Anda di halaman 1dari 10

Nama : Johan Setiawan

Program : S.Th. Kependetaan


Nama Dosen : Lotnatigor Sihombing M.Th.
Mata Kuliah : Sejarah Gereja Umum
Tugas : Laporan Baca
Dr. H. Berkhof. Sejarah Gereja, Disadur oleh Dr. I. H. Enklaar (Jakarta:
Gunung Mulia, 2009)
I. Sejarah Gereja di Roma
Dunia tempat gereja mulai lahir adalah zaman kekaisaran Romawi. Hanya satu
bahasa pergaulan yang dipakai saat itu, yaitu bahasa Yunani Koine. Perjanjian Baru
juga dikarang dalam bahasa Koine itu. Sekalipun sukses dalam hal politik dan
kenegaraan, namun dasar-dasar rohani kehidupan manusia terguncang dan rubuh.
Banyak orang bingung apa yang harus diperbuat supaya selamat di dunia dan di
akhirat. Agama Yunani dan Romawi yang menjadi agama resmi negara tak sanggup
memenuhi kebutuhan rohani orang banyak. Sebagai ganti agama yang kolot itu,
mereka asyik mempelajari agama-agama dari bagian timur kekaisaran yang salah satu
ajarannya adalah ibadat kepada kaisar.
Pada masa kelahiran gereja, tanah Palestina takluk pada pemerintahan
Romawi. Pusat agama Yahudi adalah bait Allah di Yerusalem, tetapi kebanyakan
orang Yahudi tak sempat berbakti kesana, sehingga dalam tiap-tiap jemaat Yahudi
dibangunkan rumah ibadah (sinagoge). Orang Yahudi sangat menantikan kedatangan
Mesias (Almasih) yang dijanjikan itu dengan kerinduan besar. Dalam masa penantian
itu mereka mencoba menggenapi segala tuntutan taurat supaya beroleh bagian dalam
kerajaan Mesias. Sesudah pembuangan di Babel, kaum Yahudi hidup berserak-serak
atau diaspora, namun mereka tetap setia kepada agamanya.
Hari kelahiran gereja ialah hari keturunan Roh Kudus pada pesta Pentakosta.
Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi tentang
kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Dimana orang menyambut Injil
dengan percaya kepada Yesus Kristus, di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Pada
masa sesudah rasul-rasul (kira-kira 70 sampai 140 M) terjadilah perubahan-perubahan
besar dalam Gereja Kristen yang muda itu, baik secara lahiriah maupun secara
batiniah. Secara organisasi, mula-mula pimpinan Gereja diamanatkan kepada rasul-
rasul, pengajar-pengajar dan nabi-nabi. Di samping pangkat-pangkat itu ada penatua-
penatua (presbiter) dalam tiap-tiap jemaat, mereka dibantu oleh Syamas (pelayan).
Kebaktian diadakan pada hari Minggu oleh karena Tuhan Yesus bangkit pada hari

