Anda di halaman 1dari 40

16

BAB II
GERAKAN OIKOUMENE DALAM AGAMA KRISTEN

A. Pengertian Oikoumene
Istilah Oikoumene nyaris diartikan sebagai universal atau inter-
iman, yang sesungguhnya keliru. Makna aslinya adalah bumi yang
dihuni. Kata oikos dalam bahasa Yunani berarti rumah, mene adalah
bumi. Pemahaman tentang hal ini dalam kehidupan batin gereja
sejajar dengan konsep ahl al-kitab dalam Islam. Istilah Oikoumene
merupakan istilah misi yang analog dengan dinamisme konsep ahl al-
kitab dan berpusat pada pesan iman. Paulus meringkas pesan ini
sebagai, sebab jika kamu mengakui dengan mulutmu bahwa Yesus
adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu. Bahwa Allah telah
membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan
diselamatkan (Rm. 10 : 9). Jadi sesungguhnya Oikoumene merupakan
istilah untuk menggambarkan misi keKristenan, gerakan Oikoumene
untuk mendiami bumi yang kepadanya Injil diberitakan. Itu semacam
parafrase bagian akhir Injil Matius, untuk pergi dan membaptis bangsa-
bangsa (Mat. 28 : 18 20) atau bagian pembuka kisah para Rasul kamu
akan menjadi saksiku .... sampai ke ujung bumi (Kis. 1 : 8).
1

Kata Oikoumene mempunyai dua arti yang saling terkait.
Pertama sesuai arti harfiahnya, ialah rumah kediaman. Kedua,
maknanya adalah dunia yang dihuni manusia. Jadi gerakan
Oikoumene adalah gerakan untuk menjadikan dunia ini sebuah rumah
hunian bagi manusia sebagai sebuah keluarga besar. Istilah Oikoumene

1
Geogre B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama Satu Tuhan : Sebuah
Dialog, Terj. Santi Indra Astuti, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 227


17
terdapat dalam Alkitab, dan digunakan oleh gereja-gereja, terutama di
Barat setelah berakhirnya Perang Dunia II.
2

Dalam tradisi agama Kristen, ada yang disebut dengan istilah
Oikoumene (bahasa Yunani, Oikos = rumah, monos = satu; Oikoumene
= satu rumah). Istilah ini mengalami beberapa penyesuaian dengan
konteks perkembangan keKristenan sedunia. Tadinya hanya sebatas
lingkungan keKristenan di wilayah kerajaan Romawi, tetapi kemudian
menunjuk pada keKristenan secara umum. Dari situ berkembang lagi
menjadi gereja-gereja (=agama Kristen) dan agama-agama non Kristen,
dan berkembang lagi sampai kepada hubungan gereja-gereja dengan
ideologi-ideologi. Gerakan ini sangat dikenal dengan gerakan
Oikoumene. Gerakan yang peduli pada relasi-relasi antar denominasi
gereja (keKristenan) antara agama Kristen dengan agama-agama lain,
ideologi-ideologi bahkan tentang lingkungan hidup dan seluruh ciptaan
Allah.
3

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik benang merah,
bahwa di dalam agama Kristen ada sebuah konsep yang merupakan
solusi untuk para pemeluknya dalam menyikapi adanya pluralisme
agama, yaitu gerakan Oikoumene. Dan semua pengartian-pengartian
tentang Oikoumene seperti yang tersebut di atas menuju kepada satu
arah yaitu semacam kesadaran baru bahwa seluruh manusia di muka
bumi ini tidak mungkin untuk menganut agama Kristen. Mereka
mengumpamakannya seperti sebuah rumah yang terdiri dari banyak
bilik (kamar). Namun rumah dengan banyak bilik tersebut merupakan
satu kesatuan yang bisa saling berinteraksi dengan baik.


2
Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problem Sosial (Diskursus Tiologi tentang Isu-
isu Kontemporer), Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1998, hlm. 154
3
Th. Sumartana, Noegroho Agoeng, Zuly Qodir (ed.), Pluralisme, Konflik dan
Perdamaian (Studi Bersama Antar Iman), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 94 - 95


18
B. Sejarah dan Perkembangan Gerakan Oikoumene
Oikoumene adalah kata dari bahasa Yunani, yaitu Partitium
Preasentis passivum femium dari kata kerja oikeo, yang berarti
tinggal, berdiman atau yang mendiami. Oleh karena itu arti
harfiah kata Oikoumene adalah yang didiami. Tetapi
particium ini telah mempunyai arti khusus sebagai kata benda.
Arti pertama adalah geografis, dunia yang didiami (LK. 4 : 5,
Rom. 10 : 18, Lbr. 1 : 6 dan lain-lain). Kemudian kata
Oikoumene juga mendapat arti politik : kekaisaran Romawi
(Kis. 24 : 5) dan semua penduduknya (Kis. 17 : 6).
4

Oikoumene sesungguhnya merupakan istilah untuk
menggambarkan keKristenan, gerakan Oikoumene untuk mendiami
bumi yang kepadanya Injil diberitakan. Itu semacam parafrase bagian
akhir Injil Matius, untuk pergi dari membabtis bangsa-bangsa (Mat. 28 :
18-20) atau bagian pembuka kisah para rasul, kamu akan menjadi
saksiku sampai ke ujung bumi (Kis. 1 : 8).
5

Penggunaan dan pemahaman istilah Oikoumene mengalami
proses yang sangat dinamis.

Semula Oikoumene hanya untuk menyebut
ke-Kristenan di wilayah kerajaan Romawi, berkembang lagi sampai
pada dataran Oikoumene ditujukan untuk agama-agama non Kristen,
ideologi-ideologi lain, bahkan tentang lingkungan dan seluruh ciptaan
Allah.
6

Orang-orang Yunani kunopun mengenal istilah Oikoumene
untuk menyebut daerah yang terbentang dari Nil dan Oxus sebagai pusat
Oikoumene (yang menurut Alfred Koeber berarti komplek agraria
historis dari Afro Eurasia di bumi).
7
Namun jika Oikoumene
diartikan dalam arti yang sesungguhnya, maka dapat ditarik akar-akar

4
Dr. Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Sejarah, Dokumen-dokumen dan
Tema-tema Gerakan Oikoumene), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hlm. xvii
5
George B. Grose dan Bejamin J. Hubbard (ed.), op. cit., hlm. 227
6
Bonawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1991,
hlm. 12
7
Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paradigma, Jakarta, 1995, hlm. 93


19
yang melatarbelakangi gerakan Oikoumene (keseluruhan orang-orang
Kristen) yaitu adanya perpecahan di kalangan orang-orang Kristen.
Perpecahan itu terlihat secara nyata, pada zaman reformasi gereja
Katolik Roma untuk pertama kali (sejak Khisma dengan gereja ortodoks
Yunani tahun 1054), umat Kristen dihadapkan pada ancaman
perpecahan secara besar-besaran.
Walaupun Luther dengan cepat dikucilkan dari gereja (1612),
namun tetap diusahakan mencari perdamaian dengan pengikut-
pengikutnya kaum Injil demi kesatuan kaum Kristen terhadap
ancaman Turki. Usaha-usaha ini yang didorong oleh
pertimbangan-pertimbangan politik menghasilkan
pembicaraan-pembicaraan agama di Leipzig (1539), Hagenau
(1540), Worms (1540) dan Regensburg Ratizbon (1561) di
wilayah kekaisaran Jerman dan Colloguium di Poissy (1561) di
Perancis tetapi persetujuan tidak dicapai.
8

Perlu dijelaskan di sini hal-hal mendasar yang membedakan
antara Kristen Katolik dan Protestan, faktor-faktor ini pula yang menjadi
sebab awal perpecahan di kalangan orang-orang Kristen sekaligus faktor
pendorong adanya Kristen Protestan. Menurut orag-orang Katolik,
gereja-gereja adalah jalan ke Kristus dengan jabatan dan sakramen-
sakramen. Sedangkan menurut orang-orang Protestan, Kristus adalah
jalan ke gereja, dengan penekanan menurut firman dan iman. Di
samping itu juga, terjadinya kehidupan mewah dalam istana Paus
melebihi kemewahan raja-raja Perancis dan Inggris, sementara itu
perubahan sosial politik sangat tajam, sehingga kedudukan para
rohaniawan kehilangan monopoli dalam masyarakat. Pada puncaknya
gereja ternyata menyalahgunakan wewenangnya, antara lain karena
menjual idulgensi (penghapusan siksa, dosa) dan absolusi kepada para
jemaat gereja. Hal ini menyebabkan kejengkelan para anggota jemaat

8
Dr. Christian De Jonge, op. cit., hlm. 3


20
dan pemimpin gereja, terutama di Jerman yang dipelopori oleh Marthin
Luther.
9

Demikianlah sekilas gambaran penyebab perpecahan yang ada
di kalangan umat Kristen yang kemudian memunculkan konsep gerakan
Oikoumene yang muncul di kalangan orang-orang Kristen Protestan.
Kembali kepada pembahasan gerakan Oikoumene, seperti yang
dijelaskan di atas, bahwa meskipun kaum Injili memisahkan diri dari
Roma, namun tetap ada kesadaran, baik di kalangan Protestan maupun
di kalangan Katolik-Roma bahwa satu warisan menjadi milik bersama,
yaitu warisan gereja kuno. Timbul kesadaran bahwa usaha-usaha untuk
memulihkan perpecahan yang diakibatkan reformasi harus bertolak dari
warisan bersama. Kesadaran ini hidup khususnya di kalangan kaum
humanis, cendekiawan Katolik maupun Protestan yang mengecam
keadaan gereja Katolik Roma pada zaman itu karena telah menyimpang
dari ajaran dan praktek gereja kuno.
Pada abad ke-17 dan ke-18 pertama-tama usaha-usaha dari
abad reformasi dilanjutkan. Dapat disebutkan dua macam usaha, yang
pertama dalam mencari titik persatuan dalam warisan gereja kuno. Ini
jalan yang diikuti oleh Hugo Crotius (1583 1645) dan juga oleh teolog
Lutheran George Calixtus (1586 1656). Yang terakhir merumuskan
bahwa kesatuan kaum Kristen sebaiknya dilihat dalam warisan gereja
kuno selama lima abad pertama, consensus guinguesaecularis. Warisan
ini dapat membantu gereja Katolik-Roma untuk meniadakan
penyimpangan-penyimpangan yang muncul pada abad pertengahan
dengan hasil yang pasti tidak akan berbeda jauh dengan hasil reformasi.
Usaha kedua, adalah untuk merumuskan semacam daftar pasal-pasal
iman yang dianggap azazi untuk iman Kristen (artikel-artikel

