketiga lembaga gerakan oikumenis itu
menunjukkan homogenitas dan kesatuan gerakan oikumenis di Indonesia.
6. HUBUNGAN OIKUMENE DENGAN PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA
a. Pada umumnya ungkapan persatuan dan kesatuan bangsa itu
diucapkan dalam satu frasa sehingga sudah menyerupai sebuah
ungkapan yang utuh (tidak terpisah-pisah)
b. Apabila kesatuan itu sudah merupakan keesaan, kemanunggalan
sesuatu ke dalam satu unit dan menunjukkan suatu sifat yang tetap maka
persatuaan merupakan penggabungan atau kumpulan menjadi satu serta
proses menyatunya dari beberapa bagian.
c. Heterogenitas bangsa Indonesia dalam berbagai hal (suku, bahasa
daerah, kebiasaan, dll) mudah terpecah-pecah apabila semangat
kesatuan dan persatuan tidak menjiwainya. Pada dasarnya, oikumene
sebagai sikap mental menunjukkan adanya kesadaran mengenai kesatuan
Gereja yang menunjang pengembangan persatuan dan kesatuan
bangsa.
d. Semangat oikumenis yang selalu berusaha memelihara kesatuan Roh
oleh ikatan damai sejahtera merupakan proses social yang asosiatif di
dalam hidup bermasyarakat dan merupakan hal yang positif bagi
pembinaan bangsa yang sedang membangun.
7. HUBUNGAN OIKUMENE DENGAN PAK
a. PAK dalam rumusan DGI adalah mengajak, membantu menghantar
seseorang untuk mengenal kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus
sehingga dengan pimpinan Roh Kudus, ia datang ke dalam persekutuan
dengan Tuhan.
b. Sebagai tenaga teknis di bidangnya, pendidikan dalam PAK harus
memiliki kemampuan/penguasaan teknis untuk menjalankan fungsinya
apabila ia ingin berhasil dalam tugasnya.
c. Dalam rumusan di atas terlihat bahwa pendidik di bidang PAK
sebenarnya menjalankan tug/misi gereja sehingga ia tidkmungkin
memberikan sesuatu kepada orang lan yang tidak dimilikinya termasuk
sikap mental/rohani yang oikumenis.
8. DAFTAR ANGGOTA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)

IV
KESATUAN GEREJA YANG ALKITABIAH

Seperti telah dikatakan baha tujuan gerakan oikumenis yang dikehendaki


oleh semua kalangan semakin jauh dari tujuan oikumenis yang Alkitabiah
karena perbedaan teologia dalam PI. Sampai sekarang dua gerakan
oikumene yaitu kaum WCC dan kaum Injili masih memiliki pandangan
yang berbeda terhadap konsep oikumene. Kaum WCC terus berusaha
untuk mewujudkan oikumene dengan mempertahankan konsep PI yang
berhubungan dengan humanism yaitu memulihkan manusia secara
jasmani. Kaum WCC ingin mempersatukan gereja di bumi dengan
pandangan sekuler dan gereja Tuhan dianggap sebagai gereja bagian di
dunia.
Gereja harus menghadapi diri di dunia social, politik, ekonomi dan setiap
kebutuhan umat manusia, dengan kata lain tujuan oikumene bisa
terwujud jika seluruh gereja Tuhan menjadi satu dalam pandangan
tersebut. Oleh karena itu sampai sekarang kaum WCC mempertahankan
pandangan oikumene tersebut dan menentang pandangan oikumene
kaum Injili yang dianggap kurang memperhatikan factor humanism.
Memang ada upaya untuk menjalin kerjasama antara denominasi gereja
dan kaum Injili. Mereka sudah mulai memperhatikan factor kebutuhan
jasmani manusia yaitu kebutuhan social dan politik. Dengan kata lain
konsep keselamatan manusia secara total (Holistik) mulai diperhatikan.
Sementara dari pihak WCC juga ada suatu upaya yang ingin melepaskan
diri dari pandangan oikumene yang selama ini sering dikritik oleh pihak
Injili serta banyak denominasi gereja yang pernah menjadi anggota WCC
mulai meninggalkannya.
Tuhan menghendaki gereja-Nya menjadi satu, untuk itu semua gereja
dipanggil oleh Tuhan. Oleh sebab itu tujuan oikumene merupakan suatu
amanat Tuhan yang tidak bisa dihindari oleh gereja Tuhan. Semua gereja
Tuhan harus berusaha untuk menciptakan kesatuan melalui gerakan
oikumene, akan tetapi ada beberapa factor yang harus didasarkan untuk
mewujudkan oikumene tersebut.
