Anda di halaman 1dari 3

Nama : Leopold Apri Zendo

NIM : 210510047
Kelas/Semester : 1B/I
Mata Kuliah : Pengantar Filsafat
Dosen : Dr. Laurentius Tinambunan

1. Sebutkan dan uraikan satu rasa heran atau kagum yang pernah kamu alami dan yang
berpengaruh dalam hidupmu sampai saat ini?
Rasa heran yang pernah saya alami dan yang telah dan masih mempengaruhi hidup saya
adalah rasa heran melihat kehidupan pastor dan biarawan-biarawati. Sejak kecil saya telah
mengenal sosok yang dipanggil dengan sebutan pastor. Awalnya saya hanya tahu bahwa
pastor adalah seseorang yang datang ke kampung kami untuk memimpin ibadat (pada saat
itu saya tidak tahu bahwa sebutannya adalah misa atau ekaristi) pada hari Minggu atau hari
raya tertentu. Setelah perayaan selesai pastor itu pasti mampir ke rumah kami untuk
bersantap bersama. Umur yang masih belia menyebabkan saya kurang berinteraksi dengan
pastor tersebut. Saat itu rasa heran dalam diri saya belum muncul karena masih belum paham
dan masih sangat anak-anak untuk mengerti siapa dan apa tugas seorang pastor. Dalam
situasi yang belum mengerti itu saya hanya mengajukan pertanyaan sederhana kepada
orangtua saya, “Itu siapa?.” Orangtua saya menjawab “Itu pastor!”. Mulai saat itu saya
berani bertanya, “Pastor, namanya siapa.” Pertanyaan saya tersebut hanya sebatas informasi
ingin tahu, tidak lebih dari itu. Bisa dikatakan bahwa pertanyaan itu bersifat informatif.
Rasa heran yang pertama kali saya alami yakni melihat seorang pastor yang setidaknya
sekali dalam sebulan berkunjung ke kampung kami. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan
dalam diri saya apakah pastor itu tidak ada kesibukan lain sehingga sering ke sini? Beranjak
remaja saya perlahan mengerti bahwa pastor adalah seorang laki-laki yang pergi dari
kampung satu ke kampung yang lain (biasanya mereka sebut dengan turne) untuk berjumpa
dengan umat dan kemudian merayakan misa bersama pada malam atau pagi hari. Namun,
sampai saat itu saya masih belum tahu apa pekerjaan dan apakah pastor itu memiliki istri
atau anak. Intinya saya hanya tahu namanya tetapi tidak tahu bagaimana kesehariannya.
Waktu kelas VII SMP, Pastor Paroki kami mengajak saya turne ke stasi Sei Sepan.
Peristiwa ini membuat saya bertanya dalam hati, “Mengapa pastor ini mengajak saya, bukan
mengajak anaknya saja?.” Setelah peristiwa ini saya mengerti bahwa seorang pastor tidak
mempunyai istri dan anak. Seiring perjalanan waktu saya semakin mengenal cara hidup para
pastor dan biarawan-biarawati. Mereka tidak beristri dan tidak bersuami untuk melayani
sesama, dan mereka telah menyerahkan sepenuhnya hidup itu kepada pelayanan.
Penyerahan itulah yang membuat saya merasa heran. Mengapa? Karena mereka hidup tidak
seperti orang lain yang mempunyai istri, suami atau anak. Saya juga heran mengapa mereka
bisa bahagia hidup seperti itu, dan seperti tidak ada beban dalam diri mereka.
Pertanyaan masa kecil yang sebatas ingin tahu berkembang menjadi pertanyaan yang
membutuhkan jawaban pasti dan kritis. Saat masih anak-anak pertanyaan saya sekedar
mengenai nama tetapi setelah dewasa pertanyaannya semakin mendalam yakni mengenai
cara hidup dan cara menjadi seperti mereka. Saya heran mengapa mereka mau dan mampu
hidup seperti itu. Apakah mereka tidak normal atau tidak ingin melakukan hubungan intim
seperti pasangan suami-istri pada umumnya. Pekerjaan dan pelayanan mereka pun tidak
diberi upah atau gaji seperti pekerjaan lainnya. Rasa heran saya ini berkembang menjadi
rasa kagum yang luar biasa. Bagi saya mereka adalah orang yang istimewa dan terpilih.
Mereka rela menyerahkan diri secara total untuk melayani umat Allah di tempat mereka
berkarya. Bermula dari rasa heran kemudian berlanjut menjadi rasa kagum membuat saya
tertarik menjadi sama seperti mereka. Kedua rasa itu mempengaruhi hidup saya sampai saat
ini. Berkat rasa heran dan kagum itu saya berani melangkahkan kaki untuk menanggapi
panggilan yang suci ini.

2. Sebutkan dan ceritakan satu keraguan yang benar-benar membuatmu berpikir serius
sehingga butuh pendapat orang lain?
Panggilan hidup seperti sekarang ini muncul pertama kali ketika saya berjumpa dengan
para pastor yang turne ke kampung kami. Perkenalan dan rasa kagum terhadap mereka
menggugah hati dan pikiran saya untuk menjadi seperti mereka. Mereka adalah manusia
yang istimewa. Keistimewaan itu tanpa dari kerendahan hati dan penyerahan secara total
dari mereka pada tugas perutusan dan kepada umat. Sejak kecil cita-cita saya adalah menjadi
seorang pastor. Cita-cita itu hari demi hari bertumbuh dan semakin mengelora dalam diri
saya. Namun, pada saat yang membara itu panggilan saya mengalami goncangan karena
sebuah perkataan yang dilontarkan oleh seorang frater. Frater itu berkata, “Tidak nyaman
menjadi seorang pastor.” Diusia yang masih labil membuat saya menelan perkataan itu
secara bulat-bulat tanpa menyaring dan merefleksikannya. Mulai saat itu panggilan saya
semakin surut dan nyaris kering. Peristiwa tersebut memunculkan rasa keragu-raguan dalam
diri saya antara mempertahankan cita-cita masa kecil atau mencari cita-cita lain. Dalam
pelajaran Pengantar Filsafat keragu-raguan yang saya alami ini disebut dubium reale, yang
berarti kebimbangan sungguhan. Saya bimbang memilih cara hidup yang akan saya jalani.
Kebimbangan itu muncul karena saya tidak menemukan jalan dan arah yang terang, yang
bisa membantu saya menjawab keraguan ini. Dubium reale itu membuat saya
mempertanyakan mana yang benar-benar menjadi tujuan hidup saya.
Tuhan yang memanggil saya dari awal membuka jalan baru bagi saya melalui kehadiran
seorang Pastor Paroki yang baru. Pastor itulah yang menumbuhkan kembali panggilan saya.
Pada perjumpaan pertama pastor itu langsung menyarankan dan mengajak saya untuk
menjalani pendidikan para calon iman setelah tamat SMA nanti. Kehadiran pastor itu adalah
anugerah Tuhan bagi saya untuk meneguhkan cita-cita mulia yang sudah terbatin dalam diri
sejak kecil. Ketika SMA panggilan suci ini masih tertanam kuat dalam diri. Saya memupuk
panggilan ini dengan cara ikut turne dengan seorang imam praja. Masa SMA ini pun saya
mengalami keraguan dalam cita-cita awal karena telah mengenal masa pacaran. Panggilan
ini saya mekarkan dengan bergabung menjadi OMK dan turne namun juga saya layukan
dengan menjalani suatu hubungan dengan seorang wanita.
Pendidikan SMA hampir selesai dan saya harus menentukan arah yang dipilih.
Keputusan inilah yang menjadi keraguan saya yang paling besar. Namun, keraguan ini saya
yakinkan dengan berdiskusi bersama orangtua dan Pastor Paroki. Orangtua saya sangat
mendukung pilihan saya ini dan Pastor Paroki juga menyambut baik niat mulia tersebut.
Sebelum tahap untuk memutuskan secara pasti, saya diajak oleh seorang imam muda untuk
mengikuti misa perdananya di beberapa tempat. Saya merasa bahwa perjalanan ini adalah
rencana Tuhan untuk menyakinkan saya akan panggilan suci masa kecil. Bisa dikatakan
bahwa alam sadar saya sengaja membuat suatu kebimbangan dalam mengambil keputusan
karena batin saya menginginkan suatu kepastian yang teguh. Kebimbangan inilah yang
disebut sebagai dubium methodicum.
Saya tidak ingin memutuskan sesuatu yang fundamental untuk hidup saya secara
spontan dan tidak dipikirkan. Keragu-raguan ini pada akhirnya saya jawab dengan melamar
sebagai calon imam Kapusin Pontianak. Pada tahun pertama menjalani hidup bakti ini saya
dihadapkan dengan godaan ingin bergabung dengan tarekat lain. Namun, berkat bimbingan
dan arah dari pembimbing rohani, saya tetap bertahan pada panggilan awal yakni menjadi
seorang Kapusin. Setelah menjadi Kapusin pun saya masih ragu apakah bisa menjadi
seorang Kapusin sejati. Saya terus mencoba hari demi hari untuk bisa menghidupi kharism-
kharisma Kapusin dengan lebih tekun dan setia. Sampai saat ini saya masih ragu apakah
akan bertahan atau tidak, tetapi dengan keyakinan bahwa Tuhan yang memanggil akan
selalu menyertai maka keraguan itu tidak berarti bagi saya.

3. Ceritakan satu permasalahan eksistensial yang masih relevan hingga saat ini
menyangkut makna hidup?
Salah satu permasalahan eksistensial yang masih relevan hingga saat ini adalah
mengenai hidup berkeluarga dan hidup selibat. Setiap manusia bebas menentukan cara
hidupnya masing-masing. Bagi orang Katolik hanya dua pilihan umum yaitu menikah atau
selibat. Orang yang memilih untuk menikah ataupun selibat bebas memaknai hidupnya
sendiri. Mereka juga bebas ingin hidup seperti apa, tanpa ada larangan dan paksaan dari
pihak luar. Mereka yang memilih untuk berkeluarga tidak dapat dikatakan bahwa hidupnya
tidak kudus atau tidak mencerminkan hidup Keluarga dari Nazaret. Begitupula dengan
mereka yang mengkhususkan dirinya untuk Tuhan dan umat-Nya, tidak bisa dikatakan
bahwa hidup mereka selalu suci. Orang yang berkeluarga maupun orang yang selibat sama-
sama dipanggil untuk hidup kudus, sama seperti Bapa kudus adanya. Syaratnya mereka
harus menjalankan panggilan hidup masing-masing dengan baik dan sempurna.
Saya sendiri yang memilih cara hidup selibat ini tidak dipaksa oleh keluarga, kerabat,
atau teman, melainkan dari diri sendiri. Saya diberi kebebasan untuk memilih dan menjalani
panggilan ini. Kebebasan itu saya maknai sebagai rencana Tuhan pada hidup saya. Saya
mensyukuri hidup ini dengan melaksanakan semua hal dengan baik dan bertanggung jawab
sesuai dengan kapasitas diri. Orang di luar sana selalu memandang kami yang hidup selibat
ini sebagai orang yang suci, baik, dan tidak berdosa. Padahal itu semua kembali kepada
individu masing-masing. Saya sendiri sadar dan merasakan bahwa kadang kala saya malas
atau bahkan tidak berdoa. Sehakikatnya doa adalah nafas cinta dari Allah untuk saya sebagai
seorang biarawan. Apakah dengan berdoa saja sudah menunjukkan bahwa saya orang yang
suci dan tidak berdosa? Jawaban saya adalah tidak, karena doa tanpa tindakan sama dengan
kekosongan. Kaum awam memandang para religius itu orang-orang yang saleh karena
sering berdoa. Namun, yang terkadang menjadi refleksi dan perenungan saya adalah hidup
seorang biarawan atau religius yang tidak mencerminkan hidup doanya. Contohnya: seorang
biarawan yang rajin sekali berdoa tetapi hubungannya dengan biarawan lainnya tidak akur
atau bisa dikatakan hidup persaudaraannya tidak baik atau tidak sehat.
Pertama kali menyampaikan bahwa saya akan menempuh pendidikan sebagai calon
imam. Beberapa keluarga saya bertanya, “Apakah kamu tidak mau beristri?, Apakah kamu
tidak mau mempunyai anak?, Apakah kamu tidak normal?, atau Apakah alat kelaminmu
tidak bisa ereksi.? Bagi saya semua pertanyaan itu bersifat manusiawi dan duniawi.
Semuanya mengarah kepada seksualitas. Padahal di Katolik bukan hanya hidup berkeluarga
yang bisa dipilih tetapi ada pilihan kedua yaitu hidup selibat. Mereka melihat hidup ini
hanya urusan kawin dan mengawinkan, kemudian mendapat anak, dan akhirnya kembali
kepada Pencipta. Bagi saya hidup berkeluarga maupun hidup khusus merupakan jalan
menuju kekudusan sesuai dengan cara hidup masing-masing.
Saya memaknai panggilan ini sebagai sebuah rahmat dari Allah. Rahmat yang harus
saya pupuk dan siram agar tidak layu dan mati. Harus ada usaha dari saya untuk bisa
membuatnya tumbuh subur sehingga pada akhirnya menghasilkan buah yang limpah dan
berguna untuk Allah, diri sendiri, keluarga, dan semua orang yang ada di sekitar saya. Hidup
ini memang misteri dan penuh teka-teki tetapi saya percaya bahwa Tuhan selalu melindungi.
Lindungi-Nya telah nampak dari pertama kali saya mengalami godaan yakni ketiga abang
kandung saya harus mendekam di penjara karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwa tersebut
menghantarkan saya pada refleksi yang mendalam tentang makna hidup panggilan ini.
Dalam perenungan yang dalam ini saya menemukan sebuah arti kehidupan. Arti yang saya
dapatkan adalah bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian yang tidak mampu saya atasi.

Anda mungkin juga menyukai