Anda di halaman 1dari 5

BAB 1 KENANGAN INDAH

DISAAT SEMUA MATA TERPEJAM DISITULAH AKU KEHILANGAN


SOSOK YANG SLALU AKU BANGGA-BANGGA KAN

Malam itu, begitu tenang dan indah untuku dan seseorang yang paling ku sayangi di alam semesta
ini menikmati waktu bersama. Angin sepoy-sepoy menambah ketenangan tanpa ada kegaduhan di
malam ini, suara ombak yang bergemuruh dari lautan yang tak bisa dilihat oleh mata.

“Mah, Al pengen deh, tau keadaan di dalam lautan kayak gimana. Al pengen ke sana, kalo Mamah?” Aku
bertanya setelah menerangkan apa yang ada di dalam hatiku, melihat wajahnya yang penuh dengan
kasih sayang membuatku selalu ingin berada di dalam pelukan dan pangkuannya yang hangat, tulus
yang ia berikan.

“Mamah? Kayaknya Mamah gak mau deh,” balasnya mendudukanku di pagar pembatas antara jalanan
dan jutaan ratus butir pasir yang berada di sisi laut, Mamah tersenyum dan merapikan rambut yang
menghalangi wajahku akibat kencangnya angin malam.

Lantas aku pun bertanya mengapa pemikiran Mamah sebaliknya denganku, “Loh, kok gak mau si Mah?
Kan enak bisa liat ikan, terumbu karang, dan banyak lagi deh Mah seru lho.”

“Sayang, kamu tau gak? Kalo di Bumi ini terbagi menjadi dua yaitu daratan dan lautan?” Mamah
bertanya kepadaku seolah-olah aku ini anak yang tidak mengetahui apa-apa, tapi itu ada benarnya juga
sih. Aku hanya mengetahui apa yang diucapkan dari mulut seorang wanita yang memiliki panggilan
Mamah dia bagaikan mata dunia yang mengetahui semuanya.

“Tau dong, Mah.” Aku memainkan wajah Mama yang sepertinya tanpa lelah mengurusku sembari
bekerja menjadi tulang keluarga, ia adalah pelindung sekaligus pengasuhku setiap hari, sepertinya dia
lah satu satunya kebahagiaan yang dimiliki, walaupun tanpa seorang ayah disisi kami.

“Tiga per dua di Bumi ini di isi oleh air, sedangkan daratan hanya dua per satu, kalo gak salah,” jelas
Mamah diakhiri cengengesan kecil yang membuatku juga ikut tertawa geli melihat Mamah yang ‘tak
yakin dengan asumsinya itu.

“Emang bener Mah?” Aku bertanya untuk meyakinkan apakah yang diucapkan Mamah itu benar atau
tidaknya, semua yang dikatakan Mamah aku memang percaya, tetapi kali ini aku hanya memancing saja.

“Ga tau sih, soalnya itu pelajaran Mamah waktu dulu. Sekarang Mamah udah tua, udah lupa,” jelasnya
mengundang tawa bagi kami berdua, aku memeluknya erat dan juga sebaliknya, entah kenapa aku
sangat bahagia ketika kami berpelukan diiringi tawa. Aku yakin semua orang juga merasa bahagia
sepertiku disaat mereka tengah menghabiskan waktu bersama ibu.

“Terus kenapa Mah? Kalo lautan lebih besar dari pada daratan?” Kembali ke topik, aku bertanya tentang
pelajaran apa yang akan didapat dari pembicaraan malam ini.

“Gini … di daratan aja banyak banget hal-hal yang aneh, kayak hewan berleher panjang, pegunungan,
sungai, lembah, api, manusia, dan hal-hal yang menyeramkan lainnya. Sedangkan lautan lebih besar
dari pada daratan, jadi pasti lebih banyak hal yang menyeramkan juga binatang laut yang aneh-aneh. Di
dalam hutan aja jika pohonnya terlalu lebat maka sinar matahari akan susah untuk masuk dan membuat
hutan itu menjadi gelap, bahkan hewan buas yang hanya tinggal di dalam hutan, di lautan juga sama jika
kita terlalu dalam menyelam pasti cahaya matahari tidak sampai ke sana dan banyak hewan laut yang
menyeramkan,” jelas Mamah panjang kali lebar, yang membuatku hanya garuk-garuk kepala dan
mengernyitkan kedua halisku hingga membuat garis-garis kecil di dahi. “Ngerti?”