1
pertama dari suatu minggu. Mula-mula belum ada tatacara kebaktian yang tetap,
lambat laun kebaktian dilangsungkan dengan tatacara atau liturgia yang lengkap.
Mula-mula negara Romawi menganggap kaum Kristen sebagai mazhab
yahudi, sehingga mereka pun bebas melakukan agamanya. Akan tetapi segera
kemudian ternyata, bahwa sebetulnya agama Kristen itu bukan suatu agama
kebangsaan yang diizinkan, melainkan agama baru; apalagi yang membentuknya ialah
seorang yang mati tersalib oleh pengadilan Romawi sendiri. Dari sinilah mulai
muncul pertikaian, penghambatan sehingga orang Kristen mulai dianiaya.
Gereja yang muda itu juga sempat dimasuki semangat Gnostik (Hikmat Tinggi
yang berahasia dan tersembunyi tentang asal dan tujuan hidup manusia). Namun
godaan ini bisa ditolak gereja, dan justru ahli-ahli Gnostik merupakan penunjuk jalan
bagi gereja, sebab mereka mulai memakai istilah theologia, suatu kanon perjanjian
baru, tafsiran-tafsiran dan pengakuan iman.
Serangan berikutnya yang dialami gereja pada abad ke II ialah timbulnya
Montanisme yang dibangun oleh dua orang nabiah: Priscilla dan Maximilla. Mereka
berkata-kata dengan bahasa Roh dan kadang berekstase sampai tak sadar lagi
bagaikan orang mati. Mula-mula gereja merasa sukar untuk menentukan pendiriannya
terhadap sekta Montanus. Pada waktu itu untuk pertama kalinya diadakan sidang
uskup-uskup, yang disebut sinode, untuk merundingkan baik buruknya gerakan yang
baru itu. Tak lama kemudian, banyak uskup menolak Montanisme, karena dianggap
ajaran yang sesat. Oleh karena Tuhan tidak meninggalkan gereja di dalam bahaya
yang mengancamnya, maka segala serangan terhadapnya malah mendatangkan
kebaikan baginya. Di antara tahun 150 dan 200 gereja sanggup menolak segala ajaran
yang sesat, dan menginsafi wujud dan tugasnya. Gereja terpaksa melengkapi
senjatanya untuk melawan sekte. Senjata itu pula menjadi ciri dan pernyataan yang
tegas dari wujud gereja sendiri. Ketiga senjata itu adalah a. Kanon dari kitab-kitab
Perjanjian Baru, yang diakui sah di samping Perjanjian Lama; b. Pengakuan Iman
untuk menetapkan ajaran gereja, dan c. Jabatan Uskup, selaku pengganti rasul-rasul
dan pembela kebenaran. Demikianlah gereja membedakan ajarannya yang Injili dari
segala ajaran yang sesat.
Dalam perkembangannya, gereja terbagi dua pada tahun 1054 menjadi Gereja
Barat atau Katolik Roma dan Gereja Timur atau Gereja Gerika Katolik. Terutama di
barat, pusat organisasi gereja ialah oknum uskup, yang mengepalai jemaat, baik
mengenai ajaran dan pengakuan, baik dalam kebaktian maupun dalam hal disiplin dan
2
pemerintahan harian. Pemimpin gereja lama yang terutama, teristimewa di barat ialah
Cyprianus, uskup Carthago di Afrka Utara. Dia dipilih menjadi uskup pada tahun 248,
10 tahun kemudian ia meninggal dunia, tetapi waktu yang singkat itu sudah cukup
