Anda di halaman 1dari 5

Bab 2 hari yang menyenangkan

KESEDERHANAAN BUKANLAH KEKURANGAN, TAPI


INGAT ITU BISA MEMBUATMU NYAMAN!

“Jangan tidur, Al!” Kak Fajar memperingatiku dengan nada yang lembut, selanjutnya ia menurunkanku
dari pelukannya dan berkata, “Pulang yuk! Hujannya juga udah berhenti, orang-orang sekitar sini juga
pada liatin kita. Kayaknya mau negur deh, tapi pada gak berani.”

“Iya, juga yah. Gak enak juga diliatin sama orang-orang,” balasku menengok kanan dan kiri pada orang
sekitar dan mengikuti Kak Fajar yang mulai menjauh tanpa memerhatikan kondisiku yang masih duduk
di kursi warung dengan bentuk memanjang agar orang banyak dapat duduk disitu, dasar Kak Fajar ini!
Kadang perhatian kadang cuek banget.

Kulihat jam yang berada di pergelangan tangan, sudah menujukan pukul 22:30 WIB, suara lalu lalang
seperti menjadi melodi di jalanan yang cukup ramai, kulihat beberapa kali Kak Fajar melihat ke arah kaca
spion. Tidak hanya sekali, bahkan setiap terdiam saat menunggu lampu yang mengatur jalanan agar
tetap tertib berubah menjadi lampu hijau, Kak Fajar selalu mengelus-ngelus lutut yang ‘tak terlalu putih
ini. Meskipun dia selalu melakukannya saat kami menaiki kendaraan roda dua bak kuda, dengan aku
sebagai penumpangnya, tetap saja jantungku berdegup begitu kencang … seperti maling yang tengah
dikejar-kejar warga. Di bawah langit hitam yang tidak bertihang membuatku berfikir untuk yang
kesekian kalinya. Mengapa Kak Fajar begitu memerhatikanku, mengkhawatirkan, bahkan melindungi,
apakah yang ia lakukan hanya sebatas bahwa aku ini adalah adik sepupunya? Atau ada hal lain? Aku
terlalu berharap jika Kak Fajar juga menyukaiku. Semua pemikiran itu kutepis jauh-jauh, tidak mungkin
jika Kak Fajar memang menyukaiku.

Aku hanya bisa mencintai dalam diam agar tak ada penolakan, aku memilih mencintaimu dalam sepi
agar kamu hanya aku yang memiliki dan aku pun tidak tau kapan rasa ini datang, entah rasa ini adalah
fitrah atau sebatas jebakan setan.

***

“Udah, ya. Jangan ngelamun mulu! Kaka mau pulang dulu,” ucapnya mengelus rambut yang berminyak,
kalau kata orang sunda mah hinyai, jujur aja si aku udah dua hari gak keramas, hehe. Senyumnya itu
begitus manis … pabrik gula saja hingga tutup jika melihat senyuman yang terukir, tangannya gak bisa
diem banget si … pake acara beresin rambut yang berantakan lagi, kalau aja aku pakai jam tangan yang
bisa mengetahui lambat launnya detak jantung, bisa berbunyi keras!

“Ceileh, pake acar pamit segala! orang rumahnya sebelahan, gak ada pager yang menghalangi pula!
Halaman aja bareng-bareng,” timpalku melipat kedua tanganku di dada dan memalingkan pandanganku
ke arah lain.

“Kan biar romantis gitu, Al.” Kak Fajar pun akhirnya mendorong motor yang ia bawa ke halaman
rumahnya dengan cepat memasukan kendaraan roda dua berwarna hitam itu ke dalam rumah. Aku
hendak masuk ke kediaman yang telah aku huni selama kurang lebih tiga belas tahun. Namun, Kak Fajar
kembali menghampiriku dan berkata, “Eh, ada yang lupa.”

Kala itu aku ‘tak bertanya, hanya menaikan sebelah halis dan aku yakin jika Kak Fajar juga sudah
mengerti apa maksudnya, tanpa basa-basi lelaki yang bertinggi badan 170 cm itu menundukan
kepalanya dan mengecup keningku tanpa izin, mata ini melebar tidak menyangka bahwa Kak Fajar akan
melakukan hal itu. Dengan wajah WATADOS si empu malah melarikan diri ke kediamannya tanpa
bertanggung jawab telah membuat sekujur tubuhku kaku dibuatnya. Bagai diterjang hujan uang, dengan
harta yang bergelimang aku segera lari ke arah kamarku yang berada di lantai 2.

