Anda di halaman 1dari 3

Cerita Kaia

delapan belas tahun hidup

Nama lahir saya Kaia Azahra Putri Aimar, orang-orang biasa memanggil saya
Kaia. Saya anak tengah dari tiga bersaudara. Lahir pada 01 Desember 2005, dan kini
adalah tahun ke-18 saya hidup. Saya duduk di kelas 12, artinya cukup banyak hal yang
saya lewati hingga fase remaja.
Saya bukan anak aktif yang memiliki sejumlah prestasi. Seingat saya sejak TK
sampai sekarang, saya hanya punya satu piagam Juara 1 lomba mengarang cerita, saya
dapatkan sewaktu SD, dan sekarang piagam tersebut entah ada dimana. Tapi saya
cukup sering masuk rangking 10 besar sejak SD, dan beberapa kali dapat 3 besar saat
SMP.
Masuk SMP, saya berhasil masuk salah satu SMP negeri yang cukup favorit di
daerah saya, walau sebenarnya pada awalnya agak menimbulkan rasa sesal karena itu
bukan SMP terfavorit yang saya mau. Saya diterima di sana bersama salah satu teman
dekat saya sejak SD, beruntungnya kita masuk di kelas yang sama saat kelas 7 sehingga
saya tidak merasa seperti anak hilang yang tidak punya teman, berhubung saya adalah
orang yang tidak mudah berbaur dengan orang baru. Penyesalan saya tidak
berlangsung lama karena setelahnya saya mendapat teman-teman baru yang ternyata
asik dan konyol. Banyak cerita dan kenangan baik yang saya punya semasa SMP, yang
pada akhirnya membuat saya beryukur diterima di SMP tersebut dan ditakdirkan
bertemu dengan teman-teman saya.
Lalu COVID datang di kelas 8 SMP, libur dua minggu yang saya pikir suatu
kebahagiaan ternyata hanya tipuan. Bukan dua minggu, tapi dua tahun.
Menyenangkan memang, saya tidak perlu capek-capek ke sekolah tiap hari dan
membuang ongkos. Sedihnya, itu jadi menciptakan jarak antara saya dan teman-
teman saya. Lalu ada dampak lain dari karantina selama kurang lebih 2 tahun, saya
merasa ada banyak sekali perubahan, terutama dalam diri saya sendiri. Perubahan
yang setelah saya pikir-pikir saat ini, justru menimbulkan efek positif untuk diri saya
kedepannya.
Menginjak masa SMA, saya sekolah di MAN. Disitulah satu ketika dimana saya
pernah merasa sangat kecewa dan gagal, saya tidak berhasil diterima di sekolah yang
saya mau.
Saya sempat kebingungan ketika PPDB karena tidak diterima di semua SMA
umum yang terdekat dari rumah, lalu saat detik-detik terakhir, satu teman saya
mengajak saya agar segera mendaftar di PPDB MAN. Akhirnya, saya langsung
mendaftar karena berpikir tidak punya pilihan lain. Swasta tidak menjadi pilihan,
karena ekonomi keluarga saya sedang tidak stabil.
Sayangnya, saya dan teman saya terpisah, kita diterima di MAN yang berbeda.
Lalu saya mulai menyesali segala keadaan yang ada.
Sebelumnya saya tidak tahu apa itu MAN, tidak pernah mendengar juga, dan
itu membawa saya ke bayang-bayang negatif hingga hampir satu setengah tahun
lamanya. Saya sulit untuk akrab dengan teman-teman sekelas, teman-teman saya
yang bernasib sama sudah berhasil pindah dan saya sendirian. Saya sempat merasa
sangat terpuruk, datang ke sekolah hanya berharap untuk segera pulang. Berkali-kali
saya mencoba mutasi ke sekolah umum, berkali-kali juga saya gagal.
Semuanya mempengaruhi saya dalam hal belajar hingga tanpa sadar saya
menjadi sangat pemalas dan sulit fokus, saya merasa tidak punya harapan bersekolah
di MAN, dan punya harapan jika berhasil pindah sekolah.
Kelas 11 semester 2, saya masih berada di MAN. Banyak hal yang terjadi dalam
satu setengah tahun yang sudah berhasil dilewati, entah bagaimana caranya perlahan
saya bisa berbaur dengan teman-teman ekskul, lalu teman-teman sekelas. Perlahan-
lahan, pikiran saya tidak lagi terbebani dengan obsesi untuk pindah sekolah. Saya
merasa mulai terbiasa, dan menerima.
Saya sadar, hal yang saya lakukan pada saat itu adalah suatu kesombongan.
Padahal kalau dipikir-pikir, MAN itu adalah rezeki. Kalau tidak diterima di MAN, maka
saya harus ke swasta sementara keadaan ekonomi keluarga saya sedang buruk-
buruknya.
Disini, saya bertemu dengan banyak anak manusia dengan beragam
kepribadian yang sebelumnya tidak pernah saya temui. Ada yang mengangumkan,
unik, sampai aneh. Beragam cerita yang saya dapati setiap hari membuat saya
nyaman, sampai akhirnya menyerah untuk pindah sekolah karena selalu gagal juga.
Mama menyuruh untuk ikhlas, dan saya mencoba ikhlas dan menikmati apa
yang saya dapati saat ini. Walau terkadang saat kumpul bersama teman SMP yang
berhasil diterima di sekolah umum, ada sebersit rasa sesal dan iri. Tapi saya mencoba
paham kalau semua orang memiliki cerita hidup dan proses-nya masing-masing.
Sejujurnya, kegagalan yang pernah saya rasakan semasa jenjang terakhir masa
sekolah ini cukup bersejarah. Melahirkan banyak nilai positif untuk diri saya.
Mama bilang, “kamu ada di sana bukan tanpa alasan, bisa jadi ada sesuatu
dibaliknya.” Yah, walaupun saya agak ragu apakah saya sudah berjumpa denga hal baik
yang dimaksud, atau mungkin saya hanya belum menyadarinya.
Dan di akhir tahun saya sekolah ini, saya hanya berharap bisa diterima di PTN,
lebih-lebihnya lagi di PTN dan jurusan yang saya inginkan, sebagai bentuk balasan
karena saya pernah gagal berkali-kali saat tes mutasi sekolah. Dan saya tidak mau gagal
lagi. Saya tidak mau menyesal lagi.

Jakarta, 18 Januari 2023,


Oleh Kaia di usia 18.

Anda mungkin juga menyukai