Anda di halaman 1dari 18

Tugas UAS Eklesiologi

Nama : Andreas Wijaya

NIM : Pendengar

Pengalaman Eklesiologi

Tahap 1: Gereja Masa Kecil


Saya adalah seorang anak laki-laki tunggal yang lahir dan tumbuh besar di Jakarta
sejak tahun 1991. Saya lahir di keluarga Tiong Hoa, papa saya Tiong Hoa kelahiran Jakarta
sedangkan mama saya Tiong Hoa kelahiran Bangka Belitung yang sejak mudanya pindah ke
Jakarta ikut temannya. Saya dibaptis Katolik sejak bayi di Paroki Damai Kristus Kampung
Duri akan tetapi ingatan saya akan gereja dimulai setelah kami sekeluarga pindah ke rumah
nenek, ibu dari ayah saya, ke Paroki St. Maria De Fatima Toasebio.

Ingatan paling lama saya tentang gereja adalah bahwa setiap Minggu saya dibawa
mama pergi ke gereja setelah selesai menonton beberapa film kartun di televisi. Di gereja,
saya juga saat itu belum mengerti apapun. Yang saya lakukan adalah saya memainkan mobil-
mobilan kecil yang saya bawa dan menjalankan dan melompat-lompatkannya di bangku
gereja. Bagi saya, bangku gereja adalah arena yang sangat bagus tempat mobil-mobil kecil itu
bisa beratraksi. Saya memainkannya sampai duduk di kolong bangku gereja yang cukup luas
untuk saya. Jika sudah mulai lelah dan mulai berisik, biasanya mama saya langsung memberi
saya botol susu agar saya minum dengan tenang. Kalau saya tetap tidak bisa tenang dan tidak
mau minum susu, biasanya mama saya akan mengajak saya keluar dari gereja dan seringkali
sambil memarahi saya hingga saya menangis. Satu hal lain yang paling saya ingat di masa itu
adalah bahwa saya senang mendengarkan nyanyian umat di gereja dan sedikit-sedikit
mengikutinya bernyanyi. Maka gereja yang perlahan-lahan saya mengerti saat itu hanyalah
tempat saya bermain dan tempat di mana saya tidak boleh berisik. Akan tetapi, pengalaman
pergi ke gereja bagi saya saat itu adalah tanda bahwa saya beragama Katolik meskipun saat
itu belum mengetahui apa itu agama dan ada agama apa saja.

Apalagi, sejak Taman Kanak-Kanak, saya memiliki saudara sepupu yang tinggal di
depan rumah saya yang selalu menjadi teman main saya satu-satunya karena saya yang anak
tunggal. Dia beragama Buddha sehingga saya mengerti bahwa dia tidak pergi ke gereja
seperti saya pada Hari Minggu. Paling tidak, hanya itu yang saya mengerti. Ditambah lagi,

1
nenek saya dan saudara-saudara papa saya saat itu masih beragama Buddha. Setiap setahun
sekali saat tahun baru cina mereka semua selalu berkumpul membawa serta saudara-saudari
sepupu saya yang sudah besar-besar. Di dalam acara itu selalu diadakan sembayang dengan
meja besar di ruang tamu beserta buah-buahan, kue-kue, hio, serta foto kakek saya yang telah
meninggal. Saya sendiri selalu ikut memegang hio berdoa kepada Tuhan agar kakek saya
mendapatkan ketenangan. Paling tidak itu yang diajarkan mama saya. Saya juga diberitahu
bahwa saya berdoa seperti itu bukan karena saya Katolik tapi karena kakek saya beragama
Buddha. Saya belum mengerti bahwa apa yang saya lakukan itu adalah bentuk dari sisi sifat
universal gereja yang baru saya pelajari di kemudian hari.

Ketika sudah mulai besar dan menduduki sekolah dasar, pengalaman saya tentang
gereja semakin bertambah dengan doa sebelum makan dan sebelum tidur, kegiatan sekolah
minggu di Paroki dan kegiatan Rosario di lingkungan. Saya sendiri sekolah di Sekolah Dasar
Katolik Ricci 1 tepat di sebelah bangunan gereja Paroki Toasebio. Hal yang paling menarik
bagi saya dari sekolah minggu yang saya ingat adalah guru-gurunya yang sangat seru serta
cerita-cerita kisah Para Nabi melalui komik bergambar. Dari sinilah pertama kalinya saya
mengenal dunia nabi-nabi seperti Nabi Nuh dan Nabi Musa yang bagi saya ajaib dengan
mujizat-mujizat yang diberikan Tuhan melalui mereka. Yang saya ingat adalah bahwa setelah
dua tahun sekolah minggu, saya mulai belajar untuk komuni pertama. Mengenai komuni,
saya sebelumnya tidak pernah menyadari bahwa di dalam misa terdapat komuni. Yang saya
tahu adalah bahwa saya selalu maju untuk menerima berkat dari pastur tanpa saya mengerti
apa artinya berkat itu. Maka ketika komuni pertama, yang saya pikirkan pertama kali adalah
bahwa saya tidak boleh mengunyahnya seperti yang diajarkan dan bahwa apa yang saya
makan itu adalah Tubuh Kristus yang tidak sepenuhnya saya mengerti.

Pada tahap ini pula mama mulai mengajarkan untuk membuat tanda salib dan berdoa
kepada Tuhan Yesus setiap kali mau makan atau mau tidur atau mau berangkat ke sekolah
serta doa-doa dasar Katolik seperti doa Bapa Kami dan doa Salam Maria. Yang saya
mengerti adalah bahwa dengan berdoa, Tuhan Yesus akan menjaga saya selama saya tidur
dan agar makanan yang akan saya makan menjadi sehat. Maka setiap sebelum sekolah saya
selalu terbiasa berdoa dan menerima berkat dari mama saya berupa tanda salib di dahi. Bagi
saya, doa dan berkat ini menjadi semacam ritual agar saya terhindar dari segala yang jahat.
Doa juga semakin saya rasa penting karena di sekolah pun selalu diajari untuk mulai dengan
berdoa agar Tuhan selalu menjaga. Saya pikir sekarang bahwa kebiasaan berdoa ini tanpa
saya sadari membuat saya selalu ingat akan adanya Tuhan.

