Anda di halaman 1dari 3

Maaf Datang Dengan Banyak Kekurangan

Oleh: Moh. Khasbil Aziz Kholid


“Pagi ke pagi.... Ku terjebak di dalam ambisi....
Seperti orang – orang berdasi.... Yang gila materi rasa bosan....
Membukakan jalan mencari peran.... Keluarlah dari zona nyaman....
Sembilu yang dulu.... Biarlah berlalu.... Bekerja bersama hati.... Kita ini insan....
Bukan seekor sapi...Sembilu yang dulu... Biarlah membiru...Berkarya bersama hati..”

Lirik lagu yang setia menemani dalam heningnya malam ini. Disusul rintik hujan yang
seolah-olah tak pernah bosan turun kebumi. Ya, suasana yang tak indah apalagi istimewa,
hanya saja berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kutatap langit sambil kupejamkan mata
untuk menenangkan hati yang gelisah, tak mengerti apa maunya, yang pasti aku tidak baik-
baik saja. Sambil merenung untuk meratapi diri, secangkir kopi coba ku nikmati, siapa tahu
sedikit menenangkan hati, semoga cepat atau lambat rasa tenang segera kembali. Inilah awal
seutas kisah ku. Aku datang dengan banyak kekurangan untuk mengenyam pendidikan di
kota yang belum pernah saya rasakan. Tulungagung.
Tahun 2021, saat itu aku sudah hampir tamat dari bangku Madrasah Aliyah. Aku
bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya yaitu perkuliahan. Sebagai
seorang siswa sekaligus santri, aku sedikit ada kendala untuk mencari informasi tentang
penerimaan mahasiswa baru. Bertemu orang tua pun hanya bisa sebulan sekali untuk
mendiskusikannya. Tetapi setelah ada informasi pendaftaran mahasiswa baru jalur SNMPTN
telah dibuka. Aku bergegas mendaftar, setelah menunggu beberapa minggu, aku sedih dan
kecewa ketika aku dinyatakan tidak lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru tersebut.
Singkat cerita, saat aku sudah dinyatakan lulus sekolah, aku mencoba sekali lagi
keberuntungan ku dengan daftar lewat jalur UMPTKIN, tak disangka ketika pengumuman
hasil seleksi mahasiswa sudah keluar, Alhamdulillah aku dinyatakan lulus sebagai calon
mahasiswa UIN Tulungagung. Kampus yang menurut ku masih banyak hal yang belum aku
ketahui dan begitu jauh dari tempat aku berasal, sehingga membuat sedikit terbesit rasa ragu
untuk mengambilnya. Namun perasaan tersebut harus aku abaikan ketika orang tua berusaha
meyakinkanku.
Itulah latar belakang aku mengenal dan masuk Madin UIN Tulungagung. Sebuah
pendidikan tentang keagamaan yang dikemas semirip mungkin dengan dunia kepesantrenan.
Dalam sistemnya, madin menawarkan beberapa jenjang yang dapat dipilih oleh mahasiswa
baru. Pada saat itu aku memilih jenjang Wustho. Pilihan tersebut ternyata cukup
memberatkan aku, meskipun sebelumnya aku adalah lulusan pesantren, namun aku adalah
salah satu orang yang tergolong tak pandai dalam membaca kitab, apalagi kitab gundul (tanpa
harakat). Hal tersebut terbantu oleh adanya pandemi COVID-19 yang membuat kegiatan
pembelajaran dilaksanakan secara daring. Ternyata pembelajaran secara daring hanya
berjalan selama 1 semester, semester berikutnya aku mendapatkan kabar bahwa madin akan
dilakukan secara full luring. Aku tidak tahu menanggapinya harus bagaimana, di satu sisi
sudah nyaman pembelajaran secara daring, disisi lain aku ingin melihat kampus, teman, dan
guru yang sebelumnya hanya ku kenal lewat layar HP. Setelah aku pastikan berita tersebut
memang benar adanya, aku dan tetangga ku yang kebetulan juga kuliah di sana berangkat ke
Tulungagung.
Ketika di Tulungagung, aku tinggal dengan orang yang baru dan suasana baru serta gaya
hidup yang baru. Perjalanan baru dimulai ketika aku pertama kali masuk madin secara luring
yaitu bingung dan sedikit terasa beban. Tidak hanya itu, masalahnya aku tidak begitu paham
tempat kelas yang seharusnya aku tuju. Sehingga pada saat itu aku sempat salah memarkir
kan sepeda dan membuat aku harus jauh jalan kaki. Untung pada saat itu aku bertemu dengan
temanku yang sama-sama satu kelas madin. Aku dan teman ku pun bergegas menuju kelas
yang bertuliskan Wustho 11. Ketika aku masuk kelas ternyata sudah banyak maha santri yang
sudah dikelas terlebih dahulu, mereka saling berkenalan satu sama lain, hingga guru datang
dan mengajar. Hari pertama masuk madin aku mendapat kesan yang lumayan positif.
Bertemu teman yang sebelumnya hanya mengetahuinya lewat WA dan sekarang bisa saling
bercengkrama. Setiap harinya kujalani setiap langkahku pergi madin dengan niat untuk
menuntut ilmu. Meskipun, aku sadar bahwa semangat ku semakin hari semakin pudar.
Hingga sampai pada suatu hari, ketika benar-benar dalam keadaan bad mood aku
mendapatkan giliran membaca hasil maknani, dengan jujur aku berkata “mohon maaf ustadz,
saya kurang bisa membaca kitab yang tidak ada harokatnya”, “tidak apa-apa dicoba dulu”
kata ustadznya, aku pun mencoba membaca kitab, meskipun pada akhirnya aku gagal. Aku
merasa semakin payah, mengapa saya memilih jenjang Wustho, padahal aku sangat kurang
mengerti cara membaca kitab dengan baik. Selama sehari itu, aku kecewa dengan diriku
sendiri mengapa aku benar-benar sepayah itu. Sampai-sampai saat heningnya malam itu
menjadi saksi, aku meratapi nasibku, ditemani secangkir kopi dan lagu zona nyaman, disusul
rintik hujan yang semakin melengkapi kesedihanku. Aku berpikir mungkin kesedihan saat itu
aku juga timbul karena rindu terhadap orang tua dan suasana rumah, sehingga seolah-olah
merasa paling sedih.
Itulah sedikit pengalaman madin ku, betapa banyak pelajaran yang kudapat hidup di
Tulungagung ini, bagaimana rasanya hidup mandiri mengatur keuangan sampai mengatur
waktu untuk kebaikan diriku. Rasa syukur pada Allah dan terima kasihku untuk kedua orang
tuaku tak henti kupanjatkan. Mereka yang selalu ada dan memperjuangkanku. Terima kasih
dan salam rindu ku untuk mereka. Semoga berjalan baik-baik saja, meskipun kenyataannya
pasti ada-ada aja.

Anda mungkin juga menyukai