Anda di halaman 1dari 1

BUDAYA

MINGGU PON, 6 SEPTEMBER 2015


( 22 DULKAIDAH 1948 )

ULU kudukku merinding


saat berada di dekat Rawa
Linge. Spontan kaki berhenti
melangkah, kemudian mundur perlahan. Alang-alang kaku menunjuk langit, mendong seperti keberatan menyangga bunga di dahannya. Elang rawa memekik nyaring. Alang-alang yang
berada tak jauh dariku tiba-tiba bergerak. Dan pada detik itu jarum jam berhenti bergerak ....
Seekor makhluk bermulut gurita -badannya ditumbuhi bulu-- keluar dari
balik alang-alang. Perawakannya menyerupai tikus tanah Amerika Utara.
Hanya saja tikus tanah tak lebih besar
dari tapak tangan manusia. Tapi ini?
Kutaksir tingginya lebih dari dua hasta. Makhluk itu menyeringai menatapku. Kaki ini memaku bumi. Lumpuh
tak bisa bergerak.
Jangan berjalan-jalan terlalu jauh,
ujar mak tadi pagi. Tak ada maksud hati untuk melanggar sabda wanita tersebut, tapi aku butuh sesuatu untuk ditulis. Rugi saja sampai ke Bener Meriah
kalau tidak menemukan apa-apa. Tapi
menatap makhluk yang kini berdiri di
depan, rasanya aku sudah tidak butuh
itu lagi. Hewan aneh berbulu abu-abu
kehitaman itu bergerak mendekat ke
arahku. Lututku bergetar hebat. Tidak
lama lagi tak akan mampu menopang
badan.
Jangan takut, Manusia. Ikutlah denganku.
Binatang itu berbicara kepadaku?
Kucubit kulit lengan. Sakit! Aku tidak
sedang bermimpi. Binatang di depanku
bukan ilusi. Binatang itu berbalik membelakangiku. Tungkaiku benar-benar
tak bisa diajak berkompromi. Begitu saja melangkah di belakang makhluk
aneh itu.
Makhluk itu berlenggak-lenggok di
depan. Ia terus berjalan memasuki
rawa. Otakku memberi perintah untuk
berhenti. Gambut rawa bisa menenggelamkanku. Tapi kaki terus berjalan.
Aku mulai mengikutinya ke dalam air
bergambut itu. Mula-mula sampai mata kaki, kemudian sampai lutut. Mendong, alang-alang, kalakai, bahkan enceng gondok menyibakkan diri, memberikan jalan untukku.
Aku terus melangkah hingga air
mencapai dada, kemudian mencapai
dagu. Kakiku benar-benar bukan milikku lagi. Otak sudah memperingati
bahaya, tapi kaki tak mau berhenti. Beberapa menit ke depan, orang-orang
akan menemukan tubuhku mengambang di rawa. Pada langkah selanjutnya, rawa menjadi begitu dalam. Aku
terjatuh dalam lubang hitam tanpa
dasar. Semua menjadi gelap.
***
Selamat datang di kerajaan kami,
Tuan Putri. ujar makhluk berbulu
yang kini duduk di atas singgasana.
Mungkinkah itu penguasa rawa? Ular
piton melingkar di kursi di sebelah kiri.
Kura-kura dengan tempurung berduri
duduk di samping kanan. Seluruh tubuhnya hitam legam. Aku mencoba menebak, seberapa berbahaya makhluk
itu? Mataku melirik ular piton yang
mendesis. Elang rawa terus terbang
berputar-putar di ruangan aneh itu.
Satu yang pasti. Semua perhatian tertuju padaku.
Duduklah! Kembali binatang aneh
itu berbicara. Sepertinya hanya dia
yang bisa berbahasa manusia. Sejenak
aku teringat pada petuah guru agama
di Ibtidaiyah dulu. Bila hari kiamat tiba, akan keluar makhluk aneh yang
bisa berbahasa manusia. Semoga saja
itu bukan makhluk yang dimaksud guruku. Aku belum siap bertemu El Maut.
Banyak noda hitam yang masih tercatat di buku amalan.
Siapa kamu? Apa maumu? Kembalikan aku.
Duduk dulu, ada yang ingin kubicarakan padamu.
Aku menghempaskan pantat di sebuah kursi yang bertatahkan batu. Gu-

