Anda di halaman 1dari 7

“Kau pernah memikirkan apa yang ku pikirkan?

” tanya seseorang dari balik tumpukan


hal-hal kotor yang menggunung. Tapi, aku tak mau bersekongkol dengannya karena
aku tahu apa yang ia maksud.
“Ayolah jangan kau malu-malu seperti itu denganku." Ujarnya dengan penuh goda
dari lubuk hatinya.
“Enyahlah kau dari pandanganku!!!” aku pun mulai memanas dengan kepala batunya.
Namun percuma, ia pun tak mau pergi malah semakin mendekat hingga ke telingaku
dan membisikkan kata-kata yang tak ku mengerti.
Setelah itu, ia pergi tanpa pamit dan datang tadi tanpa diundang, macam jelangkung
saja. Aku pun mulai mencerna kata-katanya penuh rasa heran. Kemudian aku
memandang suatu tumpukan tinggi seperti Merapi yang gagah tinggi di bumi sana.
***
Entahlah aku tak kerasan lagi di tanah bumi ini, rasanya ingin merencanakan
penerbangan menuju mars, tapi tak mungkin sedangkan tanah air saja dalam krisis
begini. Begitulah pandangan langsungku kini.
Aku pun mulai menapakkan kakiku yang hanya dilengkapi sandal jepit pemberian
Ayahku. Dengan perlahan dalam genangan dangkal yang didalamnya bakteri hingga
binatang lainnya menggeliat kegirangan. Ku toleh sana-sini sambil mengangkat
sarungku yang hampir mengenai air-air nya.
Seketika ku lihat sumber air ini, ternyata itu berasal dari mata yang besar hampir
sebesar truk-truk yang membawa kenangan lama dengan hijaunya pepohonan di
sekeliling, tapi lihatlah! seperti apa keadaan sekarang.
“Sudahlah.” Akupun menghe-mpaskan nafasku yang sudah hampir satu menit tak
kunjung lepas. Aku pun melanjutkan pengembaraanku di selat kekecewaan atas dunia
ini. Ku impikan lebatnya pepohonan dengan kehijauan yang merekah ataupun sawah
yang membentang luas dengan gunung segar tampak dari kejauhan.
Tapi akan ku kubur dalam-dalam saja impian itu karna tak mungkin, mana ada yang
peduli dengan keinginan ini. Untuk di gerakkan hatinya saja susah, apalagi menggapai
sebuah rencana yang akan mengubah sejarah negeri ini.
Aku pun melangkah kembali dan masih banyak air yang menari-nari di bawah
gelapnya awan kehidupan.Lalu kutemukan halte bus dari kejauhan, yang hanya
beberapa meter dari tempat diriku terpana. Ku inisiatifkan tubuhku untuk pergi ke sana
walau lemas layu karena kesedihan menimpa dunia.
Saat aku telah sampai penghujung jalan yang dimana ke arah halte bus tersebut.
Pemandangan kali ini sungguh berbeda dari sebelumnya, lebih mengerikan. Banyak
tumpukan sampah dengan kantong-kantong plastik yang besar lagi tak tahu apa jenis
buangannya, tertumpuk dari dalam bagian halte, samping kanan-kiri halte pula.
Padahal sudah tertera tulisan berbentuk spanduk yang berukuran besar. ‘DILARANG
KERAS MEMBUANG SAMPAH DISINI’ itulah isi spanduk tersebut.
Kupaksakan diri ku untuk menahan dari segala aroma yang berbau tak sedap.
“Bagaimana kondisi negeri ini kalau begini caranya?” gumam hatiku. Dalam tungguan
bus yang tak sebentar, aku berpikir seperti apa cara pemerintah. Pemerintah konyol
sekarang mengolah sumber daya negeri ini. Sedangkan keadaannya saja dapat dilihat
jelas seperti apa.
Akhirnya bus datang, membawa coretan-coretan yang tak karuan bentuknya disegala
sisi dari bus mini itu. begitu masuk aku menikmati aroma yang penuh dengungan
keseluruh bagian hidungku yang membuat indera penciuman ini mengalami gatal dan
ingin segera menutupnya.
Tapi bau itu tetap bertahan pada hidungku, seakan-akan tak bisa sirna. Aku pun mulai
menutup hidung dengan tanganku.
Aku baru sadar bahwa penumpang-penumpang lainnya menatapku sinis. Ku tak
paham banyak yang melirik-lirikku dan ada juga yang bisik-membisik satu sama lain.
