***
Tiba-tiba dari samping kanan-kiri ku muncul dua orang berbadan gemuk-gemuk,
giginya yang taring menjulang ke atas, seperti siluman babi yang akan segera
mengepet.
“Mari kita sambut dengan baik!” langkahnya pun mulai memainkan jari-jemari besar
mereka. “Heh! lepaskan aku!” diriku panik tak terkira karena kekhawatiran
menghampiriku, aku berada nan jauh dari rumahku ditambah lagi aku ditangkap oleh
dua orang berperawakan besar lagi bulat.
“kau akan aman bersama kami.”
***
Tempat ini memang gelap, tapi purnama menyinari bangunan bagi kuil ini. Tapi aneh
sekali tiada satu orang pun yang tahu akan tempat ini. Aneh bukan?
Kami sampai pada ruangan utama bangunan ini. Melihatnya saja aku tak sudi apalagi
memasuki ruangan ini. Tapi Langkahku tak dapat terhenti karena mereka berdua masih
mengawal diriku.
“Sialan!” gumam benakku. Sontak mataku terbelalak oleh pemandangan yang
menjijikkan. Tak jauh dari tempatku berdiri, “ternyata inilah sesuatu yang menggunung
itu, hanya sampah-sampah yang tak berguna.” Hatiku berkata kembali dengan
mendengus pelan. Akhirnya aku meronta dari genggaman dua orang bau ini.
“Bughh..” aku menabrak sesuatu. Ternyata selama memasuki ruangan ini, ada pintu
yang sudah tertutup duluan tanpa ku sadari. “Mencoba-coba untuk kabur ya?’’ tanya
salah satu dari ke duanya dan melihat-lihat sekitar, mungkin ada jalan keluar lain.
Tapi sayangnya, aku tertangkap basah bersembunyi di balik sebuah patung
berbentuk seperti seorang Wanita yang tersipu malu. Aku pun dibawa ke tengah-tengah
ruangan itu, tiba-tiba keluarlah sebuah pilar besar dari atas tepat di langit-langitnya,
keluarlah Wanita bergaun ungu dengan lipstick yang memukau di bibirnya ditambah
lagi lalat-lalat yang mengitari dan tampak menari-nari menyambut.
“Bersimpuhlah kau dasar manusia!” langsung aku terjatuh dan merangkak di atas
tanah penuh dengan debu yang dapat membuat orang yang menghirupnya terbatuk
seketika. “Hai, Bowok apa kabarmu?” sapa ratu Ralat dari kejauhan, tapi tak terlalu jauh
hanya beberapa meter saja. “Bagaimana ia tahu namaku?” pertanyaan itu terlintas di
pikiranku. “angap saja rumah sendiri, seperti kita dulu satu atap.” Ia mempersilahkanku
menduduki tanah yang tidak lain adalah lumpur. Ia mulai duduk di genangan lumpur
tersebut.
“Ia gila atau gimana?” tanya hatiku ini yang rela dibawa oleh orang-orang aneh.
“Mengaku sebagai orang yang pernah tinggal bersamaku?” pertanyaan itu lagi-lagi
singgah di hatiku.
Aku pun memberanikan diri untuk bertanya mengenai siapa dia sebenarnya, karena
dua orang bau itu telah lama meninggalkan kami berdua disini. “Lepaskan diriku,
memangnya siapa kamu, aku ini manusia bukan makhluk aneh sepertimu!”
“DEGHHH...”
Hatinya terasa pecah belah karena aku tidak mengaku sebagai temannya. “apakah ia
lupa?” gumam hatinya.
“Cepat kurung ia segera!” teriaknya.
***
Hari ini akulah termasuk orang yang paling senang dari beberapa santri yang lain.
Karena kunjungan akhirnya menghampiriku pada hari libur Jum’at.
Kedua orangtuaku pada pagi Jum’at. Mereka membawakan ikan hias yaitu ikan
Cupang. Aku melihat Cupang itu karena ikan itu di bawa dari Kalimantan Selatan. Elok
bukan.
Jadilah ikan itu perliharanku di kamarku ku pajang gagah di atas lemariku kedua
orang tua pun pulang pada sore hari setelah melaksanakan ibadah solat asar di mushola
khusus untuk para tamu atau wali santri.
Lama sudah aku memelihara peliharanku itu, tiga kali sehari akan ku gantikan air
bekas yang penuh dengan buangan dari perutnya. Tidak kalah menarik lagi. Ku beri
makan suatu serangga yang sering hinggap di tumpukan barang-barang bau, yaitu
Lalat.
Lalat itu akan ku potong menjadi dua bagian dan langsung ku letakan di dalam airnya.
Aku memilih Lalat karna tidak mempunyai pilihan lain, karna Indonesia sedang
mengalami krisis moneter pada masa itu, akibatnya Ibuku hanya sesekali mengirimkan
uang atau mengirim makanan untuk ikan Cupangku.
Lima bulan terlewati, akhirnya Pipin sang ikan Cupang miliku sudah cukup umur untuk
bertelur tetapi, masalah sekarang adalah bagaimana cara mengawinkan Pipinku ini.
Sedangkan, tidak ada ikan Cupang Jantan di sini. Akhirnya aku pergi mandi pagi setelah
solat Subuh yang di lanjutkan tadarus Al-Quran.