rat-gurat berwarna merah hijau membentuk serat batu tersebut. Giok Gayo,
bisik hatiku. Mungkinkah ini kursi hukuman matiku? Apa maumu?
Makhluk itu menarik napas panjang.
Kamu ingin mendapatkan bahan untuk tulisanmu, bukan? Sebentar lagi
akan banyak yang bisa kamu tulis.
Sialan, binatang itu mampu membaca isi hatiku. Aku harus berhati-hati
menyembunyikannya. Katakan saja
maumu, jangan berbelit-belit.
Lagi binatang itu menyeringai. Tentakel di mulutnya mengembang sempurna. Kupikir dia menyembunyikan
kemarahannya. Tiba-tiba ruangan itu
dipenuhi asap. Mataku perih. Aku mengerjap-ngerjap. Jarak pandang terhalang asap tebal.
Letakkan api di sudut sana juga. Iya
benar. Ikuti arah angin.
Telingaku mendengar suara manusia. Syukurlah aku masih hidup.
Ini belum cukup, bawa kemari jerigen minyak! ujar suara yang sama.
Aku berusaha membuka mata. Di depanku terlihat lima orang sedang membakar semak tempat aku berlindung.
Rasa cemas menyusupi hati. Aku berada di tengah-tengah kobaran api.
Lari, Nak! Seekor makhluk berbulu
menyambar tanganku. Aku stres melihat bulu yang sama juga memenuhi lenganku. Bahkan seluruh tubuhku. Aku
tak sempat berpikir jernih, kecuali berlari mengikuti kawanan. Api terus
membesar, tapi kami berhasil selamat.
Dari atas pohon mereka melihat asap
yang mengepul di sarang. Mereka menangis dan menjerit. Aku pun ikut menangis, tapi bukan menangisi pohon-pohon yang dimakan api. Lebih tepatnya
aku menangisi diri sendiri. Makhluk
sialan itu benar-benar telah mengubahku menjadi seekor lutung. Seekor
lutung tentu tak memerlukan bahan
untuk menulis sebuah cerpen. Apa yang
harus kulakukan? Aku salah telah
mendatangi Rawa Linge. Mak ampuni
anakmu ini.
Baru kemarin aku tiba di dataran
tinggi Gayo. Hutan perawannya meng-

godaku untuk menemukan sesuatu untuk ditulis. Bukan berarti aku ingin
menjadi lutung. Sesosok mata elang dengan alis tebal muncul dalam benakku.
Jarimu bagus, Jeumpa. Lentik, identik dengan makanan enak.
Ya Tuhan, Bang Az lapar?
Bukan begitu. Perhatikan jari-jarimu. Semakin ke ujung semakin kecil
kan?
Aku mengangguk, kemudian memandangnya tak mengerti.
Orang tua bilang, carilah istri dengan jari seperti itu jika ingin makan
enak setiap hari. Artinya jari seperti itu
pintar masak, Bang Az memberi penjelasan panjang lebar. Aku tersenyum
malu-malu kala itu.
Kupandangi lagi jemariku. Aku
menggeleng-geleng kepala. Tentu Bang
Az tidak akan mengatakan itu saat melihat jari penuh bulu milikku. Lutung
tak pernah bisa memasak. Tidak! Bang
Az bahkan tidak akan mengenaliku lagi. Air mata kembali menetes di pipi.
Aku memandang sosok lain yang berada di dekatku. Dia juga menangis sepertiku. Sosok itu yang tadi menyelamatkanku. Apakah lutung itu adalah
Ibuku di sini. Mak! Kau di mana? Aku
ingin pulang.
Aku merasakan sebuah tangan memegang bahuku. Kita harus pergi dari
sini, Nak. Kalau tidak kita akan kelaparan. Sebentar lagi manusia-manusia
itu akan membuka kebun kopi baru.
Jika melihat kita mereka akan sangat
kejam. Aku tidak mau kehilangan anak
lagi.
Aku memandangnya lekat-lekat. Kutemukan kesedihan yang mendalam
pada wajah itu.Aku teringat mak yang
mungkin akan merasakan kehilangan
aku seperti ibu lutung kehilangan
anaknya. Tiba-tiba dia begitu mirip dengan mak.
Aku tidak tahu pasti sudah berapa
lama mengikuti kawanan lutung ini.
Ada Japra si pemimpin kawanan yang
selalu membuat keputusan untuk kami. Mungkin puluhan bukit sudah kudaki. Kami berpindah-pindah tempat