“Apa yang mereka bingungkan pada diriku?” pikirku dengan siasat acuh tak acuh
terhadap mereka.
Aku pun keluar dari bus itu dan mengambil oksigen dalam-dalam saat sempat sesak
di dalam kendaraan roda empat itu. Tetapi yang ku rasakan tetap saja sesak hingga
panas menetap di tubuhku yang lemas ini.
Ternyata, ku lihat matahari di atas kepalaku tak berjarak sedikitpun. Langsung
kepalaku seakan-akan meleleh seperti mentega di wajan berapi. “Manakah ozon yang
berjanji melindungi bumi dari sinar UV matahari yang dapat merusak bumi kapan pun?”
Kemudian aku lari masuk ke dalam rumahku. Di halaman depan ku lihat bunga yang
ku tanam dulu layu tak berbekas warnanya. Aku membuka pintu rumahku yamg penuh
debu masa lama, lalu menangis sejadi-jadinya. “Apakah ini semua ulahku?”
***
Ku memasuki tempat pesing yang mengerikan, dalam sebuah hutan bambu lebat
terpencil. Didalam diriku, hatiku tergerak karena penasaran atas tumpukan tinggi yang
ada di sebrang pegunungan karat, begitu orang-orang menyebut namanya.
Akhirnya sejak dua pekan lalu, aku sampai pada benda mengegerkan itu. Tapi
anehnya, hanya aku saja yang dapat melihat benda asing itu. Sedangkan teman
sepergaulanku tak dapat melihatnya. “Aneh sekali.” Hatiku tertarik seperti ada yang
memanggil tak tahu kenapa. Padahal cuman hal sepele.
Dalam permintaan izin yang diiringi cerita rekayasa dari pikiranku. Aku seperti
didorong oleh semangat untuk pergi kesana dan dipastikan aku mendapat perizinan
dari orang tuaku.
Dilain sudut pandang yang berbeda. “Benarkah ia akan datang?” tanya sosok gadis
yang dianggap ratu di kerajaan itu. “Benar ratuku, ia akan datang sendirian tanpa
seorang pun yang menemaninya.” Jawabnya dengan santai. “ku tunggu kedatanganmu,
teman.” Mulutnya terbuka lebar menunjukkan giginya yang penuh belatung yang
mengeliat-ngeliat.

***
Tiba-tiba dari samping kanan-kiri ku muncul dua orang berbadan gemuk-gemuk,
giginya yang taring menjulang ke atas, seperti siluman babi yang akan segera
mengepet.
“Mari kita sambut dengan baik!” langkahnya pun mulai memainkan jari-jemari besar
mereka. “Heh! lepaskan aku!” diriku panik tak terkira karena kekhawatiran
menghampiriku, aku berada nan jauh dari rumahku ditambah lagi aku ditangkap oleh
dua orang berperawakan besar lagi bulat.
“kau akan aman bersama kami.”
***
Tempat ini memang gelap, tapi purnama menyinari bangunan bagi kuil ini. Tapi aneh
sekali tiada satu orang pun yang tahu akan tempat ini. Aneh bukan?
Kami sampai pada ruangan utama bangunan ini. Melihatnya saja aku tak sudi apalagi
memasuki ruangan ini. Tapi Langkahku tak dapat terhenti karena mereka berdua masih
mengawal diriku.
“Sialan!” gumam benakku. Sontak mataku terbelalak oleh pemandangan yang
menjijikkan. Tak jauh dari tempatku berdiri, “ternyata inilah sesuatu yang menggunung
itu, hanya sampah-sampah yang tak berguna.” Hatiku berkata kembali dengan
mendengus pelan. Akhirnya aku meronta dari genggaman dua orang bau ini.
“Bughh..” aku menabrak sesuatu. Ternyata selama memasuki ruangan ini, ada pintu
yang sudah tertutup duluan tanpa ku sadari. “Mencoba-coba untuk kabur ya?’’ tanya
salah satu dari ke duanya dan melihat-lihat sekitar, mungkin ada jalan keluar lain.
Tapi sayangnya, aku tertangkap basah bersembunyi di balik sebuah patung
berbentuk seperti seorang Wanita yang tersipu malu. Aku pun dibawa ke tengah-tengah
ruangan itu, tiba-tiba keluarlah sebuah pilar besar dari atas tepat di langit-langitnya,
keluarlah Wanita bergaun ungu dengan lipstick yang memukau di bibirnya ditambah
lagi lalat-lalat yang mengitari dan tampak menari-nari menyambut.
