Anda di halaman 1dari 12

Nama : Johan Setiawan

Program : S. Th. Kependetaan


Nama Dosen : Elizabeth Sriwulan S. Th. MK.
Mata Kuliah : Pengantar Psikologi
Tugas : Laporan Baca
Peter Scazzero dan Warren Bird. Gereja yang Sehat secara Emosional.
Diterjemahkan oleh Grace P. Christian, S. Th. (Batam: Gospel Press, 2005)

BAB I

Seperti Apa Para Pemimpinnya, Seperti Itu Juga Gerejanya.

Peter Scazzero adalah seorang pendeta yang dibesarkan didaerah pinggiran kota
New Jersey, dalam sebuah keluarga Italia-Amerika. Mulai kuliah pada tahun 1974, aktif
dalam pemahaman Alkitab di kampus dan menjadi pengikut Yesus pada tahun kedua.
Kemudian mengajar bahasa Inggris di SMU selama satu tahun, bergabung dengan
InterVarsity Christian Fellowship. Melayani selama tiga tahun di Universitas Rutgers dan
perguruan tinggi lainnya di New Jersey. Melanjutkan studi S-2 di Princeton Theological
Seminary dan Gordon-Conwell Theological Seminary. Selama masa kuliah ini, Peter
bertemu dengan Geri, seorang perempuan yang menjadi istrinya dan menikah pada tahun
1984. Setelah anak pertamanya lahir, mereka pindah ke Queens, New York City. Satu
tahun pertama melayani sebagai asisten pendeta di gereja imigran dan mengajar di sebuah
seminari yang keduanya berbahasa spanyol. September 1987 memulai pelayanan sebuah
gereja kontemporer bernama New Life Fellowship. Kurang lebih satu tahun jumlah
jemaatnya telah bertambah menjadi 160 orang, akhir tahun ketiga memulai suatu jemaat
berbahasa Spanyol. Pada akhir tahun keenam, ada 400 orang jemaat berbahasa Inggris
dan 250 orang jemaat berbahasa Spanyol.

Saya melihat bahwa Peter sangat ahli dalam melayani jemaat secara agamawi
namun sangat amatir dalam melayani keluarganya secara duniawi. Peter sangat
memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan gereja dan jemaat sebagai seorang
pemimpin gereja tapi sama sekali tidak bisa memperhatikan kebutuhan istri dan anaknya
sebagai seorang pemimpin keluarga. Dia tidak bisa membagi dan menempatkan waktu

1
dengan baik kapan harus memikirkan gereja dan kapan harus memikirkan keluarga.
Sehingga seringkali terjadi bahwa dia justru membawa masalah-masalah gereja pulang ke
rumah seperti menceritakan pergumulan jemaat, masalah majelis dan program gereja
kepada istrinya. Dengan demikian, hampir tidak ada waktu bagi istri dan anak untuk
menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Bahkan ada pernyataan bahwa ketika bersama
dengan keluarga, secara fisik dia ada ditengah-tengah keluarga, namun pikiran dan jiwa
berada di gereja.

Ditengah sibuknya pelayanan, Peter pun seringkali mengabaikan dimensi-dimensi


emosional pribadi, beberapa kali dia merasakan ketidaknyamanan akan sebuah situasi,
tapi demi alasan supaya jemaat tidak meninggalkan gereja dia menekan segala komponen
emosionalnya. Hal ini terus menerus terjadi selama bertahun-tahun hingga istrinya
menyatakan untuk bercerai karena sudah tidak sanggup lagi menjalani hidup dalam
tekanan yang tidak berkesudahan selama delapan tahun. Satu kalimat dari seorang istri
yang akhirnya memaksa Peter merefleksi semua hal yang telah dilakukannya selama
delapan tahun terakhir kepada keluarga dan gereja juga sebagai awal mula transformasi
hidup dan pelayanannya yaitu “Peter, saya menyerah.” Karena bagi seorang pendeta,
apabila istrinya meminta untuk cerai, maka itu adalah kiamat bagi pelayanannya. Tahun
1993-94, jemaat berbahasa Spanyol mengalami perpecahan, kemudian ia dikhianati oleh
salah satu seorang asisten pendeta dari jemaat berbahasa Spanyol yang akhirnya
“mencuri” dua ratus jemaatnya.