9
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama (Bagian II : Pendekatan Budaya terahdap
Yahudi, Kristen Katolik, Protestan dan Islam), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 128


21
fundamental), yang harus diterima secara mutlak, sedangkan pasal-pasal
iman yang dianggap tidak azazi tidak boleh menjadi alasan perpecahan
di antara orang-orang Kristen. Metode ini antara lain diusahakan oleh
John Dury (Duraeus, 1595 1680).
10

Usaha pertama seperti dikatakan di atas, terlalu intelektualistis
untuk diterima secara umum di gereja-gereja, sedangkan untuk usaha
kedua waktunya belum matang. Gereja-gereja masih terlalu
mengindahkan rumusan-rumusan konfesional masing-masing.
Pada abad ke-19, kita dapat melihat 4 macam usaha yang dapat
disebut usaha untuk mempersatukan orang-orang Kristen dari gereja-
gereja yang berbeda. Yang pertama adalah usaha mempersatukan orang-
orang Kristen dari gereja-gereja yang mempunyai dasar teologis atau
konfensional yang sama. Usaha kedua adalah usaha untuk
mempersatukan orang-orang Kristen Protestan dalam satu perhimpunan.
Usaha ketiga adalah apa yang disebut Voluntary Movement (gerakan-
gerakan sukarela). Gerakan ini mempunyai pandangan, bahwa bukan
konferensi gereja yang penting, melainkan iman murni kepada juru
selamat. Usaha yang keempat berkaitan dengan yang ketiga, yaitu usaha
untuk bekerjsama di bidang pengabaran Injil.
11

Usaha-usaha ini bermuara pada konferensi pengabaran Injil
sedunia di Edinburgh (14 23 Juni 1910).
12
Konperensi pengabaran
Injil sedunia ini dipelopori oleh John Raleigh Mott (1865 1655),
seorang metodis dari Amerika Serikat dan Joseph H. Olgham (1874
1969) dari Skotlandia.
Pokok-pokok yang dibahas di Edinburg adalah : 1. Pengabaran
Injil di seluruh dunia; 2. Gereja di lapangan pengabaran Injil; 3.

10
Dr. Christian De Jonge, op. cit., hlm. 4-5
11
Ibid., hlm. 6-7
12
Dr. Christian De Jonge, Dr. Jam S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja, BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hlm. 51


22
Pendidikan dan pengKristenan; 4. Berita Kristen dan agama-agama
bukan Kristen; 5. Persiapan para pengkabar Injil; 6. Hubungan dengan
pangkal di dalam negeri (homebase); 7. Hubungan dengan
pemerintah; kerjasama dan keesaan. Disepakati untuk menunjuk suatu
continuation committe (Panitia penerus, panitia yang melanjutkan) yang
diberi tugas meneliti kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk
suatu panitia pengabaran Injil internasional.
13

Keputusan ini di kemudian hari ternyata berarti langkah awal
di sejarah Oikoumene, sehingga konperensi pengabaran Injil sedunia di
Edinburg 1910 dilihat sebagai saat kelahiran gerakan Oikoumene. Untuk
selanjutnya sejarah perlu mencatat momentum penting yang kemudian
setelah adanya komperensi pengabaran Injil sedunia di Edinburg 1910
momentum inilah yang kemudian menjadi spirit/jiwa gerakan
Oikoumene baik yang bertujuan ke dalam yaitu kesatuan bagi orang-
orang Kristen maupun tujuan pengabaran Injil/kerjasama dengan agama-
agama lain, ideologi-ideologi lain, bidang politik, sosial dan ekonomi
bahkan keseluruhan ciptaan Allah. Momentum tersebut adalah Edinburg
(I) International Missionary Council 1921 1961; Edenburg (II)
Gerakan Faith and Order (1910 1937; Edinburg (III) Gerakan Life
and Work (1919 1937); World Alliance (1914 1948) dan
pembentukan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (1937 1948). Berikut
uraian dari masing-masing momentum tersebut :

13
Dr. Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja op. cit., hlm. 10


23
Edenburg (I) International Missionary Council 1921 - 1961
Continuation committe yang ditunjuk di Edenburg 1910 mulai
pekerjaannya, namun karena pecahnya perang dunia pertama (1914
1918) pembentukan panitia pengabaran Injil terlambat. Baru pada tahun
1921 di Lake Mohorik, New York, dapat didirikan Internasional
Missionary Council (IMC), Dewan Pengabaran Injil Internasional yang
berpusat di London dan New York ketuanya adalah John Mott,
sekretarisnya JH. Oldham, anggota-anggota Dewan Pengabaran Injil
internasional bukan orang perorang melainkan organisasi-organsasi
kerjasama di bidang pengabaran Injil Nasional yang mulai didirikan
sejak di Edinburg, seperti Dewan-dewan Kristen Nasional di India,
Jepang, Korea, Tiongkok.
14
Namun selama perang Dunia Pertama
masih terlihat kecenderungan gereja-gereja berpikir secara nasional saja,
seraya memungkiri pertalian dan dasarnya yang melewati segala batas
bangsa dan negeri.
15

Meskipun demikian masih terlihat adanya usaha baik untuk
kesatuan orang-orang Kristen ataupun kesatuan pengabaran Injil, hal ini
terlihat dari terlaksananya komperensi yang dipelopori oleh
International Missionary Council (IMC) di Yerussalem, 23 Maret 8
April 1928. jumlah peserta dari gereja-gereja muda (istilah-istilah
yang dipergunakan untuk pertama kali) adalah 50, seperlima dari 250
peserta. Dari Indonesia T.S. Gunung Mulia yang hadir. Yang
dibicarakan adalah hubungan antara gereja-gereja muda dan tua
(relations between the yonger and older churches), hubungan dengan
agama-agama lain (yang menyatakan perubahan dalam sikap terhadap
dan pemahaman teologis mengenai agama-agama lain dan mengenai

14
Ibid., hlm. 13
15
H. Berkhof, Sejarah Gereja, terj. I.H. Enklaar, BPK : Gunung Mulia, Jakarta, 1995,
hlm. 339


24
tugas pengabaran Injil), sekularisasi (yang dilihat sebagai bahaya lebih
besar dari agama-agama kafir) serta komprehensive approach to the
jews (pendekatan menyeluruh). Didirikan committe on the christian
approach to the jews (panitia pendekatan Kristen terhadap orang-orang
Yahudi).
16

Gagasan komprehensife bertolak dari pendapat bahwa Injil
menyangkut seluruh manusia, yaitu jiwanya, hubungannya dengan
sesama manusia dan dunia sekitarnya. Oleh sebab itu pengabaran Injil
tidak boleh membatasi diri pada pemberitaan firman pada orang
perorangan. Pengabaran Injil juga termasuk pekerjaan seosial, medis,
pendidikan, singkatnya kegiatan-kegiatan yang mencakup segala bidang
kehidupan (pelayanan total dengan Injil total, kepada manusia total).
17

Usaha kedua, terlihat di Tambaran 12 29 Desember 1938. Di
sini perwakilan gereja-gereja muda seimbang dengan perwakilan gereja-
gereja tua. Masing-masing 189 dan 182 orang. Dari Indonesia hadir
sembilan orang pribumi, antara lain Dr. J. Leimina dan Mh. Mr. A.L.
Fransz. Yang memainkan peranan besar dalam konperensi ini adalah
bukunya Dr. H. Kraemer, The Christian Message in a Non Chritian
World. Di dalam bukunya ditujukan peleburan semua agama dalam
suatu persaudaraan yang mencakup seluruh dunia.
18

Usaha ketiga, diadakannya komperensi Whitby (Kanada), 5
24 Juni 1947. Temanya adalah The Christian Witness in a
Revolutionary World (Kesaksian Kristen dalam dunia yang
revolusioner). Gereja-gereja tua dan muda mulai saling mengakui
sebagai Partner in Obedience (mitra dalam ketaatan) yang sama-sama
diperhadapkan dengan tugas mengabarkan Injil di seluruh dunia. Dari

16
Christian De Jonge, Menuju Keesaan op. cit., hlm. 14
17
Ibid.
18
Ibid.


25
istilah partner in obidience menjadi nyata bahwa perbedaan-perbedaan
status antara dua jeis gereja ini.
19

Usaha keempat, konperensi Willingen (Jerman) 5 12 Juli
1952, dengan tema The Missionary Obligation of the Church
(kewajiban gereja untuk mengabarkan Injil). Dibicarakan soal
nasionalisme yang dihadapi gereja-gereja di negara-negara yang baru
merdeka atau yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Usaha
kelima, terlihat dari komponen si Achimota (Graha, Afrika) 28
Desember 8 Januari 1958. Temanya adalah The Christian Mission at
This Hour (misi Kristen pada saat ini). Diputuskan untuk
mengintegrasikan IMC dengan DCD. Didirikan Theological Education
Fund (TEF, Dana Pendidikan) untuk pendidikan teologi di Asia, Afrika
dan Amerika Serikat.
20

Kalau kita meninjau kembali sejarah IMC sampai Achimota,
perubahan zaman dapat dilihat dalam pokok-pokok pembahasan dan
tema-tema sebelum perang dunia kedua dapat dilihat pengaruh
dekolonisasi dan nasionalisme di dunia ketiga pada kalangan perkabaran
Injil. Dalam pemahaman baru tentang perkabaran Injil yang dirumuskan
kesamaan hak dan derajat antara orang-orang Kristen tua dan muda
mulai ditekankan. Sekaligus diperjuangkan pendewasaan dan
kemandirian gereja-gereja. Sesudah perang dunia kedua perkembangan
ini dilanjutkan dengan penekanan pada perkabaran Injil sebagai tugas
bersama di seluruh gereja sebagai pengkabar Injil. Pemisahan antara
gereja dan perkabaran Injil ditiadakan. Pemahaman tentang perkabaran
Injil sebagai pemberitaan firman keselamatan diperluas dan mulai
mencakup dimensi sosial, ekonomis dan politik. Namun demikian
polarisasi yang semakin meningkat antara kaum ekouminikal dan

19
Ibid., hlm. 16
20
Ibid.


26
evangelikal menunjukkan bahwa tidak semua kalangan perkabaran Injil
setuju dengan perluasan pemahaman mengenai tugas perkabaran Injil
ini.