“Bersimpuhlah kau dasar manusia!” langsung aku terjatuh dan merangkak di atas
tanah penuh dengan debu yang dapat membuat orang yang menghirupnya terbatuk
seketika. “Hai, Bowok apa kabarmu?” sapa ratu Ralat dari kejauhan, tapi tak terlalu jauh
hanya beberapa meter saja. “Bagaimana ia tahu namaku?” pertanyaan itu terlintas di
pikiranku. “angap saja rumah sendiri, seperti kita dulu satu atap.” Ia mempersilahkanku
menduduki tanah yang tidak lain adalah lumpur. Ia mulai duduk di genangan lumpur
tersebut.
“Ia gila atau gimana?” tanya hatiku ini yang rela dibawa oleh orang-orang aneh.
“Mengaku sebagai orang yang pernah tinggal bersamaku?” pertanyaan itu lagi-lagi
singgah di hatiku.
Aku pun memberanikan diri untuk bertanya mengenai siapa dia sebenarnya, karena
dua orang bau itu telah lama meninggalkan kami berdua disini. “Lepaskan diriku,
memangnya siapa kamu, aku ini manusia bukan makhluk aneh sepertimu!”
“DEGHHH...”
Hatinya terasa pecah belah karena aku tidak mengaku sebagai temannya. “apakah ia
lupa?” gumam hatinya.
“Cepat kurung ia segera!” teriaknya.
***
Hari ini akulah termasuk orang yang paling senang dari beberapa santri yang lain.
Karena kunjungan akhirnya menghampiriku pada hari libur Jum’at.
Kedua orangtuaku pada pagi Jum’at. Mereka membawakan ikan hias yaitu ikan
Cupang. Aku melihat Cupang itu karena ikan itu di bawa dari Kalimantan Selatan. Elok
bukan.
Jadilah ikan itu perliharanku di kamarku ku pajang gagah di atas lemariku kedua
orang tua pun pulang pada sore hari setelah melaksanakan ibadah solat asar di mushola
khusus untuk para tamu atau wali santri.
Lama sudah aku memelihara peliharanku itu, tiga kali sehari akan ku gantikan air
bekas yang penuh dengan buangan dari perutnya. Tidak kalah menarik lagi. Ku beri
makan suatu serangga yang sering hinggap di tumpukan barang-barang bau, yaitu
Lalat.
Lalat itu akan ku potong menjadi dua bagian dan langsung ku letakan di dalam airnya.
Aku memilih Lalat karna tidak mempunyai pilihan lain, karna Indonesia sedang
mengalami krisis moneter pada masa itu, akibatnya Ibuku hanya sesekali mengirimkan
uang atau mengirim makanan untuk ikan Cupangku.
Lima bulan terlewati, akhirnya Pipin sang ikan Cupang miliku sudah cukup umur untuk
bertelur tetapi, masalah sekarang adalah bagaimana cara mengawinkan Pipinku ini.
Sedangkan, tidak ada ikan Cupang Jantan di sini. Akhirnya aku pergi mandi pagi setelah
solat Subuh yang di lanjutkan tadarus Al-Quran.
Aku pun memasuki kamar mandi yang berpintu-pintu tapi tidak begitu luas. Ku
rasakan airnya yang penuh kesegaran menyelimuti tubuhku. Saat aku ingin mengambil
secentong air lagi, tiba-tiba sesuatu lewat di dasar air dengan cepat. Pikiran-pikiran
penuh ketakutan melintas di pikiranku. “Apa itu tadi?” tanya hatiku penuh heran.
Langsung pikirku hantu-hantu yang berada di air seperti hantu Banyu yang sering
hinggap di bawah jembatan Ampera Palembang, Siluman Buaya yang kesana-kemari di
sungai Ciliwung Jawa Barat, dan masih banyak lagi.
Tak berapa lama setelah itu, temanku menangkap seekor ikan bewarna gelap dan
agak sedikit besar daripada ikan milikku di kamar mandi. Ku rencanakan untuk
mengawinkan ikan itu dengan ikanku. “Boleh juga tuh.” Temanku mengizinkanku untuk
memelihara ikan yang ia miliki.
Aku pun memasukkan ikannya kedalam aquarium ikanku. Ku berharap semoga ia akan
mengeluarkan ikan-ikan yang lebih bagus lagi.