Setelah mengalami kejadian ini, saya mendapati Peter tidak langsung menyadari
akan kekeliruannya dalam hal memimpin, setelah semua hal yang buruk terjadi, dia
masih sempat melimpahkan kesalahan kepada daerah tempat tinggalnya yaitu Queens,
profesinya sebagai pendeta, keempat anak yang masih kecil, istrinya Geri, konflik di
dalam gereja, para pemimpin yang lain, kurangnya doa bahkan mobilnya yang rusak
sebanyak tujuh kali dalam tiga bulan terakhir. Namun akhirnya dia sadar bahwa akar
permasalahan sebenarnya ada di dalam dirinya, hanya saja belum mampu atau belum
mau mengakuinya. Saya belajar bahwa ketika seorang hamba Tuhan yang belum beres
dengan kepribadiannya, keluarganya, relasinya dengan Tuhan yang sungguh intim bukan
rutin, maka pelayanannya tidak akan menjadi berkat dan mempengaruhi kehidupan orang

2
banyak. Seperti apa para pemimpinnya, seperti itu juga gerejanya. Kita tidak dapat
menumbuhkan gereja yang sehat secara emosional bila kita tidak dapat menyelesaikan
masalah-masalah di bawah permukaan kehidupan kita.

BAB II

Ada Yang Benar-Benar Tidak Beres

Saya belajar dari pengalaman Bob Pierce dengan World Vision yang
pelayanannya luar biasa mempengaruhi dan menjadi berkat bagi lebih dari lima puluh
juta orang setahun di 103 negara. Begitu berapi-api dalam melayani Tuhan hingga rekan-
rekannya berkata, “Ia adalah seorang yang tidak kenal lelah dalam memenangkan jiwa-
jiwa,” “Saya belum pernah bertemu dengan seorang yang lebih berbelaskasihan,” dan “Ia
benar-benar seorang Samaria Kristen yangs secara harfiah menyerahkan nyawanya untuk
orang-orang ‘kecil’ yang miskin di dunia.” Namun, dibalik kecemerlangan Bob di dalam
pelayanannya, ia mengabaikan keluarganya sendiri. Sebagai contoh, ketika salah satu
putrinya mencoba bunuh diri, ia menelpon ayahnya dalam salah satu perjalanannya ke
benua lain dan memintanya untuk segera pulang. Sesungguhnya Bob bisa saja pulang
saat itu dengan penerbangan berikutnya karena tidak ada keperluan khusus yang
menahannya, namun karena Bob merasa masih banyak orang lain yang membutuhkan
pelayanannya, ia justru memesan tiket ke Vietnam walau sudah dimohonkan oleh istrinya
untuk pulang. Hasilnya beberapa tahun sesudah itu anaknya benar-benar berhasil bunuh
diri, dan hubungannya dengan istri memburuk hari demi hari, pada usia enam puluh
empat tahun Bob terasing dari seluruh keluarga, hubungan dengan pengurus World
Vision juga penuh ketegangan, tahun 1967 ia mengundurkan diri dan meninggal karena
leukemia pada tahun 1978.

Ada beberapa kisah lagi mengenai pelayan Tuhan yang luar biasa pelayanannya
namun kondisi rumah tangganya berantakan. Dengan motivasi untuk memperbanyak jiwa
atau mempertahankan jemaat di gereja, banyak sekali pendeta yang menekan masalah-
masalah mereka, gereja justru selalu menjadi tempat dimana si pendeta harus menutupi
hal-hal yang terdalam dan yang paling gelap dari dirinya, gereja tidak pernah menjadi
tempat yang nyaman. Pada akhirnya mereka kolaps dan tidak mampu berdiri lagi. Saya

3
belajar bahwa penting sekali kita membangun hubungan yang baik pertama-tama kepada
Tuhan, karena hanya dari Tuhan kita beroleh kekuatan dan keyakinan. Kemudian
menjadi berkat lebih dulu kepada keluarga sendiri seperti istri, anak dan orang tua.
Karena justru keluarga lah yang mampu menolong dan mampu mendengar apapun kisah
kita sehingga tidak ada yang perlu ditutup-tutupi, kita bisa sungguh-sungguh jujur tentang
apa yang sedang terjadi di dalam diri, tidak hanya di permukaan. Dari mereka kita
beroleh semangat dan dukungan untuk tetap optimis ketika sedang banyak masalah dalam
pelayanan, tidak semua orang bisa kita ceritakan pergumulan dan masalah pribadi apalagi
yang menyangkut kepentingan gereja. Sebaik-baik apapun orang luar tidak akan sebaik
keluarga sendiri. Jadi jika saya ada pergumulan, pertama saya cerita kepada Tuhan, kedua
saya cerita kepada istri.