A. WIBAWA DAN INSPIRASI ALKITAB YANG MUTLAK
Allah tidak membiarkan umat manusia mengabaikan dan mencurigai
hakekat kebenaran yang kekal tentang adanya manusia, dosa,
keselamatan, kebinasaan abadi, keselamatan abadi, etika moral,
kehendak bebas, penyembahan berhala dan hawa nafsu. Untuk itu Allah
memberi wahyu yang nyata dan itu dikatakan sebagai wahyu khusus.
Wahyu ini dikandung dalam Alkitab.
Kehendak Allah yang kudus diwahyukan kepada para penulis Alkitab yang
diilhami Roh Kudus. Dia adalah Allah yang menciptakan seluruh isi langit
dan bumi, Ia sebagai Allah yang setia dan yang kekal. Dalam seluruh
tindakan-Nya memiliki kasih, keadilan dan kesempurnaan. Ia berada
sebagai Allah Bapa, Allah Anak serta Allah Roh Kudus. Allah telah
berfirman melalui Firman-Nya dengan hikmat, tindakan dan karya-Nya
yang agung serta kepribadian Yesus Kristus.
Inkarnasi Yesus Kristus merupakan suatu karya yang ilahi dan
supernatural yang mewujudkan kehendak Allah. Allah menyatakan Diri-
Nya melalui Yesus Kristus dan Yesus tidak berubah dari kemarin, sekarang
dan sampai selama-lamanya. Oleh sebab itu kebenaran Allah tidak
berubah dari zaman ke zaman. Memang penerapan kebenaran Firman
Tuhan berlaku di dalam suatu situasi yang khusus dan pasti ada
perubahannya, akan tetapi kebenaran Firman itu tidak bisa berubah.
Allah hendak menyatakan diri-Nya dengan inkarnasi manusia yang telah
dinubuatkan dalam Alkitab yang ditulis oleh para nabi dan rasul melalui
bahasa manusia kepada setiap suku. Oleh karena itu kitab PL dan PB yang
tertulis dengan pengilhaman Allah menjadi suatu yang diimani dan hukum
yang jelas satu-satunya dalam setiap generasi. Alkitab yang ditulis oleh
para penulis yang hidup di setiap zaman yang berbeda memperlihatkan
kesatuan yang sempurna sebagai wahyu terhadap Allah yang Esa dan
setia. Oleh sebab itu Alkitab merupakan standard dan ukuran sempurna
yang mampu membawa umat manusia di dalam keselamatan.
Gerakan apapun harus didasarkan pada kebenaran Firman Tuhan. Tanpa
pengakuan iman terhadap Alkitab gerakan oikumene tidak mungkin
terwujud. Jika kita tidak meletakkan Alkitab sebagai titik tolak permulaan
iman kita, maka segala sesuatu yang ingin kita wujudkan menjadi sia-sia.
B. DOKTRIN MENGENAI JIWA DAN HIDUP YANG KEKAL
Setiap manusia merupakan jiwa yang kekal yang tidak binasa dan yang
berada dalam satu tubuh. Bila manusia percaya kepada Yesus Kristus
maka dosanya akan diampuni. Seseorang yang telah diselamatkan
menjadi ciptaan baru dan masuk di dalam jalan hidup yang kekal. Seorang
manusia yang diselamatkan mulai hidup sebagai anggota umat Tuhan
dalam tubuh Yesus Kristus kemudian tubuh dan jiwa akan dibangkitkan
sebagai manusia yang hidup kekal dalam waktu yang ditentukan Allah
setelah kematian tubuh.
Dalam I Korintus 15:52 dikatakan bahwa orang yang mati akan hidup
dengan tubuh yang tidak fana dan akan mengalami perubahan. Ayat 50-
56 merupakan suatu penjelasan yang lebih jelas tentang doktrin tersebut.
Menurut doktrin ini Allah memberikan dua hadiah dan itu adalah hidup
berlimpah sekarang dan hidup kekal yang akan datang. Diantara dua
kebenaran ini, kebenaran yang kedua melebihi yang pertama yang tidak
bisa dibandingkan. Tetapi kedua-duanya tidak bisa saling dipisahkan.
Hidup berlimpah-limpah yang dinikmati oleh orang percaya telah mulai
menjadi bagian hidup yang kekal. Hidup yang kekal dihasilkan dengan
kebenaran, damai sejahtera, keadilan, persekutuan, kesetiaan, rendah
hati dan keberanian secara nyata. Oleh karena itu hidup yang kekal
merupakan suatu hidup bersama dengan Allah dalam masa yang akan
datang sekaligus juga pada masa sekarang.
Orang yang sudah diselamatkan tidak bisa hanya menunggu hidup kekal
yang akan datang, dan orang yang sudah diselamatkan tidak bisa hanya
menikmati hidup yang berlimpah di dunia ini tanpa menantikan hidup
yang kekal. Konsep keselamatan yang Alkitabiah adalah seimbang antara
keduanya. Orang yang diselamatkan harus berusaha untuk menghasilkan
buah-buah Roh Kudus dan bisa mencerminkan hidup kekal yang diberikan
oleh Allah. orang yang diselamatkan dan telah sungguh lahir baru, pasti
memperhatikan kebutuhan sesamanya sebagai orang yang sedang
menikmati hidp berkelimpahan secara rohani di dunia dan akan
menantikan sampai hidup yang kekal terwujud.