baginya untuk menjalankan beberapa keputusan dan peraturan yang sangat penting
untuk seluruh gereja.
Teologi yang digunakan saat itu berasal dari golongan Apologet, namun ajaran
golongan ini sangat bertentangan dengan Alkitab, mereka mengajarkan bahwa Yesus
bukan Allah yang turun ke bumi, melainkan suatu zat yang setengah ilahi saja.
Beberapa waktu kemudian sesudah timbulnya golongan Apologet itu, bangkitlah
seorang ahli theologia yang kembali lagi kepada ajaran Alkitab tentang penebusan
manusia oleh Yesus Kristus. Beberapa ahli teologi itu adalah Ireneus, kemudian
dilanjutkan seorang ahli hukum yang bekerja sebagai advokat di Carthago bernama
Tertullianus. Lalu ada Clemens (200) dari Alexandria dan Origenes (185-254).
Kira-kira tahun 180, jemaat Kristen sudah terdapat di mana-mana sekitar Laut
Tengah. Pada waktu itu Injil mulai dikabarkan di Germania, Britania, Spanyol dan
Armenia. Dalam abad ke III gereja merambak sampai ke daerah sungai Donau, tanah
Persia dan India. Gereja Kristen yang makin besar ini menjadi suatu masalah politk
yang sulit bagi negara. Asas kekaisaran Romawi saat itu ialah: satu Ilah, satu Negara,
satu Kaisar. Tetapi gereja tidak mau turut mengakui asas semacam ini, sebab katanya:
hanyalah Allah Bapa Yesus Kristus, itulah Allah yang benar, yang harus disembah.
Sebab itu kaisar-kaisar mulai pula menganiaya orang-orang Kristen. Penganiayaan ini
dimulai oleh Decius (249-251), kemudain Valerianus (257-258). Puncak
penganiayaan terhebat dalam sejarah gereja dilakukan oleh kaisar Diocletianus dan
penggantinya Galerius dari tahun 303-311. Namun penganiayaan yang hebat itu tetap
tidak dapat menghambat iman gereja, sehingga sewaktu menemui ajalnya, Galerius
memberi perintah untuk menghentikan penganiayaan yang tidak berhasil itu.
Akhirnya tibalah masa yang baik bagi gereja, ketika Constantinus merebut
takhta sesudah mengalahkan lawannya Maxentrius tahun 312 dan kemudian
memerintah kekaisaran Romawi di bagian barat. Tidak lama kemudian iparnya,
Licinius, merebut kuasa di sebelah Timur kekaisaran itu. Keduanya mengeluarkan
“Etik Milano” pada tahun 312, dimana ditetapkan bahwa gereja mendapat kebebasan
sepenuh-penuhnya, bahkan segala yang telah dirampas oleh negara, harus
dikembalikan atau dibayar. Mulai saat itu ada perdamaian antara gereja dan negara,
bahkan kaisar-kaisar mengharapkan bantuan dan berkat dari pihak gereja untuk
3
keamanan dan kemajuan negara. Gereja bukan saja dibiarkan, bahkan diberi berbagai
hak dan keuntungan (seperti: hak menerima warisan, sokongan uang untuk
membangun gedung gereja, undang-undang mengenai penyucian hari Minggu). Hal
ini mulai setelah Constantinus mengalahkan Licinius pada tahun 324 dan seluruh
kuasa ada dalam tangannya, tetapi barulah pada tahun 380 gereja diresmikan menjadi
Gereja Negara oleh kaisar Theodosius.