BAB III

Kesehatan Emosional

Dari bab ketiga saya belajar bahwa kesehatan emosional dan kesehatan spiritual
tidak terpisahkan, adalah tidak mungkin bagi seorang Kristen untuk menjadi matang
secara rohani, tetapi tidak matang secara emosional. Tetapi banyak sekali terjadi sekarang
bahkan saya sendiripun mengalami bagaimana aspek emosional lebih dikesampingkan
dan lebih mengutamakan aspek spiritual, padahal bentuk yang sehat adalah aspek
emosional dan spiritual bisa berjalan bersama. Saya sangat setuju dengan contoh yang
dikemukakan dalam bab ketiga tentang realita dalam pelayanan banyak hamba Tuhan
yang lebih memilih utamakan aspek spiritual dan mengesampingkan aspek emosional
seperti pembicara yang handal dan dinamis bagi Allah di masyarakat namun menjadi
seorang pasangan dan orang tua yang tanpa kasih dirumah, kemudian berpuasa dan
berdoa setengah hari setiap minggu selama bertahun-tahun namun terus menerus
mengkritik orang lain bahkan membenarkannya sebagai kepekaan, dan masih banyak
lagi.

Saya juga baru menyadari sebuah pemahaman baru mengenai pandangan akan
Tuhan Yesus dari bab ini, selama ini saya cendrung memiliki konsep dan menganggap
bahwa Yesus yang saya layani hanya sebagai Allah. Jadi ketika memikirkan Yesus, itu

4
selalu hal-hal yang baik, mulia, kudus, agung dan lain-lain yang bersifat ketuhanan. Saya
lupa bahwa Yesus juga Allah sekaligus manusia, yang juga mengalami pergumulan,
punya emosi, bahkan Yesus pun pernah berada dibawah tekanan emosional yang luar
biasa. Pemahaman ini semakin menguatkan saya untuk menyeimbangkan aspek spiritual
dan juga aspek emosional di dalam pelayanan. Tidak hanya menjadi berkat ke luar tapi
juga ke dalam.

BAB IV

Inventarisasi Kematangan Spiritual/Emosional

Hasil Inventarisasi

BAGIAN A

Formasi dan Pemuridan secara Umum 24/28 Dewasa Emosional

BAGIAN B

Lihatlah ke Bawah Permukaan 21/24 Dewasa Emosional

Hancurkan Kekuatan Masa Lalu 19/24 Dewasa Emosional

Hiduplah dalam Kehancuran dan Kerapuhan Hati 26/28 Dewasa Emosional

Terimalah Karunia Keterbatasan 19/24 Dewasa Emosional

Terimalah Dukacita dan Kehilangan 10/20 Kanak2 Emosional

Jadkanlah Inkarnasi Tealadan Anda untuk 34/40 Dewasa Emosional


Mengasihi dengan Sungguh-sungguh
BAB V

Prinsip 1: Lihatlah Ke Bawah Permukaan

Pada bab kelima digambarkan bahwa manusia itu bagaikan sebuah gunung es,
memiliki banyak lapisan-lapisan yang dalam di bawah permukaannya. Sebagai contoh di
dalam pelayanan, kita bisa menampilkan citra diri yang begitu baik, ramah hangat seolah-

5
olah hidupnya senantiasa damai dan tidak pernah punya masalah. Namun dibalik semua
itu, ia menyimpan kepahitan yang luar biasa, penyangkalan diri, ketidaknyamanan secara
emosional. Seperti ilustrasi gunung es, hanya sekitar 10 persen dari sebuah gunung es
yang kelihatan di permukaan, itulah bagian hidup kita yang benar-benar kita sadari. Akan
tetapi 90 persen yang tersembunyi di bawah permukaan gunung es yang tidak kelihatan,
itulah bagian hidup kita yang belum benar-benar kita kenali.