2
Selain itu, pengalaman yang tak kalah pentingnya adalah pengalaman berdoa Rosario
di lingkungan. Motivasi saya saat itu adalah untuk makan kue-kue yang selalu disediakan
setelah Rosario. Akan tetapi, hal lain yang membuat saya senang dalam kegiatan Rosario
lingkungan adalah ketika saya diminta untuk membaca bacaan peristiwa-peristiwa Rosario.
Saya adalah anak yang cukup pintar dan sudah lancar membaca bahkan sebelum SD
meskipun saya lebih banyak tidak mengerti akan apa yang saya baca. Maka selalu menjadi
kebanggaan bagi saya untuk menunjukkan kemampuan saya membaca. Apalagi setelah
Rosario, saya ingat bahwa saya mendapatkan banyak perhatian dan pujian akan kemampuan
saya membaca. Dalam Rosario ini, saya juga ingat akan kesukaan saya melihat gambar-
gambar peristiwa-peristiwa Rosario di buku bacaan yang saya baca. Saya ingat saat itu bahwa
gambar-gambar itu terasa sangat hidup dan bercerita lebih banyak dari apa yang saya
mengerti dari bacaan peristiwanya sendiri. Lagu-lagu Maria yang dinyanyikan saat Rosario
adalah lagu-lagu yang menjadi lagu favorit saya saat itu hingga membuat saya selalu memilih
menyanyikannya ketika ada tugas menyanyi di depan kelas di sekolah.

Melalui pengalaman Rosario di lingkungan inilah saya pertama kali merasakan


interaksi bersama umat gereja selain keluarga saya. Ketika sudah agak besar kira-kira kelas 4,
mama saya sudah mulai mengajari saya membantunya membeli barang-barang di warung.
Karena dirasa saya sudah bisa lalu juga karena saya sudah dapat mengingat rumah umat di
lingkungan tempat saya berdoa Rosario, saya mulai juga diminta mengantarkan dan
membagikan surat undangan doa Rosario. Pemahaman saya akan doa Rosario juga mulai
berkembang. Saya selalu memahami bahwa Rosario, yang pada saat itu seringkali
berbarengan dengan jadwal ujian di sekolah, adalah doa yang menolong saya mengerjakan
ujian-ujian itu dengan baik sehingga nilai-nilai saya di sekolah bagus. Memang, karena saya
adalah anak yang cukup rajin belajar, nilai-nilai saya cukup bagus di SD. Saya selalu
menempati rangking 2 atau rangking 3 selama SD. Saya percaya bahwa ketika saya tidak
berdoa Rosario, nilai saya akan turun. Di sini saya belajar peran Bunda Maria yang meminta
kepada Tuhan Yesus untuk membantu saya dalam pelajaran saya di sekolah.

Melalui Rosario di lingkungan, saya juga pertama kali mengenal beberapa jabatan
yang ada di Gereja yakni pengurus lingkungan dan wilayah, terutama jabatan ketuanya. Saya
sampai sekarang mengingat siapa ketua lingkungan saya yang saat itu selalu datang ke rumah
sebagai salah seorang sahabat dari mama saya. Saya mengenal tugas-tugasnya yang utama
adalah untuk menyebarkan undangan Rosario di lingkungan dan memimpin doa Rosario
tersebut serta sering harus ikut rapat di wilayah. Saya lebih mengenal jabatan ketua

3
lingkungan pada saat mama saya pertama kali menjabat ketua lingkungan. Saya semakin
mengerti bagaimana ketua lingkungan seringkali harus pergi mengunjungi umat yang sakit
atau yang meninggal dunia.

Pengalaman dan pengenalan lain akan Gereja yang saya dapatkan selama masa SD
adalah mengenai Pastur dan Suster. Sejak kecil saya memiliki cita-cita menjadi pastur. Yang
saya ingat adalah bahwa saya ingin menjadi pastur karena mama saya selalu bercerita bahwa
menjadi pastur itu hidupnya enak, tidak punya masalah, tidak perlu bayar listrik, bayar air,
atau bayar hal-hal lainnya. Yang saya mengerti dari hal menjadi pastur hanyalah mereka
tugasnya memimpin misa di depan dan hidupnya tidak memiliki istri. Maka ketika ada umat
lingkungan yang bertanya tentang cita-cita saya, saya selalu menjawab ingin menjadi pastur.
Yang lucunya adalah ketika ditanya apakah saya tidak mau punya pacar, saya menjawab
bahwa saya alergi dengan perempuan. Akan tetapi saya tidak pernah mengerti bagaimana
caranya menjadi pastur. Yang saya mengerti kemudian adalah bahwa saya didaftarkan untuk
menjadi misdinar yang saat itu saya pahami sebagai cara untuk menjadi pastur. Ini adalah
pengalaman pertama yang saya rasa menjadi bibit panggilan hidup membiara yang lebih
serius di kemudian hari.

Masa SD kelas 5 atau kelas 6 adalah masa dimana saya pertama kali merasakan
kecewa karena tidak mendapat dukungan akan cita-cita saya menjadi pastur. Saat itu hari
Imlek dan seperti tahun-tahun sebelumnya saya selalu ikut mama saya pergi mengunjungi
saudara-saudari. Hari itu saya kembali mengunjungi rumah seorang saudari mama saya di
Sunter. Seperti biasa, saya kembali ditanya akan cita-cita saya dan saya menjawab bahwa
saya mau menjadi pastur. Tante saya saat itu kemudian mengatakan sesuatu yang
mengejutkan saya. Ia mengatakan bahwa saya tidak usah jadi pastur dan bahwa saya harus
mengasihani mama saya. Dia juga mengatakan bahwa supaya jadi orang baik dan untuk
mengikuti Tuhan saya tidak harus menjadi pastur. Saat itu saya merasa kaget karena dia
menjadi orang pertama yang mengatakan tidak setuju dengan cita-cita saya menjadi pastur.
Ketika keluar dari rumah tante saya, tanpa saya sadari saya menangis dan marah-marah
dengan bertanya ke mama saya mengapa tante saya bilang seperti itu. Saat itu saya memang
mengatakan bahwa saya tetap mau menjadi pastur namun diam-diam saya tampaknya
menyimpan perkataan itu dan membuat saya mengurungkan niat dan cita-cita saya untuk
menjadi pastur. Tampaknya ini adalah pelajaran pertama saya dari tante saya yang memang
hanya mengatakan hal yang sebenarnya dan mengatakannya karena kasihan pada mama saya
yang akan hidup sendiri jika saya jadi pastur.