Dalam gerakan oikumene perlu diperhatikan tentang konsep keselamatan
yang Alkitabiah. Pihak WCC hanya berfokus pada konsep keselamatan
hidup yang berlimpah-limpah di bumi ini yaitu pemulihan manusia secara
social, politik, ekonomi serta semua hak-hak asasi manusia. Dalam tujuan
gerakan oikumene jika kita kehilangan salah satu konsep antara dua
konsep tersebut maka sasaran dan tujuan oikumene akan tersesat.
Mengapa demikian? Karena Yesus datang ke dunia untuk memulihkan
manusia secara holistic. Tetapi factor pemulihan jasmani tidak bisa
mendahului factor rohani.
C. DOKTRIN KESELAMATAN KEKAL DAN KEJATUHAN UMAT MANUSIA
Allah menciptakan langit dan bumi dan yang tidak ada dengan kemuliaan
dan Firman-Nya. Allah menciptakan Adam dan Hawa menurut gambaran-
Nya, bahkan hendak bersekutu bersama dengan mereka. Akan tetapi
kedua orang ini melakukan pengkhianatan terhadap Allah karena
pengaruh godaan setan. Walaupun mereka menyimpang dari Sang
Pencipta mereka, tetapi mereka adalah ciptaan yang memiliki
tanggungjaab pada Allah. Oleh karena itu manusia tidak bisa berbalik
kepada Allah dengan meninggalkan anugerah-Nya karena manusia telah
jatuh dalam dosa.
Jika kita tidak berbalik kepada Sang Penebus, maka kita akan terus berada
dalam keadaan dosa. Akan tetapi manusia bisa diampuni, dibenarkan
bahkan mendapat hidup yang kekal melalui kematian Sang Penebus yaiut
Yesus Kristus. Oleh sebab itu kita yang dipilih Allah untuk menjadi umat
Tuhan bisa menjadi Imamat Rajani. Inilah penebusan yang kekal.
Penebusan kekal tidak diperoleh melalui agama, kehidupan moral dan
konsep manusia. Penebusan yang kekal hanya datang melalui Yesus
Kristus dan iman orang yang percaya pada karya penebusan-Nya.
Theologia kalangan Injili menolak doktrin universalisme dan
mempertahankan bahwa seluruh umat manusia akan diselamatkan
karena doktrin keselamatan universalisme bukan merupakan wahyu
Alkitab. Kaum liberal tidak mengakui asal dosa manusia serta adanya
sorga dan neraka. Meraka hanya mengakui dosa social dan politik. Oleh
karena itu kaum WCC mengangkat teologia pembebasan sebagai
semboyan dalam gerakan mereka. Hal itu menyebabkan mereka berfokus
pada keselamatan manusia secara sossial, politik dan ekonomi.
D. DOKTRIN KRISTOLOGI YANG MENJADI PENGANTARA SATU-SATUNYA
Seorang pengantara satu-satunya adalah Yesus Kristus yang lahir dari
darah Maria melalui Roh Kudus. Dia adalah Alah dan Manusia sempurna.
Dia menyatakan kasih Ilahi melalui kematian-Nya terhadap manusia,
melepaskan manusia dari dosa dan bahkan memperdamaikan manusia
dengan Allah. Oleh karena itu, tidak ada jalan perdamiaan dengan Allah
tanpa lewat Yesus Kristus. Selain nama Yesus tidak ada nama penebus
lain.
Umat manusia yang mempunyai latar belakang ekonomi, bahasa, budaya
dan suku yang berbeda-beda, bisa berdamai dengan Allah hanya melalui
iman pada Yesus Kristus. Memang kaum Injili cukup mengerti, apabila
orang-orang yang masih belum mendengar dan mengenal pada Kristus
serta gereja Tuhan bukan merupakan kesalahan mereka sendiri. Kaum
Injili tidak setuju jika ajaran agama, filsafat, kepercayaan dan kebudayaan
modern tidak bisa mengulaskan kabar tentang keselamatan manusia.
Kaum Injili percaya bahwa orang yang tidak percaya Yesus akan binasa
dan percaya juga bahwa Allah memiliki kedaulatan. Oleh karena itu gereja
Tuhan diberi suatu tanggung jawab untuk menyatakan doktrin Kristologi
yaitu Yesus Kristus yang adalah Mesias satu-satunya yang bisa
menyelamatkan.