Edinburg (II) : Gerakan Faith and Order (iman dan tata Gereja)
Komperensi perkabaran Injil sedunia di Edinburg (1910)
adalah komperensi untuk membicarakan soal-soal yang dihadapi
bersama di bidang perkabaran Injil. Semua hal yang dapat mempersulit
pembicaraan ini dihindari, sehingga soal-soal yang menyangkut iman
dan tata gereja, hal-hal yang membedakan gereja-gereja tidak
dibicarakan. Namun dirasa oleh para peserta bahwa suasana
perundingan pada komperensi Edinburg telah begitu baik dan perasaan
persaudaraan telah begitu dalam sehingga untuk masa depan diharapkan
langkah-langkah yang lebih maju menuju keesaan. Untuk mengambil
langkah-langkah ini perbedaan-perbedaan di bidang teologi dan tata
gereja perlu dibahas.
Untuk usaha menyelenggarakan suatu konperensi sedunia
mengenai iman dan tata negara (world conference in Faith and Order)
dipelopori oleh Charles H. Brent (1862 1929) seorang uskup dari
Protestan Episcopal Church di Amerika. Tujuan Faith and Order, yang
dirumuskan oleh Brent, adalah jalan menuju keesaan gereja. Brent
melihat gerejanya sendiri sebagai titik permulaan untuk gerakan Faith
and Order. Gerejanya harus mengundang gereja-gereja lain untuk
menghadiri konperensi mengenai pokok ini. Dan akhir tahun 1910
gerejanya memutuskan menunjuk suatu panitia yang harus mengundang
tata gereja dari gereja lain untuk membicarakan persoalan-persoalan di
bidang iman dan tata gereja untuk mencari jalan menuju keesaaan
gereja. Pada tahun 1912 delegasi penitia ini mengunjungi gereja-gereja


27
Anglikan di Inggris dan memperoleh dukungan untuk rencana
konperensi sedunia mengenai iman dan tata gereja.
21

Konperensi persiapan sempat diadakan di Amerika, tetapi baru
sesudah perang dunia pertama panitia dapat mengunjungi Eropa. Akan
tetapi selama perang di Amerika penitia tetap bekerja untuk
mempersiapkan usaha-usaha lebih lanjut sesudah perang. Pada tahun
1919 delegasi dari Episcopal Churgh pergi ke Eropa dan mengunjungi
banyak gereja, yaitu gereja Anglikan, gereja-gereja Protestan, tetapi juga
gereja-gereja ortodoks dan gereja Katolik-Roma. Gereja Katolik-Roma
tidak mau ikut serta, sebab Paus menganggap diri lambang keesaan
gereja yang telah terwujud dalam gereja Katolik-Roma. Respon gereja-
gereja ortodoks jauh lebih positif, kecuali gereja di Rusia, yang sedang
menderita karena revolusi komunis. Semua gereja ortodoks menyatakan
kerelaan untuk ikut serta.
22

Dari 12 20 Agustus 1920 diadakan di Jenewa konperensi
persiapan untuk konperensi sedunia mengenai iman dan tata gereja.
Diundang wakil-wakil dari penitia-penitia dan komisi yang ikut serta
dalam pekerjaan panitia Episcopal Church. Yang hadir adalah wakil-
wakil dari 70 gereja dari 40 negara, termasuk gereja-gereja ortodoks.
Diputuskan untuk menunjuk continuation committe, yang diketuai oleh
Brent dengan Gardiner sebagai sekretaris, untuk persiapan konperensi
sedunia. Dengan demikian Faith and Order menjadi gerakan yang
didukung oleh banyak gereja dari berbagai latar belakang. Yang akan
diundang nanti adalah semua gereja Which Confess Our Lord Jesus
Christ As God Saviour (yang mengaku Tuhan kita Yesus Kristus

21
Ibid., hlm. 19-20
22
Ibid., hlm. 21


28
sebagai Allah dan juru selamat), suatu rumusan yang kemudian diambil
alih oleh dewan-dewan gereja sedunia pada tahun 1948.
23

Pada 3 20 Agustus 1927 konperensi pertama Faith and Order
diselenggarakan di Lausanne, Swis, dengan Brent sebagai ketua dan
A.E. Garwie sebagai wakil ketua (karena kesehatan Brent terlalu lemah)
yang hadir 394 orang, sebagian besar mewakili 108 gereja dari semua
latar belakang konperensional kecuali Katolik-Roma. Dibicarakan tujuh
pokok yang telah dipersiapkan oleh continuation committee Jenewa,
yaitu : 1. The call to unity (panggilan untuk keesaan); 2. The churchs
message to the world-the gospel (amanat gereja bagi dunia Injil); 3. The
nature of the church (sifat gereja); 4. The churchs ministry (pelayanan
gereja); 6. The sacrament (sakramen-sacramen); 7. The unity of christen
dom and the place of the different churches in it (keesaan keKristenan
dan tempat gereja-gereja yang berbeda di dalamnya). Tentu masih
banyak perbedaan pendapat sehingga konperensi lebih sibuk dengan
inventarisasi perbedaan-perbedaan.
24

Pada konperensi Faith and Order yang pertama perbedaan
yang paling banyak dibicarakan adalah pertanyaan pokok. Apakah
gereja adalah jalan ke kristus dengan jabatan dan sakramen-sakramen
seperti dikatakan gereja-gereja Ortodoks dan Anglikan atau kristus
adalah jalan ke gereja, dengan penekanan dan pemberitaan firman dan
iman, seperti dikatakan gereja-gereja protestan.
Pada hakekatnya hasil segala perundingan tak seberapa besar.
Tampaklah jurang yang dalam antara gereja-gereja yang menganggap
Injil terutama sebagai pemberi hidup baru dengan sakramen
(teristimewa gereja Ortodoks Timur dan juga separuh gereja Anglikan),
dengan gereja-gereja yang terutama memandang Injil selaku suatu berita

23
C. De Jonge J.S. Aritonang, Apa dan Bagaimana op. cit., hlm. 52
24
Christian De Jonge, Menuju Keesaan op. cit., hlm. 23


29
yang harus dikabarkan (gereja-gereja Lutheran dan Calvinis).
25
Akan
tetapi juga ada hasil positif tercapai kesepakatan mengenai laporan dua
(amanat gereja bagi dunia Injil), yang sekaligus menyatakan bahwa para
peserta menyadari bahwa hakekat gereja adalah mengabarkan Injil di
dunia, hakekat misioner.
Komperensi Faith and Order yang kedua diadakan di Edinburg
dari 3 10 Agustus 1937. yang hadir adalah 504 peserta, 443 wakil
resmi dari gereja-gereja dan tamu-tamu. Pokok-pokok yang dibicarakan
: 1. The grace of our lord Jesus Christ (kasih karunia Tuhan kita Yesus
Kristus); 2. The church of christ and the word of God (gereja Kristus
dalam firman Allah); 3. The church of christ ministry and sacraments
(gereja kristus : Pelayanan dan sakramen-sakramen); 4. The churchs
unity in life and Worship (keesaan gereja di dalam kehidupan dan
peribadatan); pokok ini kemudian dibagi dua, sehingga ditambahkan : 5.
The communion of holyman, persekutuan orang-orang kudus.
26

Jelas suasana di gerakan Faith and Order telah menjadi lebih
terbuka. Pembicaraan tentang perbedaan-perbedaan lebih terbuka juga
tentang kasih karunia Kristus dicapai kesepakatan. Di Edinburg,
ekseologi merupakan pokok diskusi yang paling hanyat. Diskusi
berpusat pada successio apostolico (penggantian rasuli). Apakah
kontinuitas gereja tergantung dari orang-orang (uskup-uskup) yang
memelihara warisan ajaran rasuli, seperti yang dikatakan gereja-gereja
Ortodoks dan Anglikan, atau dari ajaran rasuli itu sendiri yang disimpan
oleh gereja, seperti dikatakan gereja-gereja Protestan ? walaupun
perbedaan-perbedaan tetap ada, namun akhirnya dikeluarkan suatu
pernyataan dimana gereja-gereja peserta bahwa dalam Yesus Kristus

25
H. Berkhof, op. cit., hlm. 340
26
Christian De Jonge, Menuju Keesaan op. cit., hlm 23


30
keesaan yang sedang dicari gereja-gereja adalah menemukan dan
mewujudkan kembali keesaan dasariah ini.
T. Tatlow, seorang teolog dari gereja Anglikan yang terlibat
dalam Faith and Order, menyebutkan 12 hal sebagai hasil gerakan Faith
and Order
27
antara lain : 1. Faith and Order berhasil menciptakan
suasana dimana wakil-wakil dari gereja-gereja yang berbeda-beda dapat
berdiskusi bersama pokok-pokok yang sensitif. 2. Peserta-peserta
konperensi-konperensi Faith and Order mengalami keesaan rohani
dalam kristus, tanda una sancta (gereja yang satu dan kudus) yang
dikejar. 3. Faith and Order menyadarkan peserta bahwa perpecahan-
perpecahan gerejani bukan hal biasa melainkan dosa. 4. Dimulai proses
perkenalan; orang belajar menganai tradisi-tradisi yag sangat berbeda
dari gereja asal mereka, dan sekaligus menyadari dengan lebih dalam
warisan gereja sendiri. 5. Tumbuh kesadaran bahwa di belakang
perbedaan-perbedaan besar ada keesaan, seperti menjadi nyata dalam
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan di Lausanne dan Edinburg. 6.
Pernyataan ini bukan hasil kompromi, sebab perbedaan-perbedaan tidak
disembunyikan. 7. Ternyata sulit bagi gereja-gereja untuk merumuskan
apa yang membedakan mereka, namun jelas bahwa gereja, jabatan serta
sakramen dan kasih karunia merupakan persoalan pokok. 8. Yang
menjadikan diskusi mengenai pokok-pokok di atas sulit, adalah
kenyataan bahwa teologi gereja berakar dari kehidupannya. Orang tidak
dapat mengganti teologi gereja lain, kalau mereka tidak ikut serta dalam
kehidupannya. 9. Berhubungan dengan itu semakin disadari bahwa
faktor-faktor non teologis (historis, sosial, ekonomi, etnis) memainkan
peranan penting dalam perbedaan-perbedaan antara gejala-gejala. 10.
Karena pengaruh faktor-faktor non teologis ini, maka sulit untuk

