Anda di halaman 1dari 6

Berlin, I’m In Your Arms

“Kamu nggak salah pilih, ini beneran bagus banget.” Ucapnya.

“Iya bagus, tapi tetep aja acaranya nggak bakalan seru kalo gak ada kamu.” Bantahku.

Ia hanya tersenyum

“Emang beneran nggak bisa ya dokternya kalo dimundurin jadwalnya?” Tanyaku.

“Nggak bisa dong, kan tiketnya udah dipesen sama papa.” Jawabnya.

Ia mencoba merapikan pita gaunku yang sedikit miring, diusap dengan tangannya pipiku
yang entah sejak kapan mengucurkan air mata secara tiba-tiba.

“Jangan nangis dong, sejak kapan acara ulang tahun ada sesi sedih-sedihnya?” Ucapnya.

Aku menarik tangannya kedalam genggamanku. Berusaha tersenyum. Ah, keadaan


seperti ini selalu membuatku malas bicara.

“Kesana yuk, udah ditungguin tuh mau tiup lilin.”

Lantas kita berjalan, menyusuri tepi kolam menuju meja tempat aku akan meniup lilin
ulang tahun yang ke Sembilan belas nanti.

“Kalian ini dicariin kemana-mana nggak ada, udah pada rame loh ini undangannya,
langsung dimulai aja yuk!”

Mama memulai acaranya dengan, ya… beberapa patah kata.

Tiba di saat aku harus meniup lilin, memadamkan api kecil diatas angka satu dan juga
sembilan itu.

Mama memberikan mikrofonnya ke Alana. Ia tersenyum kepadaku lantas pelan


menganggukkan kepalanya seakan meminta izinku atas apa yang akan dilakukannya setelah ini.

Musik mulai berbunyi. Senyum Alana semakin memancar. Ah aku tahu lagu ini, lagu
kesukaan kita berdua.
Ia berjalan mendekat ke arahku, sembari menikmati alunan nada yang terdengar.

Hei, henti sejenak

Aku terengah susul langkahmu

Ah, begitu lambat

Tak tahukah ku terburu-buru

Ia menggenggam tanganku, memaksaku masuk serta dalam penampilannya

Selaraskah nada-nada nafas kita

Serasikah warna-warna watak kita

Setimpalkah beban-beban berat kita

Sebanding bebayang haluan diseberang sana

Diulurkannya mikrofon itu kepadaku sembari tersenyum. Aku menerimanya, lalu


kudekatkan pada mulut.

Hai, cepatlah sudah

Sabarku habis tunggu langkahmu

Ah, begitu cepat

Tak tahukahku kau buru-buru

Selaraskah nada-nada nafas kita

Serasikah warna-warna watak kita

Setimpalkah beban-beban berat kita

Sebanding bebayang haluan di seberang sana


Hai, henti sebentar

Mari benahi irama langkah

Ah, siapa yang menaburkan bubuk bawang disini? Kenapa aku jadi cengeng begini.

Ah, mungkin kau benar

Mari benahi irama langkah

Langkahmu, langkahku, langkah kita

Alana memelukku bertepatan dengan bait akhir pada lagu. Saat itu aku benar-benar
menangis dipundaknya.

Kubisikkan satu permintaan ditelinganya, berharap ia akan memenuhi itu dan


menyenangkan aku. Tapi nihil, yang ia lakukan justru mengusap air mataku.

“Jangan membuat aku berjanji akan suatu hal yang mungkin saja tidak bisa aku tepati
Anindia, itu adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidup.” Ucapnya.

“Besok aku mau ikut nganter kamu ke bandara. Penerbangannya jam berapa?” Aku
berusaha untuk mengalihkan topik.

Ia tersenyum.

“Jangan dulu ya, gimana kalo pas agak longgaran aja.”

“Yaudah, minggu depan aku usahain jenguk kamu kesana, oke?” Ucapku.

Ia mengangguk setuju. Tangannya melambai perlahan, kakinya mulai mengambil


langkah untuk menjauh. Aku tersenyum berusaha mengatakan, pergilah, tunggu aku nanti. Dan
benar, saat ini menjadi malam terakhir aku menatap wajah itu sebelum keberangkatannya ke
Eropa.

