Anda di halaman 1dari 3

Refleksi Panggilan – Diakon Richard

Quo vadis adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara
harafiah: "Kemana engkau pergi?" Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan dari kitab
Perjanjian Baru, Injil Yohanes, bab 16 ayat 5. Kalimat ini merupakan ungkapan Kristiani
yang menurut Tradisi Gereja dilontarkan pada Yesus Kristus oleh Santo Petrus yang saat itu
bertemu dengan Yesus dalam perjalanan hendak melarikan diri dari misinya yang beresiko
disalibkan di Roma. Jawaban Yesus yang mengatakan, "Aku hendak kembali ke Roma untuk
disalibkan kembali" (Eo Romam iterum crucifigi) membuat Petrus menyadari panggilannya
dan ia pun berbalik kembali ke Roma di mana ia kemudian disalibkan dan menjadi martir di
sana.
Pertanyaan ini pun selalu menjadi permenungan sekaligus pengingat bagi panggilan
saya untuk menjadi seorang imam. Jika saya melihat kembali pengalaman hidup saya, ada
beberapa momen yang memang menjadi titik balik perjalanan panggilan bahkan hidup saya.
Tetapi pengalaman ‘terpanggil’ baru terjadi ketika saya lulus sekolah menengah pertama.
Sebenarnya saya adalah anak baik-baik saat duduk di bangku sekolah dasar. Ini pun karena
ayah saya adalah guru saya sendiri. Namun setelah masuk sekolah menengah pertama dan
naik ke kelas 8, saya mulai berubah. Saya bukan lagi anak baik-baik seperti dulu.
Ketika itu, sekitar tahun 2006-an, warung internet (warnet) sedang ramai-ramainya
diisi oleh anak seusia saya. Bahkan sudah banyak pula yang kecanduan hingga menginap di
warnet sampai berhari-hari. Awalnya saya hanya mencoba. Tetapi karena terlalu sering lupa
waktu akhirnya terbiasa dan mulai ikut kecanduan. Dari sini kegiatan belajar di sekolah
maupun di rumah pun terbengkalai. Saya sendiri sebenarnya tidak menyukai berada di
sekolah. Beberapa teman saya di sekolah tidak bisa hidup berdampingan dengan agama lain
terutama kristen. Akhirnya saya berpikir bahwa warnet adalah tempat yang nyaman untuk
menghindari ketidaknyamanan saya saat berada di sekolah. Kira-kira 1 bulan saya mencatat
kehadiran (presensi) saya di warnet dan tidak hadir (absen) di sekolah. Dampaknya, tentu
saja, orangtua saya dipanggil untuk menghadap wakil kepala sekolah.
Kenakalan tidak berhenti sampai disitu. Saya bahkan menggunakan uang SPP saya
untuk ke warnet dan menghabiskannya di sana. Beberapa guru di sekolah menengah pertama
yang kenal dan akrab dengan ayah saya pun mulai angkat tangan untuk mengurusi saya.
Karena hal itu saya pun diputuskan untuk tidak lagi melanjutkan di sekolah pertama saya.
Saya melanjutkan tingkat terakhir di sekolah menengah pertama yang baru dengan harapan
ada perubahan kedepannya. Ternyata tidak. Justru sekolah saya yang ‘baru’ lebih dekat
dengan rumah kedua saya; warnet. Mulai dari sinilah momen-momen menentukan dalam
hidup saya dimulai.
Pada suatu hari, seperti biasanya, saya ‘cabut’ (kabur) dari sekolah dan pergi ke
warnet. Sepanjang hari itu saya habiskan untuk bermain game online. Akhirnya setelah
hampir pukul 23.00 malam, saya memutuskan untuk pulang dengan seragam sekolah yang
masih menempel di tubuh saya. Ketika melewati jembatan, tepatnya di perbatasan antara
Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, sempat terlintas dalam benak saya untuk terjun ke sungai.
Waktu itu yang saya pikirkan bukan untuk bunuh diri. Tetapi untuk keluar dari masalah yang
terjadi. Bersyukur karena waktu itu saya masih menggunakan akal sehat, saya pun
mengurungkan niat itu. Akhirnya dengan modal nekat dan siap menerima konsekuensi yang
akan saya terima, saya memantapkan langkah kaki dan pulang ke rumah lalu menceritakan
dosa saya pada hari itu, yakni kembali menghabiskan uang SPP yang harus dibayar pada
bulan itu.
