Anda di halaman 1dari 3

JARAK

Aku melangkah turun dari kabin pesawat. ketika kaki kananku menyentuh tanah sumatra
bertambah banyaklah energi yang masuk ketubuhku. Hampir satu tahun aku menantikan hari ini tiba,
berharap-harap penuh cemas kalau-kalau cutiku harus mundur lagi. Tapi sekarang semesta
mengizinkanku bertandang ke Sumatra Selatan yang dikenal dengan Bumi Sriwijaya. Hiruk pikuk
bandara memang tiada duanya, ramai sekali. Tapi hatiku tetap saja sepi tanpamu.

Aku disini, aku kesini untukmu. Kota Palembang, kumohon berikan cerahmu hingga minggu
depan. Biarkan aku mengurai semua kerinduan yang selama ini tergulung-gulung dihatiku, kusut tak
berujung karena temu tak pernah tersampaikan.

Sejak pertama mengenalmu dibalik hiruk-pikuk jakarta yang tak terkendali, fikiranku tak
pernah lepas darimu. Aku bahkan masih ingat warna almamater berlogokan UNSRI. Jika bukan
karena dompetmu yang tercecer dimusium kala itu, mungkin aku tak akan pernah bisa mengenalmu.
Aku masih ingat wajahmu yang merasa lega ketika dompetmu aku temukan. Aku lancang
membukannya dan menemukan nomor telfonmu disana, dan lebih lancang lagi aku menyimpan
nomor telfonmu dihandphoneku. Memberanikan diri menyapamu melalui pesan singkat dan kita
mulai membicarakan banyak hal, hari kehari bulan ke bulan. Rasanya aku tak bisa menginggalkan
handphoneku barang sedetikpun, takut kalau-kalau kau menunggu pesan balasan dariku. Aku tak
pernah merisaukan Sumatra dan Pulau jawa yang terpisah oleh selat sunda, seperti aku yang tak
keberatan jika harus menjalin kasih bersamamu hanya melalui smartphone. Pernah kuberanikan diri
memintamu menjadi kekasihku, tapi kau menolaknya dengan alasan jarak yang terbentang ini.
Sedangkan aku yakin hatimu dan hatiku tak akan terbentang sejauh itu. Aku berkali-kali mengajukan
cuti, dan berkali-kali ditolak karena bertepatan dengan teman-temanku yang lain dengan kebutuhan
keluarga. Dan selama usahaku itu aku merasakan kau mulai menjauh, terasalah jarak yang kau
katakan. Tapi aku tak mau menyerah begitu saja, karena itu aku ada disini. Bertekad mengunjungimu
di kota kelahiranmu ini.

Hari yang kunantikan pun tiba, aku berdandan rapi dan membiarkan aroma parfumku
semerbak memenuhi kamar hotel. Kau berjanji akan bertemu jam 4 sore, berkata akan mengajakku
ketempat nongkrong populer di Kota Palembang. Aku duduk dilobi hotel, berkali-kali menoleh kearah
pintu masuk, menunggu kehadiranmu yang tak kunjung tampak. Kursi sofa lembut ini sama sekali tak
membuatku nyaman. Hatiku bertalu-talu, fikiranku menyaring jutaan kata pertama untuk menyapamu,
mencoba memilih sapaan sederhana untukmu dewiku yang lama kurindukan.

Tak lama, melangkahlah dirimu melewati pintu kaca, melenggang dengan dress ungu yang
menjuntai hingga menyapu lantai, menyandang tas kecil berwarna hitam yang manis. Terpesonalah
aku seketika ketika kau tersenyum kearahku yang tanpa sadar sudah berdiri memandangimu sejak
tadi, hijab ungumu yang senada membuatmu tampil begitu elegan. Matilah aku, jantungku makin tak
karuan, berdebar seperti genderu perang, wajahmu sudah membuat jantungku memompa seluruh
darah mengalir dengan cepat.

Aku menggenggam kunci mobil yang sudah kusewa, menyimpan dalam-dalam kedalam saku
celana kananku. Tadinya aku sengaja menyewa sebuah mobil dari hotel agar bisa berjalan-jalan
dengan nyaman bersamamu hari ini. Tapi kuurungkan niatku, karena sepertinya sepeda motormu
adalah pilihan yang baik. Melintaslah motor matic berwarna hitam keunguan ditengah kepadatan kota
palembang, dibawah sinar matahari yang mulai tergelincir kebarat. Lalu lintas yang padat membuat
jalan kami semakin terhambat. Motor memang pilihan terbaik untuk hari minggu sore, dikala hampir
semua muda mudi menuju ketempat yang sama dengan kami, suara klakson bertautan mengisi
telingaku, tapi diantara semua suara itu ada suaramu menyapaku dari kursi penumpang tepat
dibelakangku.

Hampir setengah jam terjebak dikemacetan menuju lokasi dan sampailah kami dibawah
Jembatan Ampera, disambut patung ikan belida raksaksa. Semua orang sedang berkumpul disini,
muda mudi, anak-anak, dan keluarga sedang menghabiskan waktu sore sama seperti aku yang ingin
menghabiskan soreku disini bersama satu-satunya wanita yang selama ini aku rindukan.