II. Gejolak dalam Gereja


Setelah gereja diresmikan, pertikaian dan perselisihan justru terjadi di dalam
tubuh gereja. Banyak hal yang dipertikaikan, mulai dari perbedaan ajaran,
pemahaman, tradisi, hingga menyebabkan peperangan. Namun melalui semua ini
Tuhan tetap berkarya dalam sejarah sehingga gereja boleh ada sampai saat ini untuk
memuliakan nama Tuhan dan menyelamatkan setiap umat manusia.
Pertikaian pertama adalah tentang Logos, pada tahun 318 timbullah
perselisihan antara Arius seorang presbiter dan Alexander yang adalah uskupnya
mengenai natur Allah dan natur manusia di dalam Yesus Kristus. Supaya perselisihan
tidak semakin besar, maka kaisar Constantinus memanggil suatu konsili oikumenis
yang bersidang di Nicea tahun 325. Namun pertikaian tentang relasi antara Logos
dengan Allah belum juga selesai. Pada tahun 328 Athanasius menggantikan
Alexander selaku uskup Alexandria. Athanasius menekankan bahwa Anak itu bukan
suatu mahluk dan bukan setengah Allah atau Allah yang kedua, melainkan suatu zat
dengan Bapa dalam segala-galanya. Yang terpenting bagi Athanasius, ialah kebenaran
Injil, yakni ketika Anak itu masuk ke dalam dunia ini, Allah sendiri datang
menyelamatkan manusia. Penganut Origenes mencari suatu rumus baru yang
mendekati ajaran Athanasius, yakni Logos “homo-usios” dengan Allah. Artinya zat
Logos menyerupai Zat Bapa. Pertikaian teologia yang hebat dan lama ini baru
berakhir sesudah Theodosius Agung, yang Anti Arian, naik kaisar pada tahun 379.
Konsili oikumenis yang kedua, yang diadakan di Constantinopel pada tahun 381,
memutuskan bahwa Anak itu homo-usios dengan Bapa. Hasil keputusan ini Nampak
jelas dalam “Pengakuan Nicea.”
Ternyata perselisihan tentang kedua tabiat Kristus belum berakhir,
perbantahan berikutnya berasal dari patriarkh-patriarkh Constantinopel yaitu
Nestorius dan Cyrillus dari Alexandria. Perselisihan ini dimenangkan oleh Cyrillus
dalam konsili oikumenis yang ketiga di Efesus pada tahun 431.
4
Pada tahun 448 perselisihan ini berkobar lagi tatkala seorang sarjana teologia
yang bernama Eutyches mengajarkan bahwa sebenarnya Kristus hanya bertabiat satu
saja (monophysit). Patriarkh dari Alexandria, Dioscurus namanya, membantu
Eutyches. Pada tahun 449 “Sinode penyamun” di Efesus dipaksa oleh Dioscurus
dengan rahibnya yang bersenjata supaya mengaku monophysitisme dari Eutyches
selaku ajaran ortodoks. Akan tetapi putusan ini tak disetujui oleh uskup Roma, yaitu
Leo I. Pada tahun 450 seorang kaisar yang lebih kuat pendiriannya naik takhta di
Byzantium yaitu kaisar Constantinopel. Atas ajakan Leo I, diundangnya suatu sinode
baru yaitu konsili oikumenis keempat yang dilangsungkan di Chalcedon tahun 451.
Inilah konsili terbesar dalam sejarah gereja lama dimana ada 600 orang uskup
bersidang. Akhirnya atas desakan kaisar, tercapailah suatu keputusan kompromi,
yaitu: Kristus bukan bertabiat satu (melawan Alexandria) dan bukan bertabiat dua
(melawan Antiokhia), melainkan Ia “bertabiat dua dalam satu oknum.” Kedua tabiat
ini “tidak bercampur dan tidak berubah” (melawan Eutyches), dan “tidak terbagi dan
tidak terpisah” (melawan Nestorius). Namun demikian tetap saja ada yang tidak setuju
sehingga pada abad ke-V, banyak gereja menceraikan diri dari gereja Katolik.
Lama-kelamaan makin nyatalah perbedaan dalam berbagai hal antara bagian
barat dan timur dari Gereja Kristen. Orang barat yang lebih aktif tabiatnya
mementingkan perbuatan, tetapi di bagian timur perenunganlah yang dipentingkan.
Gereja Timur menyebut dirinya “Gereja Ortodoks” atau gereja “Katolik Gerika.”
Bapa gereja yang sangat terkenal pada abad ini adalah Augustinus (354-430).
Pengaruhnya terdapat di segenap sejarah gereja sampai kini, ia menuangkan segala
pikiran dan perasaan hatinya dalam sebuah kitab yang sangat termahsyur yaitu
“Confessions”, yang menceritakan tentang ajaran dan hidup sejak masa muda sampai
kepada pertobatannya selaku suatu pengakuan terbuka di hadapan Tuhan sendiri.