Tapi, hal yang tak diinginkan terjadi, Pipin mati mengenaskan dan ditemukan
mengambang bau di aquariumnya. Lalat-Lalat mengitari tempat itu dengan
bergerombolan. Sedangkan, ikan gelap itu masih hidup dengan sehat.
Ku lihat ikanku penuh cabikan dan kehancuran bulu-bulu cantiknya. Aku marah
dengan keadaan ini, tak terima rasanya ikanku mati yang selama ini ku rawat dengan
baik berujung pada kematian dengan ikan gelap itu.
Ku angkat aquarium itu lalu ku lempar ke luar kamar dengan amukan yang panas
hingga sampai ke taman asramaku. Ikan gelap itu lompat-lompat tak ada napas
baginya. Dikerubungi oksigen yang melilit-lilit insangnya yang sudah pucat. Aku terdiam
merenungi itu.
Awan telah berkumpul menjadi gelap, akhirnya menabrak satu sama lain hingga
terbentuklah petir yang mengagetkan seisi asramaku.
‘CTTARRR...’
Sepasang kilat menyambar tepat dekat dengan asramaku. Kami kaget dan segera
menuju tempat kejadian perkara. “Tamannya hangus terbakar.” Pernyataan itu keluar
dari salah satu mulut cerewet temanku tentunya.
Beberapa jam setelah kejadian, adzan Maghrib berkumandang, ku dengar dari
amperan masjid bagian Selatan. “Kok bisa petir nyampe ke bumi ya?” tapi temanku
bingung akan jawabannya. Tak ada yang tahu alasannya.
Di lain tempat, bangunan tua lagi hangus halamannya. Lalat terbang meninggalkan
asal-muasalnya lalu hinggap di benda kecil gelap yang tampaknya dipanggang barusan.
Tak lama kemudian, benda yang tadinya hanya barang yang tidak berguna sekalipun,
berubah wujud Wanita cantik bergaun ungu, “tapi aneh sekali?” ia dibawa lalat-lalat
pergi meninggalkan tempat lahirnya.
***
“ihhh...menjijikkan sekali.” Aku tak dapat tahan dengan bau-bau campuran, lagi
pemandangan yang tak sedap dipandang. “alangkah luas tempat ini? Ini sel tahanan
atau lapangan sepak bola?” ku sengaja berlawak sendiri tuk menghibur hati yang tak
karuan perasaannya.
“Mengapa kau tak mengenaliku?” bentaknya dengan teriakan menyeramkan.
“Sungguh kaulah yang menjadi temanku dahulu, akan tetapi kau gabungkan ikan gelap
itu hingga aku dibunuh dengan kejam.
Aku mulai mengingatnya.
“Maksudmu, kaulah Cupang Pipin, tapi kau tak sebagus dulu. Dengan bulu-bulu yang
bagus itu ditambah lagi kejaran tangkapan untuk menerkam makananmu, itu sungguh
hebat sekali." Ujarku santai. “Mengapa wujudmu menjadi seperti manusia?” tanyaku
dengan mental kokoh, siap menerima resiko apa saja, walaupun harus berkubang di
lumpur bau kemarin yang mirip lumpur Lapindo.
“ya betul, Akulah Cupang Pipinmu dulu, tapi panggillah aku sekarang dengan Ratu
Ralat!” ujarnya penuh anggun. Aku jijik melihat gerak-geriknya itu.
Kemudian tanpa basa basi pergi meninggalkan aku dan tumpukan Sampah itu.
”apakah ia hantu?” mungkin saja, tapi mana mungkin ada hantu yang membuat sampah
menggunung seperti ini.
“akankah kau mau bersetru denganku?” tiba-tiba ia datang. Tapi aku menjawab tidak,
tapi ia Kembali lagi dan menanyakan berkali-kali seperti itu. ”ini orang otaknya bebal
sekali lah,” ku gerutu dari belakang setelah ia menanyakan peratanyaan yang sama
kesekian kalinya.
“kau mengejekku?” tanyanya dengan muka mengerikan yang akhirnya ia keluarkan.
”jika kau tak mau berteman, ada syaratnya dan kau harus menerimanya sekarang!”
Seketika tubuhku melayang hingga keluar antariksa. Tapi tunggu, aku melihat
matahari mendekat ke bumi “oh tidak”, aku Kembali di Tarik gravitasi dengan kecepatan
penuh
“Bushhh”
Aku tercebur kedalam air yang keruh, sampah tergeletak di mana-mana gunung itu?” apa yang
ia lakukan?"

Anda mungkin juga menyukai