Saat Mama bertanya, aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku ini tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun. “Gak papa kalo Al gak ngerti, Al kan masih kecil. Suatu saat nanti saat Al sudah besar Al pasti
mengerti. Yok kita pulang! Ini udah malem.”

Mendengar kata ‘pulang’ aku langsung bersemangat loncat kepelukan Mamah, karena jujur aku
memang sudah mengantuk. Namun, saat kami hendak pergi tiba-tiba aku mendengar suara yang besar
mendak, dengan kencangnya air laut menerjang kami tanpa kata permisi, membuat aku dan Mama
terbawa arus sedikit ke dalam air yang berasa asin.

“Mamah! Mamah! Mamah!” Aku hanya bisa mengangkatkan ke dua tanganku dan berusaha agar tidak
tenggelam dengan cara membuat kepalaku berada di atas air agar bisa bernapas, tapi itu semua sia-sia
saja. Melihat Mama yang menaiki sebuah kereta dengan kuda sebagai roda atau yang membawa kereta
itu hanya tidak habis fikir, bagaimana bisa Mamah enak-enakan di sana sedangkan anaknya sedang dlam
bahaya

Aku melihat jelas jika Mama ingin menolongku, tapi sepertiny ia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali
hanya menangis sembari tangan yang ia sodorkan untuk membantu walaupun posisi kami tidaklah
dekat. Dasar Mamah sialan! Kenapa tidak menolong disaat membutuhkan bantuan?

Saat banyaknya air laut masuk ke dalam mulut, pandangannku pun mulai memudar kelopak mataku
mulai tertutup secara perlahan, aku tidak menyadari apa yang terjadi selanjutnya dan apa yang terjadi
dengan Mamah, apakah dia memang terbawa arus dan tidak ditemukan ataukah dibawa oleh
seseorang? Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengingat wajah Mamah dan tragedi ini perlahan
mulai hilang dari ingatan. Aku hanya berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu.

