Anda di halaman 1dari 3

Diantara Hujan dan Langit Berawan

Hari ini tampak cerah. Petra, anak laki laki 12 tahun itu tampak bergembira bermain
layangan bersama teman perempuannya, Kirana. Kirana adalah teman satu-satunya bagi Petra di
desa itu. Meski Kirana seorang anak perempuan, namun ia senang menemani Petra bermain.
Semenjak mengidap penyakit asma, banyak yang menolaknya untuk bermain bersama. Namun
Petra mengubah semangat Kirana dengan selalu menjadi teman untuknya.
Petra begitu menyukai hujan, sebaliknya dengan Kirana yang sangat menyukai matahari
dengan langit biru berawan. Tak heran, keduanya saling mengisi satu sama lain. Saling
mengajarkan makna disetiap keadaanya hingga menyukai keduanya.
“Kiranaaaaaaaa, pulang nak, hari sudah sore” teriak ibu dari jauh.
“Iyaa Bu, sebentar lagi” sahut Kirana.
Panggilan ibu menyudahi permainan mereka sore itu. Kirana langsung berpamitan
kepada Petra yang masih sibuk menurunkan layangannya. Lalu sepakat untuk bertemu lagi
keesokan hari di lapangan tengah desa. Tak terasa adzan maghrib segera berkumandang. Langit
berkias merah menandakan senja. Petra segera pulang dengan membawa layangannya.
Seperti biasanya, yang menyambut kepulangan petra hanya ibu. Jarang sekali ia
mendapatkan perhatian dari ayahnya. Semenjak beberapa tahun ini ia juga tidak pernah tau apa
pekerjaan ayahnya. Kata ibunya, ayah bekerja di hutan. Mengawasi pembukaan lahan dan
pembakaran pembakaran hutan. Petra tidak pernah hirau dengan pekerjaan ayahnya.
Musim ini tiba. Hujan enggan tuk bertamu. Kemarau. Beberapa hari ini masyarakat
sekitar mulai resah karna persediaan air hujan mulai habis dan polusi udara mulai tidak sehat
untuk dihirup. Pagi itu, Petra menonton televise. Kabar terkait asap kabut mulai bertebaran
dimana-mana. Seusai menonton ia lalu keluar mengintip celah gorden rumahnya. Matahari
kemerah-merahan. Langit hanya berawarna abu abu tertutup kabut asap. Ia bergumam. Penuh
tanya. Apa yang sebenarnya terjadi. Namun sejak hari itu Petra terpaksa tidak lagi bermain diluar
rumah.
Petra menunggu Kirana di lapangan tengah desa tempat biasa mereka bertemu. Petra tak
berniat untuk mengajak Kirana bermain hari ini. Petra sepakat mengajak Kirana membuat sebuah
list yang akan mereka lakukan mengisi waktu luang tanpa bermain di lapangan, karna cuaca
yang belum stabil. Setelah setengah jam Petra menunggu, Kirana tidak juga datang. Ia bingung
dimana Kirana, tak biasanya Kirana tak menepati janji. Akhirnya, Petra mengunjungi rumah
Kirana.
Sesampainya di rumah Kirana, Petra terkejut. Ia melihat Kirana yang sedang terbaring
kaku dengan menghirup oksigen. Ibu kirana bercerita bahwa semenjak tadi subuh penyakit
Kirana kembali kumat. Petra sadar, penyakit Kirana yang sudah kronis kembali kumat karna
cuaca yang semakin memburuk. Entah mengapa semenjak itu ia geram, begitu pernasaran siapa
yang ada dibalik pembakaran hutan. Ia segera mencari tau siapa yang membuat lahan pertanian
maupun ladang terbakar hingga menyebabkan asap kabut yang terus menebal. Ia menyemangati
Kirana. Bergurau untuk menghibur Kirana yang sedang sakit.
“Tra, apakah kau merindukan hujan?”
“Ya aku begitu merindukan hujan, tidak hanya aku Kiran, tapi masyarakat yang lain juga
begitu, tapi bukannkah kamu lebih menyukai langit yang cerah dan berawan?
“Aku memang menyukai matahari, tapi bukan berarti aku menyukai langit yang
diselimuti asap seperti ini. Aku ingin langit kembali mencipta pelangi setelah hujan.”
“Kenapa begitu? Jangan berpikir yang jauh-jauh dulu. Kesehatanmu lebih penting
sekarang. Agar nanti, ketika hujan datang, kita bermain hujan dan melihat pelangi bersama