III. Sistem Kepausan


Sesudah Eropa dimasuki orang Hun, bangsa Asia Tengah yang ganas,
akhirnya banyak suku-suku yang berpindah dari Roma. Perpindahan bangsa-bangsa
ini akibatnya besar juga bagi gereja Katolik. Ditinjau dari sudut politik, maka masa itu
sulit bagi gereja Katolik. Tetapi meskipun begitu, pada masa peralihan itulah gereja
meletakkan dasar-dasar kuasanya yang di kemudian hari bertambah kokoh dan kuat.
Sebab justru di masa itulah uskup Roma mencapai maksudnya yang telah lama dicita-
citakannya, yaitu mulai berkuasa atas segala uskup yang lain beserta dengan
5
daerahnya, teristimewa di barat. Teknisnya adalah tatkala kaisar-kaisar memindahkan
pusat pemerintahan dan tempat bersemayam mereka ke Byzantium, kota Roma tidak
dikuasai lagi secara politik. Jadi gereja Katoliklah yang menggantikan negara, dan
uskup Romawilah yang berhak menggantikan kaisar sebagai tokoh yang tertinggi.
Dari abad yang ke-V itu mereka digelari “Paus” dan menganggap dirinya terpanggil
oleh Tuhan untuk menjadi kepala Gereja selaku “pengganti Petrus”, bahkan sebagai
“wali Kristus” di bumi ini. Leo I (kira-kira tahun 450), dialah yang boleh dikatakan
menjadi Paus pertama.
Kira-kira tahun 1070 Palestina, Siria dan Asia kecil jatuh ke tangan Turki.
Bangsa yang beragama Islam itu mengancam kebudayaan dan agama Kristen di
Eropa. Pada suatu sinode di Clermont (Perancis) pada tahun 1095 umat Kristen
dikerahkan oleh Paus Urbanus II untuk mengangkat perang suci buat merebut Tanah
Suci dari orang Islam. Banyak orang dari segala lapisan masyarakat menurut ajakan
itu seraya berteriak: “Allah menghendakinya!” Mereka menempelkan sebuah salib
dari kain merah pada bahu atau dadanya sebagai tanda bahwa mereka mau pergi
merebut Yerusalem, tempat Yesus disalibkan.
Perang salib terjadi sebanyak enam kali, dan hanya perang salib yang keenam
saja yang berhasil. Dimana kaisar Frederik II mendapat Yerusalem, Betlehem,
Nasaret dan pantai Laut Tengah dengan jalan diplomasi. Tetapi pada tahun 1244
Yerusalem jatuh lagi ke tangan Islam, dan akhirnya zaman perang-perang salib
dihentikan sesudah Bandar Akko direbut oleh orang Islam pada tahun 1291.
Pemerintahan paus mencapai puncaknya ketika dipimpin oleh Innocentius III
(1198-1216), ia adalah paus yang termulia dalam abad-abad pertengahan. Sayang
kebesarannya itu hanya dalam arti politik saja, bukan dalam arti rohani. Kecongkakan
paus-paus dan keinginannya untuk menguasai seluruh dunia sekarang memuncak.
Menurut pendapat Innocentius, “paus kurang besar dari Allah, tetapi lebih besar dari
manusia.” Konsili di Lateran, sebuah istana paus di Roma (1215) menjadi suatu
pertunjukan besar dari kemuliaan paus dan dari kuasa gereja. Beberapa perkara
penting ditetapkan disana, yaitu: 1. Tiap-tiap anggota gereja diwajibkan mengaku
dosanya di hadapan imam, sekurang-kurangnya sekali setahun untuk beroleh
pengampunan atas nama Kristus. 2. Ordo-ordo rahib yang baru hanya boleh didirikan
dengan izin paus, dan 3. Dogma transsubstanisasi disahkan dengan resmi.

