Anda di halaman 1dari 6

Luka Yang Tak Kasat Mata

Penulis : Emil Padila, S.T

Namaku zaki, aku adalah pria yang tak beruntung dalam hal cinta. Asa yang
diciptakan bersama kian musnah seketika, oleh kelakuan jahatnya. Luka yang ia ciptakan,
berhasil menggrogoti hati hingga membuatku tak berdaya karena nafsunya yang luar biasa.
Ana adalah namanya, wanita baik yang ku kenal awalnya. Memiliki wajah yang manis, yang
tak bosan ketika aku memandangnya. Ia adalah sosok yang selalu perduli dengan kekasihnya,
namun sekarang itu menjadi kenangan belaka. Kenangan yang ku harap bisa musnah
selamanya.

“Kring, kring, kring, kring.” Terdengar ponselku berbunyi pertanda ada pesan masuk.

“Pagi sayang, jangan lupa kamu ada jadwal kuliah hari ini,“ pesan dari Ana pacarku.

“Baik sayangku,” jawabku kembali dengan beberapa emoticon cinta yang ku sematkan
setelahnya.

Ya, semenjak berpacaran dengan Ana teman-temanku menyematkan gelar bucin itu
kepadaku, karena bagi mereka aku tanpa Ana sama halnya seperti perpustakaan tanpa buku.
Aku mengenal Ana dari unit kegiatan mahasiswa (UKM) P3M. Ana adalah cinta pandangan
pertamaku. Kharisma yang terpancar dalam diri Ana, membuatku berambisi untuk menjadi
kekasihnya. Walau terbesit dalam hati itu mustahil, entah mengapa aku berusaha percaya diri
agar bisa mendapatkan cintanya. Aku dan Ana berpacaran sudah hampir 2 tahun lamanya.
Banyak kenangan yang sudah kami toreh bersama. Salah satu yang paling memorial adalah
liburan bersama ke pulau Bangka.

26 Desember 2018 merupakan hari terakhir ujian semester. Di sore harinya aku ingin
mengajak Ana refreshing, memulihkan kembali otak yang selama seminggu dipaksa untuk
berpikir keras.

“Sayang, hari ini kita ke bisokop yuk, film yang kita tunggu udah tayang hari ini, nanti aku
jemput kamu jam 15.00 WIB ya,” ajakku kepada Ana.

“Serius, kalau gitu aku siap-siap dulu ya sayang,” ujar Ana.

Waktu telah menunjukkan pukul 15.00 WIB, aku mulai mengidupkan mesin motorku,
bremmm, bremmm suara motorku ketika dihidupkan.
Tak sabar rasanya untuk bertemu sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Di perjalanan aku
tersenyum sendiri melamunkan dirinya, membayangkan parasnya bak bidadari surga.

Setibaku di rumah Ana, aku langsung turun dari motor, berjalan ke depan pintu rumahnya
sambil mengucapkan salam.

“Assalammualaikum, Ana,” seruku memanggil Ana.

“Waalaikummusalam, iya,” sahut Ana.

Ngitttt suara Ana membuka pintu. Terlihat Ana menghampiriku dengan langkah kecilnya
sembari berkata, “ Ayo berangkat.”.

Sesampainya di bioskop kami memesan tiket terlebih dahulu, tiba- tiba ada seseorang yang
memanggil namaku, “ Zaki.” Aku langsung menoleh ke belakang, ternyata itu temanku
Firman.

“ Firman sendirian aja kamu, ajak pacar dong sekali-kali heheh, “ ujarku sambil bergurau.

“Hahaha bisa aja kamu, kamu berdua saja sama Ana ?“ tanya Firman.

“Iya Firman, kami berdua saja,” jawab Ana menatap mata Firman.

“Kalau begitu aku duluan ya, “ jawab Firman kembali.

Risih menyerengai hebat saat aku melihat Ana menatap Firman, namun aku tau mau
mengambil pusing dengan hal tersebut, karena menurutku itu bukan suatu hal perlu
dipikirkan. Setelah Firman pergi, aku dan Ana lanjut memesan tiket, kemudian kami duduk di
depan teater sembari menunggu film dimulai. Perasaan riang memayungiku saat itu, ku
genggam tangannya seraya berkata ,“I love you Ana”. Terlihat Ana tersenyum manis saat ku
ucapkan kata itu. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu teater telah di buka
pertanda film yang kami tunggu sudah dimulai. Aku dan Ana bersicepat masuk ke dalam
teater dan duduk di kursi yang telah kami pesan sebelumnya. Sepanjang film diputar, aku dan
Ana menonton film dengan khidmat. Kemesraan kami pun tak terbendung, kepala Ana yang
bersandar di pundakku, ditemani secangkir coca-cola dan popcorn yang telah kami pesan
sebelumnya seakan membuat kami berdua sedang dimabuk cinta saat itu. Dua jam telah
berlalu film pun selesai, aku dan Ana memutuskan pulang karena tampak petang sudah
hampir mengilang. Di perjalanan pulang aku berpesan pada Ana.