Kaum WCC meletakkan Yesus sebagai seorang Mesias yang nampak untuk
menyelesaikan dan membebaskan umat manusia dari penindasan social
dan politik. Yang lebih ekstrim lagi yaitu pandangan bahwa Yesus adalah
seorang yang pernah hidup dan berjuang untuk masyarakat tertindas dan
Ia dianggap sebagai seorang yang bersejarah. Dia bukan seorang Mesias
tetapi Dia adalah seorang pejuang yang selalu memihak pada masyarakat
yang tertindas. Dan menurut para theologia liberal WCC, di dalam agama
dan budaya orang kafir ada unsur dan potensi Mesias. Allah telah
menyatakan Diri-Nya di dalam budaya agama dan dengan bentuk agama
dan budaya setempat. Oleh karena itu agama Kristen tidak boleh
mempertahankan konsep keselamatan tradisi dan menghargai nilai-nilai
budaya dan agama kafir.
Dalam gerakan oikumene, konsep Kristologi yang benar merupakan dasar
titik tolak permulaan tujuan gerakan oikumene. Jka konsep ini hilang arah
dan tujuan gerakan oikumene tidak jelas. Yesuslah yang menekankan
adanya kesatuan gereja. Dalam gerekan oikumene, Yesus Kristus tidak
dinyatakan sebagai Mesias satu-satunya yang bisa menyelamatkan iman
manusia. Sehingga hal itu sama dengan sebuah kapal yang berlayar
menuju ke suatu tujuan tanpa kemudi.
E. EKKLESIOLOGI YANG MENJADI TUBUH KRISTUS DAN MILIK ALLAH
Allah Bapa sedang memanggil umat manusia pada persekutuan yang
didasarka pada tubuh Yesus Kristus dengan mendirikan gereja yang
apostolic, universal, suci dan satu oleh Roh dan Firman-Nya. Dengan Roh
dan Firman yang sama Allah memimpin dan melindungi gereja Yesus
Kristus tanpa melihat suku, klasifikasi, kelompok, status, budaya dan
kondisi ekonomi. Dan Allah bersatu dengan umat-Nya di seluruh dunia
secara rohani sambil membentuk gereja Tuhan di bumi. Gereja ini berbeda
dengan bentuk kelompok, persekutuan dan jemaat yang disebut sebagai
gereja, denominasi, konsili dan konferensi. Perintah Allah yang jelas dalam
ajaran-Nya untuk memuridkan seluruh etnik, membaptiskan dan
menjadikan anggota gereja yang punya tanggung jawab. Oleh karena itu
gerakan PI sedunia melakukan suatu usaha dan perjuangan yang ingin
mewujudkan perintah Tuhan di dalam seluruh suku bangsa. Perintah ini
harus dilaksanakan oleh seluruh jemaat di dunia yang telah ditebus. Akan
tetapi pihak WCC membatasi hakekat gereja yang sebenarnya dengan
mengubah Amanat Agung Tuhan Yesus.
Gereja merupakan tubuh Yesus Kristus dan gereja harus melaksanakan
amanat Agung Tuhan, namun tugas gereja bukanlah mengubah dunia
secara politik dan social tetapi mengubah dunia dengan ajaran Yesus
Kristus. Adanya gereja tidak berada di tengah-tengah dunia tetapi berada
di tengah-tengah dunia. Gereja harus membuat umat manusia melihat
kasih karunia dan kemuliaan Allah, gereja juga harus mampu
mencerminkan kebenaran Injil Yesus Kristus dan bahkan haruss juga
mampu mencerminkan kebenaran Injil Yesus Kristus dan bahkan harus
bisa membawa umat manusia kepada keselamatan yang abadi.
Ekklesiologi yang benar menentukan arah dan tujuan gerakan oikumene
yang benar.
Jika pandangan terhadap ekklesiologi saling berbeda maka tidak akan bisa
mencapai oikumene yang Alkitabiah. Sampai saat ini pihak WCC dan Injili
saling berbeda pendapat terhadap ekklesiologi. Bagi kaum Injili adanya
gereja adalah menjalankan dan meneruskan perintah Tuhan Yesus Kristus
yaitu Amanat Agung, sedangkan bagi kaum WCC gereja adalah berperan
dalam masyarakat dengan mengangkat masalah social, politik dan
ekonomi. Karena pendapat yang saling berbeda tersebut, maka wujud
gerakan oikumene sulit tercapai sebab makna dan tujuan gerakan
oikumene harus didasarkan di atas konsep ekklesiologi yang benar.
F. ZAMAN EKKATOLOGI DAN PENGINJILAN
Alkitab berulang kali menyatakan bahwa ada pemerintahan Allah yang
sempurna, akhir zaman, hari penghakiman yang akan terwujud di sorga
dan bumi baru. khususnya dalam Matius 24:14 menegaskan baha tanda
akhir zaman sedang nyata dan akan nyata. Oleh karena itu bagi kaum
Injili, doktrin gereja PI sedunia merupakan suatu kewajiban gereja yang
harus dilaksanakan sampai pada akhir zaman, sebab kita betul-betul
percaya bahwa eskatologi yang tercatat dalam Alkitab pasti akan terwujud
secara literal. Kita semua akan percaya bahwa Yesus akan memerintah
umat-Nya di bumi dan sorga baru.
