Anda di halaman 1dari 4

Tari Untuk Lastri

Kota B,
Iringan alunan gendhang dan kluncing memenuhi indera pendengarannya, angin semilir
berlomba-lomba menyentuh kulit ayu sang tukang tari. Mulai gemulainya ia bergerak laksana
menyihir setiap mata yang melihat seolah-olah tengah berada di pesisir dihadang air pasang
gelombang. Alunan musik lenggang terasa mengajak hati untuk ikut berlenggang menemani sang
tukang tari. Iringan demi iringan berangsur menghilang tergantikan sorak sorak berisik memuja
aksi sang tukang tari yang indah.

Sang Tukang Tari pun merunduk lalu tersenyum semanis madu segar yang dibuat lebah, atau
bahkan senyumannya lebih manis dari itu? Ntahlah semua orang betul tersihir dengan senyum
dan gerak tarinya. Aku berdiri disini, tersihir lenggang geraknya di pojok dekat palang masuk
tempat itu, terlebur rasanya aku melihat senyum manis Nyai Penari itu. Perasaan kagum macam
apa ini? Segeraku siapkan diriku, ku sadarkan semua menungku, untuk segera pergi dari tempat
ini.

Ku berjalan menyusuri jalan penuh semak belukar beratapkan pohon rimbun sampai menjadi
ladang padi dan jagung, hingga sampai berubah menjadi ramainya meja-meja kolot
membosankan yang berbaris apik hampir menutupi jalan. Gemuruh suara yang saling tawar
menawar memenuhi ruang terbuka itu. Suara pedagang, burung dan ayam merangsang indera
pendengaran ini.

Aroma itu, aroma yang jelas aku kenal, aroma biji kopi yang menandakan kehadiranku di dekat
tempat berkumpul dan beristirahatnya para centeng-centeng yang kebanyakan mereka yang
berkumis bak lele dengan air wajah yang tak pernah aku pahami apakah mereka marah, kesal
atau tidak ada apa-apa?.

Selamaku melangkah, ku dengar banyak ocehan menarik dari birai congor centeng-centeng itu,
Tak banyak yang membedakan pembicaraan centeng-centeng itu, selain membicarakan gadis ayu
desa sebelah, janda pemarah kulon desa atau bahkan membicarakan para pendatang ke wilayah
kidul dekat pesisir. Disetiap pembicaraan mereka, ada yang benar-benar menarik perhatianku,
yakni tentang Nyai Penari di Sanggar saung kulon.

Sesekaliku sesap air pekat hitam itu, sembari mendengarkan ocehan mereka, yang terus tak henti
mengagumi keindahan dan kecantikan sang Nyai penari, sampai seseorang datang diantara
mereka yang memiliki tubuh lebih kecil datang dan ikut duduk bersama para centeng itu. Pikirku
saat melihatnya, mungkin centeng kecil itu salah satu dari mereka, namun beberapa saat
kemudian mereka terlihat berselisih dan satu dari beberapa centeng itu mulai memukul si
Centeng Kecil.
Awalnya, aku ingin bersikap acuh karena itu bukan masalahku, untuk apa juga aku ikut campur
masalah sesama centeng itu pikirku. Sampai si Centeng Kecil itu berlari kearahku dan berlutut
dihadapanku untuk minta diselamatkan, semua orang menatapku, aku merasakan ada yang aneh
dari tatapan mereka para centeng itu turut menghampiriku dan si Centeng kecil itu bergegas
berlindung di belakang kakiku. Aku yang tidak tau harus melakukan apa tentu saja terkejut
dengan hal yang terjadi.

Tanpa basa basi centeng-centeng menyeramkan itu mulai memukuliku dan si Centeng Kecil, lalu
pergi begitu saja. Seketika aku langsung tersadar, apa-apaan ini? Kenapa aku diam saja seperti
ayam yang ingin direbus. Setelah sadar, kubangkitkan diri ini dan segera pergi dari tempat itu.
Namun aku merasakan ada seseorang yang mengikutiku, saatku tengok ke belakang nihil tidak
ada apa-apa hanya ada orang yang berlalu-lalang sembari memberikan tatapan heran dan aneh
kepadaku.