“Woy!”
Suara berat yang berasal dari mulut seseorang berhasil membuyarkan lamunanku pada tragedi
yang terjadi sekitar dua belas tahun lalu. Suara itu juga membuatku terkejut dengan
menggerakan tubuhku kearah suara yang kukenali, meskipun kesal aku tidak berani
memarahinya dan menunjukan rasa kesalku.
“Ngelamun mulu, kebiasaan deh!” lanjutnya ikut melipat tangan, kemudian diletakan di atas
pagar berwarna hitam pembatas antara jalan dan pantai.
“Eh, Kak Fajar! Hobinya ngagetin aja deh,” sindirku secara halus padahal di dalam hati aku
menggerutu dengan apa yang ia lakukan, kenapa? Sudah tau aku paling tak suka jika
dikagetkan, lah ini malah sengaja! Dilarang malah kayak diperintah.
“Lagi ngapain si di sini? Udah malem tau! Dingin pula. Anak cewe gak baik main malem-malem
sendirian apalagi di tempat sepi. Jauh dari rumah pula.” Kak Fajar, dia berbicara seakan-akan
dia mengkhawatirkanku. Padahal jika ada perempuan lain yang sedang melakukan sama seperti
apa yang kulakukan pasti Kak Fajar akan mengatakan hal yang sama.
“Keliatannya lagi ngapain.” Fikiranku sedang tak normal sekarang, masalah di sekolah, di
rumah, membuatku meluapkannya pada siapa saja yang menghampiriku saat ini.
Hujan kembali turun, kali ini sedikit deras. Aku yakin setiap orang yang tengah ada di luar ketika
hujan turun pasti akan segera meneduh dimana saja asalkan tidak terkena air hujan. Kak Fajar
menarik pergelangan tanganku menjauhi pembatas jalan menuju warung kopi pinggir jalan
yang masih buka. Ya, tidak ada percakapan diantara kami … aku bingung harus memulai
perbincangan ini dengan topik apa.
Tidak sedikit orang menepi dan membuka jok motor mereka lalu memakai pakaian anti air yang
terbuat dari plastic, kemudian melanjutkan perjalanan mereka, tidak sedikit juga orang yang
meneruskan perjalanan mereka tanpa memakai jas hujan dengan keadaan basah-basahan. Lalu
apa yang kulakukan? Aku hanya duduk termenung menyender ke tihang warung yang terbuat
dari kayu, yang berfungsi untuk menjadi penangga kenteng agar para pembeli bisa berteduh
dan tak kepanasan saat berada di warung, tapi aku tak memesan apa-apa karna memang ‘tak
membawa uang.
Akhirnya, kuputuskan untuk bertanya pada Kak Fajar sebagai penghangat di malam yang dingin
ini, “Kakak lagi ngapain di sini?”
“Owh itu, Kakak tadinya mau ketemuan sama cewek, tapi dianya gak dateng-dateng. Terus,
Kakak liat kamu lagi sendirian yaudah Kakak samperin aja,” jelasnya ‘tak mengalihkan
pandangannya pada jalan yang mulai sepi, hanya terlihat mobil dan beberapa pengendara roda
dua. Sudah ku duga! Tidak mungkin jika Kak Fajar sengaja ke sini untuk menjemputku pulang,
pasti hanya kebetulan saja.
“Dasar, buaya! Udah punya cewek masih aja cari yang lain.” Aku menimpali dengan mengelus-
ngelus kedua tanganku supaya sedikit hangat … ini yang diajari Mamah ketika aku kedinginan
dan membutuhkan kehangatan tanpa ada yang memberikan
“Dingin ya? Maaf ya, Kakak ga bisa kasih jeket Kakak ke kamu, soalnya nanti Kakak sakit siapa
yang jaga kamu? Tapi Kakak bisa gunain cara lain agar tubuh kamu tetap hangat.” Perkataannya
itu membuatku sedikit terkejut, gak bisa jagain aku? Biasanya juga dia jagain pacarnya bukan
aku, tapi apa? Punya cara lain? Maksudnya cara lain itu apa?
Dengan secepat kilat Kak Fajar menarikku dan mendudukanku di paha yang terbalut kain levis,
membuatku berada di dalam pelukannya, memelukku tidak terlalu erat dan mengelus rambut,
punggung, dan lenganku menggunakan jemarinya yang sedikit keras itu. Ini berhasil
membuatku nyaman berada di dalam genggamannya seakan-akan aku ini miliknya, satu-
satunya perempuan yang ada di dalam hatinya.
“Nyaman,” lirihku pelan tanpa aku sadari terukir senyuman manis dari bibir Kak Fajar setelah
mendengar perkataanku tadi, dari mana aku mengetahui jika Kak Fajar tersenyum karna
perkataanku tadi, mungkin saja ia tersenyum saat mengingat kembali hal yang lucu, itu semua
hanya instingku saja sih.
Saking nyamannya aku sampai menutup mataku merasakan kehangatan yang Kak Fajar berikan,
rasanya aku ingin tertidur di dalam pelukan yang belum pernah aku rasakan disetiap malam,
merasakan pelukannya yang nyaman, tapi aku bukan tipe orang yang dikasih hati minta
jantung. Segini pun aku bersyukur bisa merasakan pelukan yang diberikan seorang pria pertama
kalinya mungkin menjadi yang terakhir kalinya atau hanya sekali seumur hidup.
Jangan lupa share cerita ini ke media social kalian, atau ke temen kalian. Biar lebih banyak
lagi orang yang baca dan bisa menikmati. Coments dan vote yang juga jangan lupa, gak rugi
juga kan? Kalo ada waktu ya entar gue balesin, inget! Kalo.
Hatur thank you.

Anda mungkin juga menyukai