Anda di halaman 1dari 6

CAHAYA BINTANG GEMINI DI LANGIT MALAM

Hai, perkenalkan namaku Rama Ardian Syah, biasanya aku dipanggil Rama.
Saat mengetik ini usiaku menginjak 20 tahun—setiap malam aku selalu mengira-ngira
bagaimana denganku di usia 21 tahun nanti. Di bawah malam yang gelap dan penuh
misteri, saat bintang-bintang bersinar di langit, aku merenungkan perjalanan hidup yang
telah membawaku melalui berbagai puncak dan lembah. Keyboardku berisik melalui
setiap kecupan jari pada setiap tombolnya. Suara memikat tombol-tombol yang
terpental menciptakan melodi kata-kata yang tersembunyi di dalam pikiranku. Dalam
keremangan cahaya komputer, terbesit olehku sebuah kenangan masa lalu.

Masa Sekolah

Aku dilahirkan pada tanggal 08 Juni 2003 di Indralaya, di tengah malam yang
hening dan penuh kesepian—lahir tanpa bantuan bidan. Dalam sinar rembulan yang
samar itu, aku pertama kali melihat dunia ini. Ayah, Kasdono, dan ibu, Suherlina,
menjadi satu-satunya cahaya dalam kegelapan hidupku.

1
Sejak kecil, aku terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal, mengikuti arah
pekerjaan orang tua; Jakarta, Semarang, dan akhirnya berlabuh di Palembang. Setiap
perpindahan adalah seperti memutar halaman yang tak pasti dalam buku hidupku.
Pernah suatu waktu, aku merasakan satu tahun yang sunyi tinggal bersama seorang
nenek, saat aku masih bermain di Taman Kanak-Kanak. Kehidupan yang damai itu
terputus ketika rindu kepada orang tua membuatku kembali bersama mereka di
Palembang. Menapaki jalan sekolah dasar di tanah yang asing, aku harus beradaptasi
dengan dunia yang begitu berbeda, terutama dalam bahasa.

Bertemu dengan wajah-wajah asing dan bahasa yang tak kukenal, itu seperti
sebuah mimpi buruk bagi anak kecil yang terombang-ambing sepertiku. Saat itu, aku
tak mampu memahami apa yang menarik perhatian mereka pada diriku, namun mereka
semua berkerumun bagai ngengat—menghujamiku dengan berbagai pertanyaan.
Sejujurnya aku adalah anak yang pemalu, jangankan untuk mengutarakan isi hatiku,
bagiku untuk bercerita tentang pengalamanku pun terasa berat. Beberapa pekan
akhirnya berlalu hingga aku mempu beradaptasi dengan lingkungan baruku itu.

Wajar bagi seorang anak seusiaku memiliki daya imajinasi yang sangat besar,
tapi bedanya aku dapat lebih memanfaatkannya dari anak-anak lainnya. Aku juga hobi
dalam membaca, jika aku senggang biasanya kuhabiskan waktuku di perpustakaan
sekolah dasarku. Deretan seri “ENSIKLOPEDIA” telah habis kubaca, dari sana aku
mulai merasakan hawa pengetahuan yang menyebar di sekelilingku. Aku senang
berbagi pengetahuan ini dengan teman-temanku yang terpesona dengan cerita-cerita
tentang elektronika, gaya, atom, senyawa, dan bahkan tata surya.

Aku memang anak yang mempunyai keingintahuan yang besar, bagiku


ketidaktahuan adalah hal yang paling menyeramkan, sebab itulah aku takut dengan hal
gaib, karena aku tidak benar-benar mengetahuinya—atau tidak melihatnya langsung.
Namun bukan berarti aku adalah anak yang pintar di kelas. Dalam hidupku, aku hanya
dapat meraih posisi peringkat 4 untuk beberapa kali, sangat sulit untuk dapat berada di
tiga besar. Meski begitu, kedua orang tuaku tidak pernah menjadikan hal ini sebagai
bahan perbandingan atau penilaian. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, dan
aku terbiasa melakoni segalanya sendiri. Keingintahuanku adalah pendorong utama, dan
aku tekun memburu pengetahuan di mana pun aku bisa menemukannya.

