rat-gurat berwarna merah hijau membentuk serat batu tersebut. Giok Gayo,
bisik hatiku. Mungkinkah ini kursi hukuman matiku? Apa maumu?
Makhluk itu menarik napas panjang.
Kamu ingin mendapatkan bahan untuk tulisanmu, bukan? Sebentar lagi
akan banyak yang bisa kamu tulis.
Sialan, binatang itu mampu membaca isi hatiku. Aku harus berhati-hati
menyembunyikannya. Katakan saja
maumu, jangan berbelit-belit.
Lagi binatang itu menyeringai. Tentakel di mulutnya mengembang sempurna. Kupikir dia menyembunyikan
kemarahannya. Tiba-tiba ruangan itu
dipenuhi asap. Mataku perih. Aku mengerjap-ngerjap. Jarak pandang terhalang asap tebal.
Letakkan api di sudut sana juga. Iya
benar. Ikuti arah angin.
Telingaku mendengar suara manusia. Syukurlah aku masih hidup.
Ini belum cukup, bawa kemari jerigen minyak! ujar suara yang sama.
Aku berusaha membuka mata. Di depanku terlihat lima orang sedang membakar semak tempat aku berlindung.
Rasa cemas menyusupi hati. Aku berada di tengah-tengah kobaran api.
Lari, Nak! Seekor makhluk berbulu
menyambar tanganku. Aku stres melihat bulu yang sama juga memenuhi lenganku. Bahkan seluruh tubuhku. Aku
tak sempat berpikir jernih, kecuali berlari mengikuti kawanan. Api terus
membesar, tapi kami berhasil selamat.
Dari atas pohon mereka melihat asap
yang mengepul di sarang. Mereka menangis dan menjerit. Aku pun ikut menangis, tapi bukan menangisi pohon-pohon yang dimakan api. Lebih tepatnya
aku menangisi diri sendiri. Makhluk
sialan itu benar-benar telah mengubahku menjadi seekor lutung. Seekor
lutung tentu tak memerlukan bahan
untuk menulis sebuah cerpen. Apa yang
harus kulakukan? Aku salah telah
mendatangi Rawa Linge. Mak ampuni
anakmu ini.
Baru kemarin aku tiba di dataran
tinggi Gayo. Hutan perawannya meng-
godaku untuk menemukan sesuatu untuk ditulis. Bukan berarti aku ingin
menjadi lutung. Sesosok mata elang dengan alis tebal muncul dalam benakku.
Jarimu bagus, Jeumpa. Lentik, identik dengan makanan enak.
Ya Tuhan, Bang Az lapar?
Bukan begitu. Perhatikan jari-jarimu. Semakin ke ujung semakin kecil
kan?
Aku mengangguk, kemudian memandangnya tak mengerti.
Orang tua bilang, carilah istri dengan jari seperti itu jika ingin makan
enak setiap hari. Artinya jari seperti itu
pintar masak, Bang Az memberi penjelasan panjang lebar. Aku tersenyum
malu-malu kala itu.
Kupandangi lagi jemariku. Aku
menggeleng-geleng kepala. Tentu Bang
Az tidak akan mengatakan itu saat melihat jari penuh bulu milikku. Lutung
tak pernah bisa memasak. Tidak! Bang
Az bahkan tidak akan mengenaliku lagi. Air mata kembali menetes di pipi.
Aku memandang sosok lain yang berada di dekatku. Dia juga menangis sepertiku. Sosok itu yang tadi menyelamatkanku. Apakah lutung itu adalah
Ibuku di sini. Mak! Kau di mana? Aku
ingin pulang.
Aku merasakan sebuah tangan memegang bahuku. Kita harus pergi dari
sini, Nak. Kalau tidak kita akan kelaparan. Sebentar lagi manusia-manusia
itu akan membuka kebun kopi baru.
Jika melihat kita mereka akan sangat
kejam. Aku tidak mau kehilangan anak
lagi.
Aku memandangnya lekat-lekat. Kutemukan kesedihan yang mendalam
pada wajah itu.Aku teringat mak yang
mungkin akan merasakan kehilangan
aku seperti ibu lutung kehilangan
anaknya. Tiba-tiba dia begitu mirip dengan mak.
Aku tidak tahu pasti sudah berapa
lama mengikuti kawanan lutung ini.