“ Ana sayang jangan tinggalin aku ya,” pesanku dengan perasaaan memohon.
“iya, aku janji tidak akan ninggalin kamu,” seru Ana menjawab pesanku.

Aku sangat lega mendengar jawaban dari Ana, seketika pikiran negatif pun lenyap dari
otakku.

Dua hari telah berlalu pagi itu terasa berat bagiku, badanku meriang, kepalaku pusing
membuat kondisiku lemah tak berdaya saat itu. Aku bergegas mencari ponselku untuk
mengabari Ana. Tak menunggu waktu lama Ana sampai di kostanku untuk menemaniku
berobat. Berjam-jam Ana menemaniku saat itu, pijat kecil di kepala dengan sedikit olesan
minyak kayu putih sembari menatap wajahku dengan perasaan murung hingga aku tertidur.
Perhatian yang selalu diberikan Ana membuatku percaya bahwa dia sosok yang akan
menemaniku hingga masa tuaku nantinya. Gemericik air, bunyi perasan kain kompresan
membuatku terbangun, mata merah mengeliat seakan memberi isyarat kondisku saat itu
benar-benar memilukan. Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB, Ana menanyakan kondisiku
saat itu.

“Sayang, gimana udah enakan apa belum ? Aku mau pergi sebentar sayang soalnya udah janji
sama temanku,” ujar Ana.

“Oh yaudah, kamu hati-hati ya, nanti kalau kamu udah pulang aku mau nitip bubur untuk
minum obat” ucapku kembali.

Setelah Ana pergi aku melanjutkan tidurku, karena memang badanku belum pulih saat
itu. “Astaghfirullah.” Tersentak aku terbangun karena mimpi buruk menghantuiku. Ku
tolehkan kepalaku ke arah jam ternyata sudah pukul 21.00 WIB sekarang, namun Ana belum
juga pulang, tak seperti biasanya. Aku mencoba menghubungi Ana via telepon dan pesan
menanyakan prihal kabarnya.

“ Kamu sedang dimAna sekarang ?”tanyaku

“ Aku masih di rumah teman“ jawabnya.

Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB sampai sekarang aku masih menunggunya. Terpikir
untuk melangkahkan kaki ke depan gang mencari warung makan, sembari menunggu kabar
dari Ana. “Gret gret.” Suara langkah kaki yang ku seret tak berenergi seolah-olah bukan
menjadi penghalang bagiku. Setibanya di depan gang, ternyata warung makan sudah tutup
semua. Aku memutuskan duduk di depan warung untuk beristirahat sejenak. Ku buka
ponselku, kemudian menjepret kondisi sekitar yang tak ada penerang. Update story Whatsapp
pun kulakukan untuk menghilangkan suntuk yang berkepanjangan.

“Kring kring.” Ponselku berdering, ada pesan masuk dari Firman.

“Hey kamu lagi ngapain disana zak?” tanya Firman

“Aku mau beli makan, tapi warung sudah pada tutup, padahal mau minum obat sekarang”

“Kamu sakit apa? yaudah aku ke sana ya, tunggu sebentar nanti aku bawakkan roti untukmu”

Tak menunggu waktu lama Firman pun datang sambil menenteng kantong plastik berisikan
makAnan untukku.

“Eh, tadi aku lihat si Ana main ke kostan temanmu si Galih”

“Serius man ? soalnya Ana bilang kalau dia mau bantuin teman kampusnya Putri,”

Aku mulai panik dan firasatku mulai tidak enak, batinku berkata pasti ada yang tidak
beres. Aku langsung menghubungi Ana saat itu juga, berkali-kali ku telpon dan tak diangkat,
pesankupun masuk namun tak dibalas. Aku bertanya-tanya pada diriku “ini kenapa” batinku
bergumam.

“Man aku mau minta tolong antarkan aku ke kostan Galih, ” pintaku memasang muka melas.

“Oh yaudah ayok,” pungkas Firman.

Di perjalanan aku mencoba kembali menghubungi Ana menanyakan prihal kabarnya. Aku
terus berharap Ana membalas pesanku walau hilal itu mustahil ada. Ku telpon, namun tak
mendapat balasan. Pikiranku mulai kacau, aku mulai memikirkan hal-hal aneh saat itu.
Setibanya di kostan Galih betapa terkejutnya aku melihat motor Ana terparkir di teras kostan
Galih dengan pintu tertutup. Amarahku seketika memuncak tak terebendung namun, masih
ku tahan. Ku ketok pintu kostan Galih saat itu juga memastikan firasatku itu benar atau tidak.