4
Analisis Berdasarkan Refleksi Filsafat, Ilmu Sosial, Kitab Suci, dan Dokumen Gereja

Liturgi

Pada masa ini, bidang hidup menggereja yang paling mengena dalam hidup saya yang
pertama adalah ibadat atau leitourgia. Ibadat Gereja adalah hal pertama yang mengesan bagi
saya yang masih kecil yang sering diajak ke Gereja. Perayaan Ekaristi, dengan gerakan-
gerakannya seperti berdiri, duduk, dan berlutut, serta nyanyian-nyanyiannya, adalah hal-hal
yang pertama saya kenali melalui panca indera saya mengenali Gereja Katolik. Bukan hanya
mengenali, namun liturgi menjadi salah satu hal dan hal yang pertama yang membuat saya
mencintai Gereja Katolik. Selain Ekaristi, ibadat devosional kepada Bunda Maria dalam doa
rosario lingkungan dan pembiasaan doa di depan patung Bunda Maria juga adalah bagian
liturgi yang membuat saya mulai mengenal dan mencintai Gereja Katolik.

Dalam Konstitusi Tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, Paus Paulus VI


mengatakan bahwa melalui liturgi, penebusan kita terpenuhi. (bdk. SC 2). Sejak menerima
Roh Kudus pada hari Pentakosta, para rasul membaptis banyak orang dan terbentuklah
jemaat. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka
selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. (bdk. Kis 2: 41-42). Sejak saat itu
gereja selalu berkumpul bersama untuk merayakan misteri Paskah yakni pengorbanan Kristus
sendiri dan kemenangan-Nya atas maut. (bdk. SC 6). Dan untuk menyelesaikan pekerjaan
besar-Nya, Kristus selalu hadir dalam Gereja-Nya, terutama melalu perayaan liturgis. Dia
hadir dalam sakramen, dalam Sabda-Nya yang dibacakan serta dalam doa dan lagu. (bdk. SC
7). Musik liturgis pun begitu penting maka ditulis dalam Bab tersendiri dalam Sacrosanctum
Concilium. Dalam bab 6 dikatakan bahwa musik liturgis dianggap lebih suci dalam
proporsinya ketika lebih erat hubungannya dengan gerakan/tindakan liturgis, apakah dengan
menambah rasa bahagia ketika berdoa, atau memupuk kesatuan pikiran, atau memberikan
kekhidmatan yang lebih besar pada ritus suci. (bdk. SC 112 §3)

Tanpa disadari, saya yang masih kecil itu telah merasakan sebuah perasaan yang
hendak dibunyikan oleh musik dan lagu dalam Perayaan Ekaristi, yang terhubung dengan
gerakan dan doa liturgis, yakni rasa kebahagiaan dan kesatuan, paling tidak dalam mengenal
dan membentuk kesatuan saya yang kecil dengan jemaat lainnya.

5
Lain daripada itu unsur penting yakni partisipasi aktif umat dalam liturgis yang saya
rasakan ketika saya diminta untuk membaca peristiwa-peristiwa dalam doa rosario di
linkungan, serta dalam mendengar lagu-lagu dan mengagumi gambar-gambar yang ada di
buku doa, membuat saya dapat lebih dihantar pada pengenalan akan Gereja Katolik, serta
pada keindahan Tuhan Yesus sendiri yang hadir dalam semua unsur liturgis tersebut.

Pandangan Filsafat dan Sosiologi Tentang Seni

Langer, dalam karyanya Problem of Art (1957) menjelaskan seni dengan


membandingkannya pada simbol. Pembentukan simbol menurutnya melalui proses yang
abstrak tanpa tahap-tahap tertentu. Pembentukan yang abstrak ini juga nampak dalam
kesenian yang bergantung pada proses kreatif. Langer mengemukakan bahwa seni adalah
kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia. Menurutnya, seniman tidak hanya
menerjemahkan pengalaman tertentu namun sudah harus merenungkan dan merasakan
pengalaman itu dan mentransfernya menjadi pengalaman universal yang mampu ditangkap
oleh orang lain.1

Dalam sosiologi, hubungan antara agama dan penggunaan simbol sangat erat
kaitannya. Karya seni merupakan simbol ekspresif. Secara khusus, simbol ekspresif ini
memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan (goal attainment). Simbol ekspresif dapat
menggambar makna yang ada dibaliknya dan merubah sesuati yang hidup menjadi sebuah
pesan yang dapat dihayati. Maka simbol ekspresif ini dapat menjadi sebuah pengajaran atau
bahkan doktrin. 2

Melalui kedua pandangan ini jelas bagaimana liturgi dalam Gereja dengan simbolnya
telah berperan mengajar, memperkenalkan, dan menyampaikan pengalaman para Bapa
Gereja bersama dengan Tuhan kepada saya yang kecil yang meskipun tidak langsung
memahami seluruh makna namun dapat menangkap beberapa pesan dan pengajaran terkait
iman kepercayaan Agama Katolik pada Tuhan.

Koinonia

Selain Liturgi, bidang hidup menggereja yang paling saya alami di masa ini adalah
persekutuan (koinonia). Koinonia ini terutama saya rasakan dalam perjumpaan dengan umat
lingkungan yang selain mengikuti doa rosario bersama juga saling berkomunikasi dan

1
Sukatmi Susantina, Filsafat Seni: Antara Pertanyaan dan Tantangan, Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni
Vol. 1 No.2, September-Desember 2000.
2
M. Husein A. Wahab, Simbol-Simbol Agama, Jurnal Substantia Vol 12, No,1, April 2011

6
membentuk hubungan sosial yang baik. Persekutuan awam di lingkungan merupakan bagian
terkecil Gereja yang saya rasakan ketika saya kecil. Dalam Lumen Gentium dikatakan bahwa
kaum beriman kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kritus, terhimpun
menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian,
dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan
perutusan segenap Umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia. (bdk. LG 31 §1). Sebab Gereja
adalah Tubuh Mistik Kristus “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya
banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula
Kristus. (bdk. 1Kor12:12). Kristus merupakan kepala bagi GerejaNya (bdk. Kol 1:18).
Persatuan gereja ini, melalui peran para pengurus atau pejabat Gereja terkecil telah
membantu saya untuk merasakan bahwa saya diterima dan adalah bagian dalam Gereja dan
diantar pada persekutuan Gereja yang lebih besar.