6
IV. Reformasi & Renaissance
Pada masa itu muncul sebuah pemahaman baru, yaitu kesadaran baru akan
keindahan dunia dan manusia, biasanya disebut dengan kata Perancis “renaissance”
yang berarti kelahiran kembali dari kebudayaan dan kesenian kuno. Di lapangan ilmu
pengetahuan dan kesusastraan gerakan ini dinamai “humanisme.” Semboyan
humanisme adalah “Pulanglah kepada sumber-sumber!”, berhubung dengan ini, maka
bukan saja mengenai sumber-sumber kesusastraan Kristen, yaitu karangan bapa gereja
tetapi juga segala karangan para filsuf dan pujangga kafir. Gerakan ini berpusat di
Florensa dan Roma kemudian berpengaruh hingga ke Jerman. Tokoh humanis yang
terkenal adalah Erasmus (1469-1536). Ia boleh disebut “bapa aliran Kekristenan yang
serba bebas (liberal)”.
Anselmus (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142), Thomas dari Aquino
(1225-1274), Johannes Duns Scotus (1265-1308) dan William Occam (1280-1349)
adalah tokoh teolog abad pertengahan. Pokok teologia baru ini telah ditetapkan oleh
tradisi gereja. Ajaran yang terkenal di abad pertengahan ini disebut scholastik.
Maksud scholastik tidak lain daripada memikirkan kembali isi teologia yang
diwarisinya dari waktu dahulu. Para ahli scholastik berkeyakinan bahwa segala ajaran
gereja itu bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat dimengerti juga oleh manusia.
Sebab itu mereka berusaha membuktikan bahwa segala sesuatu yang telah dinyatakan
Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia.
Sejak abad ke-XIII gereja Roma mengakui tujuh sakramen, yaitu: Perjamuan,
baptisan, konfirmasi, pengakuan dosa, urapan penghabisan, nikah dan tahbisan imam.
Menurut ajaran gereja Roma, rahmat dan keselamatan hanya boleh disambut manusia
dengan menerima sakramen. Sakramen-sakramen itu merupakan saluran-saluran yang
ke dalamnya dicurahkan zat rahmat dari atas untuk memasuki, memenuhi,
menyucikan dan menyelamatkan manusia lahiriah-batiniah. Imamlah yang berkuasa
membuka atau menutup aliran anugerah itu. Dan yang paling terkenal dari ketujuh
sakramen ini adalah penghapusan siksa yang dilakukan dengan menjual surat
penghapusan siksa atau indulgensia. Dimana dikatakan barangsiapa yang
membelinya, maka orang itu dan juga anggota keluarganya bisa bebas dari api
penyucian. Indulgensia itu timbul dari praktek pengakuan dosa. Penjualan surat
penghapusan siksa itulah yang menyebabkan munculnya reformasi.
Martin Luther (1483-1546) dikenal sebagai seorang tokoh pembaruan gereja.
Pada tanggal 30 Oktober 1517 ia memakukan 95 dalil dalam bahasa latin tentang
7