Hari-hari saya mulai membaik sejak saat malam itu. Malam dimana saya akhirnya
babak belur sebagai hukuman dan bentuk peringatan terakhir dari ayah saya. Sebut saja itu
adalah hari pertobatan saya. Setelah lulus akhirnya saya memutuskan untuk masuk seminari.
Sejujurnya, pada waktu itu saya hanya asal sebut saja karena kebetulan kakak sepupu saya
masuk seminari. Awalnya memang seminari adalah pelarian saya, karena saya tidak tahu
harus memutuskan untuk masuk kemana. Tetapi ternyata saya mulai jatuh cinta dengan
kehidupan seminari. Di seminari menengah pun saya bukan orang yang nakal, bukan pula
orang yang alim. Kehidupan anak SMA pada umumnya juga terjadi pada anak seminari;
susah diatur, selalu ingin bebas dan tidak ingin dikekang serta memiliki hasrat untuk dikenal
dan mengenal lawan jenis, semua itu sudah saya alami.
Bandung pun menjadi tempat istimewa untuk merasakan bangku kuliah. Hari demi
hari, tugas demi tugas, presentasi demi presentasi, berusaha saya kerjakan dengan baik.
Beruntung seminari tinggi tidak ‘muluk-muluk’ dalam menetapkan aturan. Yang terpenting
adalah bagaimana para frater dapat berkembang secara dewasa, seimbang dalam baik itu
hidup doa maupun berkomunitas dan dapat menjaga nama baik seminari tinggi dan
Keuskupan Bogor. Sisanya, persaudaraan dan rasa kekeluargaan, tercipta dengan sendirinya
dalam komunitas yang bagi saya pribadi adalah sehat dan menyenangkan. Tidak ada sekat
dan keraguan untuk bersenda gurau dengan kakak tingkat atau rasa gengsi untuk dekat
dengan adik tingkat. Semuanya berjalan dengan baik dan berlalu begitu cepat. Rasa-rasanya
baru kemarin saya memutuskan untuk masuk ke Projo Bogor.
Setelah lulus dari Seminari Tinggi Santo Petrus-Paulus, saya diutus untuk menjalani
tugas di Kota Wisata. Melalui beberapa kegiatan pastoral yang dijalani, terutama keterlibatan
saya dalam beberapa kategorial, panggilan saya menjadi kaya akan pengalaman-pengalaman
pastoral tersebut. Khususnya pengalaman yang telah diberikan kepada saya selama menjalani
kegiatan pastoral di Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Kota Wisata. Melalui berbagai
macam kegiatan pastoral yang ada, seperti mengikuti Legio Mariae setiap rabunya, lalu
memberi ulasan kepada lektor melalui daring, berkumpul bersama teman-teman OMK,
terlibat dalam Komisi Kepemudaan, dan mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan di paroki
seperti rosario, ibadat-ibadat, katekese, rekoleksi, pertemuan BKSN dan yang lainnya.
Semuanya adalah ikhtiar untuk “perbekalan” bagi saya untuk menjadi seorang gembala
dimana pun saya nanti ditugaskan oleh Gereja-Nya.
Jawaban Yesus yakni ‘kembali ke Roma untuk disalibkan kembali’ mencerahkan
panggilan Petrus. Petrus menyadari tugas dan perutusannya, ia menyadari panggilannya. Kita
pun wajib demikian. Kita yang terpanggil harus menyadari panggilan Allah. Panggilan Allah
selalu ada, yang dipertanyakan adalah jawaban dari kita yang terpanggil. Dengan selalu
bertanya dalam hidup panggilan kita ‘kemana aku harus pergi’, kita akan tahu arah dan
tujuan hidup kita. Kita harus ingat bahwa dalam perjalanan panggilan, tidak mungkin kita
tidak merasakan salib. Ada kalanya tertawa bersama teman yang lain, ada kalanya pula kita
harus kehilangan teman kita yang harus menjalani panggilan yang berbeda. Pun ada masanya
kita merasa bahwa panggilan ini bukanlah jalannya atau sekadar mengalami kekeringan
rohani. Tetapi dari semuanya itu, kita tidak pernah sendirian. Yesus tidak begitu saja
meninggalkan Petrus untuk memikul salibnya sendiri. Petrus tahu itu. Bahkan Petrus
memikul salibnya dengan sukacita. Seperti panggilan untuk memikul salib Yesus, mari kita
menjawab panggilan Allah dengan sukacita.

Anda mungkin juga menyukai