Di tempat tidur yang kusebut dengan kasur, memeluk sebuah benda yang isinya adalah busa berkhayal
bahwa benda itu adalah lelaki yang kupuja. Menatap langit-langit kamar, kulihat ada 2 cicak yang tengah
bertengkar, wah, di sana juga ada 1 cicak yang menjadi penonton, 2 penonton aku juga penonton di sini.
Cicak yang tengah menonton itu mengangkat tangannya entah karena apa, tapi itu membuatnya
terjatuh dari langit-langit dinding. Kak Fajar, dia sering melakukan hal-hal yang dapat membuatku salting
bahkan pusing tujuh keliling.

Sinar matahari yang begitu terang hingga menembus celah-celah gorden kamar membuatku seketika
terbangun dari malam yang menyeramkan. Gawat! Jika matahari sudah seterang ini jam berapa
sekarang? Tidak ada waktu untuk memikirkan sekarang jam berapa, hal yang pertama kali aku lakukan
adalah membersihkan diriku dengan air dan sabun.

“Bangun, Al! Udah siang nih!” Teriakan itu terdenganr dari luar diikuti dengan suara motor yang melaju
begitu cepat, berarti sekarang sudah jam tujuh entah lebih atau kurang biasanya dijam seperti ini Kak
Fajar akan menjemput pacarnya dan berangkat bersama. Peran orang tua memang penting ternyata,
Bunda dan Ayah tengah pergi ke luar kota, katanya ingin menghabiskan waktu berdua selama satu
minggu. Tidak ada yang membuatkan sarapan lagi.

Setelah menyelesaikan ritual mandiku yang sangat cepat itu, aku bergegas memakai seragam
kebangganku yang berwarna putih abu-abu, ini nih yang paling menyebalkan disaat terburu-buru jilbab
‘tak kunjung rapi sulitnya itu bagaikan mengepel jalanan beraspal yang sudah berteman dengan debu.
Disaat santai saja merapikan jilbab bisa sampai setengah jam apalagi sekarang.

‘tak perduli betapa berantakannya jilbab dan seragam yang kukenakan, aku berlari sekencang mungkin
menuju ke pertigaan tempat biasanya aku menunggu mobil yang menjemputku setiap aku ke sekolah.
Namun, hanya perlu menunggu sampai mobil yang mengangkut orang-orang yang harus berdesakan di
dalamnya tatkala memang sedang ramai. Akhirnya, setelah menunggu lima belas menit mobil itu pun
datang, kulambaikan tangan pertanda bahwa aku akan menjadi penumpang di mobil tersebut, mobil itu
pun menepi, penumpang lumayan ramai hingga aku tak dapat tempat untuk mendudukan bokongku ini,
tak apalah yang penting aku tidak terlambat datang ke sekolah.

“Tenang aja Neng! Di depan ntar Ibu turun kok,” ucap salah seorang penumpang kepadaku aku tak
membalas hanya tersenyum saja menghargai apa yang ibu itu lakukan. Lokasi sekolah dan rumahku
tidak terlalu jauh, jika mengendari kendaraan mungkin hanya 5-10 menit saja, tapi jika berjalan kaki bisa
menempuh waktu 30 menit. Terkadang aku dan teman-temanku yang satu arah sering berjalan kaki di
waktu pulang sekolah. Ada apa dengan Ibu yang tadi katanya ‘Di depan ntar Ibu turun kok’ mengapa
tidak kunjung turun? Malah tujuanku lebih dekat dari pada ibu tadi, fikirnya ia akan turun lebih dulu,
tapi malah sebaliknya.

“Kiri!” Aku pun turun dan memberikan selembar kertas yang dapat ditukarkan dengan benda lain sesuai
nominal yang terdapat dalam kertas tersebut pada sopir. Banyak orang yang tergila-gila pada kertas ini,
tidak sedikit pula orang yang menghalalkan segara cara agar bisa mendapatkannya.