Pemerintahan Allah yang terpecah karena penghiantan manusia dari
dosanya akan terwujud dengan mulia pada waktu akhir zaman. Tetapi
sebelum kenyataan ini terjadi, Allah akan menunggu sampai Injil Yesus
tersebar kepada seluruh umat manusia, agar setiap pribadi mendapat
kesempatan untuk mengakui Yesus sebagai Juru Selamatnya. Pada akhir
zaman, Tuhan akan memulihkan, menyucikan dan melenyapkan
kesedihan dan air mata para umat-Nya. Di sana tidak ada lagi
penderitaan, kesengsaraan, air mata, ratapan dan maut. Yang ada
hanyalah sukacita dan kasih. Kita yang percaya pada Alkitab sangat
menantikan kejadian tersebut dengan iman.
Eskatologi merupakan puncak Injil. Oleh karena itu, dalam gerakan
oikumene kenyataan ini menjadi suatu tujuan dan arah paling utama.
Mengapa kita semua berusaha untuk mewujudkan tujuan gerakan
oikumene? Karena kesatuan gereja di bumi ini merupakan kesatuan
bayangan yang akan nyata pada kesatuan di sorga.
Pihak kaum liberal membatasi konsep eskatologi di bumi ini. Menurut
mereka jika manusia dan keadaan social, politik, ekonomi bisa pulih maka
hal itu berarti eskatologi sudah terwujud di bumi. Menurut kaum Liberal
sorga dan neraka tidak ada. Kerajaan sorga hanya akan terwujud di bumi.
Jika pandangan ini benar, maka tujuan gerakan oikumene sulit terwujud.
G. GERAKAN OIKUMENE YANG ALKITABIAH
Seperti telah dikatakan bahwa PI duna tidak bisa mengecualikan kesatuan
dan kerjasama antara denominasi gereja. Bahkan Alkitab menuntut
adanya integrasi gereja. Apabila jiwa kesatuan dan integrasi nampak,
maka PI menjadi lebih efektif. Sikap yang menentang gerakan oikumene
WCC tidak membenarkan perpecahan gereja dan system gereja local.
Masalahnya gerakan oikumene WCC terlalu luas dalam konsep oikumene.
Selanjutnya pemikiran bahwa kesatuan gereja yang bersifat organisasi
dan sistematis adalah berguna untuk PI tidak benar. Gereja Katolik
merupakan suatu organisasi yang tidak mengizinkan denominasi gereja
dan kelompok itu sendiri.
Tidak bisa dikatakan bahwa gereja yang menjadi kesatuan dengan
struktur dan organisasi adalah gereja Allah yang hidup. Akan tetapi tidak
bisa juga dikatakan bahwa walaupun ada banyak denominasi gereja,
gereja di pihak Protestan adalah gereja yang hidup. Hal tersebut membuat
denominasinisme diterapkan pada Negara lain. Khususnya dalam bidang
PL, pihak yang menyampaikan Injil harus lebih dahulu mengerti alasan
permulaan denominasi gereja dari segi sejarah, budaya dan Alkitab.
Khususnya Indonesia terdir dari berbagai macam budaya, suku dan
bahasa. Oleh karena itu semua orang tidak bisa menjadi anggota sebuah
denominasi gereja karena latar belakang gereja, budaya dan bahasa
mereka secara sembarangan.
Dalam konsep gerakan oikumene, pasti timbul berbagai macam tantangan
yang berhubungan dengan hal tersebut khususnya warna teologia yang
dimiliki setiap denominasi gereja. Awal tujuan gerakan oikumene adalah
supaya bisa bekerjasama Amanat Agung Tuhan dalam biang penginjilan.
Oleh seba itu, baik pihak Injili maupun pihak WCC harus bekerja keras
untuk mencapai tujuan itu sebagai mitra kerja. Di lapangan PI di seluruh
dunia dimana-mana khususnya di egera ketiga yang beragama Islam,
Hindu, Budha, Animisme, dll. Kristen merupakan kelompok minoritas. Di
Amerika, Korea dan Eropa merupakan kelompok Kristen mayoritas,,, oleh
karena itu Kristen tidak dituntut untuk menjadi satu tetapi seperti Negara
yang ketiga khususnya di Indonesia orang kafir merupakan jumlah
minoritas. Kenyataan ini menjadi alasan untuk menjalankan gerakan
oikumene antara denominasi gereja. Dan juga agama Kristen dianggap
agama Barat, anti social dan pemerintah di Negara anti Kristen. Dengan
situasi ini Protestan yang terus terpecah-pecah antar denominasi gereja
tidak dapat mempengaruhi masyarakat sebaliknya hanya akan
membahayakan keberadaan gereja masyarakat setempat.