Maka itu kita perlu melangkah ke bawah permukaan ‘gunung es’ kita, ada dua
komponen utama untuk membantu penelusuran ini: pertama, mengembangkan kesadaran
terhadap apa yang sedang kita rasakan dan lakukan, sebagian dari kita merasa bahwa
memperhatikan apa yang sedang kita rasakan dan lakukan adalah sikap yang serakah dan
egois. Padahal usaha melihat ke dalam diri ini bukanlah untuk mendorong introspeksi
yang berfokus kepada diri yang merupakan narcisisme. Tujuan utamanya adalah untuk
memberi kesempatan pada Injil untuk mentransformasi keseluruhan diri kita-baik diatas
maupun di bawah gunung es. Hasil akhirnya akan menjadikan kita sebagai orang-orang
yang lebih mengasihi Allah dan orang lain. Tanpa melakukan usaha untuk memiliki
kesadaran atas perasaan-perasaan dan tindakan–tindakan kita, termasuk dampaknya
terhadap orang lain, sangat mustahil untuk memahami secara mendalam pengalaman-
pengalaman hidup dari orang lain. Bagaimana kita dapat memasuki dunia orang lain jika
kita tidak pernah memasuki dunia kita sendiri?

Kedua, dengan menanyakan pertanyaan “mengapa” atau “apa yang sedang


terjadi.” Sesudah kita menyadari apa yang sedang kita lakukan dan rasakan, kita juga
perlu menanyakan kepada diri kita “mengapa” terhadap peristiwa, emosi yang keluar,
tindakan yang negatif yang kita sadari pernah dilakukan. Saya belajar dari penulis bahwa
tidak harus selalu ketika berdoa kepada Tuhan hanya membahas hal-hal yang kudus,
bersifat pelayanan atau pergumulan rohani, tapi di dalam doa atau perenungan itu kita
bisa bertanya kepada diri sendiri: Apa yang sebenarnya sedang saya rasakan dalam situasi
ini? Bahkan tentang emosi negatif sekalipun seperti kemarahan, rasa malu, kepahitan,
kebencian, dukacita, kecemburuan, ketakutan atau depresi. Ketika kita sudah berhasil
membereskan emosional secara sehat dengan cara perenungan atau membicarakannya
dengan orang-orang terdekat, maka kita bisa melakukan apapun dengan sehat.

6
BAB VI

Prinsip 2: Hancurkan Kekuatan Dari Masa Lalu

Pada bab keenam saya belajar bahwa faktor keluarga atau keturunan sangat
berperan dalam kondisi emosional saya saat ini. Ada baiknya juga bila saya mengingat
kembali peristiwa-peristiwa penting semasa kecil saya yang mungkin telah
mempengaruhi saya sekarang, mencoba merefleksikan hubungan saya dengan ibu dan
ayah saya juga saudara-saudara saya. Karena di buku ini dijelaskan bahwa semua hal
dimasa lalu secara khusus pada keluarga, sangat besar mengandung muatan emosional
yang mempengaruhi kepribadian, kepemimpinan bahkan pernikahan saya. Karena
keluarga merupakan kelompok yang paling kuat dan berpengaruh yang telah
mempengaruhi keberadaan saya saat ini. Saya lahir di sebuah keluarga yang penuh
dengan keterbatasan, kami tidak pernah dituntut oleh orang tua untuk serius meyakini
sebuah agama, asalkan kami bisa berlaku baik saja, itu sudah lebih dari cukup untuk
menyenangkan orang tua kami. Tidak banyak kepribadian positif yang bisa saya pelajari
dari rumah, namun saya bersyukur memiliki orang tua yang sangat bertanggung jawab.

Hancurkan kekuatan dari masa lalu, saya pikir seruan ini hanya untuk masa lalu
yang negatif dan masih terbawa sampai saat ini dalam kepribadian, sehingga mempunyai
potensi untuk menghambat kesehatan emosional kita dalam kehidupan pribadi, bersosial
dan pelayanan jika tidak segera dibereskan. Alkitab mengajarkan bahwa setiap orang
yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus, maka ia adalah ciptaan yang baru,
yang lama sudah berlalu (2 Kor. 5:17) dan Yesus menggambarkan menjadi seorang
Kristen itu sebagai suatu kelahiran baru (Yoh. 3:3-5). Namun menjadi seorang Kristen
tidak serta-merta menghapuskan masa lalu. Allah memang mengampuni masa lalu, tetapi
Ia tidak menghapusnya. Pada bab ini dikatakan bahwa “kita semua masuk ke dalam
keluarga Yesus dengan tulang-tulang yang patah, luka-luka, dan lutut-lutut yang
tertembak dalam perang kehidupan. Tujuan Allah adalah untuk menyembuhkan bekas-
bekas luka dan kelemahan yang tersisa. Karena itu kita harus pergi dan menyembuhkan
orang lain sebagai penyembuh-penyembuh yang pernah terluka.” Undangan Allah adalah
untuk mengundang Dia ke dalam bidang-bidang tersebut sehingga kita dapat dibebaskan
untuk hidup dengan penuh sukacita dan merdeka seperti yang dikehendaki-Nya.