27
Ibid., hlm. 24-25


31
menentukan sampai dimana diskusi-diskusi teologis di Faith and Order
memajukan persatuan antara gereja-gereja dan memainkan peranan
dalam persatuan-persatuan yang terjadi. Faith and Order sendiri tidak
mau menyatukan gereja-gereja, hanya mendorong gereja-gereja untuk
bersatu. 11. Faith and Order memajukan hubungan Oikoumene antara
teolog-teolog dari gereja-gereja yang berbeda. 12. Gerakan Faith and
Order memperlihatkan perkembangan-perkembangan menuju keesaan
yang terjadi di banyak gereja yang masih terjadi.
Segi kuat dari Faith and Order adalah bahwa sejak awalnya
sudah melibatkan gereja-gereja dalam pembicaraan-pembicaraannya dan
untuk memperoleh bagi peserta-peserta status wakil resmi dari gereja-
gereja mereka masing-masing. Dengan demikian gerakan ini langsung
berakar dalam gereja-gereja dan tidak terbatas pada orang perorang
pribadi yang berminat pada Oikoumene. Segi kuat lainnya bahwa Faith
and Order langsung memahami Oikoumene secara luas dan melibatkan
gereja-gereja ortodok (dan Katolik-Roma, tetapi tanpa hasil dalam
pembicaraan-pembicaraan.
Dalam Faith and Order sebelum perang dunia II penekanan
dalam pembicaraan-pembicaraan gereja lebih menyangkut perbedaan-
perbedaan antara gereja-gereja. Tetapi lambat laun timbul kesadaran,
pertama-tama bahwa keesaan gereja secara khusus lebih nampak dalam
aksi-aksi gereja keluar, di dunia juga tumbuh kesadaran bahwa,
walaupun gereja-gereja terpecah belum dalam dunia ini, mereka pada
dasarnya esa dalam Kristus, sebab merupakan perwujudan tubuh Yesus
Kristus yang Esa.
Dengan demikian keesaan gereja tidak lagi dilihat sebagai titik
akhir gerakan Oikoumene, melainkan sebagai titik tolak. Sesuai dengan
pengakuan iman, orang-orang Kristen percaya bahwa mereka adalah
satu gereja yang kudus, am dan rasuli (una sancta etclesia catholica et


32
apostolica), dipersingkat sebagai una sancta, suatu istilah yang dipakai
untuk menunjuk kepada gereja yang dipercayai) dan oleh sebab itu
diberi tugas untuk menampakkan keesaan ini dalam suatu proses
pernyatuan antara gereja-gereja. Gerakan Oikoumene dipahami sebagai
kesaksian mengenai gereja-gereja yang esa dari pengakuan iman, sedang
perpecahan-perpecahan yang terjadi dalam sejarah gereja dilihat sebagai
hasil dosa manusia.

Edinburg (III) Gerakan Life and Work (Kehidupan dan Usaha)
1919 1937; World Alliance 1914 - 1948
Pra sejarah Life and Work terdapat dalam aksi Kristen dibidang
sosial pada abad ke-19, banyak organisasi Kristen melibatkan diri dalam
aksi sosial pada waktu itu. Timbullah kesadaran bahwa dalam
menghadapi sosial-soal sosial orang-orang Kristen harus bekerjasama.
Oleh sebab itu banyak organisasi merupakan hasil kerjasama antara
orang-orang Kristen dari gereja-gereja yang berbeda.
Seorang pelopor yang patut disebut adalah J.H. Wicher (1808
1881) yang terlibat dalam perkabaran Injil. Gerakan keKristenan praktis
bekerja pada dua bidang yaitu, bidang sosial ekonomi dan bidang
perdamaian internasional. Di bidang sosial ekonomi diusahakan
perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat sesuai dengan
gagasan-gagasan Kristen. Untuk mengatasi ketidak adilan sosial
ekonomi. Sebagai contoh dapat disebut tokoh-tokoh sosialisme Kristen
di Swiss, Hermann Kutter (1869 1931) dan Leonhard Ragas (1868
1945), dan gerakan social Gospel (Injil Sosial) dengan pelopornya
Water Raunchenbusch (1861 1918) di Amerika Serikat. Di bidang
perdamaian internasional diusahaka untuk menonjolkan peranan
bersama gereja-gereja dalam mencari penyelesaikan persoalan-persoalan
politik. World Alliance adalah salah satu organisasi di bidang ini. Life


33
and Work, Natahan Soderblom (1866 1931) adalah pendeta Luther di
Swedia dan seorang ahli ilmu-ilmu agama yang kenamaan. Pada tahun
1914 ia menjadi uskup agung gereja Lutheran Swedia di Uppsala, suatu
kedudukan yang memeberikan kemungkinan untuk berperan sebagai
pemimpin gereja dibidang Oikoumene, khususnya melalui usaha-usaha
kerja sama dibidang sosial politik.
28

Sejarah lahirnya Life and Work berhubungan erat dengan suatu
organisasi Kristen Internasional yang lain yaitu World Alliance for
Promoting International Friendship Through the Churches (persekutuan
sedunia untuk memajukan persahabatan internasional melalui gereja-
gereja) yang didirikan pada tahun 1914 1948.
Penting dalam sejarah Life and Work adalah konperensi yang
diadakan pada tahun 1919 di Oud-Wassehaar (suatu pusat konperensi di
negeri Belanda dekat Den Haag). Sebenarnya konperensi ini merupakan
pertemuan pengurus world Alliance, tetapi di sinilah Soderblom
mengusulkan untuk mendirikan suatu Ecumeninal Council yang
beranggota gereja-gereja, untuk membahas soal-soal praktis. Tujuannya
tak beda jauh yang telah mencari keesaan gereja juga, tetapi Soderblom
berpendapat bahwa kerja sama di bidang praktis (pada waktu itu timbul
nama Life and Work) mungkin dapat berhasil dengan lebih mudah. Di
belakang usul-usul Soderblom ada gagasan-gagasan mengenai keesaan
dan peranan gereja, yang dikemukakan dalam beberapa tulisan dari
tahun 1919. Keesaan gereja tidak hanya nyata dalam kesepakatan di
bidang iman dan tata gereja, tetapi juga, dan lebih dulu, dalam keesaan
tindakan dan kesaksian di dalam dan terhadap dunia untuk
mempersatukan serta memperdamaikan manusia dan mencari
penyelesaian masalah-masalah sosial. Gereja-gereja harus bersatu dalam

28
Ibid., hlm. 27-28


34
usaha ini, juga supaya kesaksian Kristen betul-betul berwibawa di dunia.
Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia terlalu urgen untuk menunggu
kesaksian gereja-gereja melalui percakapan-percakapan tentang iman
dan tata gereja. Akhirnya pada tanggal 19 30 Agustus 1925 diadakan
The Universal Christian Conference on Life and Work (Konperensi
Kristen Universal tentang Kehidupan dan Pekerjaan) di Stockholm,
Swedia yang dihadiri oleh 661 wakil gereja-gereja dan organisasi-
organisasi Kristen dari 37 negara. Ketuanya adalah Soderblom, dan Dr.
Adolph Keller dari Swiss, seorang tokoh Oikoumene yang penting,
menjadi salah satu sekretaris. Enam pokok dibicarakan oleh Nicaea
Etika ini (penunjuk kepada konsili Oikoumene) yakni; 1. The general
obligation of the Church in the light of gods plan for the world
(Kewajiban umum gereja dalam terang rencana Allah bagi dunia); 2.
The Church and economic and industrial problems (gereja dan masalah-
masalah ekonomi dan industri); 3. The church and social and moral
problems (gereja dan hubungan-hubungan internasional); 5. The church
and Christian education (gereja dan pendidikan Kristen); 6. Methods of
Cooperative and federative efforts by the Christian Communions
(metode-metode tentang usaha-usaha kerjasama dan federasi oleh
persekutuan-persekutuan Kristen).
29

Gerakan untuk kehidupan dan usaha telah dimengerti, juga
bahwa dalam memperbincangkan masalah-masalah praktek, perbedaan
ajaran perlu diperhatikan. Pada tahun 1937 gerakan ini mengadakan lagi
suatu konperensi sedunia, sekarang di Oxford (dihadiri oleh 425 wakil
dari 40 negeri). Pokok umum Gereja Bangsa Negara
memperlihatkan perubahan pendirian dan tujuan dibandingkan
konperensi di Stockholm. Biarpun kesimpulan-kesimpulan konperensi

29
Ibid., hlm. 29-30


35
ini agak kabur, tetapi sungguh penting bahwa gereja-gereja telah
bermusyawarah bersama-sama dan bahu membahu mau
memperdengarkan suara Injil di tengah-tengah masyarakat hidup bangsa
manusia. Hal ini terlihat pada tahun-tahun perang kontak Oikoumene itu
telah menunjukkan manfaatnya yang besar dalam praktek. Dari pusat
organisasi-organisasi Oikoumene di Jenewa, dan juga oleh gereja-gereja
sendiri banyak pertolongan diberikan kepada kaum pengungsi, orang
tawanan dan daerah-daerah zending yang ditinggalkan dengan tidak
mempunyai pengantar-pengantar; juga mengadakan hubungan antara
negeri-negeri yang terpisah oleh garis-garis peperangan.
30
Dan
kegiatan-kegiatan ini tanpa memperdulikan perbedaan agama, ras, suku
bangsa dan perbedaan-perbedaan yang lain.
Sementara, World Alliance didirikan sebagai akibat konperensi
internasional yang diadakan di Kontanz, Jerman (2 3 Agustus 1914).
Konperensi ini salah satu diantara sekian banyak yang diadakan pada
awal abad ke-20 untuk memajukan perdamaian dan persahabatan
internasional, khususnya dalam keadaan tegang dalam politik
internasional menjelang perang dunia pertama. Sesudah perang dunia
pertama World Alliance membicarakan pada konperensi-konerensi
sosial internasional seperti liga bangsa-bangsa (League of Nations),
perlucutan senjata, nasionalisme dan internasionalisme. Sebelum perang
dunia kedua beberapa konperensi diadakan (Praha 1928, Cambridge
1931, Chamby, Swis 1935, Narvik, Norwegia 1938). Di Praha
ditentukan bahwa world Alliance mencoba mempegaruhi melalui
dewan-dewan gereja-gereja nasional dan kerjasama antar gereja-gereja,
parlemen-parlemen dan pemerintah-pemerintah untuk mencari
hubungan baik dan damai dengan negara-negara lain. Usaha-usaha yang