Setiap gereja dan pemimpin harus mengajar jemaat mengenai konsep
kesatuan gereja. Namun gerakan ini sering menghadapi banyak
tantangan karena mengandung dua masalah: (1) Doktrin gereja, (2)
Kesatuan. Dua masalah ini mengandung suatu persoalan yang sangat
rumit. Jika terlalu menekankan prinsip Alkitab maka kesatuan sulit
terwujud, sementara jika terlalu menenkankan kesatuan maka
mengorbankan kebenaran. Inilah pergumulah kita. Oleh karena itu banyak
pihak berkata bahwa kebenaran dan kesatuan mustahil terwujud. Tetapi
walaupun ada banyak hambatan dan tantangan dalam kesatuan, tetapi
semua pihak harus berusaha dengan memiliki konsep bahwa kesatuan
Alkitab akan terwujud.
Alkitab mengajar bahwa semua itu merupakan kebenaran, kasih,
persekutuan dan kesatuan. Supaya kit bisa memiliki konsep kesatuan
yang benar, maka perlu meninjau kesatuan yang Alkitabiah.
1. Kesatuan Dalam Allah.
Yohanes 17:23 merupakan nats yang membahas tentang oikumene.
Namun nats tersebut menekankan adanya kesatuan dalam kemuliaan
Allah. Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka
sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah
mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti
Engkau mengasihi Aku. Tempat dimana yang tidak ada kemuliaan Allah
dan iman yang bersatu dengan Allah jelas tidak ada kesatuan. Yesus
sendiri menegaskan hal itu dalam Yohanes 15:1-8. Dalam ayat 5 Akulah
pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di
dalam Aku dan Aku di dalam dia, Ia berbuah banyak, sebab di luar Aku
kamu tidak dberbuat apa-apa. Di luar Yesus, segala sesuatu akan sia-sia,
tidak terkecuali orang Kristen, mereka adalah sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dari Yesus Kristus, seperti batang pohon anggur dan
rantingnya. Berbagai macam usaha, gerakan, organisasi, rencana, visi dan
kesatuan tanpa Yesus tidak berarti. Iman terhadap Yesus Kristus
merupakan suatu dasar yang hanya bisa memulai segala sesuatu. Oleh
sebab itu dalam gerakan oikumene mestinya ada pengakuan iman
terhadap Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.
Dalam surat Paulus, kebenaran itu sangat ditegaskan oleh Paulus. Kasih
karuniadan damai sejahtera dari Allah Bapa kita dan dari Tuhan Yesus
Kristus menyertai kamu. Aku senantias mengucap syukur kepada Allahku
karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkanNya kepada
kamu dalam Kristus Yesus (1 Korintus 1:3-4). Allah yang memanggil kamu
kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita adalah
setia (ayat 9).. Selain nats ini di dalam setiap surat yang Paulus tulis,
Paulus menegaskan bahwa dia dipanggil oleh Allah sebagai rasul di dalam
Yesus menurut kehendak Allah. Paulus tidak bisa membayangkan bahwa
dia adalah seorang rasul yang dipanggil oleh Allah di luar Yesus Kristus.
Paulus merupakan seorang murid yang meneruskan pola dan jalan
kehidupan Yesus Kristus. Ia juga memiliki jiwa Yesus dalam melaksanakan
tugas PI. Dia selalu mengajak jemaat-jemaat yang didirikannya untuk
mewujudkan kesatuan yang hanya ada di dalam Yesus Kristus. Dan selain
Yesus tidak ada factor lain yang dapat digantikan dengan Yesus. Di dalam
1 Kor 1:10-17, 3:1-18 ketika terjadi perpecahan dalam jemaat-jemaat di
dalam gereja Korintus ada beberapa golongan yaitu gologan
Paulus.tidak terbagi-bagi dan selain Yesus
tidak ada orang-orang tertentu sebagai dasar gereja. Yesus adalah dasar
gereja.
Jelas kebenaran ini menunjukkan bahwa Yesus merupakan satu-satunya
yang mempersatukan seluruh umat Tuhan. Untuk itu semua umat Tuhan
dituntut menyatakan pengakuan iman terhadap penebusan, pengorbanan,
kebangkitan dan kedatangan Yesus sebagai Mesias satu-satunya. Oleh
sebab itu tanpa factor tersebut kesatuan tidak mungkin terwujud.
Teologia Liberal di WCC yang dipengaruhi filsafat dunia dan historical
criticism yang mengurangi nilai wibawa Alkitab dan Kristologi
menyebabkan gerakan oikumene yang diusahakan oleh pihak Injil
terhambat. Alkitab berkali-kali menekankan kesatuan hanya akan terjadi
dalam Allah Tritunggal.