7
BAB VII

Prinsip 3: Hiduplah Dalam Kehancuran dan Kerapuhan

Pada bab ketujuh saya belajar bahwa langkah selanjutnya untuk bisa sehat secara
emosional, kita perlu mengakui dan menyadari akan kelemahan, kesalahan dan
keberdosaan kita di hadapan Tuhan. Penulis memberikan contoh beberapa tokoh besar
pada zaman perjanjian lama dan perjanjian baru yang dipakai Tuhan secara luar biasa
namun sebelum mereka sukses dalam pelayanannya, mereka adalah orang-orang yang
sama sekali tidak sempurna, banyak cacat celah, banyak kekurangan dan tidak
bergantung pada karunia-karunia atau kemampuan-kemampuan mereka sendiri. Beberapa
contoh adalah Musa yang gagap, Yakub yang seorang penipu, Paulus yang seorang
penganiaya dan masih banyak lagi. Allah selalu menggunakan periuk yang retak “supaya
nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri
kita.” (2 Kor. 4:7). Namun bukan berarti hal ini mendorong kita agar tetap dalam keadaan
yang buruk, melainkan bahwa dengan mengakui kebenaran tentang diri, itu akan menjadi
titik awal untuk berubah.

Saya sangat diberkati dengan perumpamaan Tuhan Yesus tentang anak yang
hilang dan ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda dalam buku ini. Saya baru
menyadari bahwa anak yang hilang itu banyak sekali memberikan pelajaran. Pertama
saya belajar dari anak yang bungsu, yang mengenali kemiskinannya, sadar akan
kesalahannya dan tahu bahwa hanya kembali kepada bapa saja untuk bisa menolong
hidupnya. Sama halnya dengan kita, ketika kita menjadi batu sandungan, ketika kita
membela diri untuk hal yang kita tahu salah, ketika kita menuntut untuk dihargai dalam
pelayanan, saat itulah kita menjadi anak bungsu yang terhilang dan perlu untuk pulang ke
pelukan Bapa walau harus melakukan perjalanan pulang yang panjang dan sulit. Kedua
saya belajar dari si anak sulung, yang sangat dekat dengan bapa, namun tidak mengetahui
hati bapa atau apa yang bapa-nya kehendaki. Dengan bahasa lain, adalah ketika kita tahu
telah melakukan sesuatu yang salah tapi tetap saja tidak mengakuinya sebagai kesalahan,
kita sudah menjadi si anak sulung yang “terhilang.” Ketiga saya belajar dari sang bapa
yang mampu memeluk, mengasihi, berempati, hadir dan mengampuni dengan rela walau
sudah dikhianati. Itulah kasih tanpa syarat.

8
BAB VIII

Prinsip 4: Terimalah Karunia Batas-Batas

Pada bab kedelapan saya belajar untuk menghormati dan memahami bahwa
batasan-batasan dan keterbatasan-keterbatasan kita merupakan salah satu kualitas
karakter dan kemampuan yang paling penting yang dibutuhkan oleh para pemimpin
untuk dapat mengasihi Allah dan manusia untuk jangka panjang. Cara untuk mengenali
batasan-batasan berdasarkan yang tertulis pada bab ini adalah perhatikan lebih dulu
kepribadian kita, perhatikan masa-masa dalam hidup kita, perhatikan situasi kehidupan
kita, perhatikan kapasitas-kapasitas emosional, fisik dan intelektual kita, perhatikan
emosi-emosi negatif kita dan perhatikan goresan-goresan dan luka-luka dari keluarga
masa lalu kita. Keterbatasan-keterbatasan yang kita warisi dari keluarga ternyata telah
menjadi karunia-karunia. Kedewasan dalam hidup adalah ketika seseorang hidup dengan
penuh sukacita di dalam batas-batas mereka yang berasal dari Allah. Kita bisa
menemukan banyak orang yang membenci batas-batas di dalam diri mereka dan orang
lain. Kita berharap terlalu banyak dari diri kita dan dari satu sama lain dan seringkali
menjalani kehidupan yang diwarnai dengan rasa frustasi dan kemarahan. Seringkali
kejenuhan merupakan hasil dari memberikan apa yang tidak kita miliki.