2
Aku punya hobi namun tidak punya tujuan, aku sangat menerima hidupku di
waktu itu juga, tanpa hasrat dan ambisi disaat semua temanku ingin cepat tumbuh
dewasa, aku sangat bahagia dengan keadaan sekarang tanpa menuntut. Aku memang
mudah bosan, tapi caraku membunuh rasa bosanku adalah dengan melakukan sesuatu
hal yang belum bernah kulakukan dan mungkin akan kusukai. Aku mengikuti
ekstrakulikuler Pramuka, mengikuti kemah dan memenangkan perlombaan selama itu.
Hingga akupun lulus sekolah dasar dan meninggalkan ekstrakulikuler itu. Tidak lama
dari itu adikku lahir, aku sangat bahagia saat melihat wajah kecilnya itu, hari-hariku
semakin menarik kedepannya.

Aku mendaftar di sekolah menengah pertama negeri 1 Indralaya dan


memasukinya tanpa hambatan yang berarti, dengan harapan-harapan besar yang
melayang di benakku. Saat itu, aku menempati peringkat ke-66 dari 250 siswa yang
diterima dan 500an siswa yang mendaftar, sebuah prestasi yang membuatku merasa
cukup bangga. Masa-masa itu diwarnai dengan kehadiran teman-teman baru, masing-
masing dengan latar belakang yang beragam. Kami adalah potongan-potongan yang
berbeda dalam gambaran yang sedang tercipta.

Namun, seperti halnya musim berganti, begitu juga dengan minat dan
semangatku. Meskipun aku masih memiliki daya tarik terhadap buku-buku, namun
semangat dan kegilaanku terhadap dunia tulis-menulis mulai memudar. Aku mulai
merasa seperti seorang pelukis yang kehilangan warna-warna dalam paletnya.

Masa-masa di sekolah menengah pertama juga menjadi saksi dari eksplorasi


diriku yang lebih dalam. Aku memutuskan untuk bergabung dengan ekstrakurikuler
Taekwondo, sebuah pilihan yang pada awalnya terasa asing bagiku. Aku juga memilih
untuk menjadi anggota OSIS, dengan harapan bahwa mungkin di sana aku akan
menemukan tujuan baru dalam hidupku. Selama waktu itu, aku merasakan getirnya
proses pengorganisasian, dengan segala tantangan dan konflik yang terkadang tidak
terelakkan. Walau begitu, aku tidak menyerah. Aku memenangkan tiga kejuaraan
Taekwondo dan mengumpulkan piagam, medali, dan sertifikat dengan harapan besar.
Semua itu bukan hanya kukumpulkan sebagai tiket menuju sekolah menengah atas
favoritku. Saat kelulusan aku sudah menulis sekolah dan universitas mana yang akan
kumasuki nantinya. Aku terus bermimpi, berharap bahwa perjalanan ini akan

3
membawaku ke tempat yang lebih tinggi dan mungkin, menemukan sesuatu yang
selama ini kucari.

Aku lulus dan masuk ke sekolah menengah atas negeri 1 Indralaya dengan
cukup mudah, karena saat itu ada sistem baru yang bernama zonasi, jarak rumah dan
sekolah tidak terlalu jauh jadi aku dapat masuk tanpa kesulitan. Di dalamnya terdapat
banyak teman-temanku sebelumnya dan hanya sedikit orang-orang baru. Disaat ini aku
berhenti dari ekstrakulikulerku sebelumnya dan bergabung ke ekstrakulikuler Paskibra.
Menurutku Paskibra adalah rumah keduaku, di dalamnya terdapat banyak kenangan,
dari kenangan-kenangan indah hingga yang tidak ingin diulang kembali. Aku
mendapatkan banyak kepercayaan dan ekspetasi dari senior maupun teman
seangkatanku, aku mengikuti beberapa program latihan dan lomba tentunya. Dari semua
perlombaan, hanya satu kami mengalami kekalahan.

Di masa ini aku terus mengeksplorasi diri, banyak hal mewarnai kanvas
hidupku, mulai dari kehidupan di kelas, ekstrakulikuler, persahabatan hingga romansa.
Untuk menemukan apa yang namanya bakat dan minat aku mencoba hal baru, akibatnya
hobi membacaku menghilang dan tergantikan dengan menonton film, tidak hanya itu
aku juga menyukai menulis cerita dan menggambar. Emosi adalah bahasa yang tak
pernah berbohong, dan dalam setiap kata yang tertulis, aku mencoba untuk
menceritakan kisah yang tak bisa kuungkapkan dengan lisan. Begitu juga dengan
menggambar, setiap goresan pensil dapan membunuh rasa bosanku setiap saatnya,
terlepas dari suasana hati, lembaran kertas selalu menjadi teman setia yang siap
menerima emosi dan inspirasiku. Aku lulus bersama sahabat-sahabat yang kukasihi, lalu
kami berpisah untuk mewujudkan kiinginan kami masing-masing.