terus menerus. Dimana ada makanan


di situ kami singgahi sampai makanan
itu habis. Lama-lama aku terbiasa dengan wujud baruku. Bergelantungan
dari pohon ke pohon. Memakan buahbuahan seperti lutung lainnya. Aku mulai melupakan tikus tanah raksasa
yang mengirimku ke sini. Atau aku mulai memaafkan makhluk itu dan melupakan kehidupan lamaku. Hanya satu
yang tak kupunya di sini. Kekasih hati.
Tak ada satu pun pejantan yang tertarik padaku.
Hingga hutan menjadi begitu pelit pada kami. Makanan menjadi langka.
Bahkan hampir tidak ditemukan. Manusia-manusia itu begitu serakah. Tak
hentinya mereka membakar hutan untuk membuka lahan baru. Kami semakin terjepit, terancam mati kelaparan.
Aku untuk pertama kalinya merasakan
susahnya menemukan makanan. Sebagai mantan manusia yang beriman aku
pernah menjalankan puasa, tapi kami
berbuka puasa setiap menjelang magrib
dengan beraneka ragam makanan. Dan
sahur saat sebelum imsak. Saat ini kadang aku tidak makan selama dua hari
dua malam. Lapar itu benar-benar menyakitkan. Dan lapar itu bukan milik
manusia semata. Lapar juga dirasakan
lutung dan makhluk Tuhan lainnya.
Pada suatu hari Japra mengajak kami mencari makan di jalan yang dilalui
oleh mobil-mobil milik manusia. Jika
beruntung mereka suka melempar pisang dan biskuit kepada kami. Aku menunduk tak berani melihat wajah-wajah yang tersenyum di balik jendela mobil. Bagaimana jika terlihat wajah
Mak? Apa yang harus kukatakan? Dan
bagaimana jika itu Bang Az. Aku tidak
ingin terlihat dalam kondisi sangat
menyedihkan ini. Selera makanku hilang.
Seekor pejantan mendorongku untuk
menyeberang. Dia menunjuk-nunjuk
ke arah biskuit yang baru dilempar seorang penumpang. Aku hendak menggeleng, tapi kuurungkan saat melihat
sebungkus biskuit coklat tergeletak begitu saja di jalan. Sudah sangat lama
aku tak mencicipi makanan favoritku
itu. Sambil menunduk aku berjalan
perlahan menyeberang. Entah mengapa kesedihan menyergap hatiku. Memungut makanan yang dilempar begitu
saja layaknya seorang pengemis. Dan
rasa manis coklat yang memanggilku.
Ah! Lutung tahu apa tentang harga
diri? Aku sedikit bersemangat melihat
bungkus biskuit.
Kawanan tiba-tiba menjadi resah
dan berteriak. Spontan aku melihat ke
kiri. Sebuah minibus sedang melaju cepat ke arahku. Aku tak sempat mengelak. Masih sempat terdengar teriakan
menyayat hati dari Ibu Lutung sebelum
semuanya menjadi gelap.
***
Lihat, dia mulai bergerak-gerak.
Kupikir dia akan sadar. ujar salah seorang yang membaringkan sesosok
tubuh di teras menasah.
Siapa dia? tanya yang lain.
Bukankah ini kerabat Bang Sempena yang menghilang di daerah ini setahun lalu?.
Masa, si? seorang warga menyibak
kerumunan dan melihat sosok yang terbaring tidak sadar itu.Iya, Ini memang
Jeumpa, kerabat Bang Sempena yang
datang kemari bersama ibunya. Bang
Sempena sudah diberi tahu?
Seorang warga sedang mendatangi
rumah Bang Sempena.
Kenapa gadis ini bisa pingsan di dekat Rawa Linge, ya? Jangan-jangan,
tebak warga pertama.
Jeumpa sudah membuka matanya,
gadis itu langsung duduk dan berkata,
tolong, jangan bakar hutan lagi.
Semua menatapnya kebingungan.
Aceh Timur, Agustus 2015
*) Ida Fitri, lahir di Bireuen 25
Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh
Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur.

KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16

Sunardi KS - Jepara
Botol-botol Plastik
botol-botol plastik mengapung
warna-warni di dalamnya
busa-busa sabun kena cahaya
ke mana berjalan
angin yang jauh menggerakkan
tetapi di mana botol-botol yang kita punya
atau botol-botol plastik yang mengapung
yang kita tidak lagi mengenalinya
ke mana botol-botol plastik terus mengapung
angin sedang bingung

Menyaksikan Pertunjukan
tak selamanya hujan bisa diharapkan
musim kemarau yang loyo
di musim pancaroba angin risau
kita menyaksikan pertunjukan di atas panggung
para penonton mendengung
ada yang menari ada yang menyaksikan dengan geli
ada yang berdiri sambil terkantuk
ada yang di kursi menikmati duduk
semua akan pulang seusai pertunjukan
ada yang langsung tidur dengan nyenyak
di pagi hari wajah-wajah berseri

Tentang Kursi
kursi-kursi mencintai meja, meja-meja mencintai laci,
laci-laci mencintai almari
selalu mimpi-mimpi kita setelah tidur
mendengkur dengan ngawur
bisa jadi tak sepenuhnya kesalahan pantat
hanya dengung desah dan memutar ingatan susah
yang mewarnai
kursi-kursi di taman milik siapa saja
itu ada tanda dari bau berbeda-beda
setiap kita menghampirinya
atau dari kejauhan
kursi-kursi mencintai mimpi
mimpi-mimpi di dalam tidur
adakah yang paham mimpi-mimpi kita
tanpa bercerita

Tentang Terasi
dicuci, dicuci tempat terasi
ibu-ibu ragu mengontrol bau
dicuci, dicuci lagi
matahari sembunyi
bapak-bapak mulai tak suka sambal
pedasnya sumber penyakit lidah dan lambung
ibu-ibu ganti yang doyan
lidahnya keberanian
yang tak doyan pedas
sambal memerahkan hidung, telinga, mata
atau seluruh muka
keringat menderas
dicuci, dicuci tempat terasi
masih ada ragu tentang bau
itu dulu di dusun-dusun sebelum kenal sabun

Jangan Kerdil
masihkah di pelupuk mata kita
jeruji bukan lagi besi
dan adakah telah basi?
dan menjadi film diputar berulang
jangan terlalu digenggam angin
sebab waktu bisa berganti musim
bayi-bayi terus lahir
dari tanah terus bersemi
dari pupuk kandang terus bersemi
dari lumpur terus bersemi
terus berbuah
tak lagi bau tanah
masihkah kita remas sendiri mimpi?
*) Sunardi KS, menulis sajak, cerpen dan
esai di media-media cetak. Lahir di Jepara 1955.
Buku kumpulan sajak tunggalnya berbahasa
Jawa berjudul Wegah Dadi Semar (2012).

Affandi dan Maryati Singgah di Mall


Suwarno Wisetrotomo
APALAGI yang masih bisa dilihat dan
dimengerti dari seorang maestro seperti
Affandi (1907 - 1990)? Ternyata masih sangat banyak. Sosok yang artistik ini semakin hari, semakin ke sini, secara umum
semakin dimengerti sebagai legenda, terlebih lagi oleh generasi muda hari ini.
Terhadap legenda, kita tahu, biasanya cenderung bersikap menerima apa adanya begitu saja (taken for granted), dan bisa berakibat kehilangan sikap kritis, serta kehilangan pengetahuan. Karena itu, saya meyakini, bahwa Affandi - terutama kehidupan
kreatifnya - masih bisa dilihat dari dekat,
dan masih menyimpan fakta dan pengetahuan baru. Sosoknya terus menginspirasi,
agar melakukan tindakan riset untuk menemukan pengetahuan lainnya yang masih
tertutup kabut.
Pikiran itulah yang muncul di kepala saya
ketika menjumpai (menonton) pameran di
Museum @ Lippo Plaza, di salah satu bagian sebuah mall, tempat belanja baru di kota
Yogyakarta. Kehadiran mall (juga hotel) di
Yogyakarta sebenarnya sudah semakin

mengkhawatirkan, karena sudah terlalu


banyak, dan berhimpitan di ruang kota
yang sempit ini. Namun rupanya kran perizinan dari Pemerintah Kota Yogyakarta
terus dibuka. Maka kini Jogja (demikian kota ini diucapkan, ditulis, dan di-branding)
sudah menampakkan wajah baru sebagai
kota berhimpit mall dan hotel, yang berpotensi besar bakal menggusur predikat sebagai kota pendidikan dan kota budaya bernama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ditulis dalam tagline Jogja Istimewa, akan
menjadi seperti kota-kota lain di Indonesia
yang menandai dirinya dengan mall, mini
market, hotel, dan simbol-simbol kapitalisme pada umumnya. Modal budaya DIY
terancam tak berbekas. Semuanya itu bakal segera terjadi, sejauh para pemimpin di
segala sektor tak tangkas memahami
modal budaya ini, dan mengelolanya dengan cerdas serta trengginas.
Mewakafkan Ruang
Kembali ke peristiwa pameran ini, saya
terkejut ketika tiba-tiba mendapatkan telepon, untuk menghadiri diskusi dengan
pembicara Ibu Kartika dan Amir Sidharta
(kurator Museum Lippo), di Museum @ Lippo Plaza Jogja lantai dua. Di ruang muse-