Pesan inti yang saya dapatkan pada bab ini adalah bahwa kita harus menyadari
dan menerima apa yang menjadi batasan-batasan dalam diri kita dan juga batasan-
batasan yang dimiliki orang lain. Contoh akibat buruk ketika orang tidak bisa menerima
batasan mereka yang dicatatkan dalam buku ini adalah Adam dan Hawa. Mereka adalah
pelanggar batas yang pertama, mereka melangkahi garis yang telah Allah tetapkan bagi
mereka dengan memakan buah dari pohon terlarang dan kemudian lari daripada Allah.
Sejak saat itu, kita telah selalu melanggar batasan dan melangkahi garis terhadap Allah
dan satu sama lain. Kita telah menjadi bingung sejak itu tentang dimana kita berhenti dan
dimana orang lain mulai. Setelah kita mampu menerima dengan sukacita apa yang
menjadi batasan-batasan kita, kita akan bisa mengasihi orang lain dengan lebih baik
ketika kita mendorong mereka untuk dengan sukacita hidup dalam batas-batas dari Allah.
Bersukacita dalam keterbatasan membutuhkan iman kepada kebaikan Allah.

9
BAB IX

Prinsip 5: Terimalah Dukacita dan Kehilangan

Pada bab kesembilan, hal yang bisa saya pelajari adalah bahwa jika kita pernah
mengalami kehilangan orang yang sangat kita kasihi dalam hal ini adalah dengan cara
yang tidak wajar, maka kita harus sungguh-sungguh bisa mengampuni orang yang
menjadi penyebab kehilangan dan merelakan kehilangannya bila penyebabnya adalah
murni kecelakaan. Kita semua mengalami kesedihan dan diundang untuk berduka tapi
juga diundang untuk bertumbuh melaluinya. Hal yang paling sulit untuk dilakukan pada
bab ini adalah mengampuni orang yang menjadi penyebab kita kehilangan orang yang
dikasihi. Pengampunan memang bukan proses yang cepat, proses pengampunan selalu
melibatkan proses berduka sebelum bisa melupakan. Saya sangat setuju dengan
pernyataan Lewis Smedes, “Kita tidak akan mengambil tindakan penyembuhan terhadap
luka karena ketidakadilan sampai kita mengakui luka yang ingin kita sembuhkan. Tidak
cukup untuk merasakan luka itu. Kita perlu menempatkan luka yang kita rasakan dengan
tepat: Sadarilah hal itu, terimalah, dan terimalah itu sebagai milik kita. Saya khawatir
dengan mereka yang cepat mengampuni. Mereka cenderung cepat mengampuni untuk
menghindari luka itu.” Jadi pertama-tama kita harus belajar untuk berduka.

Penulis mengambil contoh teladan Daud yang bisa mengatasi kedukaannya


dengan baik. Daud membagi proses respon terhadap dukacita dan kehilangan dalam tiga
fase yang berbeda.

1. pertama adalah memusatkan perhatian pada kehilangan, kekecewaan dan


ancaman-ancaman kematian. Daud memahami betapa diperlukannya dukacita
bagi kedewasaan rohani. Daud tahu bahwa kita diperdalam dengan mengambil
waktu untuk berdukacita atas kehilangan-kehilangan kita sebelum melangkah
maju. Ketika orang memiliki visi untuk mengerjakan sesuatu yang baru dan
tidak dapat melakukannya, mereka perlu untuk berduka atas keterbatasan-
keterbatasan dan kemanusiaan mereka di hadapan Allah.
2. Kedua adalah hidup dalam masa diantara yang membingungkan, Daud dikenal
sebagai pemazmur, adalah Walter Brueggemann yang mengatakan bahwa

10
mazmur dapat dibagi dalam tiga tipe. Tipe pertama yaitu pujian-pujian
orientasi, yang berisikan ucapan syukur atas kebaikan Tuhan. Tipe kedua
yaitu pujian-pujian disorientasi, berisikan ratapan akan kesedihan. Tipe ketiga
yaitu pujian-pujian reorientasi, berisikan rasa sukacita karena Allah
menerobos masuk dan melakukan sesuatu yang baru atas kesedihan kita.
3. Ketiga adalah mengizinkan yang lama melahirkan yang baru. Setelah kita bisa
belajar meresapi dan bertumbuh melalui penderitaan, maka akan
menghasilkan banyak buah belas kasihan yang menyerupai Allah terhadap
orang lain. Kemampuan untuk menerima kehilangan-kehilangan dan dukacita
akan memperlengkapi kita untuk mengasihi orang lain seperti Yesus.