30
H. Berkhof, op. cit., hlm. 341


36
diperlukan adalah : 1. Memperjuangkan kebebesan agama-agama; 2.
Melawan halangan untuk gereja-gereja, sekolah-sekolah dan institusi-
institusi Kristen; 3. Mencari penyelesaian untuk konflik-konflik gerejani
dan politik yang memecahkan gereja-gereja; 4. Memajukan hubungan-
hubungan persahabatan internasional antara gereja-gereja dan jemaat-
jemaat; 5. Mencari perdamaian; 6. Mendukung usaha-usaha yang
memajukan keadilan dalam hubungan antar bangsa.
31

Segi Faith and Order dan Life and Work serta world Alliance
dalam gerakan Oikoumene dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Itu mejadi jelas dari sejarah karena sejak permulaan Life and
Work dicari hubungan dengan Faith and Order. Menjelang sidang
Edinburg dan Oxford menjadi jelas bahwa kedua gerakan semakin
dekat, sehingga tidak hanya alasan ekonomi (menghemat karena pada
tahun 30-an abad ini dunia dilanda oleh resesi ekonomi yang juga
mempengaruhi keuangan gereja) tetapi juga alasan Oikoumene
mendorong kedua gerakan untuk bergabung dalam suatu Dewan Gereja-
Gereja seDunia. Ini perkembangan logis sebab sejak awal ketiga
gerakan ini mau mempersatukan gereja-gereja dan melibatkan gereja-
gereja secara resmi.
Dalam sejarah gerakan tersebut juga dapat disimpulkan bahwa
kerjasama praktis lebih mudah dibanding dengan kesepakatan teologis
jelas dari sejarah Oikoumene, tetapi juga tidak semata-mata karena
doctrine devides but service unites (ajaran memisahkan tetapi
pelayanan memersatukan). Ajaran menyangkut akar-akar iman,
sehingga khususnya di sana kesepakatan sulit tercapai. Akan tetapi
kalau tercapai tujuan Oikoumene untuk sebagian besar telah
diwujudkan. Kerjasama tidak banyak dilihat sebagai jalan gampang

31
Christian De Jonge, Menuju Keesaan . op. cit., hlm. 31


37
tetapi sebagai segi lain dari hakekat gereja-gereja yang dipanggil untuk
memperdamaikan dan melayani dalam keesaan. Dua segi saling
melengkapi.

C. Implikasi Gerakan Oikoumene
Dari pembicaraan mengenai sejarah dan perkembangan
gerakan Oikoumene, dapat ditemukan adanya perubahan atau pergeseran
pemahaman gerekan Oikoumene. Untuk lebih jelasnya pembahasan
tentang implikasi gerakan Oikoumene akan terlihat dari uraian berikut.
Istilah Oikoumene mulai muncul dari berabad-abad yang lalu.
Oikoumene digunakan untuk menyebut wilayah persatuan orang-orang
Kristen di lingkungan kerajaan Romawi. Ketika masa-masa reformasi
gereja yang menyebabkan perpecahan secara besar-besaran di kalangan
orang-orang Kristen, Oikoumene kembali digunakan untuk menyebut
sebuah usaha penyatuan orang-orang Kristen (seperti yang sudah
dijelaskan pada sub bab sejarah dan perkembangan gerakan
Oikoumene).
Usaha dari masa reformasi ini terus diupayakan pada abad ke
17 sampai pada abad ke 19. Pada masa ini orang-orang Kristen
berbicara tentang gereja di seluruh dunia, yaitu dunia mediterranian
kuno. Oikoumene untuk membedakan dengan majlis gereja lokal. Ketika
orang-orang Kristen dari berbagai daerah yang berbeda saling bertemu
untuk membicarakan aspek-aspek keyakinan dan disiplin, pertemuan-
pertemuan tersebut diakui sebagai Ecumenical Councils yang
mewakili dari Oikoumene seluruh dunia tentang waktu dan pengalaman
mereka.
32


32
Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1998, hlm. 6


38
Pada abad ke 20 kata Oikoumene memperoleh makna yang
baru, kata ini diterapkan pada kelahiran gerakan baru untuk
menjembatani erpecahan historis gereja-gereja Kristen yang berbeda,
untuk mengekspresikan penyatuan keimanan orang Kristen dengan
keseluruhan dunia yang di dalanmnya terdapat banyak agama selain
agama Kristen.
33

Sebelum perang dunia ke II, gerakan Oikoumene sangat
ditekankan pada penyatuan dalam tindakan-tindakan di dunia.
Walaupun hal itu penting sekali, tetapi tidak dapat dihindari kesan
bahwa dengan demikian persoalan-persoalan eklesiologis sedikit
dihindari. Kesepakatan dalam bertindak ternyata lebih mudah
diwujudkan dari keesaan antara gereja-gereja. Namun demikian dirasa
juga bahwa justru keesaan gerejawi yang nampak adalah pelayanan
yang terpenting di dalam dunia dimana umat manusia hidup terpecah
dan dalam permusuhan. Gereja harus menjadi satu untuk
mempersatukan seluruh umat manusia.
34

Penting untuk perkembangan pemahaman mengenai
Oikoumene adalah pernyataan yang ditetapkan oleh Sidang Raya di New
Delhi yang biasanya dikutip sebagai pernyataan All In Each Place. Di
dalamnya dikatakan bahwa gereja yang esa menjadi nampak dimana
saja, orang-orang yang dibaptis dalam nama Kristus dan mengakui
Kristus sebagai Tuhan, dikumpulkan oleh Ruh Kudus untuk menjadi
sebuah persekutuan yang mengaku, memberitakan Injil, merayakan
perjamuan Kudus, berdoa dan melayani bersama. Di sini ditekankan
kembali gagasan gereja mula-mula bahwa setiap gereja lokal mewakili
gereja se-dunia, gereja dari pengakuan iman. Pemahaman ini dilihat

33
Ibid.
34
Cristian D. Jonge, Jan S. Aritonang, op. cit., hlm. 54


39
sebagai dasar saling mengakui dan saling menerima antara gereja-gereja
anggota DGD.
35

Bertolak dari pemahaman ini, gereja-gereja mulai mencari
perluasan dasar keesaan dan perwujudan keesaan yang nampak pada
penerimaan pihak-pihak lain, baik yang berasal dari gereja lain maupun
dari agama-agama lain.
Disadari bahwa keesaan yang nampak secara sempurna tidak
mungkin segera tercapai, tetapi hanya terwujud melalui suatu proses.
Oleh karena itu, panitian persiapan untuk konferensi Faith and Order
yang ke dua di Edinburgh (1937) menguraikan dalam laporan tentang
The Meaning of Unity tiga model keesaan yang ebrturut-turut dapat
dilewati. Tahap pertama adalah Cooperative Action , aksi bersama.
Tahap kedua adalah Mutual Recognition and Intercommonion, yaitu
saling mengakui dan merayakan perjamuan Kudus bersama. Tahap
terakhir dan tujuan utama dalam mengusahakan keesaan gereja adalah
Corperate or Organic Union , yang dipahami sebagai keesaan dalam
keanekaragaman sebagaimana terdapat dalam suatu tubuh. Setiap
anggota tubuh memiliki ciri yang berbeda-beda, tetapi tetap anggota
seluruh tubuh, sedangkan keesaan tubuh tidak menghalangi
keanekaragaman dalam karunia-karunia yang dimiliki masing-masing
anggota.
36

Dalam makalahnya Ecumenis as Reflections on Models of
Cristian Unity (Oikuomene sebagai refleksi tentang model-model
keesaan Kristen), Paul Crow menyebut lima model keesaan gereja yang
telah dikembangkan di kalangan Oikoumene.
37
Yang pertama adalah
Organic or Corporate Unity (Edinburgh 1937), yang berarti bahwa

35
Ibid.
36
Cristian D. Jonge, op. cit., hlm. 136.
37
Ibid., hlm. 139-140


40
yang dicari adalah keesaan gereja sebagaimana terdapat dalam sebuah
organisme atau tubuh. Istilah organis dipakai untuk menolak sifat statis
dalam keesaan. Keesaan gereja bertumbuh dan menjadi semakin dalam.
Istilah Corporate dipakai untuk menolak keseragaman. Ditekankan
tugas panggilan yang harus dilakukan bersama, dan diharapkan bahwa
setiap gereja dapat mengembang pada pelaksanaan tugas ini sesuai
dengan ciri khas masing-masing gereja. Model kedua Conciliar
Fellowship yang sudah disebut di atas. Dimaksudkan untuk
memperdalam gagasan pertama. Ditekankan bahwa keesaan gereja
juyga harus nampak dalam keputusan-keputusan yang diambil bersama.
Model ketiga adalah Reconciled Diversity , kepelbagaian yang
diperdalam. Istilah ini muncul pada tahun 70-an di kalangan World
Confensional Familier.
Model keempat yaitu Communion of Communion. Gagasan
ini timbul di kalangan gereja Katolik-Roma. Di cita-citakan suatu gereja
yang esa dalam ajaran dan tindakan bersama yang tetap memperlihatkan
keanekaragaman tipe-tipe gereja.
Dari uraian di atas jelas bahwa pemahaman mengenai
Oikoumene mengalami perubahan. Dua macam pergeseran dapat
diamati. Pertama terlihat pergeseran dari keseragaman ke arah
keanekaragaman. Disadari bahwa konsensus total mengenai ajaran,
liturgi, tata gereja, dan sebagainya dapat menimbulkan bahaya bahwa
kekeyaan masing-masing gereja tidak cukup diberi tempat dalam gereja
yang esa. Kesadaran bahwa aliran-alirang yang dapat dibedakan dalam
ke-Kristenan masing-masing memelihara unsur-unsur yang hakiki dari
iman Kristen, menimbulkan keinginan untuk mencari bentuk keesaan
yang memelihara kekayaan.
Pergeseran kedua adalah pergeseran dari segi institusional
kepada segi pelayanan. Dirasa bahwa mencari kesepakatan mengenai


41
ajaran, tata gereja, dan sebagainya masih terlalu melihat gereja terlepas
dari dunia. Gereja tidak menjadi esa demi dirinya sendiri melainkan
demi dunia. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa gerakan
Oikoumene mempunyai dua tujuan. Pertama, tujuan internal di kalangan
orang-orang Kristen yang terpecah dengan mengupayakan kesatuan.
Kesatuan yang dimaksud bukanlah terwujud ketika di dunia ini hanya
terdapat satu gereja saja, melainkan kesatuan dalam hal pengakuan
iman. Tujuan yang kedua adalah untuk mendapatkan kesepakatan dalam
bertindak atau suikap keberagamaan umat Kristenm terhadap umat
beragama lain untuk bersama-sama mewujudkan perdamaian dunia.