Setelah lulus sekolah menengah atas aku mengalami hal yang sangat berkesan
bagiku. Saat itu keadaanku sedang tidak melakukan aktivitas seperti biasanya, yaitu
bersekolah. Dan disuatu saat aku memasuki obrolan dengan ayah dan ibuku, suasananya
sangat berat, atmosfernya mencekam—mencekikku. Aku membicarakan masa depanku,
awalnya hanya obrolan tersirat penuh metafora, namun kedua orang tuaku sepertinya
mengerti. Sejujurnya aku ingin merantau, mencoba hal baru seperti jauh dari orang tua
dan mendapatkan kemandirian. Namun keadaan keuangan keluarga tidak
memungkinkan, banyaknya hal yang perlu diperhitungkan mematahkan keinginan itu.

4
Kedua orang tuaku meyakinkanku untuk tidak putus semangat dan menyemangati
apapun keinginanku, walau mereka jarang menunjukannya, namun kepedulian mereka
terasa sekali, seperti rangkulan tangan yang hangat. Aku yang masih berkeinginan untuk
berkuliah, mencoba mendaftar di universitas terdekat. Jika dilihat dari raut muka,
mereka terlihat kelelahan. Pekerjaan menuntut mereka untuk melakukan hal-hal tidak
masuk akal, mereka bangun jam 6 pagi dan tidur hampir jam 12 malam setiap harinya,
kuputuskan mulai besok akan kuhabiskan waktu lebih banyak dengan mereka dan
membantu pekerjaan mereka.

Setelah menunggu beberapa pekan, hasil keluar dan aku dinyatakan lulus di
Universitas Sriwijaya, yaitu kampus terluas di asia tenggara. Jika dipikir-pikir nama
universitas ini tertulis sebagai universitas yang kuinginkan saat sekolah dasar. Semua
sekolah yang kumasuki sangat dekat dengan rumah, itulah alasan mengapa aku dulu
menulisnya.

Semua orang dirumah bahagia dengan hasil tersebut, kedua orang tuaku yang
tidak pernah kuliah sekarang dapat menyekolahkan anak mereka hingga kuliah. Aku
terlalu fokus kepada hutan hingga tidak menyadari akan pohonnya. Ketika aku berhenti
mencari kebahagiaan di luar, aku menemukannya dalam diri sendiri. Ketika aku meraih
semua yang aku inginkan, baru aku menyadari bahwa yang paling berharga adalah yang
selalu aku miliki. Aku senang melihat mereka berdua bahagia, aku membuat peta jangka
pendek yang berisi hal-hal yang harus kulakukan kedepannya. Aku ingin secepatnya
membahagiakan mereka lagi dan melihat senyum mereka lagi. Akupu mempunyai aadik
yang harus kubahagiakan juga kedepannya.

Dalam perjalanan hidupku yang penuh liku, aku telah belajar banyak tentang arti
keluarga, tekad, dan pengorbanan. Terlepas dari perubahan yang telah aku alami, aku
tidak akan pernah melupakan akar-akar kebaikan yang tumbuh dari keluargaku.
Meskipun terkadang jalan yang aku pilih penuh dengan rintangan, aku tahu bahwa aku
memiliki cahaya dalam kegelapan, yaitu orang tuaku yang selalu mendukungku.
Terlepas dari segala perubahan dan tantangan yang aku hadapi, aku menyadari bahwa
kebahagiaan sejati tidak selalu ditemukan di tempat yang jauh, melainkan ada di dalam
diri kita sendiri dan dalam hubungan yang kita bangun dengan orang-orang yang kita
cintai. Aku bersyukur atas setiap pelajaran yang telah aku terima dalam perjalanan ini,

5
dan aku berjanji untuk tidak pernah melupakan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh
masa laluku. Kisah hidupku hanyalah awal dari perjalanan yang panjang, dan aku siap
untuk menghadapi segala hal yang akan datang. Dalam cahaya bintang-bintang di langit
malam, aku akan terus merenungkan perjalanan ini dan terus berusaha menjadi yang
terbaik. Saya tahu bahwa dengan keyakinan dan kerja keras, tidak ada impian yang
terlalu besar untuk diwujudkan. Semoga cerita hidupku dapat menjadi inspirasi bagi
orang lain untuk tidak pernah menyerah dalam mencari arti sejati dari kebahagiaan dan
kesuksesan.

***

Kehidupan Kampus?
...
Dunia Kerja?
...

Nama: Rama Ardian Syah


NIM: 06021282227018

Anda mungkin juga menyukai