Pandangan Sosiolog Tentang Paguyuban

Paguyuban dalam sosiologi dikenal dengan istilah bahasa Jerman Gemeinschaft oleh
Ferdinand Tonnies. Dalam Gemeinschaft terdapat hubungan atau relasi yang timbul dari
interaksi sosial. dari keterikatan emosional personal. Relasi Gemeinschaft lebih didasari pada
kesamaan-kesamaan tertentu seperti kesamaan identitas sosial tertentu. Gemeinschaft dengan
demikian sangat menggunakan afeksi berbeda dengan Gesselschaft yang lebih menggunakan
akal dan bersifat instrumental (melihat fungsi).3

Gereja yang Katolik (universal)

Gereja adalah sebuah persaudaraan para murid Yesus yang bersifat dinamis-universal,
bukannya terbatas pada kelompok tertutup. Gereja adalah umat yang terpanggil dari segala
bangsa mana pun (bdk. Mat 28:19) dan merupakan Israel sejati yang mengganti Umat Israel
lama, domba-domba yang hilang. Juga dalam Injil Yohanes dikatakan “Ada lagi pada-Ku
domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan
mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu
gembala.” (Yoh 10:16).

Kata “katolik” berarti “merangkul semua”, maksudnya “seluruhnya” atau “lengkap”.


(bdk. KGK 830). “Jadi kepada kesatuan katolik Umat Allah itulah, yang melambangkan dan
memajukan perdamaian semesta, semua orang dipanggil. Mereka termasuk kesatuan itu atau

3
Tony Waters, Gemeinschaft and Gesselschaft Societies, California: September 2014. Disiapkan untuk
Encyclopedia of Sociology, edisi kedua.

7
terarah kepadanya dengan aneka cara, baik kaum beriman katolik, umat lainnya yang beriman
akan Kristus, maupun semua orang tanpa terkecuali, yang karena rahmat Allah dipanggil
kepada keselamatan.” (KGK 836).

Makna kekatolikan Gereja adalah bahwa Gereja, berkat kehendak Allah untuk
menyelamatkan semesta dunia, karena penebusan Yesus Kristus yang secara hakiki berlaku
bagi semua orang dan mengingat Karya Roh Kudus untuk seluruh umat manusia, terbuka dan
harus terbuka untuk manusia semua baik dilihat dari sudut tempat maupun waktu. Maka
Gereja harus menerima pluralisme yang hakiki bagi sejarah manusia dan dikehendaki Tuhan
= pluralisme bidang iman perorangan dan bidang kemasyarakatan. Gereja juga tak dapat
membatasi pewartaan dan bentuk bentuk hidupnya pada sesuatu bentuk lingkungan
kebudayaan tertentu atau suku bangsa tertentu sampai menolak yang lain.

Maka disini saya mengalami bagaimana tradisi kebudayaan tionghoa yang keluarga
saya miliki dirangkul oleh Gereja sehingga tetap dapat saya jalankan. Saya tetap dapat
melakukan sembahyang untuk menghormati leluhur dengan sesaji dan dupa (hio) dengan
tidak meninggalkan semangat dan kepercayaan Gereja akan adanya kehidupan kekal dan
bahwa apa yang kami lakukan itu tidak berarti kami menyembah sesuatu yang lain daripada
Tuhan sendiri. Gereja mampu memahami hal ini dan membuat saya dan keluarga kami
merasa tetap diterima dan menjadi bagian dalam kesatuan Gereja yang Katolik, terbuka bagi
kebudayaan tertentu.

Maria Sang Pembawa Yesus

Dalam masa saya kecil ini, satu hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah
pengenalan saya pada Bunda Maria melalui doa rosario yang saya percaya menjadi jembatan
perantara yang membawa saya pada pengenalan akan Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Paling
tidak, saya yang kecil itu dapat merasakan bahwa Maria dan Yesus seperti sosok yang tak
terpisahkan sebab saya diajari ketika saya berdoa sebelum pergi ke sekolah atau sebelum
tidur, selain berdoa kepada Yesus, saya juga berdoa melalui Bunda Maria dan mendaraskan
doa Salam Maria. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Lumen Gentium: Karena
pahala putera-Nya ia ditebus secara lebih unggul, serta dipersatukan dengan-Nya dalam
ikatan yang erat dan tidak terputuskan. (bdk. LG 53).

Dalam Dokumen Lumen Gentium dijelaskan makna dan dasar bakti kepada Santa
Perawan yakni “Berkat rahmat Allah, maria diangkat di bawah Puteranya, di atas semua
malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci, yang hadir pada misteri-misteri

8
Kristus; dan tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa.
Memang sejak zaman kuno Santa Perawan dihormati dengan gelar “Bunda Allah”; dan dalam
segala bahaya serta kebutuhan mereka Umat Beriman sambil berdoa mencari
perlindungannya. (bdk. LG 66). Maria juga disebut sebagai pola Gereja. Karena kurnia serta
peran keibuannya yang ilahi, yang menyatukannya dengan Puteranya Sang Penebus, pun pula
karena segala rahmat serta tugas-tugasnya, Santa Perawan juga erat berhubungan dengan
Gereja. Seperti telah diajarkan oleh St. Ambrosius, Bunda Allah itu pola Gereja, yakni dalam
hal iman, cinta kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus. (bdk. LG 63).

Tahap 2: Gereja Masa Remaja


Di masa ini sebetulnya menjadi masa dimana saya mulai kehilangan panggilan saya
atau cita-cita saya untuk menjadi seorang pastur. Salah satu penyebabnya adalah karena
pengalaman yang sudah ceritakan sedangkan yang lainnya adalah karena saya mulai banyak
mengenal banyak teman-teman perempuan yang menarik hati saya. Akan tetapi, masa dimana
saya memasuki SMP ini menjadi masa pengembangan iman dan pengalaman eklesiologi saya
yang paling pesat. Hal ini disebabkan karena saya mulai aktif ikut dalam kegiatan OMK di
wilayah. Dalam kegiatan inilah saya merasakan berbagai pengalaman yang kaya.