D. Pembentukan Dewan Gereja-gereja Sedunia 1937 1948 Sebagai
Lembaga Gerakan Oikoumene
Gagasan-gagasan untuk mendirikan suatu dewan gereja-gereja
mulai dikemukakan sejak perang dunia pertama. Semangat untuk
mendirikan dewan karena dirasa perlu untuk mendirikan suatu
persekutuan gereja-gereja sebagai jiwa untuk kerjasama antara bangsa-
bangsa. Namun suatu persekutuan waktu untuk itu belum tiba. Kedua
organisasi Oikoumene yang mempunyai relasi yang paling resmi dengan
gereja-gereja, Faith and Order dan Life and Work, dua-duanya merasa
bahwa sebaiknya kedua organisasi untuk sementara waktu bekerja seara
terpisah supaya tujuan mereka bersama, yaitu mempersatukan gereja-
gereja jangan dibahayakan. Akan tetapi sejak tahun 1928 iklim berubah
dan orang mulai mencari jalan untuk mewujudkan kerjasama yang lebih
akrab. Sejak 1933 organisasi-organisasi Oikoumene seperti Faith and
Order dan Life and Work, bersama dengan IMC, Worl Alliance, WSCF
dan YMCA sedunia mulai membicarakan kemungkinan untuk


42
mendirikan suatu organisasi Oikoumene yang menckaup semua bidang
pelayanan gereja.
Faktor-faktor yang mendukung perkembangan ini adalah resesi
ekonomi dan keadaan politik internasional. Karena resesi ekonomi juga
gereja-gereja mengalami kesulitan keuangan, sehingga dirasa lebih
bijaksana untuk mengkonsentrasikan semua kegiatan Oikoumene dalam
suatu wadah. Keadaan politik internasional, khususnya munculnya
negara-negara totaliter, memperhadapkan gereja-gereja dengan suatu
ancaman yang sebaiknya dihadapi bersama. Sekaligus dapat dilihat
bahwa Life and Work dan Faith and Order mulai saling mendekati,
karena yang pertama menjadi semakin sadar akan dasar teologis untuk
pelayanan praktis dan yang kedua akan implikasi-implikasi teori iman
dan tata gereja untuk pekerjaan gereja di dunia ini.
Yang menjadi pelopor usaha ini adalah William Temple dari
gerakan Faith and Order, yang mengusulkan pada tahun 1935 untuk
membentuk suatu dewan Oikoumene internasional gereja-geerja, dan
Joseph Oldham yang pada tahun 1936 mengusulkan dalam rapat Life
and Work bahwa konperensi Life and Work di Oxford dan konperensi
Faith and Order di Edinburg dimanfaatkan juga untuk membicarakan
masa depan gerakan Oikoumene. Baik di Oxford maupun Edinburg
menerima rencana ini dan masing-masing sidang menunjuk tujuh wakil
dan tujuh pengganti untuk duduk dalam panitia empat belas yang harus
mempersiapkan Dewan gereja-gereja sedunia dan mencari dukungan
gereja-gereja untuk rencana ini.
38

Rencana untuk mengadakan sidang raya DGD yang pertama
pada tahun 1941 digagalkan karena perang dunia kedua (1939 1945).
Akan tetapi ketiga kantor DGR berada di kota yang tidak diduduki,

38
Ibid., hlm. 35-36


43
sedang kantor pusat di Jenewa berada dalam negara netral, yang dapat
mengadalan hubungan-hubungan dengan semua pihak yang berperang.
Oleh sebab itu World Council of Churches in Process of Formation
(DGD dalam proses pembentukan) dapat mengadakan komunikasi
dengan gereja-gereja pada kedua belah pihak. Hubungan yang terus
menerus dengan gereja yang mengaku di Jerman dirasa sangat penting.
Diusahakan untuk menolong pengungsi-pengungsi, khususnya orang-
orang Yahudi, yang melarikan diri ke Swis, juga diusahakan, bersama
dengan organisasi-organisasi Kristen dan umum (seperti palang merah)
untuk membantu dimana saja bantuan diperlukan. Untuk tawanan-
tawanan perang diadakan persediaan literatur Kristen yang dapat dipakai
untuk ibadah-ibadah di kamp-kamp tawanan. Didirikan Departement of
Reconstruction and Inter Church Aid (Departemen Rekontruksi dan
Bantuan Antar Gereja) untuk pembangunan sesudah perang. Karena
semua kegiatan ini hubungan antara gereja-gereja di negara-negara yang
berperang tidak terputus.
39

Ini berbeda dengan perang dunia pertama, ketika gereja-gereja
begitu mendukung pemerintahannya masing-masing sehingga hubungan
dengan orang-orang Kristen dari pihak lain hampir dianggap
penghianatan. Sekarang hampir semua gereja setuju bahwa tugas pokok
gereja adalah mencari amal juga disadari bahwa apa yang terjadi
sesudah perang dunia pertama, yaitu kecurigaan antara gereja-gereja
dari negara-negara yang dikalahkan dan gereja-gereja dari negara-
negara yang menang harus dihindari. Pengalaman bersama selama
perang menyebabkan bahwa gerakan Oikoumene justru semakin maju
dan tidak mundur seperti yang dikhawatirkan. Kehadiran gereja pada
masa perang dalam banyak hal bersifat Oikoumene.

39
Ibid., hlm. 37


44
Pada tahun 1948 DGD didirikan yang merupakan a fellowship
of churches which accept our Lord Jesus Christ as God and saviar
(persekutuan gereja-gereja yang menerima Tuhan kita Yesus Kristus
sebagai Allah dan Juru selamat).
40
Pada tanggal 22 23 Agustus 1948
di Amsterdam itu sekaligus merupakan sidang raya DGD yang pertama.
Jumlah gereja yang hadir sebanyak 147 gereja dari 44 negara. Jumlah
wakil resmi adalah 351, tetapi ada banyak hadirin yang lain. Delegasi
dari Asia cukup besar, tetapi dari Afrika masih kurang. Peninjau-
peninjau Katolik-Roma yang diundang tidak mendapat izin dari gereja
mereka untuk hadir. Dari gereja-gereja Ortodoks hanya gereja Yunani
Ortodoks yang menjadi anggota. Gereja-gereja Protestan yang sangat
ortodoks tidak ikut serta. Sebagian gereja ini (khususnya di Amerika
Serikat) mendirikan pada tahun 1948, International Council Of
Christian Churches (ICCC, Dewan Gereja-Gereja Kristen Internasional)
sebagai lawan DGD.
41
Dalam sidang raya pertama belum seluruhnya
menjadi jelas. Ditolak bahwa DGD mengambil alih tugas dan
wewenang gereja. DGD juga tidak boleh disamakan dengan una sancta.
DGD dalam wadah dimana gereja-gereja dapat berkumpul, dalam suatu
persekutuan rohani, untuk berunding dan mencari jalan keesaan yang
lebih sempurna.
Sidang raya DGD II diadakan di Evanston (USA< dekat
Chicago). 15 31 Agustus 1954. Temanya adalah Christ, the hope of
the world (Kristus, harapan dunia) yang hadir adalah 502 utusan dari
132 dan 163 gereja anggota DGD. Delegasi dari Indonesia sebanyak 11
orang. Ada enam seksi, yaitu : 1. Faith and Order Our oneness in
christ and our disunity as churches (iman dan tata gereja keesaan kita

40
Christian de Jonge, Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja , op. cit., hlm. 53
41
Christian de Jonge, Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja, BPK. Gungung Mulia,
Jakarta, 1989, Tabel II dan hlm. 90.