Karena tidak melihat tanda-tanda ada orang yang mengikutiku, aku langsung melanjutkan
perjalananku, namun aku dikejutkan oleh seonggok manusia yang tiba-tiba menarik lengan
kiriku, akupun langsung berbalik dan melihat siapa orang yang menarikku. Setelahku tengok
ternyata si Centeng Kecil itu, dilihatnya dia tersenyum kepadaku seolah-olah tak ada apa-apa
setelah kejadian pemukulan di kedai kopi itu. Mengingatnya membuatku kesal, bahkan kopiku
belum habis? Aku baru menyesapnya 2 atau 3 kali.
Si Centeng kecil itu, berbicara padaku menggoda-godaku apakah aku tidak tertarik mengetahui
nama si Nyai penari itu. Dasar orang sakit. Pikirku setelah mendengarkan si Centeng Kecil itu
berbicara padaku tanpa ada kata maaf dan terimakasih? Lawak pikirku, memang benar, adab
semakin terkikis oleh waktu, dan sekarang aku langsung mendapatkan bentuk nyatanya.
Ku jawab, aku tidak perlu siapa dia tidak penting. Namun, si Centeng Kecil tetap terus
mengejarku sampai keluar dari ramai sorai di pasar. Tak putus asa sekali orang ini, dia lagi-lagi
memberhentikan aku dan akupun mau tak mau berhenti karena dihalanginya, lalu dia berkata
“Lastri, nama Nyai penari itu Lastri“. Lalu, aku menatapnya aneh, lalu apa? Kalau tau
namanya lalu mengapa? Tapi aku lebih memilih berucap “Baik, terimakasih atas usahamu
menganggu jalanku” akupun pergi meninggalkan si Centeng Kecil itu dan luar biasanya dia
tidak mengikutiku lagi? Mengherankan mungkin dia sudah malas persetan, aku tidak peduli dan
langsung saja meninggalkan tempat itu.

Hari demi hari telah terlewat, setelah kejadian si Centeng Kecil itu ah sudahlah aku malas
mengingatnya. Hari ini, aku datang melihat Nyai penari itu lagi, aku merasakan jalanku ke Kulon
hari ini sedikit berbeda, entah apa aku tak tau. Lagi dan lagi aku tersihir, lebur raga ini melihat
tiap-tiap gerak sang Nyai yang gemulai menyatu dengan iringan musik. *Tink* bunyi kluncing
menyadarkan aku, wajahku tertutup kain wangi bak kembang putih melati. Lalu, seorang wanita
menghampiriku dan merunduk sembari menadahkan tangan, berisyarat meminta kembali
kainnya yang tersapu angin, dia hanya diam dan meruduk.
Aku pun, lekas mengembalikan selendangnya, dan entah dengan dorongan apa aku berucap
“Lastri, cantik”. Sang Nyai pun menoleh padaku, dan tersenyum sebelum melanjutkan jalannya
kembali ke Saung dan mulai hilang dari pandanganku. Hari demi hari, hal seperti itu terus terjadi
tidak ada pembeda, aku bingung mengapa tiba-tiba bisa seperti ini terus? Seperti direncanakan.
Sampailah suatu hari, kainnya terbang untuk kesekian kalinya, dan menyapu wajahku.tapi
tunggu ini bukan Lastri, aromanya tidak melati! Aroma ini, aroma asing. Lalu, seorang gadis
menghampiriku, dan merunduk sembari meminta maaf kepadaku. “Dimana Lastri?” Entah
apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? Aku hanya menanyakan dimana Lastri, karena aku
tidak melihatnya.

Gadis muda itu pun, langsung merampas kainnya dari genggamanku. Aku tak peduli karena kain
itu bukan milikku, untuk apa aku marah tapi tetap saja, aku merutuk berpikir bahwa gadis itu
tidak sopan. Aku pun memilih pergi dan akan datang kembali esok.

Keesokan harinya, aku terbangun rasa-rasanya matahari sudah ingin pulang, akupun bergegas
berlari ke arah Kulon. Dan ku dapati Lastri tengah berjalan seorang diri layaknya tengah
menunggu orang. Aku pun menghampirinya, kupanggil namanya “LASTRI!” ya, betul itu Lastri
dia menatapku, tersenyum namun matanya menangis. Mimik wajah apa ini? Kenapa banyak
orang membuat mimik air wajah yang tidak bisa dimengerti?

Lastri memegang tanganku, lalu pipiku mengarakan semua pandanganku padanya. Seolah-olah
hanya Lastri yang saat ini aku bisa lihat. Aku tak tau, Lastri bersingkuh bersujud dikakiku, aku
yang tak mengerti perlu memproses semuanya. Apa Lastri sedang meminta maaf? Begitu
pikirku. Aku pun langsung mengangkat Lastri dari sujudnya. Dia menangis, dan lagi-lagi dia
tersenyum aku pun lagi-lagi tersihir senyum Lastri. Apa Lastri seorang dukun? Pikirku karena
setiap aku melihatnya aku selalu tersihir.

Setelah tersenyum, Lastri berlari meninggalkanku yang membeku di tempat saat tersadar akupun
mengejarnya. Namun, malang nasibku aku kehilangan jejak Lastri di Tunggang Gunung. Karena
takut semakin gelap, akupun bergegas kembali, dan berencana kembali ke Kulon esok hari.
Namun, hari demi hari terus berlalu, aku selalu datang menyempatkan hadir seperti rutinitasku
biasanya, menunggu Lastri tampil dan melihat senyuman manisnya. Akan tetapi, aku tak akan
pernah kembali melihat senyumnya. Setelah hari ini, aku tidak pernah bertemu dengan Lastri
atau bahkan melihat bayangnya setitik.

Anda mungkin juga menyukai