Kegiatan OMK wilayah kami telah berjalan rutin seminggu sekali setiap hari Jumat
pukul 08.00 malam. Pada saat saya pertama kali ikut, para pengurus dan anggota OMK
sebelumnya telah berbeda generasi cukup jauh. Mereka saat itu baru mulai gencar mencari
anggota-anggota baru. Pertemuan pertama hadirlah empat orang baru yang datang termasuk
saya bersama dengan Richard, Teddy, dan Henny. Selama sebulan kami dijemput dari rumah
ke rumah dan berangkat bersama-sama ke rumah umat tempat kami biasa berkumpul. Setelah
sebulan, tanpa sepengetahuan kami dan secara tiba-tiba, para pengurus OMK yang lama tidak
lagi hadir dan meninggalkan kami. Akan tetapi, saya lupa karena alasan apa, kami tetap
semangat berkumpul berempat dengan kegiatan leksio divina secara sederhana dan
membagikan apa pesan perikop kitab suci yang kami baca terkait juga pengalaman kami.
Setelah itu kami hanya cerita-cerita dan bernyanyi bersama-sama. Terkadang, jika Henny
yang saat itu menjadi ketua kami tidak bisa hadir, kami hanya berkumpul di salah satu rumah
kami untuk main video game bersama.

Selama beberapa bulan kami menjalani hal ini sampai beberapa teman mulai datang
karena tugas-tugas katekumen untuk mengikuti kegiatan lingkungan. Jumlah kami pun
bertambah banyak dan acara kegiatan kami semakin seru dan semakin bervariasi. Di OMK
inilah saya merasakan pengalaman dekat dan juga jatuh cinta dengan teman perempuan yang

9
sama agamanya. Di OMK inilah saya merasakan pengalaman pertengkaran-pertengkaran
remaja. Di OMK wilayah inilah saya yang anak tunggal mulai merasakan apa artinya
memiliki saudara-saudari yang saling peduli. Di OMK ini saya juga mulai menyadari dan
mengupayakan bersama-sama sisi sosial Gereja dengan banyak kegiatan-kegiatan sosial
kunjungan ke panti jompo atau panti asuhan. Di OMK ini juga pertama kali saya
menjalankan tugas kepengurusan dan jabatan dalam gereja. Maka di OMK inilah saya
mendapatkan pengalaman eklesiologi yang hampir lengkap kecuali dalam hubungan
eksternalnya dengan Gereja atau agama lain.

Pengalaman kepengurusan ini saya alami selain dalam kerumitan di dalam OMK
Wilayah sendiri, juga dalam berkomunikasi dengan para pengurus OMK di paroki atau
dengan para anggota DPH Paroki. Maka di SMP inilah saya mulai mengalami bahwa dalam
tubuh Gereja pun banyak terjadi pertengkaran dan sakit hati. Ini adalah warna baru Gereja
yang mengejutkan saya ketika saya temukan dan alami pertama kali. Begitu pula
pertengkaran seringkali membuat saya pribadi sakit hati dan beberapa kali ingin
menonaktifkan diri dari kegiatan-kegiatan kepengurusan di Gereja meskipun tidak pernah
bisa saya lakukan karena saya saat itu sudah merasa bahwa para pengurus ini adalah keluarga
saya dan Gereja sudah menjadi rumah kedua saya.

Kekeluargaan ini saya rasakan hingga saat ini sehingga meskipun sudah berpisah
jalan dan memiliki kehidupan masing-masing, kami tetap berkomunikasi dan mengusahakan
sesekali bertemu. Hal ini karena kami telah mengalami jalan bersama-sama lebih dari 15
tahun dengan naik turunnya. Beberapa kali kami kehilangan semangat dan beberapa bulan
tidak ada kegiatan karena perginya atau sibuknya anggota-anggota namun juga bangkit
kembali dengan kegiatan-kegiatan dan anggota-anggota baru. Beberapa kali juga anggota-
anggota kami mengalami masalah yang berat namun kami merasa selalu dikuatkan dengan
kepedulian dan persaudaraan di antara kami. Kekeluargaan ini jugalah yang memberi
kekuatan untuk saya pribadi untuk meneruskan pelayanan dan keaktifan saya di dalam Gereja
ketika mulai merasakan lelah atau juga sakit hati.

Gereja juga seperti yang saya katakan tadi telah menjadi rumah kedua. Bagaimana
tidak, saya merasakan hampir setiap malam saya harus berada di gereja untuk berbagai
kegiatan dan urusan. Hal ini bahkan membuat saya merasa ada yang kurang ketika malam itu
saya tidak ada urusan dan tidak pergi ke gereja. Selain karena saya merasa harus berada di
sana, saya juga mulai merasa bahwa gereja menjadi tempat saya beristirahat atau menimba

10
semangat ketika mulai jenuh dan sibuk dengan urusan sekolah atau urusan kepengurusan
OSIS yang saat itu juga sedang saya jalankan.

Di masa-masa remaja ini juga saya mulai kritis melihat berbagai peraturan Gereja
yang seringkali bagi saya saat itu tidak masuk akal. Salah satu contohnya adalah peraturan
tentang sulitnya pernikahan beda agama yang menurut saya, yang idealis saat itu, sangat tidak
mencerminkan ketidakterbukaan Gereja.

Satu hal yang penting juga saya rasakan dalam masa ini adalah pengalaman saya
terlibat dalam berbagai kegiatan liturgi. Saya masih menjalankan tugas misdinar sampai saya
masuk ke SMA kelas satu. Setelah lepas dari tugas misdinar itu saya mulai ikut latihan
mazmur dan memimpin lagu karena saat itu di Paroki Toasebio belum banyak kelompok-
kelompok paduan suara sehingga dalam misa lebih banyak dibutuhkan individu yang
memilih lagu dan memimpin umat bernyanyi. Ini adalah kesempatan buat saya untuk
memberikan hobi saya menyanyi sebagai persembahan untuk Tuhan lebih banyak setelah
sebelumnya beberapa kali tergabung dalam paduan suara OMK wilayah. Saya juga mulai
tergabung dalam sebuah kelompok paduan suara yang khusus melayani pemberkatan
pernikahan. Dari tugas-tugas menyanyi inilah saya dapat merasakan keindahan kekhasan
lagu-lagu liturgi yang menurut saya, yang berusaha menghayatinya, menjadi sarana
bagaimana saya dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam misa dan ibadat-ibadat serta
merasakan pesan-pesan-Nya yang terkandung dalam lirik dan perasaan lagu.