45
dalam kristus dan perpecahan kita sebagai gereja); 2. Evangelism The
mission of the church to those out side her life (penginjilan
Pengabaran Injil gereja kepada orang-orang yang ada di luar
kehidupannya); 3. Social Question The Responsible society in a world
perspective (masalah-masalah sosial masyarakat yang bertanggung
jawab di dalam perspektif seluruh dunia); 4. International affairs
Christians in the struggle for world community (perkara-perkara
internasional orang-orang Kristen dalam pergumulan terhadap
masyarakat Dunia); 5. Inter Group Relations The Chruch amid Rasial
and Ethnic Tensions (Hubungan-hubungan antar kelompok gereja di
tengah-tengah ketegangan ras dan suku); 6. The Laity The Christian in
his vocation (kaum awam orang Kristen dalam panggilannya).
42

Sidang raya DGD III New Delhi (19 Noveber 15 Desember
1961) adalah sidang raya pertama yang diadakan di luar dunia Barat.
Oleh sebab itu sangat disadari bahwa di dunia masih banyak agama lain
dan bahwa gereja berada di tengah-tengah dunia dengan banyak agama
dan banyak kebduayaan. Temanya adalah Jesus Christ, the light of the
world (Yesus Kristus, terang Dunia) lebih dari 1000 orang, diantaranya
577 utusan resmi yang mewakili hampir 200 gereja anggota, menghadiri
sidang raya ini. Tema dibahas dalam 3 seksi, yakni witness, service dan
unity (Kesaksian, pelayanan dan keesaan). Belum dibicarakan soal
dialog dengan agama lain, tetapi disadari bahwa agama Kristen bukan
agama Barat saja. Dibicarakan teologi Asia dan hubungan Kristus
dengan agama-agama lain. Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada
sidang raya New Delhi
43
:
a. Penggabungan antara IMC dan DGD. Kerjasama antara kedua
lembaga Oikoumene ini sejak permulaan erat dan telah menjadi

42
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja op. cit., hlm. 41
43
Ibid., hlm. 42-44


46
semakin erat, sehingga central committe DGD pada rapatnya di New
Hoven,. Amerika Serikat (1957) dan IMC pada konperensi di Graha
(1958) telah memutuskan untuk bergabung. Dalam penggabungan
ini menjadi nyata bahwa gereja-gereja Barat dan gereja-gereja dari
Asia serta Afrika sama penting di gerakan Oikoumene. Tidak ada
lagi perbedaan antara gereja-gereja yang mengkabarkan Injil dan
gereja-gereja hasil perkabaran Injil. Khususnya gereja dari Asia dan
Afrika senang dengan keputusan ini. Sebab mereka merasa bahwa di
dalam DGD hak yang sama dengan gereja Barat lebih nyata dari
IMC, yang dibebani sejarah perkabaran Injil yang kadang-kadang
peternalistik. Demikian juga lebih nyata bahwa perkabaran Injil
adalah tugas untuk setiap gereja dan bahwa tugas untuk
mengabarkan Injil tidak lepas dari tugas mengesakan gereja.
b. Gereja-gereja Ortodoks Rusia, Rumania, Bulgaria, Polandia menjadi
anggota, sehingga unsur ortodoks sangat diperkuat (sebelumnya
hanya gereja Ortodoks Yunani yang menjadi anggota) dan menjadi
lebih nyata bahwa gerakan Oikoumene bukan hal protestan saja.
c. Selain itu beberapa gereja dari dunia ketiga menjadi anggota dan
juga satu gereja pentakosta dari Chili. Dengan demikian keanggotaan
DGD diperluas ke arah dunia ketiga dan ke arah keKristenan
pentakostal. Perkembangan ini kemudian menyebabkan perubahan
dalam suasana gerakan Oikoumene.
d. Karena gereja-gereja ortodoks menjadi anggota DGD, dirasa perlu
untuk memperluas dasar DGD. Dasar 1948 berbunyi : The world
council of Churches is a Fellowship of Churches which accept our
Lord Jesus Christ as God and savior according to the scriptures and
therefore sext to fulfil together their common calling to the glory of
one god, father, son and holy spirit.


47
e. Hadir untuk pertama kali pada sidang raya DGD peninjau-peninjau
dari gereja Katolik-Roma, sebagai hasil sikap lebih terbuka gereja
ini.
f. Didiskusikan apakah DGD harus membicarakan soal-soal politik
yang menyebabkan perbedaan pendapat antara gereja-gereja
anggota, seperti soal Israel, yang membedakan gereja-gereja Barat
dan gereja-gereja Arab, dan masalah Afrika Selatan (Apartheid;
pembunuhan orang-orang hitam dalam peristiwa sharpeville, 1960)
g. Di keluarkan pernyataan tentang keesaan Oikoumene gereja-gereja
yang biasanya dikutip sebagai All in Each place. Penting untuk
dicatat bahwa melalui dokumen ini DGD untuk pertama kalinya
menunjuk ke arah mana keesaan gereja dapat diwujudnyatakan.
Sidang raya DGD IV diadakan di Uppsala, Swedia 4 20 Juli
1968, ada hadir sama seperti di ew Delhi, peninjau-peninjau Roma. Di
sini komite pusat menyediakan uang untuk pemberantasan rasisme
(mendahulukan suatu suku bangsa berdasarkan rasnya) dan untuk
gerakan-gerakan kemerdekaan.
44
Ada enam seksi yaitu : 1. The holy
spirit and the catholicity of the church (Roh Kudus dan katolisitas
gereja); 2. Renewal in mission (pembaharuan dalam perkabaran Injil); 3.
World Economic and social development (ekonomi dunia dan
perkembangan masyarakat); 4. Toward justice and peace in
international affairs (menuju keadilan dan perdamaian dalam perkara-
perkara internasional); 6. Toward new styles of living (menuju gaya
hidup baru), seksi ini membahas lingkungan hidup, penghematan dan
pendobrakan pola hidup yang konsumtif.
45

Sidang raya DGD V diadakan di Nairobi, Kenya, dari 23
Novmeber 10 Desember 1975. yang hadir sekitar 2300 orang,

44
H. Berkhof, op. cit., hlm. 343
45
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja op. cit., hlm. 45


48
diantaranya 676 utusan resmi 286 gereja anggota. Antara lain
dibicarakan di sana tentang hak-hak manusia, dan percakapan antara
gereja-gereja dengan agama lain.
46
Untuk pertama kalinya utusan-
utusan/wakil-wakil dari agama lain diundang. Ada enam seksi yaitu : 1.
Confessing christ today, mengaku Kristus dewasa ini (perkabaran Injil);
2. What unity requires, apa yang dibutuhkan oleh untuk keesaan; 3.
Seeking community, mencari persekutuan (dialog antar kepercayaan-
kepercayaan, kebudayaan-kebudayaan dan ideologi-ideologi); 4.
Education for Liberation and community (pendidikan untuk pembebasan
dan persekutuan); 5. Structures of injustice and struggles for liberation
(struktur-struktur ketidakadilan dan perjuangan-perjuangan untuk
pembebesan); 6. Human development, pembangunan manusia
(kekuasaan, teknologi, kualitas hidup).
47

Sidang raya DGD VI diadakan di Vancouver, Kanada, 24 Juli
10 Agustus 1983, yang hadir sekitar 3000 peserta, diantaranya wakil-
wakil 314 gereja. Temanya adalah Jesus christ, the life of the world
(Yesus Kristus, kehidupan dunia). Tema ini dibahas dalam 8 seksi yaitu
: 1. Witnessing in a Devided world, bersaksi dalam dunia yang terbagi-
bagi (perkabaran Injil); 2. Taking steps toword unity, mengambil
langkah-langkah menuju keesaan; 3. Moving toward participation,
bergerak menuju ke partisipasi (dibahas diskriminasi, pengangguran,
emansipasi wanita), 4. Heading and sharing life in community,
menyembuhkan dan membagikan kehidupan di dalam persekutuan; 5.
Confronting threats ti peace and survival, menghadapi ancaman-
ancaman demi perdamaian dan kelangsungan hidup; 6. Struggling for
justice and human dignity, berjuang demi keadilan dan martabat
manusia; 7. Learning in community, belajar dalam persekutuan

46
H. Berkhof, op. cit., hlm. 345
47
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja op. cit., hlm. 45-46


49
(pendidikan); 8. Communicating with conviction, berkomunikasi dengan
keyakinan.
48


E. Aplikasi Konsep Gerakan Oikoumene
Lahirnya gerakan Oikoumene membawa angin segar untuk
dapat mewujudkan perdamaian dan kerukunan antar umat beragama.
Meskipun implikasi dari konsep gerakan Oikoumene beranekaragam
melalui serangkaian proses dalam mencari format yang tepat sesuai
dengan perkembangannya, namun aplikasinya sudah dirasakan
manfaatnya.
Hal ini terlihat pada tahun-tahun perang, kontak Oikoumene itu
telah menunjukkan manfat yang sangat besar di dalam prakteknya. Dari
pusat organisasi-organisasi Oikoumene di Jenewa, dan juga oleh gereja-
gereja sendiri banyak pertolongan di berikan kepada kaum pengungsi,
orang-orang tawanan dari daerah Zending yang ditinggalkan dengan
tidak mempunyai pengantar-pengntar, juga mengadakan hubungan antar
negara-negara yang terpisah oleh garis peperangan.
49
Kegiatan ini tanpa
memperdulikan perbedaan agama, ras, suku bangsa dan perbedaan-
perbedaan yang lain.
Selain manfaat yang telah disebutkan di atas, gerakan ini
menimbulkan ggasan untuk mengadakan dialog dengan umat beragama
lain. Kata dialog antar umat beragama menunjuk kepada pertemuan
serta percakapan antara orang-orang yang berbeda agama yang diadakan
untuk saling mengenal dan saling belajar mengenai agama yang
diyakini. Antara dialog dan pekabaran Injil terdapat hubungan erat.
Timbul kesadaran bahwa kesaksian mengenai Kristus bukan gerakan
satu arah saja, dari yang bersaksi kepada yang menerima saksi ini,

48
Ibid., hlm. 46
49
H. Berkhof, op. cit., hlm. 341


50
seakan-akan orang Kristen sudah tahu segala-galanya dan orang-orang
yang bukan Kristen tidaki tahu apa-apa. Orang-orang bukan Kristen
juga mempunyai iman serta keyakinan dan tidak mungkin
memberitakan Injil tanpa memberi perhatian penuh kepada keyakinan
dan iman ini. Namun kata dialog tidak semata-mata dimaksudkan
sebagai kata halus untuk pekabaran Injil. Usaha untuk mengadakan
dialog didorong oleh pendapat bahwa bagaimanapun juga cara terbaik
untuk bersaksi mengenai iman sendiri kepada orang lain, perlu orang-
orang yang berbeda agama, saling mengenal dan mengerti dalam dunia
dimana komuniaksi dan pergaulan antar manusia semakin intensif.
50

Hal itu pada saat sekarang menumbuhkan ide Oikoumene
global, yang tidak hanya membawa bentuk penyatuan antara orang-
orang Kristen tetapi juga penyatuan seluruh keyakinan yang berbeda di
dunia. Dialog antar iman antar anggota keimanan yang berbeda telah
meningkatkan kesadaran dimensi global dalam persoalan agama. Para
teolog terkemuka, juga para pemikir agama, mulai membahas persoalan-
persoalan global, yang menekankan saling keterkaitan dalam ide-ide
keagamaan dan kehidupan spiritual seperti dalam permasalahan
ekonomi.
51