*****
Hari ini jadwalku pergi ke Jerman setelah dua hari yang lalu mengabari Alana dan
membeli tiket untuk kesana.

“Nggak ada yang ketinggalan kan kak?” Mama bertanya padaku.

“Kayaknya nggak ada ma, aku kan udah siapin barang dari kemarin.” Ucapku.

“Kamu hati-hati ya disana. Jangan lama-lama, Alana juga harus fokus sama
pengobatannya.”

“Iya, Anin pamit ya ma. Oh iya, semalem Anin nulis surat kalo Anin kangen sama papa.
Nanti minta tolong ya ma, bacain deket makam papa. Anin nggak bisa kalo baca sendiri, nanti
takut nangis hehehe….”

Mama mengangguk perlahan, menahan tetes air mata agar tak jatuh didepanku. Aku
melambaikan tangan, mengucapkan salam perpisahan.

Andai mama tahu, Anin sangat ingin berteriak depan mama kalau Anin sayang mama,
Anin sayang papa. Anin mau ketemu papa, peluk papa. Cerita semua hal yang Anin alami sambil
tiduran di pangkuan papa. Tapi sayangnya semua cuma angan, dan Anin sepenuhnya sadar akan
hal itu.

Drrt… Drrrt…

“Iya halo, kenapa?” Tanyaku.

“……..”

“Ini mau berangkat kok tenang aja.” Ucapku.

“…….”

“Bye Al, aku matiin ya. Selamat tinggal.”

Aku menutup panggilan itu lantas duduk rapi di kursi pesawat.

Baru kali ini aku pergi dengan hati yang tak karuan. Entah kenapa, ada rasa ingin turun
dan tetap tinggal.
Enam belas jam waktu terbang hanya dihabiskan dengan duduk, sesekali berdiri untuk ke
kamar mandi. Capek sekali. Aku segera mencari kendaraan umum untuk mengantarku ke alamat
yang sudah diberikan.

Kota yang indah. Tak seperti di Asia Tenggara, Negara-negara di Eropa memiliki ciri
khas yang membuat pengunjungnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Menikmati bangunan-
bangunan kuno yang terjajar rapi di sepanjang jalanan kota.

“Sir, kannst du mich zu dieser Adresse bringen?”

Aku bertanya pada sopir taksi itu, apakah ia dapat mengantarku.

Setelah mendapat jawaban, aku segera naik. Dan lebih menikmati pemandangan kota ini
dari dalam mobil.

Berlin. Impianku sejak kecil bisa menjajaki kota ini dengan papa. Berjalan-jalan di
sekelililing museum-museum klasik yang tak akan puas jika hanya dikunjungi sekali seumur
hidup.

Braaak… Braaak….

Tiiin… Tiiiin…

Papa. Ini aku, Anindia. Firasatku mengatakan bahwa setelah ini kita akan bertemu. Bukan
papa yang kembali, tapi dengan aku yang pergi. Jujur pa, sebenarnya aku tak menginginkan ini.
Aku masih ingin mengejar mimpiku, masih ingin menghabiskan waktu bersama Mama, Alana,
dan juga yang lainnya.

Detik ini juga, aku merasa terpelanting pa. Jauh sekali. Kepalaku terhantam sesuatu yang
keras, tapi aku tak tahu itu apa. Terasa sakit pa, tapi lebih sakit saat aku menyaksikan kepergian
papa dulu. Lantas detik selanjutnya aku merasa senang pa, karena aku mendapatkan kabar kalau
aku benar-benar akan bertemu Papa.

Alana, maafkan aku karena tak jadi menemanimu pada musim liburan kali ini. Aku
mohon, tetap bisa bertahan ya. Jangan pergi mengikutiku. Biarkan aku menyusul papa.
Juga teruntuk Mama. Sebenarnya masih ada satu pertanyaan untuk mama. Surat yang aku
titipkan, sudah dibacakan belum sih ma? Kalau belum, batalkan saja rencana mama membacakan
surat itu disamping makam papa. Toh, Anin mau bertemu dengan papa setelah ini.

Hari ini, setelah menempuh perjalanan panjang dari Indonesia menuju Berlin. Aku,
Anindia Shaqueena Arabella telah memenuhi panggilan pulang.

Anda mungkin juga menyukai