BAB X

Prinsip 6: Jadikanlah Inkarnasi Sebagai Teladan Anda Untuk Mengasihi Dengan


Sungguh-Sungguh

Pada bab kesepuluh saya mendapatkan sebuah istilah baru dalam kekristenan
yaitu inkarnasi (berusaha mengalami apa yang orang lain alami). Ada tiga dinamika
inkarnasi yang ditemukan dalam kehidupan Yesus untuk dapat mengasihi orang yaitu:
yang pertama adalah memasuki dunia orang lain dengan cara mendengarkan kisah yang
dialami atau yang menjadi pergumulannya dengan seksama sampai dengan selesai, yang
kedua adalah tetap menjadi diri kita sendiri dan tidak kehilangan diri ketika memasuki
dunia orang lain, ini termasuk tantangan besar dalam inkarnasi, dan yang ketiga adalah
bergantung di dua dunia. Ketika kita memilih untuk berinkarnasi, kita bergantung di
antara dunia kita sendiri dan dunia orang lain. Kita harus bisa tetap setia kepada diri kita,
tidak kehilangan esensi kita, sementara saat yang sama masuk ke dalam dunia orang lain.

Penulis sekali lagi mengambil contoh teladan Yesus yang bergantung diantara dua
dunia yaitu sorga dan dunia. Yesus selama inkarnasi-Nya di dunia adalah sepenuhnya
Allah, yang bersekutu dengan sempurna dengan Bapa-Nya. Ia juga sepenuhnya manusia,
merasakan penderitaan dan kematian. Setelah kita bisa menempatkan diri pada posisi
orang yang sedang kita layani, maka kita baru akan tahu apa yang ia alami dan apa yang
ia butuhkan. Dengan begitu baik kita dan orang yang di layani sama-sama diberkati.

11
BAB XI

Langkah-Langkah Selanjutnya Menuju Garis Batas Berikutnya Dalam


Pemuridan

Seperti ilustrasi lobster yang digambarkan dalam buku ini bahwa seekor lobster
untuk dapat bertumbuh, harus melepaskan diri dari cangkang yang lama, keras dan
menumbuhkan cangkang yang baru yang lebih besar. Ini adalah sebuah proses yang
buruk dan berantakan. Untuk beberapa waktu diantara masa meninggalkan cangkang
yang lama dan mengeraskan cangkang yang baru, lobster itu telanjang dan merasa sangat
rapuh. Begitupun juga dalam hal menuju keserupaan dengan Kristus, saya harus
meninggalkan manusia lama saya, walau sangat berat meninggalkan kebiasaan lama yang
buruk, terkadang berkali-kali gagal, merasa tidak layak ketika jatuh, namun ketika saya
putuskan untuk tetap berusaha, pelan-pelan saya mulai merasakan buah dari perjuangan
keras saya. Saya merasa menjadi orang yang lebih baik, bahkan mampu menjadi inspirasi
bagi beberapa orang untuk melakukan perubahan seperti yang saya lakukan. Dibutuhkan
komitmen yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri juga orang lain agar bisa
konsisten dan teguh.

Saat ini saya terus berusaha untuk menuju kedewasaan emosional, dan untuk itu
saya membutuhkan pembimbingan. Saya bersyukur karena sudah memiliki kesempatan
untuk dibimbing oleh dua orang mentor yang sekaligus menjadi dosen saya. Semoga
dengan bimbingan ini, saya bisa bertumbuh di segala aspek kehidupan-secara rohani,
fisik, emosional, dan sosial. Saya juga tahu bahwa pembimbingan membutuhkan waktu,
dan juga disertai dengan doa. Untuk itu saya harus selalu bersabar dan saya yakin bahwa
saya akan berhasil menuju kedewasaan emosional ketika saya mau terus belajar dan
berusaha. Penulis menutup pembahasan buku ini dengan sebuah seruan yang sangat baik,
“Dan ingatlah, perubahan dimulai dari Anda”.

12

Anda mungkin juga menyukai