sama., maukan?”
“Mau. Aku ingin menjadi pelangi karna pelangi hadir setelah hujan. Bukan kah kau
sangat menyukai hujan? Jika nanti turun hujan, kita akan melihat lagi matahari dengan langit
biru. Lagian, aku ingin selalu kau ingat setiap kau melihat pelangi. Jika suatu saat nanti aku
tiada”
“Ssssst, jangan berbicara seperti itu Kiraan. Kau pasti baik baik saja. Yasudah, sudah
hampir malam, aku pamit dulu yaa, besok aku akan kembali kesini, menjengukmu”
“Baiklah, hatihati ya traa, pakai maskermu. Udara diluar sana tak baik untukmu”
Petra meninggalkan kirana dengan berat hati. Keadaan kirana begitu menkhawatirkan
baginya. Langkah beratnya membuat ia sedih melihat sekelilingnya tampak kelabu. Ia bertekad
untuk melakukan segala upaya untuk mengurangi atau menghilang asap kabut ini.
Sesampainya di rumah. Petra melihat ayahnya yang tampak sibuk menerima telpon dari
sejumlah rekannya. Ibu meminta tolong agar ia mengantarkan segelas kopi ke ruang kerja
ayahnya. Petra mengangguk. Namun sesampainya di ruangan itu, gelas yang dipegangnya
spontan jatuh. Ia terkejut karena orang yang slama ini banggakan ternyata adalah seorang dalang
dari pembakaran lahan itu adalah ayahnya sendiri. Wajah petra tiba tiba memerah. Ia
menggenggam tangannya dengan kuat. Menahan amarah. Ayah nya terkejut dan segera menutup
telpon.
“Apa yang kamu lakukan disini petra, keluar dari ruangan ini sekarang!’
“Seharusnya aku yang bertanya kepada ayah, apa yang ayah lakukan dengan lahan yang
ayah awasi untuk bekerja? Apa ayah dalang dari semua ini? Jawab aku yah! Apaa ayah tau
akibat pembakaran hutan yang ayah lakukan dengan rekan kerja ayah, desa ini jadi seperti ini?”
“Tau apa kamu? Kamu hanya anak kecil! Jangan ikut campur dengan segala urusan ayah!
Ayah bekerja juga untuk makan kamu!”
“Ayah egois! Ayah hanya memanfaatkan kesepatan ini untuk mengambil keuntungan
sebesar besarnya, apa ayah tau bahkan Kirana sakit garagara asap kabut ini, apa ayah sadar,
ribuan masyarakat diluar sana sedang menderita”
Amarah petra meluap. Wajahnya memrah dan menatap tajam mata ayahnya. Kecewa. Ia
sangat tidak percaya bahwa ayah yang slama ini ia banggakan malah bersikap sebaliknya.
Semenjak kejadian itu ia tidak memperdulikan ayahnya. Entah sampai kapan.
Dari arah ruang tengah, terdengar suara ibu berteriak. Petra langsung menemui ibunya
lalu bertanya apa yang baru saja ibu dengar, mengapa inu menangis. Dengan mata berkaca kaca
dan suara parau ibu mengatakan bahwa Kirana sudah meninggal. Petra menunduk lalu duduk
dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung berlari keluar rumah dan menuju ke rumah Kirana.
Sesampainya disana, Kirana tlah terbujur kaku. Petra tak mampu menahan tangisnya. Rasa sesak
terus dirasakannya hingga ia harus merelakan Kirana untuk slama-lamanya.
Keesokan harinya ia kembali lagi kerumah Kirana menyaksikan setiap rangkaian
pengurusan jenazah. Ia telah kehilangan teman yang ia sayangi. Petra pulang dengan wajah yang
masih ditekuk. Hening. Tiba tiba suara rintik hujan berderu di rumahnya. Hujan datang. Namun
kini hanya ia nikmati sendiri tanpa Kirana. Seolah setiap rintik hujan yang jatuh adalah
kenangan. Air matanya jatuh dengan sendiri menatap langit yang mulai cerah. Dilihatnya kabut
yang mulai menghilang bersama kenangannya dengan Kirana. Ayah memegang pundaknya.
Mencoba berbicara kepada Petra. Meminta maaf atas segala yang telah ayah lakukan. Namun
Petra tetap diam. Ia begitu tenang melihat pelangi yang melengkung indah dilangit biru siang itu.
Ia mengingat gadis itu, lalu tersenyum. Kirana tlah menjadi seperti apa yang ia inginkan.

Anda mungkin juga menyukai