Analisis Berdasarkan Refleksi Kitab Suci, Filsafat dan Dokumen Gereja

1. Kerasulan kaum muda

Pada masa ini, bidang hidup menggereja yang paling dominan saya alami adalah
persekutuan (koinonia). Setelah saya mulai bergabung menjadi misdinar dan OMK wilayah,
saya selalu aktif dalam berbagai kegiatan gereja terutama yang berkaitan dengan OMK.
Kesatuan ini semakin mendalam daripada apa yang saya rasakan selama saya masih kecil.
Hal ini disebabkan karena adanya unsur partisipasi aktif yang lebih besar yang dilandasi
motivasi yang lebih otonom. Saya semakin merasa bersaudara dengan kawan-kawan OMK
dan merasakan bahwa Gereja telah menjadi rumah yang lain. Dalam persatuan ini, peran
kerasulan awam terutama sebagai kaum muda sangat menonjol mewarnai kehidupan saya.

Dalam sebuah dekrit tentang kerasulan awam, Apostolicam Actuositatem, dijelaskan


juga mengenai peran kaum muda. Dituliskan bahwa kaum muda merupakan kekuatan amat

11
penting dalam masyarakat zaman sekarang. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-
hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah amat banyak berubah. Seringkali
mereka terlalu cepat beralih kepada kondisi sosial ekonomis yang baru. Dari hari ke hari
peran mereka di bidang sosial dan juga politik semakin penting. Padahal agaknya mereka
kurang mampu menanggung beban-beban baru dengan baik. (AA 12 §1)

Bertambah pentingnya peran mereka dalam masyarakat itu menuntut dari mereka
kegiatan merasul yang sepadan. Sifat-sifat alamiah merekapun memang sesuai untuk
menjalankan kegiatan itu. Sementara kesadaran akan kepribadian mereka bertambah masak,
terdorong oleh gairah hidup dan semangat kerja yang meluap, mereka sanggup memikul
tanggung jawab sendiri, dan ingin memainkan peran mereka dalam kehidupan sosial dan
budaya. Bila gairah itu diresapi oleh semangat Kristus dan dijiwai sikap patuh dan cinta kasih
terhadap para Gembala Gereja, maka boleh diharapkan akan memperbuahkan hasil yang
melimpah. Mereka sendiri harus menjadi rasul-rasul pertama dan langsung bagi kaum muda,
dengan menjalankan sendiri kerasulan dikalangan mereka, sambil mengindahkan lingkungan
sosial kediaman mereka. (AA 12 §2)

Juga dikatakan bahwa semua anggota gereja, termasuk kaum muda, harus mengambil
bagian dalam perutusan meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Sebab seluruh Gereja
bersifat apostolik dalam arti bahwa Gereja, melalui pengganti-pengganti Santo Petrus dan
para Rasul, tinggal bersatu dengan asalnya dalam persekutuan hidup dan iman. (bdk. KGK
863).

Dalam Kitab Suci, Paulus berpesan kepada Timotius,” Jangan seorang pun
menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya,
dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam
kesucianmu.” (1 Tim 4:12). Demikianlah kaum muda juga merupakan bagian yang penting
dalam kerasulan dalam Gereja. Mereka tidak dipandang rendah dan sungguh tetap dapat
menjadi teladan. Bung Karno sebagai salah satu tokoh pejuang kemerdekaan bersama dengan
banyak orang muda mengatakan, “Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa
mengubah dunia.”

2. Kudus

12
Kekudusan Gereja menjadi satu hal yang menjadi perhatian utama saya dalam masa
ini. Hal ini disebabkan karena saya mulai melihat bahwa ternyata dalam tubuh kepengurusan
Gereja, dalam berbagai komunikasi dengan para pastur, serta juga dalam komunikasi dengan
orang lain non-kristiani, menampakkan tidak hanya kekudusan seperti gambaran yang saya
miliki pada saat saya kecil. Saya berpikir sebelumnya bahwa dalam Gereja tidak terdapat
pertentangan, tidak terdapat keributan dan perselisihan, sehingga tidak pernah ada yang sakit
hati. Pandangan saya tersebut ternyata salah.

Dalam KGK dijelaskan “Namun, sedangkan Kristus, yang ‘suci, tanpa kesalahan,
tanpa noda’, tidak mengenal dosa, .... Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam
pangkuannya sendiri. Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serte terus-
menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan”. Semua anggota Gereja, juga pejabat-
pejabatnya harus mengakui, bahwa mereka adalah orang berdosa. (bdk. KGK 827).

Wabi sabi, adalah sebuah filsafat Jepang yang mendasarkan keindahan pada apa yang
alami. Di dalam filsafat ini, keindahan juga dapat ditemukan dalam dinding yang berlumut,
dalam gelas yang retak, dalam perabotan rumah tangga yang tua, dalam kesederhanaan dan
ketidaksempurnaan.4 Demikianlah saya merefleksikan bahwa panggilan kekudusan
merupakan panggilan di tengah kenyataan manusia yang lemah dan yang berdosa yang tidak
pernah dapat dan tidak pernah boleh berhenti berjuang mencapainya. Perjuangan itu sendiri
adalah bagian terpenting dari kekudusan.

Semangat Konsili Vatikan II memang mendorong tidak hanya kaum tertahbis namun
juga kaum awam untuk berperan juga dalam salah satu tugas Gereja yakni tugas
menguduskan. Semua para awam, yang terhimpun dalam Umat Allah dan berada dalam satu
Tubuh Kristus di bawah satu kepala, tanpa kecuali dipanggil untuk sebagai anggota yang
hidup menyumbangkan segenap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta
dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus menerus
(LG 33 §1). Semua orang dipanggil pada kekudusan. “Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua
orang Kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai
kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih; dengan kekudusan sedemikian,
cara hidup yang lebih manusiawi dapat dikembangkan di dalam masyarakat di dunia ini.
Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang
mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus. Mereka harus mengikuti jejak-

4
Beth Kempton, Wabi Sabi Japanese Wisdom For A Perfectly Imperfect Life, London: Piatkus, 2018

13
Nya dan menyesuaikan diri mereka dengan citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa
dalam segala sesuatu.” (bdk. LG 40 §2).

