Anda di halaman 1dari 5

PENANTIAN PANJANG

Senin, 17 April 2023. Aku bangun lebih cepat 15 menit dari alarm,
menyeduh kopi dan membawa sepiring nasi masuk ke kamarku. Aku mengerjakan
UAS Pancasila dengan seksama, memeriksa kembali jawaban dan
mengumpulkannya secara tepat waktu. Sorenya ibuku menelpon nenekku,
rencananya beliau akan mengabarkan jika tahun ini kami tidak bisa pulang
kampung lagi. Jika dihitung, kami sudah 4 tahun tidak pulang kampung. Untuk
alasan, dampak dari covid adalah jawaban yang tepat. Saat aku mendekat, tiba-
tiba telepon dialihkan ke arahku, saat itu dalam kondisi video call. Kudapati wajah
nenekku di layar telepon, kutanyakan kabarnya, masakannya hari ini, dan sedang
apa, untuk sekedar basa-basi. Pertanyaan yang selalu ada di pikiranku pun
muncul, “Tahun ini pulang gak?”. Aku tau harus bilang apa, dan dengan hati-hati
kujawab, “Engga nek, insyaallah tahun depan ya”.

1
“Kalo ga bisa sekeluarga, kamu sama adikmu saja” Katanya sambil masuk
ke dalam rumah.

“Hehehe gimana ya nek, insyaallah tahun depan nek nanti pulangnya biar
rame hehehe, ”

Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi, dengan senyum yang agak
dipaksakan dan tawa jelek itu, aku menjawab dengan jawaban yang ada di dalam
kepalaku.

“yaudah, semoga rezekinya ditambah, semoga bisa pulang tahun depan, s-


semoga...”

Kulihat air mata mengalir di wajah nenekku, beberapa kali tangannya


mengusap air mata itu, tangisnya pecah, penantian bertemu anak dan cucu selama
4 tahun harus dibuat kandas dan dipaksa untuk menunggu kembali. tangisnya
makin lama makin menjadi-jadi, hal inilah yang ibuku takutkan, beliau
memberikan telepon itu kepadaku karena takut tidak kuat melihat nenekku
menangis. Di depanku, ibuku menyuruh menutup teleponnya sebelum itu
bertambah parah. Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk mengakhiri telepon
ini.

“Nek, nenek sehat-sehat ya, nanti sudah shalat aku telpon lagi, nanti rame
nek, udah ya hehehe”

Aku melambaikan tanganku, nenekku juga mengikutinya dan panggilan


telepon itu pun berakhir.

Aku kembali berjaga di kasir. Setelah tidak kudapati ayah dan ibuku untuk
beberapa saat, mereka datang dari lantai dua dengan wajah yang sudah lama tidak
kulihat. Itu adalah wajah seseorang yang sehabis menangis. Dengan gelagat agak
kebingungan, ibuku pun mengajak untuk pulang ke kampung. Rencana yang agak
mendadak, tepat tiga hari dari hari itu yang akan dijadwalkan untuk kepulangan
kami. Untuk segala hal aku tidak keberatan, perkuliahan sudah mulai libur, dan
hanya ada satu tugas yang belum aku kerjakan, sebuah tugas yang dijadwalkan
paling lambat akhir bulan ini. Aku Kerjakan tugas itu dalam waktu satu hari,

2
memang agak terburu-buru, tapi tugas itu berhasil selesai. Keinginanku untuk
menyelesaikan tugas itu sebelum berangkat adalah untuk memaksimalkan
liburanku, aku tidak ingin dibayang-banyangi tugas saat berada di kampung
halaman. Hari pemberangkatan pun tiba, ayah, ibu, adik dan aku berangkat
menggunakan bus, perjalanan itu memerlukan waktu 30 jam. Kampung
halamanku bertempat di Pati, Jawa Tengah. Sebuah desa pertanian, karena banyak
yang menjadikan bertani sebagai mata pencaharian utama di sana. Tapi tidak
dengan nenekku, walau umurnya sama dengan umur negara tapi semangatnya
untuk bekerja masihlah tinggi, ia bekerja untuk orang yang akan mengadakan
suatu acara, karena di desa itu nenekku terkenal akan masakannya yang enak.

Saat baru sampai rumah, nenekku kelihatan masih bingung, ia belum sadar
sebelum disadarkan kalau anak dan cucunya telah pulang dan berada tepat di
depannya. Aku ada banyak hal yang ingin kukatakan, namun yang keluar dari
mulutku hanya “Kami pulang nek, doa nenek langsung terkabul hehe”. Merespon
itu Nenekku langsung memelukku dan mencium pipiku, beliau juga memeluk
adikku, setelah itu beliau sangat antusias membersihkan kamar untuk
peristirahatan kami. Kulihat rumah nenekku, rumah itu baru saja selesai
direnovasi, terlihat lebih besar dan indah. Saat baru selesai membereskan barang,
aku langsung ke rumah tepat di depan rumahku, itu adalah rumah sepupuku. Ku
Ketuk pintunya, saat melihatku ia berteriak dan memanggil ibunya. untuk umur,
kami seumuran. Kami telah saling kenal sejak tk, kami bermain bersama, makan
bersama, belajar bersama, mandi bersama dan tidur bersama. Bagiku ia adalah
keluarga, teman dan juga sahabat. Mungkin, hanya dengan dialah aku dapat
terbuka walau tidak semuanya.

