Anda di halaman 1dari 3

Senja pun pergi dengan meninggalkan bekas kenangan singkat di hati ini, seharusnya dia

bertanggung jawab karena telah membuat gue menunggunya kembali lagi, padahal hal yang paling
dibenci gue adalah menunggu, sama halnya ketika harus menunggu kesepiaan ini berakhir. Sudahlah,
mungkin terlalu drama juga bila air mata ini harus ikut mengalir. dering ponsel pun berdering
membuyarkan semua lamunan, ketika gue melirik nama pemanggil itu, hati ini seperti melihat
berjuta pelangi yang indah bahkan, mengalahkan keindahan senja yang tadi gue lihat.

“hallo, Assalamu alaikum bu” ucap gue dengan perasaan yang luar biasa senangnya.

“wa’alaikum salam Dhita, gimana kabarmu nak betah gak di Jakarta?” balas Ibu dengan suaranya
yang khas yaitu terdengar begitu lembut di telingga gue.

“kabar Dhita baik bu, ibu sendiri gimana? jangan terlalu cape ya bu, ntar sakit makan juga yang
teratur” oceh gue, seakan tanda titik tak berguna sama sekali saat memberi pesan untuk Ibu.

Demi menepis rasa rindu di antara kami, beberapa menit bahkan jam pun kami habiskan dengan
beribu cerita yang terungkap dari masing-masing pembicaraan.

“ya udah ta, jaga diri baik-baik disana, belajar yang bener, jangan lupa solat 5 waktunya, jangan suka
jajan sembarangan, Ibu disini pasti berdoa yang terbaik buat kamu” pesan Ibu yang selalu terucap di
akhir pembiacaraan

“iya Bu, Dhita akan selalu inget nasehat Ibu, Ibu harus jaga diri baik-baik juga disana, Dhita akan
berusaha buat keluarga bangga sama Dhita, ya udah bu Assalamu alaikum” ucap dhita

“Walaikum salam nak” jawab Ibu. Kami pun masing-masing mengakhiri sambungan ini, rasa sedih
pun datang begitu saja, maklumlah gue hanya bisa bertatap muka dengan keluarga hanya satu tahun
sekali, yaitu waktu liburan Ramadhan, selebihnya kami hanya bisa lewat telpon, semua ini terasa
seperti benteng besar yang memisahkan antara gue, dan Ibu.

“Dhit, siapa yang tadi telpon?” tanya perempuan gemuk yang sosoknya buat gue kaget

“Ibu Tan, nanyain kabar aku” singkatku

“ohh ya udah tidur sana, biar besok bisa bangun pagi” perintah nya sembari melangkah keluar.

Fikiran gue masih tetep sama satu arah, yaitu Ibu. Gue berharap malam ini bisa meluk beliau dan
tidur dalam dekapan hangat tubuhnya itu.

waktu menujukan pukul 6 pagi, seperti biasa gue berangkat ke sekolah dengan mengendarai
angkutan umum, gue emang sengaja berangkat pagi agar gak kesiangan seperti kemarin, soalnya
lewat dari jam 6 pagi, jalanan sudah buanyak sekali pengendara-pengendara yang berlalu lelang, dan
karena hari ini hari kamis gue memang gak boleh telat (soalnya yang piket super duper killer… hhhiii)
setelah pertengahan jalan mobil pun berhenti karena ada salah seorang perempuan berjilbab yang
memberi isyarat untuk berhenti, upss tunggu dulu sepertinya gue mengenali sosok itu.

“Assalamu alaikum Ibu Erma” salam pun terucap sambil mencium tangan kananya yang begitu
hangat, entah kenapa jika berada di dekat dia, gue ngerasa seperti dekat dengan Ibu, dia adalah
perempuan yang sangat baik, perhatiaan, dan paling mengerti sama mood gue yang kadang gak
nentu.
“Walaikum salam Dhita, apa kabarnya?” ucap wanita itu, tidak lain dia adalah Guru SMP gue yang
paling menyenangkan. Beberapa pembicaraan pun kami ungkap, dari mulai ini dan itu.

“Ya udah ta, Ibu duluan ya jangan lupa belajarnya lebih rajin lagi, supaya nanti bisa buat bangga
keluarga, terutama Ibu kamu” nasehat Bu Erna. Dari sekian guru yang ada di SMP dulu, hanya beliau
yang tak pernah bosan dengan curahan dan keluhan gue, dia pun selalu memberikan motivasi yang
membuat gue bangkit dari kepurukan.