Gagasan untuk mengadakan dialog dengan orang-orang dari
agama lain sebenarnya terdengar sejak permulaan gerakan Oikoumene
pada konperensi pekabaran Injil di Edinburgh (1910) dan dapat didengar
juga pada konperensi IMC di Yerussalem (1928) dan Tambaran (1938).
Dialog pada waktu itu terutama dilihat sebagai usaha untuk mengambil
yang paling baik dari semua agama. Pada Sidang Raya DGD di
Evanston (1954), dalam laporan mengenai Evangelism muncul motif
baru untuk mengadakan dialog. Dikatakan bahwa kebangkitan agama-

50
Cristian D. Jonge, op.cit., hlm. 181-182
51
Mukti Ali, op.cit., hlm. 6


51
agama lain dan ideologi-ideologi sesudah perang dunia ke II memaksa
gereja untuk memikirkan cara-cara lain untuk mengkomunikasikan
Injil.
52

Dalam diskusi tentang peranan orang-orang Kristen di Nattion-
Building timbul kesadaran bahwa selain ideologi juga agama
memainkan peran penting. Pada tahun 1967 diadakan konsultasi di
Kandy (Sri Langka) tentang Christians in Dialogue With Man of Other
Faiths (orang-orang Kristen dalam dialog dengan orang-orang yang
berkepercayaan lain). Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya dapat
diadakan konsultasi dengan penganut agama-agama lain (Hindu, Budha,
Islam) yang diadakan di kota Ajaltun di Libanon. Sebelumnya hanya
diadakan konperensi-konperensi bilateral khususnya dengan orang-
orang Islam (Bharndoun, Libanon 1955 ; Alexaderia, Mesir 1955,
diadakan World Fellowship of Muslim and Christians, persekutuan
orang-orang Islam-Kristen sedunia). Pada tahun 1971 diputuskan untuk
membentuk sub unit khusus, dalam unit Faith and Witness untuk
dialog dengan nama Dialogue With People of Ulang Faiths and
Ideologies, yang diperoleh oleh Sumartha.
53


F. Tantangan dan Hambatan Gerakan Oikoumene
Memang konflik agama dan politik merupakan bagian integral
setiap yang dialami masyarakat. Majid Tehranian (1995 : 283) yang
mengelompokkan modernisasi menjadi 6 tahap, mengatakan bahwa
Tahap keenam modernisasi ditandai dengan adanya pilihan-pilihan
ideologis yang terentang. Antara dialog versus perbenturan peradapan;
Oikoumene versus fundamentalis; dan kapitalis totalitarian versus
komunitarian. Ideologi-ideologi ini memandang planet bumi sebagai

52
Cristian D. Jonge, op. cit., hlm. 182-183
53
Ibid., hlm. 183-184


52
sistem organis yang menyatu secara tunggal atau sebagai perangkat
peradaban, agama atau blok regional yang saling berbenturan.
54

Pada uraian sebelumnya, sudah disinyalir tentang adanya
tantangan dan hambatan di dalam gerakan Oikoumene. Pada umumnya
tidak ada perbedaan yang psinsipil antara keyakinan yang dimiliki dan
diajarkan gerkan Injili (yang kemudian mempelopori adanya gerakan
Oikoumene) dengan yang diaut oleh gereja-gereja arus utama. Memang
begitulah halnya, dan justru karena itulah gerakan Injili bisa masuk dan
merembes ke ana-mana karena tidak ada satu gerejapun yang berpegang
pada Alkitab dan ajaran pada reformator (yang biasa disebut ajaran
ortodoks atau ortodoksi), yang sering berbeda adalah gaya
penyampaiannya atau penekanannya dan penafsiran atas beberapa
pokok, misalnya tentang kemutlakan Alkitab, tentang arti keselamatan
(apakah hanya jiwa atau seluruh keberadaan manusia, apakah baru
terwujud nanti di surga atau sudah mulai terwujud di sunia ini. Apakah
bersifat pribadi atau kolektif dan mencakup seluruh ciptaan), tentang
makna dan tujuan perjanjian (apakah sama dengan mengKristenkan dan
menumbuhkan gereja, atau memberlakukan damai sejahtera yang dari
Allah dalam setiap bidang kehidupan).
Perbedaan-perbedaan ini tentu bisa dipertajam bila masing-
masing pihak menganggap penafsirannya yang paling benar seraya
menyerang dan mempersalahkan penafsiran pihak lain. Ini misalnya kita
lihat dalam pertentangan antara kubu Ekuiminal (Oikoumenekal) yang
antara lain diwakili oleh WCC/DGD, CWF dan WARC versus kubu
Injili yang antara lain diwakili oleh NAE, WEF dan LCWE yang

54
Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan (Nasionalisme Religius di Indonesia), Pustaka
Hidayah, Bandung, 1999, hlm. 89


53
berkobar terutama sejak akhir 1960-an, kendati sejak 1980-an ada upaya
memperdamaikannya.
55

Dalam bidang diskusi Oikoumene, Dewan Gereja se-Dunia
telah menjadi sadar akan adanya rasa ketidakpuasan yang cukup
tersebar, terutama antara ahli-ahli kitab, tentang cara kitab yang
digunakan dalam paper-paper (kertas-kertas kerja) penelitian
Oikoumene sesudah perang. Bahkan pada puncaknya, rasa
ketidakpuasan itu mengakibatkan suatu keretakan yang cukup
mendalam antara ahli-ahli Evangelis dan teolog-teolog. Maka adanya
keretakan ini merupakan sebab utama, mengapa Dewan Gereja-gereja
se-Dunia memulai suatu penelitian Oikoumene yang baru tentang
kewibawaan Alkitab. Dokumen penelitian, yang disiapkan untuk
merangsang riset itu, dapat dibaca dalam the Ekumenical Review No. 21
tahun 1969 halaman 135 166.
56
Jelas dari dokumen penelitian tersebut
bahwa para penyusunnya telah undur dari konsep bahwa hanya Alkitab
yag merupakan unsur pemersatu, yang dimiliki bersama oleh gereja-
gereja yang masih berpisah.
Hambatan lain terlihat dari perlawanan terhadap penggabungan
antara IMC dan DGD muncul di kalangan gereja-gereja Ortodoks dan
kaum Evangelikal. Gereja-gereja Ortodoks khawatir bahwa
penggabungan ini membuka pintu untuk proselitisme (memenangkan
orang dari gereja-gereja lain). Seperti telah dialami mereka dari pihak
Katolik-Roma dan Protestan. Kaum Evangelikal melihat dalam
keputusan New Delhi bukti lagi bahwa gereja-gereja Oikoumene telah
melupakan tugas mengkabarkan Injil. Mereka mengadakan kongres
internasional di Lausanne (1974) dan pada pertemuan continuation

55
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK.
Gunung Mulia, Jakarta, 1995, hlm. 252
56
James Barr, Alkitab di Dunia Modern, (terj. I.J. Cairns), Gunung Mulia, Jakarta, 1993,
hlm. 15-16


54
committee Gerakan Lausanne ini di Mexico (1975) Consultative
Council of World Evangelicals (Dewan Penasehat Kaum Injili
Sedunia).
57

Perlawanan itu juga muncul dari sikap gereja Katolik-Roma
yang dengan tegas menyatakan bahwa keesaan Kristen itu terlihat dari
kepaulusan artinya Paus sendiri adalah merupakan lambang dari orang-
lambang Kristen yang bersatu.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa banyak orang Kristen
Evangelis yang memandang gereja Oikoumene sebagai sebuah gerakan
kompromis dan pelecehan terhadap keyakinan Kristen. Maka di
samping gerakan menuju rekonsiliasi diantara orang-orang Kristen,
terdapat juga gerakan Evangelis sebagai protes atas kecenderungan itu,
dan karenanya, meski beberapa perpecahan lama sedang ditanggulangi,
atau setidaknya dimoderatkan, namun perpecahan yang lain muncul
sampai taraf tertentu. Beberapa komentatator tentang keadaan dunia
Kristen pada masa sekarang menyatakan bahwa ada dua bentuk agama
Kristen yang berlaku; pertama Oikoumene, sebuah bentuk yang tidak
hanya membentuk gereja-gereja Kristen Protestan yang telah mapan
tetapi juga gereja-gereja Ortodoks, bahkan gereja Katolik-Roma (sebuah
gerakan yang bersikap terbuka terhadap ideologi-ideologi lain, agama-
agama lain, sosial politik, ekonomi) bahkan memandang seluruh dunia
beserta isinya sebagai keseluruhan ciptaan Allah yang menjadi lapangan
perkabaran Injil. Yang kedua Evangelis.
58

Hambatan dari dalam muncul ketika berhadapan dengan
persoalan konferensional di dalam gerakan Oikoumene. Pemahaman
yang lebih menjurus menuju kepada pemahaman baru muncul pada abad

57
Christian de Jonge, Menuju Keesaan op. cit., hlm. 17-18
58
Hugh Goddard, Menepis Standar Ganda (Membangun Saling Pengertian Muslim-
Kristen), Adipura, Yogyakarta, 2000, hlm. 173-174


55
pertengahan lalu, ketika kata Oikoumene mulai diartikan sebagai rela
untuk melampaui dan mengatasi batas-batas konfensional yang
memisahkan orang-roang Kristen. Pemahaman ini tidak langsung
diterima. Pada umumnya pada kira-kira tahun 1920 kata Oikoumene
masih dimengerti dalam arti tradisional, yakni secara geografis atau
berhubungan dengan gereja, sebagai sinonim dengan katolik, universal,
berwibawa. Namun, khususnya karena usaha Natahan Soderblom,
seorang pelopor Life and Work. Pemahaman modern mulai diterima
secara umum. Mulai disadari bahwa gereja belum Oikoumene kalau
masih ada tembok-tembok pemisah antara gereja-gereja Protestan,
gereja-gereja Ortodoks dan gereja Katolik-Roma, seperti yang telah
dijelaskan panjang lebar pada uraian-uraian sebelumnya.
59

Jadi, arti dari kata Oikoumene tidak lagi menunjuk kepada
seuatu kenyataan, seperti dahulu, tetapi kepada suatu tujuan yang
hendak dicapai melalui suatu usaha dan pergumulan atau melalui suatu
wadah yang terorganisir dengan baik.

59
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja op. cit., hlm. xviii

Anda mungkin juga menyukai