Tok tok tok “Assalammualaikum” Tiga kali aku melakukan hal yang sama, sampai akhirnya
Galih membukakan pintu. Betapa terkejutnya aku saat melihat Ana ada di kamar Galih yang
sedang tertidur. Emosiku tak terkontrol saat itu.

“Astaghfirullah Ana ngapain kamu tidur di kostan cowok ?” tanyaku emosi.

Tersentak Ana terbangun mendengar suara bentakan yang keluar dari mulutku.

“Sayang, aku bisa jelasin semuanya,” ucap Ana memohon.


Aku langsung berbegas pergi saat itu juga, ku tatap mata Galih dengan penuh dendam. Air
mataku seketika mengalir tanpa permisi, hatiku terbakar begitupun jiwaku menggelepar
menapi perih. Ana begitu jahat padaku tak ada rasa empati secuil pun dalam dirinya. Ia tega
melakukan perbuatan keji ini. Aku benar-benar putus asa saat itu, tak ada alasan yang bisa
kuperbuat untuk mempertahankan fondasi percintaan ini. DiperjalAnan pulang ponselku tak
berhenti berdering, sedikit terlihat pesan dari Ana yang selalu meminta maaf dan akan
memberi penjelasan tentang masalah ini.

“Sayang, aku bisa jelasin semuanya, kamu tolong maafin aku,” pesan Ana dengan
menyematkan emoticon memohon.

“Aku benar-benar sakit hati Ana, dulu kupikir kebahagianku adalah bersamamu, namun
semenjak kejadian ini aku mulai ragu,” jawabku dengan emosi yang membuncah.

“Harusnya kamu instroskpeksi diri zaki, jangan lebay jadi cowok, ” pungkas Ana.

“Tidak boleh ada pembenaran dalam perselingkuhan Ana, jangan jadikan ini sebagai alasan
untukmu berselingkuh!” ucapku kembali dengen penuh emosi.

Kalimat yang dilontarkan Ana membuatku yakin tak ada yang harus diperjelas lagi.
Hebatnya, Ana adalah sosok orang yang mampu membuatku merasa dicintai dan merasa
tidak diinginkan dalam waktu yang bersamaan. Aku berterimah kasih kepada Firman karena
telah memberitahu tentang keberadaan Ana. Ku putuskan esok harinya untuk pindah kostan,
karena aku tidak mau Ana mengetahui keberadaanku.

Dua pekan setelah kejadian itu aku jatuh sakit. Tak tahan hatiku menampung
segelumat masalah percintaan ini. Terdengar suara hujan kian melengkapi suasana hati,
menyesakkan dan memaksa pikiran mengingat kenangan itu sesekali. Ku tutupi masalah ini
dari kedua orang tuaku. Tak mau menyusahkan dan membuat mereka panik dengan
kondisiku saat ini. Sempat ingin bunuh diri, namun kurungkan niat itu. Aku berusaha bangkit
dari keterpurukan, berusaha memulai kehidupan baru, walaupun sulit rasanya. Hari itu juga,
ku putuskan untuk pergi ke psikiater guna mengobati mentalku yang ku rasa sudah tak beres.
Aku didiagnosa mengalami penyakit Depresi. Tertegun aku mendengar diagnosa yang
terucap dari mulut sang dokter, perasaanku kacau, mataku mulai berkaca kembali, hatiku
remuk seketika mendengar hal itu, dan dokter berusaha menenangkan dan menyemangatiku
saat itu.
Setahun setelah kejadian, kondisiku sekarang sudah sangat baik, aku sudah
mengikhlaskan semuanya. Banyak hikmah yang aku pelajari dari sejarah dunia percintaan
yang aku alami. Aku bersyukur Tuhan telah mematahkan hatiku untuk menyelamatkanku dari
orang yang salah. Tak sedikitpun penyesalan tertoreh dihatiku. Sekarang aku harus berhati-
hati dalam memilih pasangan hidup karena aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama
seperti dulu. Aku berdoa semoga Tuhan selalu menjauhkanku dari orang-orang brengsek
yang selalu mendatangkan kepiluan untukku.

Biodata Narasi

Emil Padila. Pria kelahiran Manna, 8 november 1998 merupakan Alumni Teknik Sipil
Universitas Bengkulu. Ia merupakan anggota aktif organisasi yang bergerak dibidang
pendidikan. Memiliki hobi bernyanyi sehingga berhasil mendapatkan beberapa penghargaan
dibidang tarik suara. Selain bernyanyi menulis adalah hobi lain yang akan ia tekuni saat ini.

Anda mungkin juga menyukai