Aku pun memasuki kamar mandi yang berpintu-pintu tapi tidak begitu luas. Ku
rasakan airnya yang penuh kesegaran menyelimuti tubuhku. Saat aku ingin mengambil
secentong air lagi, tiba-tiba sesuatu lewat di dasar air dengan cepat. Pikiran-pikiran
penuh ketakutan melintas di pikiranku. “Apa itu tadi?” tanya hatiku penuh heran.
Langsung pikirku hantu-hantu yang berada di air seperti hantu Banyu yang sering
hinggap di bawah jembatan Ampera Palembang, Siluman Buaya yang kesana-kemari di
sungai Ciliwung Jawa Barat, dan masih banyak lagi.
Tak berapa lama setelah itu, temanku menangkap seekor ikan bewarna gelap dan
agak sedikit besar daripada ikan milikku di kamar mandi. Ku rencanakan untuk
mengawinkan ikan itu dengan ikanku. “Boleh juga tuh.” Temanku mengizinkanku untuk
memelihara ikan yang ia miliki.
Aku pun memasukkan ikannya kedalam aquarium ikanku. Ku berharap semoga ia akan
mengeluarkan ikan-ikan yang lebih bagus lagi.
Tapi, hal yang tak diinginkan terjadi, Pipin mati mengenaskan dan ditemukan
mengambang bau di aquariumnya. Lalat-Lalat mengitari tempat itu dengan
bergerombolan. Sedangkan, ikan gelap itu masih hidup dengan sehat.
Ku lihat ikanku penuh cabikan dan kehancuran bulu-bulu cantiknya. Aku marah
dengan keadaan ini, tak terima rasanya ikanku mati yang selama ini ku rawat dengan
baik berujung pada kematian dengan ikan gelap itu.
Ku angkat aquarium itu lalu ku lempar ke luar kamar dengan amukan yang panas
hingga sampai ke taman asramaku. Ikan gelap itu lompat-lompat tak ada napas
baginya. Dikerubungi oksigen yang melilit-lilit insangnya yang sudah pucat. Aku terdiam
merenungi itu.
Awan telah berkumpul menjadi gelap, akhirnya menabrak satu sama lain hingga
terbentuklah petir yang mengagetkan seisi asramaku.
‘CTTARRR...’
Sepasang kilat menyambar tepat dekat dengan asramaku. Kami kaget dan segera
menuju tempat kejadian perkara. “Tamannya hangus terbakar.” Pernyataan itu keluar
dari salah satu mulut cerewet temanku tentunya.
Beberapa jam setelah kejadian, adzan Maghrib berkumandang, ku dengar dari
amperan masjid bagian Selatan. “Kok bisa petir nyampe ke bumi ya?” tapi temanku
bingung akan jawabannya. Tak ada yang tahu alasannya.
Di lain tempat, bangunan tua lagi hangus halamannya. Lalat terbang meninggalkan
asal-muasalnya lalu hinggap di benda kecil gelap yang tampaknya dipanggang barusan.
Tak lama kemudian, benda yang tadinya hanya barang yang tidak berguna sekalipun,
berubah wujud Wanita cantik bergaun ungu, “tapi aneh sekali?” ia dibawa lalat-lalat
pergi meninggalkan tempat lahirnya.
***
“ihhh...menjijikkan sekali.” Aku tak dapat tahan dengan bau-bau campuran, lagi
pemandangan yang tak sedap dipandang. “alangkah luas tempat ini? Ini sel tahanan
atau lapangan sepak bola?” ku sengaja berlawak sendiri tuk menghibur hati yang tak
karuan perasaannya.
“Mengapa kau tak mengenaliku?” bentaknya dengan teriakan menyeramkan.
“Sungguh kaulah yang menjadi temanku dahulu, akan tetapi kau gabungkan ikan gelap
itu hingga aku dibunuh dengan kejam.
Aku mulai mengingatnya.
“Maksudmu, kaulah Cupang Pipin, tapi kau tak sebagus dulu. Dengan bulu-bulu yang
bagus itu ditambah lagi kejaran tangkapan untuk menerkam makananmu, itu sungguh
hebat sekali." Ujarku santai. “Mengapa wujudmu menjadi seperti manusia?” tanyaku
dengan mental kokoh, siap menerima resiko apa saja, walaupun harus berkubang di
lumpur bau kemarin yang mirip lumpur Lapindo.
“ya betul, Akulah Cupang Pipinmu dulu, tapi panggillah aku sekarang dengan Ratu
Ralat!” ujarnya penuh anggun. Aku jijik melihat gerak-geriknya itu.
Kemudian tanpa basa basi pergi meninggalkan aku dan tumpukan Sampah itu.
”apakah ia hantu?” mungkin saja, tapi mana mungkin ada hantu yang membuat sampah
menggunung seperti ini.
“akankah kau mau bersetru denganku?” tiba-tiba ia datang. Tapi aku menjawab tidak,
tapi ia Kembali lagi dan menanyakan berkali-kali seperti itu. ”ini orang otaknya bebal
sekali lah,” ku gerutu dari belakang setelah ia menanyakan peratanyaan yang sama
kesekian kalinya.
“kau mengejekku?” tanyanya dengan muka mengerikan yang akhirnya ia keluarkan.
”jika kau tak mau berteman, ada syaratnya dan kau harus menerimanya sekarang!”
Seketika tubuhku melayang hingga keluar antariksa. Tapi tunggu, aku melihat
matahari mendekat ke bumi “oh tidak”, aku Kembali di Tarik gravitasi dengan kecepatan
penuh
“Bushhh”
Aku tercebur kedalam air yang keruh, sampah tergeletak di mana-mana gunung itu?” apa yang
ia lakukan?"