“Yo! Apa kabar?” Kataku sambil menjabat tangannya

“HEH!? Katanya gak pulang?” Tanyanya sambil menyatukan alisnya

“Kejutan”

Itulah kata yang keluar tanpa sadar dari mulutku, padahal aku telah
mempersiapkan kata-kata yang menurutku tidak sesingkat itu.

3
Untuk beberapa menit kami berdiam diri, keadaan menjadi canggung
karena sudah lama tidak bertemu dan berbalas pesan. Untuk mengurangi rasa
canggung aku menyerbunya dengan banyak pertanyaan, saat ini aku sudah seperti
polisi yang sedang menginterogasi tawanannya.

Hari berikutnya, hal pertama yang kulakukan adalah mencicipi masakan


nenekku. Aku menyuruhnya memasakkan makanan yang tidak ada di Palembang
untuk beberapa hari kedepan, contohnya: iwak pe (ikan pari asap), botok, ikan
merah goreng, dan sebagainya. Jika mengingat hari ini adalah hari terakhir puasa,
itu artinya adalah malam takbiran. Ada tradisi yang selalu diadakan saat takbiran,
yaitu sebuah arak-arakan, singkatnya warga desa akan beramai-ramai mengelilingi
desa membawa kerajinan berupa boneka setinggi manusia. Sorak allahu akbar
walillahilham memecahkan malam, aku dan sepupuku serta teman temanku
mengikuti rombongan mengelilingi desa menggunakan motor, walau desak-
desakan itu tidaklah mengurangi rasa kagumku terhadap tradisi tersebut.

Hari lebaran pun tiba. Berbeda dengan di Palembang, di sini setelah shalat
ied tidak langsung berkunjung ke rumah sanak-saudara, namun itu dilakukan di
hari esoknya. Walau begitu, ada sebuah tradisi yang dilakukan setelah shalat ied
yaitu makan bersama di langgar (mushola). Aku juga tidak lupa melakukan ziarah
kubur bersama keluargaku. Untuk menutup hari, aku bersama adikku mengelilingi
desa menggunakan sepeda onthel kesayanganku.

Hari selanjutnya diisi dengan maaf-maafan, walau tidak seramai terakhir


kali aku pulang, semua warga masih mempertahankan tradisi mengelilingi desa,
memasuki rumah, dan saling meminta maaf. Dihari ini juga aku bertemu dengan
teman-teman masa kecilku, mereka semua telah banyak berubah, dari cara pikir
maupun fisik, mungkin hanya aku saja yang belum berubah di sana. Hari demi
hari kuhabiskan di desa itu, tidak lupa aku juga mengunjungi tempat destinasi di
kotaku Semarang, diantaranya: Kota Lama Semarang, Sam Poo Kong, Lawang
Sewu, Pantai Karang Jahe, Pantai Pailus dan Pantai Kartini. Hanya itu saja yang
dapat dikunjungi dalam sehari, itu juga salahku karena menghabiskan waktu di
jalan, aku tidak terlalu bisa membaca map, akibatnya banyak waktu yang
terbuang.

4
Hari kepulanganku pun tiba, aku pulang lebih cepat dari orang tuaku
karena ingin mengejar ulangan yang harus diadakan hari selasa, 2 mei 2023.
Harusnya banyak hal yang ingin kubicarakan dengan nenek dan teman-temanku di
sana, tapi kata-kataku tidak ingin keluar. Saat berpamitan dengan sepupuku yang
busuk (karena ia belum mandi waktu itu), aku hanya bersalaman dan mengatakan
“See you next year”, itu adalah kalimat yang tanpa sadar ku ucapkan, sebuah
kalimat yang aku tidak tahu dapat menepatinya atau tidak. Setelah itu aku
berpamitan dengan teman-temanku, respon mereka sangat hangat, inginku
bermain lagi dengan mereka rasanya. Dan yang aku sisakan di akhir yaitu
nenekku, aku ingin berpamitan dengan kata-kata keren di depannya, namun aku
tidak bisa mengeluarkan kata-kata itu, mulutku kaku, dadaku sesak, mataku perih,
nafasku tidak beraturan, akhirnya aku hanya memeluknya dengan diam. Aku tidak
tahu dengan diriku, aku tidak bisa mengungkapkan isi hatiku, bahkan kepada
keluargaku, aku bahkan baru menyadari bahwa aku sangat sentimentil, jika bisa,
aku ingin menghilangkan sentimentil itu, setidaknya satu hari, tidak satu jam, atau
satu menit saja untukku mengungkapkan hal yang ingin kusampaikan. Aku juga
ingin berubah, berubah menjadi lebih baik, lebih baik lagi dalam menyampaikan
kata-kata, agar tidak ada penyesalan yang tertinggal di hati.

Nama : Rama Ardian Syah

NIM : 06021282227018

Anda mungkin juga menyukai