Tahap 3: Gereja Masa Dewasa


Tahap ketiga ini adalah tahap dimana saya mulai kuliah. Pada tahap inilah saya
merasakan keterhubungan Gereja Katolik dengan Paroki lain atau dengan Agama-Agama
lain. Hal ini saya rasakan terutama karena saya juga mulai ditarik masuk dalam kepengurusan
siekep atau seksi kepemudaan paroki. Dalam kepengurusan ini tidak jarang saya bersama
teman-teman yang lain harus pergi juga ke Paroki-Paroki lain untuk mengadakan acara-acara
bersama sedekenat atau se-KAJ. Di sinilah saya baru mengerti arti dekenat dan kegiatan
konkret dalam relasi ini. Pernah juga saya mengalami menjadi bagian dalam kepengurusan
Asian Youth Day dimana beberapa OMK dari luar Jakarta atau bahkan dari luar Indonesia
live in di Paroki Toasebio. Di sini saya baru merasakan betapa luasnya arti Gereja yang
berjalan bersama-sama.

Selain itu, dalam kepengurusan kepemudaan ini juga tidak jarang harus bekerjasama
dengan seksi HAAK serta komunitas Sant Egidio untuk membuat acara sosial bersama
saudara-saudari dari agama Islam. Saya juga mulai dapat mengenal kerjasama Paroki dengan
Klenteng-Klenteng yang ada di daerah Toasebio seperti dalam meminjamkan lapangan parkir
SMA Ricci, yang biasanya digunakan untuk parkir kendaraan umat, untuk menjadi pusat
berkumpul dan dimulainya arak-arakan patung dewa-dewi pada Hari Raya Cap Go Meh.
Pengalaman-pengalaman ini yang membuat saya belajar keterbukaan Gereja dalam
membangun relasi dengan agama-agama lain dan belajar agar diri saya sendiri menghidupi
toleransi antar umat beragama. Di tempat kuliah juga saya mulai lepas dari institusi
pendidikan Katolik dan mulai bergaul dengan teman-teman beragama Islam dan Kristen.
Saya juga mulai mencoba mengikuti ibadat Kristen di Gereja mereka. Semua pengalaman ini
menambah semangat toleransi saya serta juga menambah rasa cinta saya pada kekayaan dan
kekhasan Agama Katolik.

Di tahap ini saya juga mulai menyadari akan adanya dan maknanya perbedaan cara-
cara ibadat dalam tubuh Agama Katolik sendiri seperti adanya aliran karismatik dan
penyembuhan luka batin yang ada di Lembah Karmel atau juga doa-doa meditatif ala Taize.
Bagi saya hal-hal ini adalah cara-cara yang unik yang saya percaya punya kharismanya
masing-masing meskipun tidak selalu cocok untuk saya ketika coba saya ikuti.

14
Yang paling penting di tahap ini adalah pilihan saya secara bebas dan otonom untuk
mengambil jalan bergabung dengan Serikat Xaverian untuk menjadi seorang imam
misionaris. Dalam proses formasi inilah saya secara lebih mendalam mengenal Gereja dalam
hal-hal baru seperti mengenal apa itu kongregasi dan perbedaan-perbedaan kharismanya,
bagaimana peran dan jabatan yang ada dalam kongregasi, apa itu seminaris dan formasi calon
imam, dan hal-hal lain terkait dengan dunia religius. Pilihan ini saya ambil karena dalam
tahap dewasa ini, saya mulai menyadari besarnya porsi kehidupan menggereja dalam seluruh
kehidupan saya dan menyadari bahwa saya merasa semakin dekat dengan Tuhan Yesus yang
menyertai saya dalam kehidupan saya juga melalui Gereja-Nya. Hal ini karena saya
menyadari bahwa sejak saya SD sampai SMA, saya bisa bersekolah di SMA Ricci yang
relatif mahal untuk saya berkat potongan harga karena prestasi dan keterlibatan mama saya di
Gereja. Saya bisa kuliah di Binus juga karena ada teman mama saya di wilayah yang
membantu biayanya. Saya juga bisa bekerja dengan rekomendasi dari teman di Paroki. Dan
ketika saya mengalami kesulitan terusir dari rumah nenek saya karena sengketa kepemilikan
dengan saudara sendiri, keluarga kami mendapat tempat tinggal sementara di rumah teman
Gereja yang sedang dalam proses penjualan. Semua hal ini ditambah dengan bantuan dan
penyelenggaraan Tuhan juga dalam hal-hal kecil sehari-hari, membuat saya merasa bahwa
sampai akhir hidup saya, saya tidak bisa lepas dari Tuhan Yesus dan dari pelayanan untuk
Gereja-Nya.

Analisis Berdasarkan Refleksi Filsafat, Ilmu Sosial, Kitab Suci, dan Dokumen Gereja

Gereja Yang Satu

Di tahap dewasa ini, tampak bahwa pengalaman akan kesatuan Gereja adalah
pengalaman dominan yang saya alami. Hal ini nampak dalam relasi yang dibangun Gereja
tidak hanya Paroki dengan Paroki yang lainnya namun juga antara Gereja Katolik, Gereja
Kristen Denominasi, bahkan juga dengan mereka yang non-kristiani.

Dalam bagian paling awal sebuah dekrit Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio,
dikatakan bahwa “Mendukung PEMULIHAN KESATUAN antara segenap umat kristen
merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II. Sebab yang didirikan oleh
Kristus Tuhan ialah Gereja yang satu dan tunggal.” (UR 1) Dalam dekrit tersebut dijelaskan
bagaimana Gereja Katolik bertindak dalam gerakan ekumenis:

“Sekarang ini, atas dorongan rahmat Roh Kudus, di cukup banyak daerah
berlangsunglah banyak usaha berupa doa, pewartaan dan kegiatan, untuk menuju ke

15
arah kepenuhan kesatuan yang dikehendaki oleh Yesus Kristus. Maka Konsili suci
mengundang segenap umat Katolik, untuk mengenali tanda-tanda zaman, dan secara
aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis.