Ada Japra si pemimpin kawanan yang
selalu membuat keputusan untuk kami. Mungkin puluhan bukit sudah kudaki. Kami berpindah-pindah tempat
KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16
Sunardi KS - Jepara
Botol-botol Plastik
botol-botol plastik mengapung
warna-warni di dalamnya
busa-busa sabun kena cahaya
ke mana berjalan
angin yang jauh menggerakkan
tetapi di mana botol-botol yang kita punya
atau botol-botol plastik yang mengapung
yang kita tidak lagi mengenalinya
ke mana botol-botol plastik terus mengapung
angin sedang bingung
Menyaksikan Pertunjukan
tak selamanya hujan bisa diharapkan
musim kemarau yang loyo
di musim pancaroba angin risau
kita menyaksikan pertunjukan di atas panggung
para penonton mendengung
ada yang menari ada yang menyaksikan dengan geli
ada yang berdiri sambil terkantuk
ada yang di kursi menikmati duduk
semua akan pulang seusai pertunjukan
ada yang langsung tidur dengan nyenyak
di pagi hari wajah-wajah berseri
Tentang Kursi
kursi-kursi mencintai meja, meja-meja mencintai laci,
laci-laci mencintai almari
selalu mimpi-mimpi kita setelah tidur
mendengkur dengan ngawur
bisa jadi tak sepenuhnya kesalahan pantat
hanya dengung desah dan memutar ingatan susah
yang mewarnai
kursi-kursi di taman milik siapa saja
itu ada tanda dari bau berbeda-beda
setiap kita menghampirinya
atau dari kejauhan
kursi-kursi mencintai mimpi
mimpi-mimpi di dalam tidur
adakah yang paham mimpi-mimpi kita
tanpa bercerita
Tentang Terasi
dicuci, dicuci tempat terasi
ibu-ibu ragu mengontrol bau
dicuci, dicuci lagi
matahari sembunyi
bapak-bapak mulai tak suka sambal
pedasnya sumber penyakit lidah dan lambung
ibu-ibu ganti yang doyan
lidahnya keberanian
yang tak doyan pedas
sambal memerahkan hidung, telinga, mata
atau seluruh muka
keringat menderas
dicuci, dicuci tempat terasi
masih ada ragu tentang bau
itu dulu di dusun-dusun sebelum kenal sabun
Jangan Kerdil
masihkah di pelupuk mata kita
jeruji bukan lagi besi
dan adakah telah basi?
dan menjadi film diputar berulang
jangan terlalu digenggam angin
sebab waktu bisa berganti musim
bayi-bayi terus lahir
dari tanah terus bersemi
dari pupuk kandang terus bersemi
dari lumpur terus bersemi
terus berbuah
tak lagi bau tanah
masihkah kita remas sendiri mimpi?
*) Sunardi KS, menulis sajak, cerpen dan
esai di media-media cetak. Lahir di Jepara 1955.
Buku kumpulan sajak tunggalnya berbahasa
Jawa berjudul Wegah Dadi Semar (2012).
um yang belum sepenuhnya siap itu, digelar pameran karya-karya Affandi (koleksi
Museum Lippo) dan karya-karya sulam serta lukisan oleh Maryati (1916-1991). Mall
ini akhirnya menjadi berbeda dengan yang
lain, lantaran kesediaan mewakafkan sebagian ruangnya untuk aktivitas seni rupa.
Sebuah pilihan dan tindakan yang pantas
diapresiasi.
Pameran bertajuk Affandi Alive! hasil
kerja sama dengan Indonesia Visual Art Archaive (IVAA) dan Museum Affandi, menghadirkan karya-karya Affandi yang hampir
jarang dilihat oleh khalayak ramai. Karyakarya itu segera memberikan gambaran kepada kita, bagaimana Affandi bersiteguh
berada dalam proses kreatif yang otentik,
dan terus mengembangkan diri. Lukisan
My Wife and Me (1948), menunjukkan kemampuan realistiknya yang amat kuat.
Lukisan Mother with two Attitude (1961),
menunjukkan tahap perkembangan berikutnya ketika Affandi menggoreskan cat
langsung dari tubenya. Kemudian karya dengan teknik yang hampir tak pernah diketahui banyak orang seperti Mexico Mother
and Child (1962), juga dapat disaksikan.
Termasuk lukisan yang menggetarkan,