um yang belum sepenuhnya siap itu, digelar pameran karya-karya Affandi (koleksi
Museum Lippo) dan karya-karya sulam serta lukisan oleh Maryati (1916-1991). Mall
ini akhirnya menjadi berbeda dengan yang
lain, lantaran kesediaan mewakafkan sebagian ruangnya untuk aktivitas seni rupa.
Sebuah pilihan dan tindakan yang pantas
diapresiasi.
Pameran bertajuk Affandi Alive! hasil
kerja sama dengan Indonesia Visual Art Archaive (IVAA) dan Museum Affandi, menghadirkan karya-karya Affandi yang hampir
jarang dilihat oleh khalayak ramai. Karyakarya itu segera memberikan gambaran kepada kita, bagaimana Affandi bersiteguh
berada dalam proses kreatif yang otentik,
dan terus mengembangkan diri. Lukisan
My Wife and Me (1948), menunjukkan kemampuan realistiknya yang amat kuat.
Lukisan Mother with two Attitude (1961),
menunjukkan tahap perkembangan berikutnya ketika Affandi menggoreskan cat
langsung dari tubenya. Kemudian karya dengan teknik yang hampir tak pernah diketahui banyak orang seperti Mexico Mother
and Child (1962), juga dapat disaksikan.
Termasuk lukisan yang menggetarkan,

Busung (tt), atau Pengemis Cirebon (1960)


yang meneguhkan empati Affandi pada
kaum papa.
Karya-karya sulaman Maryati juga meneguhkan bagaimana pasangan ini saling
menopang. Dengan caranya yang otentik,
Maryati berada di samping (bukan di belakang) Affandi, menyertai perjalanan meraih reputasi dan prestasi yang bermartabat.
Maryati menyulam pengalaman kehidupannya dengan cara ekspresif; melukis dengan
benang. Ia menyusun bentuk-bentuk dengan
menyulam benang warna-warni, jauh dari
kesan menata dengan rapi, tetapi menyulam
sesukanya, namun tetap menghadirkan
komposisi dan cerita menarik.
Saya membayangkan; Affandi dengan tatapan mesra melihat Maryati duduk di dekatnya, sembari melukis dengan jarum
dan benang-benang sulam itu. Atau sebaliknya, Maryati dengan setia menunggui
Affandi melukis, napas terengah, kaos dan
celana basah keringat, belepotan cat, sejenak kemudian secangkir teh berikut cangklong tembakaunya diantar Maryati. Tak
ada banyak percakapan. Tetapi tatapan dan
sentuhan mereka berdua, merupakan komunikasi kasih sayang dan dukungan yang

melampaui kata-kata. Saya menemukan


semangat cinta kasih dan gairah kreativitas
dua orang ini secara menggetarkan.
Affandi menikahi Maryati pada 1933.
Memiliki satu puteri, Kartika. Maryati pula
yang mendorong agar Affandi menikah lagi,
kemudian memilihkan istri kedua, Rubiyem, yang memberinya 7 orang anak. Affandi meninggal pada 1990. Setahun kemudian, 1991, Maryati menyusulnya berpulang
ke haribaanNya. Keduanya dimakamkan
berdampingan di halaman Museum Affandi
di tepian Kali Gajah Wong, Yogyakarta.
Setelah puas bercengkerama dengan maestro Affandi dan mami Maryati, saya kembali
ke arah timur, menuju Museum Affandi
yang berjarak tak sampai satu kilometer,
berziarah ke pusara dua orang penuh inspirasi ini. Kemudian kembali menyegarkan
pengetahuan tentang keduanya melalui
artefak yang tersimpan di dalam dan di sekitar area museum Affandi. Berbahagialah
sang maestro Affandi dan mami Maryati di
haribaan Sang Maha Pencipta. - k
*) Dr Suwarno Wisetrotomo,
Dosen Fakultas Seni Rupa dan
Pascasarjana ISI Yogyakarta,
Kurator Galeri Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai