Aku lahir di keluarga Kristen. Sejak kecil aku sudah mengikuti sekolah Minggu,
kebaktian, bahkan kelompok sel dalam keluarga.
Kesaksian-kesaksian seperti itu membuatku kagum. Aku jadi yakin kalau saja
seandainya aku punya kesaksian yang mengesankan seperti itu, aku pasti bisa
membawa lebih banyak orang kepada Kristus.
Aku percaya bahwa Yesus mati untuk menebus dosa-dosaku dan Dia bangkit di hari
ketiga. Tapi, aku juga percaya akan hal lain. Aku pernah diberitahu bahwa salah
satu tanda seseorang telah diselamatkan adalah mereka punya kesaksian yang
mengubahkan hidup. Aku jadi yakin bahwa orang-orang Kristen yang sejati hanyalah
orang-orang percaya yang memiliki kesaksian yang menarik. Tapi, keyakinan ini jadi
sangat menggangguku karena aku sendiri tidak punya kesaksian yang dramatis.
Apakah aku benar-benar sudah diselamatkan?
Sementara aku bergumul dengan pertanyaan itu, aku terus melayani dengan aktif di
gereja, membaca Alkitab, dan berdoa setiap hari. Selama masa itu, Tuhan dengan
setia berbicara kepadaku melalui khotbah-khotbah, firman-Nya, dan orang-orang di
sekitarku. Meski begitu, aku masih mempertanyakan keselamatanku.
Tapi, hatiku tidak merasa damai saat aku menjalani rencanaku itu. Waktu aku ingin
berdoa, aku malah jadi merasa takut. Hingga suatu hari, aku memutuskan bahwa
inilah waktunya untuk “bertobat”, dan aku mulai membaca Alkitab dan berdoa lagi.
Dalam hatiku, aku merasa cukup puas karena akhirnya aku memiliki kesaksian yang
terlihat “sempurna”. Tapi, tiap kali aku berpikir untuk membagikan “kesaksian” ini,
hatiku tidak damai—karena aku tahu kalau aku membuat-buat cerita itu. Setiap kali
aku membagikannya, aku selalu merasa bersalah.
Akhirnya, saat aku berumur 16 tahun, aku menyadari betapa bodohnya aku setelah
aku membaca sebuah artikel yang dibagikan temanku di Facebook. Artikel itu ditulis
untuk mereka yang tumbuh besar di keluarga Kristen.
Artikel itu dimulai dengan cerita seorang perempuan yang merasa frustrasi karena
dia tidak memiliki kesaksian hidup yang terlihat “sempurna”. Dia bertanya pada
ibunya apakah dia tidak “cukup menjauh dari Tuhan”, hingga Tuhan tidak
memberikannya kesaksian hidup yang bagus? Cerita ini menyentakku. Bukankah
perempuan ini sepertiku?
Aku merefleksikan artikel ini dengan diriku, dan inilah yang kemudian
mengingatkanku bahwa Tuhan memberikan setiap kita kisah hidup yang berbeda-
beda. Aku mungkin tidak memiliki kesaksian yang dramatis. Tapi, aku masih
memiliki kisah perjumpaan pribadiku dengan Tuhan yang kualami dalam kehidupan
sehari-hariku.
Contohnya, Tuhan selalu setia menjawab doa-doaku, baik ketika aku berdoa untuk
ujian ataupun pertemananku. Membagikan kisah-kisah kecil ini kepada keluargaku
dalam Kristus seringkali menjadi momen yang menguatkan mereka.
Dan, meskipun aku tidak memiliki cerita-cerita menarik yang dapat kubagikan
dengan orang yang belum percaya, aku masih bisa menemukan banyak kesempatan
untuk membagikan kisah tentang Tuhan dan bagaimana Dia telah bekerja dalam
hidupku. Misalnya, teman-temanku di sekolah mungkin bertanya mengapa aku tidak
khawatir di saat akan menghadapi ujian. Di sinilah aku punya kesempatan untuk
bercerita kepada mereka tentang bagaimana Tuhan menyertaiku dalam segala
sesuatu. Aku tidak perlu iri pada kesaksian orang lain karena Tuhan menggunakan
cerita yang berbeda-beda untuk menarik orang yang berbeda-beda pula kepada-Nya.
Yang terpenting, kisah yang paling baik-kisah tentang bagaimana Yesus turun ke
dunia untuk menebus seluruh umat manusia dan membawa kita kepada Bapa-telah
tertulis dan kita semua memiliki peran dalam cerita tersebut.