penghapusan siksa pada pintu gereja istana di Wittenberg. Lutherlah yang pertama-
tama sadar akan kesesatan dan kekhilafan gereja, yang sekian lama melemahkan
gereja Kristus. Bahkan sedari zaman sesudah rasul-rasul, gereja salah mengerti Injil
rahmat Tuhan, sehingga memahamkannya seperti suatu taurat baru. Usaha manusia
untuk memperoleh kesucian dan keselamatan dengan ketaatannya pada taurat gereja,
ditolaknya sama sekali. Oleh iman saja manusia dibenarkan, berkat rahmat Allah!
Ajaran Luther mengenai keselamatan adalah hanya imanlah (sola fide) yang dapat
menyelamatkan manusia yang diberikan Tuhan berdasarkan anugerahnya (sola
gratia) kepada manusia seperti yang dijelaskan menurut Alkitab (sola scriptura).
Di Swiss, reformasi dilanjutkan oleh Ulrich Zwingli (1481-1531) walaupun
ada perbedaan pemahaman dengan Luther terutama mengenai sakramen Perjamuan
Kudus. Johannes Calvin (1509-1564) melakukan reformasi di Perancis secara khusus
di Jenewa, ajarannya yang paling dikenal adalah doktrin predestinasi dan lima ajaran
pokok Calvin yang populer disebut TULIP. Reformasi di Skotlandia sangat di
inspirasikan oleh Calvin, reformasi ini dipimpin oleh seorang perwira perkasa
bernama John Knox (1513-1572). Semangat reformasi juga terjadi di Belanda dan
dikenal dengan nama Calvinisme. Reformasi masuk ke Belanda atas pengaruh
Erasmus. Pemuka Calvinis di Belanda yang paling terkenal adalah Guido de Bres
yang mati syahid pada tahun 1567. Tentunya banyak hambatan dan rintangan bagi
setiap tokoh ini dalam memperjuangkan reformasi gereja di negara masing-masing,
namun hasil jerih lelah mereka sangat berpengaruh pada kekristenan sampai saat ini.
Pada penghabisan abad ke-XVII, di Eropa Barat mulai muncul suatu gerakan
pembangunan rohani yang amat penting, teristimewa di Jerman dan Belanda, gerakan
ini disebut Pietisme. Pietisme adalah reaksi terhadap suasana gereja yang suam, yang
hanya mementingkan doktrin dan ritual di dalam gereja tetapi mengabaikan kasih
kepada sesama. Pietisme menekankan pembelajaran yang kembali kepada Alkitab.
menekankan praktek kesalehan hidup perseorangan dan bagaimana mempraktekkan
kasih kepada masyarakat. Jiwa Puritan dan Pietis memasuki Jerman dari Inggris dan
Belanda pada penghabisan ke-XVII. Di Jermanlah Pietisme mendapat
perkembangannya yang paling indah dan besar. Selanjutnya Pietisme Jerman
mengakibatkan lahirnya Pekabaran Injil di seluruh muka bumi dengan lahirnya
gerakan-gerakan Metodis di Inggris yang dirintis oleh John Wesley (1703-1791) dan
di Amerika oleh Jonathan Edwards (1703-1758) dengan gerakan pembangunan rohani