2. Kesatuan Melalui Karya Roh Kudus
Kesatuan merupakan karya Roh Kudus. Ketika Roh Kudus bekerja pada
jemaat gereja mula-mula pada hari Pentakosta, para jemaat saling
menolong dan membagikan persekutuan kasih dalam kesehatian. Mereka
mempraktekkan prinsip ekonomi yang rohani untuk kebutuhan orang lain.
Oleh karena itu Alkitab menyebut Roh Kudus sebagai persekutuan Roh
Kudus (2 Kor 13:13). Rasul Paulus berkata bahwa jemaat Tuhan
diperdamaikan dengan Allah dan jemaat melalui salib Kristus dalam Roh
Kudus (Ef 2:16-19). Ini berarti kesatuan antara jemaat dan gereja telah
terwujud. Dalam Injil Yohanes 17:22 Yesus tidak menasehati untuk
menjadi satu tetapi berfirman bahwa kesatuan sudah nampak. Yesus
berdoa supaya kesatuan ini tetap terpelihara.
Pada hakekatnya kesatuan umat Tuhan sudah terwujud sejak zaman
Yesus. Oleh karena itu upaya-upaya gerakan oikumene merupakan
sesuatu yang bertentangan dengan doa Yesus. Setelah gereja Tuhan
bertumbuh secara kuantitas perlu adanya suatu mekanisme yang
sistimatis untuk menjalankan gereja Tuhan muncul. Sebenarnya Allah
tidak menghendaki gereja Tuhan menjadi sesuatu yang bersifat organisasi
manusia, namun setiap situasi zaman menuntut gereja Tuhan berubah.
Contohnya, Tuhan tidak menghendaki gereja mula-mula menjadi gereja
Katolik yang sekarang ini. Namun setelah titah kaisar Konstantinopel,
gereja yang diakui oleh kerajaan Romawi sebagai agama resmi yang
dianut oleh masyarakat maka gereja Tuhan mulai menjadi suatu
organisasi yang bersifat sekuler. Dan setelah reformasi gereja lahirlah
gereja Protestan yang terpisah dari gereja Katolik. Jadi yang mestinya
mewujudkan tujuan oikumene justru melahirkan banyak doktrin gereja.
Hal seperti ini menyebabkan tujuan gerakan oikumene mundur dari tujuan
oikumene yang sebenarnya. Akibatnya sampai saat ini di setiap Negara
yang mayoritas Kristen mengalami perpecahan gereja. Banyaknya
denominasi gereja yang memang bisa diterima sebagai suatu kenyataan
dari kelemahan dan keterbatasan manusia, akan tetapi seluruh
denominasi gereja harus berusaha supaya kesatuannya bisa terwujud
dalam Roh Kudus.
Di dalam Sejarah Gereja sudah pernah ada gerakan oikumene melalui
gerakan PI sedunia khususnya abad 19. Gerakan ini merupakan gerakan
yang berasal dari Roh Kudus. Sayangnya ada suatu kelemahan pada
gereja Indonesia yaitu nasib sstiap denominasi gereja tergantung pada
pemimpin-pemimpin tertentu yang saling mencari jasa dan keuntungan
pribadi. Pendapat dan pengalaman seorang pemimpin denominasi gereja
maupun lembaga Kristen sering menentukan arah dan warna doktrin
gereja, oleh sebab itu doa Yesus dalam Yohanes 17 selalu dihalangi.
3. Kesatuan Dalam Kebenaran Mutlak
Gerakan oikumene WCC mengindari doktrin gereja dengan menunjukkan
slogan bahwa doktrin gereja memecahkan, kasih mempersatukan. Oleh
sebab itu sebagai akibatnya gerakan oikumene WCC CC menjadi gerakan
yang terlalu ekstrim sampai merangkul doktrin gereja yang berbahaya
seperti teologia pembebasan. Hal itu menunjukkan bahwa gerakan
oikumene WCC mengandung suatu bahaya karena gerakan tersebut tidak
diadakan dalam kebenaran. Menurut Kis 2:42 Mereka bertekun dalam
pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu
berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Di dalam nats ini
pengajaran harus diterjemahkan sebagai dasar kebenaran agama Kristen.
Gerakan oikumene di luar kebenaran Firman Tuhan merupakan suatu
mimpi yang akan melayang.
Akhirnya kita tidak memandang kesatuan gereja yang bersifat organisasi
dan denominasi gereja, yang biasanya diartikan dengan beraneka ragam
dalam kesatuan, seperti yang telah dikatakan dalam 1 Korintus 12:12
Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak,
dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh,
demikian pula Kristus. Walaupun ada perbedaan antara denominasi
gereja yang percaya pada dasar kebenaran tetapi semuanya sudah
menjadi satu di dalam Yesus Kristus. Penekanan adanya kesatuan
bermaksud bukan memisahkan kesatuan yang telah nampak dalam Yesus,
namun sebaliknya untuk mempersatukan. Kebenaran dan kesatuan
seharusnya mengandung suatu persamaan dan tidak saling bertentangan.
Kita harus berusaha supaya factor manusia tidak mencemarkan tujuan
gerakan oikumene yang sudah ada dalam doa Yesus.
H. PEDOMAN DAN TINDAKAN UNTUK KESATUAN GEREJA
Erickson yang menjadi dosen di Southestern Baptist Theological Seminary
memberi sarana kepada gerakan kesatuan gereja yang efektif. Menurut
Erickson kita bisa melakukan apa yang kita perbuat untuk kesatuan
melalui doa Yesus untuk kesatuan gereja.
1. Gereja Yesus Kristus adalah satu. Seluruh orang percaya yang terikat
pada Tuhan dan satu dalam Kristus merupakan anggota Roh Kudus (1 Kor
12:13).
2. Integrasi rohani orang percaya harus diungkapkan melalui praktek
kasih, persekutuan dan persahabatan. Walaupun orang percaya itu saling
berbeda dari segi organisasi namun harus menerima pengakuan dari
pihak lain bahwa mereka sendiri adalah satu sebagai orang percaya.
3. Dari segala bentuk orang Kristen sedapat mungkin harus menjalin
kerjasama. Walaupun tidak bisa kompromi dalam hal mempraktekkan
doktrin gereja namun dalam hal kekeuatan harus menjadi satu, dengan
kata lain betapa pentingnya orang Kristen diberi kesempatan yang bisa
membuat mereka menjadi satu dalam Kristus dengan meletakkan
berbagai perbedaan yang ada dalam kekristenan. Hal menjadi satu
merupakan suatu bukti yang harus diperlihatkan pada dunia. Hal itu
sekaligus juga harus menjadi kesempatan pelayanan yang bisa
memanfaatkan sumber daya kita dengan benar.
4. Perlu hati-hati dalam menyusun dasar-dasar doktrin gereja dan tujuan
lingkup persekutuan. Menurut Erickson sejak tahun 1910 di konferensi
misi Edinberg banak bahan yang pokok digantikan dengan Amanat Agung
sebagai pokok perhatiannya tetapi sampai sekarang Amanat Agung Yesus
masih merupakan tugas utama bagi gereja. Akibatnya kegiatan-kegiatan
yang tidak bisa memberi jasa yang hanya membutuhkan dana dan waktu
tidak bisa dibenarkan dan harus kembali kepada tujuan gerakan oikumene
gereja yang sebenarnya.

5. Kita harus mempunyai suatu kewajiban untuk memelihara gereja dari


gerakan kesatuan dan dari lembaga yang melemahkan daya gereja
rohani. Sampai saat ini gereja yang masih bertumbuh adalah gereja Injili
dan konservatif. Mereka percaya bahwa gereja Injili dan konservatif
memiliki daya untuk mewujudkan kesatuan gereja. Oleh sebab itu kita
harus menilai dan menghindari lembaga-lembaga yang mengurangi daya
serta kesatuan kita secara serius.
6. Orang percaya tidak boleh meninggalkan gereja induk mereka. Jika
gereka induk memiliki kemungkinan untuk menyelesaikan segala
permasalahan maka gereja induk harus terus menjalankan tugas tanpa
menyerah. Seperti kaum Injili dan konservatif, karena ada permasalahan
dalam gereja mereka maka kaum injili dan konservatif memisahkan diri
dari pihak oikumene yang dilakukan secara sepihak. Hal ini menyebabkan
pendapat dan usulan pihak injili dan konservatif tidak bisa dibahas oleh
pihak oikumenis.
7. Semua orang Kristen perlu mengevaluasi motifasi dan tujuan adanya
perpisahan dan perpecahan gereja. Apakah motifasi dan perpecahan
gereja terjadi karena kepercayaan dan prinsip yang benar atau
merupakan ambisi seorang pribadi dan pergumulan kepribadian. Jika
orang percaya memiliki iman dan tujuan yang sama terpisah berarti hal
itu menjadi ketidakpercayaan terhadap The Cause of Christ.

8. Jangan mengkritik dan memojokkan pihak lain baik itu secara pribadi,
secara organisasi gereja maupun secara denominasi gereja karena
adanya perbedaan dan ketidaksamaan, tetapi hendaklah satu sama lain
saling membantu, memperbaiki dan menolong melalui kebenaran dalam
proses kesatuan. Prinsip Kristen adalah melakukan segala sesuatu dengan
jiwa dan kasih Yesus Kristus sebab kebenaran senantiasa terikat pada
kash.

Anda mungkin juga menyukai