Aku tak melepaskan setiap kesempatan untuk memandangi wajahmu, yang tengah menatap
jauh ke arah Ampera. Lambang peninggalan penjajahan tempo dulu, warna merahnya membara
seolah menyampaikan karakter gagah berani karena telah mampu berdiri sejak 1962 hingga sekarang.
Dan akupun berharap-harap agar tidak gentar dengan semua situasi dan perubahan yang ada hingga
bisa mendapatkan seseorang seperti wanita yang saat ini tengah duduk manis dihadapanku. Jilbabnya
terbelai angin, raut wajahnya tampak tenang melihat kearah sungai musi yang nyaris terihat seperti
kopi susu. Matanya menyoroti setiap kegiatan yang ada disana, meski kami sudah duduk selama 15
menit tanpa bicara disini, aku tak merasa canggung malah bahagia bisa memandanginya dari dekat.

“Boleh aku mampir kerumahmu, Rin ?” Ujarku mengumpulkan keberanian.

“Untuk apa ?”

“Ya hanya bertandang, hitung-hitung silahturahmi.”

Ia memandang jauh entah kemana, lalu matanya yang coklat kembali menatapku. “Kak Rama,
aku sudah punya calon suami.”

Kata-kata yang mengudara dari bibirnya membuatku terguncang, merasakan seperti


jantungku melompat kekerongkongan. Hatiku sakit bukan kepalang, rasanya seperti tertusuk bambu
runcing yang digunakan para pejuang ketika melawan Jepang untuk meraih kemenangan demi Bumi
Silampari.

“Tapi Rin,” Aku terbata, mencoba menyusun kata. “Aku bagaimana ? Selama ini aku apa ?
Kenapa baru menyampaikan sekarang ?” Aku merasakan suaraku menyentuh intonasi yang tak sesuai,
ia mengerjap tampak kaget melihat reaksiku.

“Aku sudah mengatakan sebelumnya kak, aku merasa gak mampu dengan jarak yang
membentang diantara kita.”

“Aku bisa, aku ada disini. Aku bisa melangkahi jarak ini.”

“Kenapa baru sekarang ?” Pertanyaanmu sukses membuatku terdiam, ada jutaan alasan
didalam kepalaku, namun rasanya tak satupun yang kurasa tepat untuk kusampaikan. Atau barangkali
aku sudah kepalang syok mendengar pertanyaanmu.

Kau tertunduk, menyembunyikan raut wajahmu dariku, aku berharap itu adalah rasa sesal
setelah apa yang baru saja kau ucapkan. “Aku bisa pindah kesini rin, kalau itu maumu.” Aku
melembut, nyaris memohon.

“Meninggalkan pekerjaanmu ?” Kau mengangkat kepalamu menatapku dengan tajam.


“Kalau itu maumu, aku berjanji bisa membahagiakanmu. Aku akan berusaha lebih keras agar
kita bisa sama-sama membangun semua impian yang kita punya.”

“Sudah menentukan tanggal kak.” Kau menjawab tanpa menatapku.

Ingin rasanya menceburkan diriku kedalam Sungai Musi yang berwarna bagai kopi susu,
tenggelam didalamnya dan berharap semua sakit yang kurasakan hari ini tidak pernah terjadi.

Perjalanan pulang jauh lebih ramai dan padat, suara Adzan masjid dan suara klakson
kendaraan mendominasi. Kami terkurung dalam sunyi, aku enggan mengucapkan apapun dan
mungkin ia juga sama enggannya denganku. Percakapan dipinggir sungai Musi itu benar-benar
memilukan buatku, tak pernah kubayangkan jika pada akhirnya aku harus melepasmu seperti ini.
Didalam kepalaku masih berangan-angan andai saja aku datang lebih awal, andai cutiku segera di
setujui setelah ia berangsur menghilang dari ruang obrolan.

***

Aku menatap ujung sepatu ku, duduk ditengah keramaian Bandara dengan koper disebelah
kiriku. Setelah tau kau akan menikah, aku putuskan untuk segera pulang. Berupaya tegar
meninggalkan kota Palembang dengan jembatan Ampera yang sepertinya tidak sedia meminjamkan
ketangguhannya, sehingga disinilah aku terpuruk sendirian dan tak bisa berbuat apa-apa.

Drrrrrrt, Handphoneku bergetar dibalik saku celana. “Gimana hasilnya nak ?” Suara berat
ibuku menyapa dari sebrang pulau, menunggu kabar dari putranya yang keras kepala ingin terbang ke
Sumatra.

Pertanyaan yang keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar sekujur tubuhku, aku
gemetar menahan diri agar tetap baik-baik saja. Aku menghela nafas panjang, dan mencoba membuka
suara, namun yang terjadi, air mataku menetes begitu saja, membelai wajah lelahku yang mencoba
berdamai dengan keadaan. Membasahi celana dasar hitam yang sedianya ingin kupakai ketika
bertemu kedua orang tuanya, lalu memintanya menjadi bidadariku. Terdamparlah aku ditengah hiruk
pikuk bandara, tersedu-sedu dengan handphone ditelinga kananku yang tak bersuara. Mengeluarkan
semua kesakitan akibat tersapu badai dahsyat, sebuah usaha yang ternyata tak sejalan dengan keadaan,
membiarkan ombak besar menerjang kedua mataku hingga airnya tumpah menghantam kedua pipiku.

Bionarasi

Halo, saya Juni Indah pekerja swasta yang mencoba hobi baru sebagai seorang penulis. Jika
sedang tidak menulis, maka saya adalah seorang anak, pekerja swasta, tukang jahit dan ojek pengantar
makanan. Saya lahir ditepian Kota Palembang pada tahun 1995. Dan hal itu pula yang melatari
penulisan cerpen ini. Salam Bumi Silampari.

Anda mungkin juga menyukai