Syukurnya di sekolah kami tidak ada yang namanya satpam penjaga gerbang, walau pun tengah dalam
jam pelajaran gerbang sekolah masih saja terbuka dan kami tidak hanya sekali atau dua kali untuk jajan
ke luar sekolah saat jam pelajaran berlangsung. Saat melihat suasana lapangan yang sepi, pedagang ‘tak
ada yang membeli hati ini langsung berfirasat bahwa kelas sudah dimulai, dengan terburu-buru kunaiki
anak tangga satu per satu dengan perasaan dag-dig-dug serrr … hingga lantai tiga dimana kelasku
berada, perasaan ‘tak karuan itu selalu menghantuiku saat tau bahwa aku telah terlambat datang ke
sekolah lagi.

Tepat di depan pintu yang terbuka lebar, semua mata tertuju padaku termasuk dia, wanita paruh baya
yang meluangkan waktunya untuk menjadi pahlawan tanpa tanda jasa dan bayarannya pun ‘tak
seberapa. “Terlambat lagi?”

“Enggak, Al. kali ini kamu gak terlambat, Ibu baru aja dateng,” balasnya dengan senyuman yang ia
lemparkan, ‘tak mungkin jika aku tak membalasnya, kuberjalan mendekatinya mencium punggung
tangan yang cukup gelap itu, kemudian duduk di tempat dimana biasanya aku duduk untuk belajar
mencari ilmu. Huft, untung saja guru yang mengajar di jam pertama ini bukan guru killer, tetapi guru di
sekolah kami sangat menghargai kehadiran, waktu itu ada salah satu guru berkata. ‘Kami di sini sangat
menghargai kehadiran siswa, kenapa? Karena kita tidak tau bagaimana seorang murid berjuang demi
datang ke sekolah, entah itu dari ongkosnya atau pun dari keringat yang ia keluarkan saat berjalan
menuju sekolah. Makanya 70% nilai yang masuk dalam rapot kalian adalah kehadiran, tidak apa nilai
latihan jelek asalkan rajin.’ Oleh karena itu walaupun guru killer sekali pun jarang ada siswa yang
dihukum karena terlambat,

“Terlambat lagi, Bro?” tanya seorang lelaki di belakang tempat dudukku dengan lirih dan mendekatkan
mulutnya mendekati telinga.

“Gak denger lu? Tadi apa kata guru?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya, bocah lemot satu
ini pertanyaannya tidak patut untuk dijawab, sudah tau jawabannya tetap saja bertanya, cih membuang-
buang energi.
“Yaelah, ga jadi deh nulis dengan tenang dan nyaman,” gerutu Ardi yang duduknya paling belakang, aku
menoleh ke belakang dan melihat Ardi tengah memutarkan bola matanya dengan malas.

Aku ini bukan si introvert yang duduknya di pojok kelas paling belakang dan ‘tak memiliki teman, bahkan
aku duduk di paling depan bersama Ryeon, semua siswi di kelasku sudah pas berpasangan dengan siswi
lain hanya aku saja yang tersisa tanpa memiliki teman satu meja yang sama jenis kelaminnya, dari pada
tidak mempunyai teman satu meja sama sekali mending aku satu meja bersama Ryeon yang nasibnya
sama denganku. Ada kala dimana kami harus bekerja sama dengan teman satu meja dibeberapa
pelajaran, otaku yang satu ini bisa kugunakan tenaganya saat dalam pekerjaan yang keras-keras. Ryeon,
kami telah berteman sejak menginjak bangku Madrasah Tsanawiyah jadi aku sudah terbiasa dengan
tingkahnya yang nakal itu.

Dengan tinggi badanku yang mencapai 166 cm mereka yang duduk di belakang pasti merasa terganggu
dengan kehadiranku di meja paling depan, tidak hanya sekali bahkan setiap guru atau sekretaris tengah
menulis di papan tulis mereka meneriakiku agar menunduk lah, awas lah, pindah lah, tapi tak
menghiraukan. Argh! Betapa senangnya aku ketika mempersulit mereka saat tengah menulis.

Jangan lupa share cerita ini ke media social kalian, atau ke temen kalian biar banyak yang baca lagi.
Vote dan comentsnya juga jangan lupa, gak rugi juga kan? Kalo ada waktu nanti gue bales coment
kalian. Ini baru awalan pantengin aja terus biar tau kejutan apa yang gue bikin di chapter
selanjutnya. Buat kalian yang udah mengikuti gue, vote cerita gue, coments cerita gue, bujukin orang
biar baca cerita gue, kalian itu berharga bagi gue!

Hatur thank you

Anda mungkin juga menyukai