8
sebanyak empat kali. Tokoh Pietisme yang terkenal adalah Philip Jacob Spener (1615-
1705) dan August Herman Francke (1663-1727).
Renaissance muncul pada abad ke-XV dimana ilmu pengetahuan dan
kebudayaan umum mulai memisahkan diri dari ajaran-ajaran dan anggapan-anggapan
Gereja Kristen. Teristimewa ilmu alam, yang berdasarkan ilmu pasti, mulai
menyimpang dari pandangan-pandangan gereja, yang sampai masa lalu itu diajarkan
dan dipercaya selaku kebenaran ilahi. Pada tahun 1543 Copernicus menemukan
bahwa bukan bumi melainkan mataharilah pusat semesta alam. Dalam abad ke-XVII,
Kepler menerangkan peredaran bintang-bintang sajarat (planet) dan atas dasar itu
Galilei sama sekali memperbaharui pengetahuan kita tentang suasana alam. Newton
menemukan gaya berat selaku hukum dasar dan asas semesta alam. Akibat penemuan-
penemuan yang revolusioner itu, manusia mulai menghina ajaran kolot gereja seraya
memindahkan perhatiannya dan kepercayaannya kepada ilmu alam yang ajaib.

V. Pencerahan
Ketika orang mengidam-idamkan pandangan dunia yang baru, yang dapat
memuaskan hatinya. Dan sejalan dengan ini ketika Pietisme juga mencoba memenuhi
hasrat itu dengan sumbernya dari Alkitab dan Gereja, maka lahir suatu masa yang
mau bersandar kepada akal budi untuk mencapai maksudnya, disebut “Masa
Pencerahan.” Pencerahan lahir di Belanda karena negeri itu adalah satu-satunya
tempat di Eropa yang menaruh toleransi terhadap segala aliran rohani zaman itu dan
yang rela memberi perlindungan kepada tiap-tiap filsuf revolusioner yang harus lari
dari tanah airnya sendiri. Zaman theokrasi, seperti yang dicita-citakan dan dijalankan
oleh paus-paus pada abad-abad pertengahan, oleh Calvin di Jenewa, John Knox di
Skotlandia dan kaum Calvinis di Belanda sudah berlalu dan tak akan kembali lagi.
Akan tetapi meskipun dunia telah membatasi lingkungan pekerjaan Firman Tuhan, hal
itu tidak akan berarti bahwa gereja akan melepaskan tugasnya untuk memberitakan
Injil kepada pemerintahan dan rakyat.
Walaupun gereja mengalami masa sulit, namun melalui masa sulit itu tetap
mampu melahirkan kebaikan. Keuntungan bagi pemisahan gereja dari negara adalah
menghindarkan gereja dari bahaya yang selalu mengancam theokrasi, yakni gereja
terikat secara langsung dengan kuasa dunia. Alangkah seringnya gereja diduniawikan
dalam sejarahnya sendiri, atau Negara-Gereja berubah menjadi Gereja-Negara. Pada
hakekatnya abad ke-XVIII hanya membuka kedudukan gereja yang sebenarnya di
9
bumi ini. Umat Tuhan disadarkan bahwa mereka tak lain daripada sekawanan kecil di
tengah-tengah dunia, yang selama ini memusuhi atau kurang mempedulikan Allah
dan firmanNya. Oleh kesadaran baru itu dapatlah gereja menentukan sikapnya dengan
lebih baik terhadap dunia.

VI. Pekabaran Injil


Abad ke-XIX memperlihatkan proses sekularisasi, yang membuat masyarakat
barat makin lama makin kehilangan sifat Kristennya. Tetapi di pihak lain, abad ke-
XIX itu pun disebut “abad Pekabaran Injil”. Sekarang pimpinan pekabaran Injil
berpindah ke gereja-gereja di Inggris, negeri penjajah yang paling berkuasa.
Perhimpunan-perhimpunan pekabaran Injil Inggris mengutus pendeta-pendetanya ke
Australia, New Zealand, Afrika, India dan Tiongkok. Bila dulu Halle dan Herrnhut
menggembirakan Inggris dengan pekabaran Injilnya melalui gerakan Pietisme,
sekarang sebaliknya Jerman sangat dipengaruhi oleh Inggris pada bagian pertama
abad ke-XIX, sehingga di Jerman pun banyak dibentuk perhimpunan pekabaran Injil.
Utusan-utusan Injil Jerman pergi ke Afrika Selatan dan Barat, ke Tiongkok, India,
Palestina, Pantai Emas (di Afrika) dan lain-lain tempat.
Gereja Yesus Kristus telah meluas ke seluruh dunia oleh karena usaha
pekabaran Injil. Berabad-abad lamanya gereja menjadi soal Eropa, tetapi terutama
abad ke –XIX telah mengakhiri keadaan itu. Sementara gereja Eropa kehilangan
tempat dan kuasanya, pekabaran Injil berkembang dengan pesat di benua-benua lain,
yang baru dibuka bagi pengaruh barat. Pada masa sekarang ini Eropa masih bisa
disebut pusat Gereja seDunia. Tetapi siapa tahu, mungkin lepas seratus tahun keadaan
itu sudah berubah lagi. Yang kita tahu, ialah bahwa pekerjaan pekabaran Injil sedunia
sebenarnya baru dimulai.

VII. Kesimpulan
Buku Sejarah Gereja ini sangat membantu dalam mengetahui secara lengkap dan
mendetail bagaimana sejarah gereja dari awalnya hingga perkembangannya pada
zaman ini. Runtutan kejadian yang bersejarah dituliskan dengan sangat rapi dan
sistematis oleh Dr. Berkhof. Namun ada kelemahan dalam penterjemahan yang
disadur oleh Dr. Enklaar, dimana bahasa penterjemahan sangat terbatas sehingga tidak
mampu menggambarkan maksud yang sesungguhnya dari penulis, kemudian didapati
beberapa kesalahan dalam pengetikan.
10

Anda mungkin juga menyukai