Bel sekolah pun memberikan bunyi indah pada seluruh siswa-siswa SMAN 45, seluruh siswa pun
bergegas dengan semangatnya dan keluar kelas.

“Mit loe mau kemana, Kok gak mau bareng gue sih?” tanya gue penasaran dengan tingkah temen
yang satu ini

“gue mau nyari kado buat Ibu gue, dua hari lagi kan hari Ibu, ya meski gak sebanding sama jasa dia
setidaknya gue bisa buat dia tersenyum, udah ya Ta gue duluan takutnya kesorean” ucapnya sambil
bergegas. Yah gue sampai lupa kalau dua hari lagi hari Ibu, apa yang mesti gue lakuin buat Ibu gue ya,
Mita mah enak deket sama Ibu nya sedangkan gue, ketemunya Cuma lewat telpon. Tapi bukan
berarti gue gak bisa ngapa-ngapain, gue harus berfikir kado apa yang cocok buat Ibu gue tercinta.
Sepanjang malam gue mikirin apa yang harus gue kasih ke Ibu, setelah sekian jam gue berfikir
akhirnya gue nemu ide yang cemerlang.

“gue bikin puisi aja buat Ibu, trus gue bacain di telpon deh pasti Ibu seneng, berarti sekarang gue
harus buat puisinya” ucap gue sendiri sambil memulai lembaran kosong dan siap menulis puisi.
Sebisa mungkin kata-kata indah pun tertuai dalam tiap bait gue persembahkan buat Ibu.

Waktu menunjukan pukul 9 malam, puisi pun selesai dibuat semoga Ibu akan seneng dengan puisi
buatan gue ini.

Hari Ibu pun Tiba,

Setelah gue mau telpon, ternyata pulsa nya abis plus gak ada uang buat beli pulsa akhirnya gue
congkel celengan kaleng yang ada di lemari sebanyak 6 ribu, dan langkah kaki pun bergegas nuju
konter terdekat. Setelah beli pulsa gue pun pulang, tapi setelah lewat rumah besar itu, datanglah dua
anjing besar yang sepertinya mulai berlarin ke arah gue, dan gue pun berlari sekencang-kencangnya
tapi akhirnya gue selamat. jari pun menuju inbox dan mencari nomor Ibu dan mulai memanggil.

“Assalamu alaikum Ibu” salam gue dengan nafas yang masih belum normal.

“walaikum salam Ta, ada apa? Kok nafasnya ngos-ngosan gitu, mang abis dari mana?” tanya Ibu

“tadi dari konter pulsa Bu, tapi dikejar anjing makanya lari-lari an dah tadi” jawab gue

“hhaa… kok bisa loh nak, kamu ledekin ya anjingnya makanya dia ngejar kamu” jawab Ibu sambil gak
mampu nahan tawanya.

“Ibu Dhita punya sesuatu buat Ibu, mungkin gak berbau materi tapi semoga Ibu seneng ya, Ibu
dengerin ya ini” perintahku sambil memulai bait demi bait dengan penghayatan penuh. Tanpa terasa
air mata gue pun perlahan mengiringi setiap bait yang terucap.
Ibu,

Disaat dunia mengabaikan aku, belamu selalu hadir

Disaat sepi itu datang, kau pun selalu ciptakan kehangatan

Ibu,

Dirmiu layaknya Bintang malam yang selalu bersinar

Dirimu seperti pelangi di senja yang indah

Ibu,

Aku bukan pujangga yang mahir akan kata-kata buain

Aku hanya anakmu yang menuai syair dengan penuh ketulusan

Ibu,

Ajarkan aku menjadi wanita luar biasa sepertimu

Ajarkan aku bagaimana menempuh tajamnya kehidupan

Ibu,

Disaat takdirNya memisahkan kebersamaan kau dan aku

Disaat kita tak dapat lagi saling memeluk

Izinkanlah aku,

Memberikan kisah terindah di lembaran-lembaran hidupmu

“makasih sayang buat puisi indah kamu, Ibu bangga banget punya anak seperti kamu” ucap Ibu yang
disertai isakan tangis.

“sama-sama Ibu, mungkin semua gak akan membalas semua jasa yang kau berikan pada Dhita”
jawabku. Gue seneng bisa buat Ibu bahagia, meski yang gue lakuin ini gak seberapa dengan
pengorbananya. Gue sayang banget sama Ibu semoga suatu hari Tuhan mengizinkan gue untuk
mengantarkanya ke tempat kebahagian itu berada.

Anda mungkin juga menyukai