Yang dimaksudkan dengan “Gerakan Ekumenis ialah: kegiatan-kegiatan dan usaha-


usaha, yang – menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi
– diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat kristen; misalnya:
pertama, semua daya-upaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian serta
tindakan-tindakan, yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok
dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, dan karena itu mempersukar
hubungan-hubungan dengan mereka; kemudian, dalam pertemuan-pertemuan umat
kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat, yang diselenggarakan dalam suasana
religius, “dialog antara para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada
masing-masing peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran
persekutuannya, dan dengan jelas menyajikan corak-cirinya. Sebab melalui dialog
itu semua peserta memperoleh pengertian yang lebih cermat tentang ajaran dan
perihidup kedua persekutuan, serta penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan.
Begitu pula persekutuan-persekutuan itu menggalang kerja sama yang lebih luas
lingkupnya dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap
suara hati Kristen; dan bila mungkin mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa.
Akhirnya mereka semua mengadakan pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka
terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan sebagaimana harusnya
menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan dan reformasi.” (UR 4).

Selain Unitatis Redintegratio, juga terdapat dokumen lain yang juga berbicara
mengenai kesatuan Gereja terutama kali ini dengan agama-agama lain yakni Nostra Aetate.
Dalam pendahuluannya dikatakan bahwa “....Gereja mempertimbangkan dengan lebih
cermat, manakah hubungannya dengan agama-agama bukan kristiani. Dalam tugasnya
mengembangkan kesatuan dan cinta kasih antar manusia, bahkan antar bangsa.... Sebab
semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki
segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi.” (bdk. NA 1).

Kenyataan Indonesia dan dunia adalah kenyataan yang diisi dengan pluralisme.
Namun perbedaan ini tidak harus berarti perpecahan yang memisahkan sama sekali satu
dengan yang lainnya. Pluralisme digunakan sebagai pandangan dan sikap dunia yang
mempermaklumkan bahwa agama tertentu yang dianut seseorang tidak dapat menjadi sumber
mutlak kebenaran yang eksklusif, dan berimplikasi bahwa dapat ditemukan juga kebaikan

16
dan kebenaran pada konsep-konsep agama lain, sekurang-kurangnya, suatu kebenaran dan
nilai-nilai yang benar.5

Gereja Yang Dipanggil Keluar

Pengertian Gereja (dari bahasa Portugis: igreja, yang berasal dari bahasa Yunani
έκκλησία (ekklêsia) yang berarti dipanggil keluar (ek= keluar; klesia dari kata kaleo=
memanggil); Dipanggil keluar ini bisa berarti macam-macam namun dalam konteks
pengalaman saya di masa ini, saya sendiri merasakan bagaimana Gereja mengulurkan
tangannya bagi orang-orang miskin. Gereja yang dipanggil keluar bagi saya pribadi adalah
Gereja yang tidak hanya duduk diam di menara gading namun mau bekerja aktif, pergi keluar
gedung dan ibadatnya, dan membantu orang-orang atau kaum marjinal yang menderita dan
tersingkirkan.

Karl Marx seperti diketahui dalam filsafatnya menyebut bahwa agama adalah candu.
Agama berdiri di bangunan atas ditopang oleh masyarakat buruh dan menjadi pelarian yang
membawa kebahagiaan semu tanpa memberikan perubahan konkret. Hal ini yang tidak boleh
terjadi dalam Gereja saat ini yang terus-menerus merefleksikan perannya secara konkret
dalam membantu masyarakat.

Sebab Yesus Kristus yang menjadi kepala Gereja, telah memberikan teladan
bagaimana Ia sendiri datang ke dunia seperti dikatakan dalam Kitab Suci: “Karena kamu
telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu
menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.”
(2 Kor 8:9). Hal ini menunjukkan tujuan misteri inkarnasi yang menyejarah. Ketika Yesus
Kristus sungguh-sungguh hadir dalam sejarah manusia, Ia mengulurkan tangan-Nya juga
pada orang-orang miskin, orang-orang sakit, orang-orang tersingkir dan menderita.

Kristus dan Gereja seperti inilah yang telah mengulurkan tangannya untuk saya
sehingga saya dapat sekolah dan kuliah di tempat yang baik meskipun keluarga saya tidak
mampu atau memiliki rumah meskipun terusir oleh keluarga sendiri. Kristus dan Gereja ini
pula yang akhirnya saya ikuti secara lebih dekat dan membalasnya dengan memberikan diri
saya masuk Kongregasi Xaverian agar saya pun dapat pergi keluar untuk mengulurkan tangan
kepada yang menderita, berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah.

5
Arifianto, Yonatan Alex, Andreas Fernando, and Reni Triposa. Sosiologi Pluralisme Dalam Pendidikan Agama
Kristen: Upaya Membangun Kesatuan Bangsa. Jurnal Shanan Vol. 5 No. 2 (30 Oktober 2021)

17
Penutup
Demikianlah pengalaman-pengalaman eklesiologi yang bagi saya telah membentuk
sebagian besar kehidupan saya. Gereja telah menjadi segala hal dan memberi saya segala hal
yakni pendidikan, saudara-saudari, rumah, serta iman kepada Tuhan Yesus Kristus yang bagi
saya telah menjadi sahabat saya sejak saya kecil. Gereja telah membentuk saya dan
mengantar saya pada persekutuan dan karena itu, juga pada keselamatan. Semakin saya
dewasa, ternyata bahwa segala pengalaman hidup saya dari kecil baik yang saya sadari atau
tidak, adalah pengalaman Gereja sendiri dalam membangun maknanya seperti tampak dalam
sejarah Gereja yang memang terus-menerus belajar dan berubah menuju pada keutuhan dan
kebenaran serta semakin menampakkan kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia. Dengan
demikian, Gereja akhirnya semakin mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah.

Daftar Pustaka

Arifianto, Yonatan Alex, Andreas Fernando, dan Reni Triposa. Sosiologi Pluralisme Dalam
Pendidikan Agama Kristen: Upaya Membangun Kesatuan Bangsa. Jurnal Shanan
5(2), 30 Oktober 2021: 95-110. Diakses pada 13 Desember 2022.
http://ejournal.uki.ac.id/index.php/shan/article/view/3294.

Kempton, Beth. Wabi Sabi Japanese Wisdom For A Perfectly Imperfect Life. London:
Piatkus. 2018

Susantina, Sukatmi. Filsafat Seni: Antara Pertanyaan dan Tantangan, Jurnal Pengetahuan
dan Pemikiran Seni 1(2). September-Desember 2000

Wahab, M. Husein A. Simbol-Simbol Agama, Jurnal Substantia 12(1) April 2011

Waters, Tony. Gemeinschaft and Gesselschaft Societies. Encyclopedia of Sociology edisi


kedua California: September 2014

18

Anda mungkin juga menyukai