Anda di halaman 1dari 6

Taksi Menuju Horizon

Oleh: Minerva Azaalea

Aku berjalan cepat melewati kerumunan orang. Hujan mulai turun, rintik-rintik ia menyapa.
Kurogoh tasku dan kuambil sebuah payung transparan yang baru saja kubeli di minimarket
tadi. Padahal aku sedang berdiri di sebuah halte pemberhentian bus, namun tetap kugunakan
payung itu. Bukan agar tidak basah, namun ingin saja.

Lima menit, sepuluh menit, belum ada taksi yang lewat. Tumben, pikirku. Biasanya, selalu
ada taksi luring lewat sini, karena di dekat sini ada mall besar. Aku merogoh tasku lagi dan
mengambil ponsel, berniat memesan taksi daring saja.

Baru saja kuketuk aplikasi itu, tiba-tiba sebuah taksi lewat. Dengan ponsel masih
tergenggam, aku melambaikan tangan secepat mungkin. Tubuhku agak bergoyang karena
sepatuh hak tinggi yang kugunakan. Tak apa, aku bisa melewatinya.

Taksi itu berhenti. Kutundukkan kepala ke jendela depan untuk memberitahukan tujuanku.
Sang Supir mengiyakan, aku pun bernapas lega.

Namun, ketika aku hendak masuk ke kursi penumpang, seorang lelaki seumuranku masuk
dari pintu lain. Aku terkejut sekaligus marah, karena aku yang pertama kali memberhentikan
taksi ini. Di sisi lain, aku sudah diburu waktu dan bajuku juga terkena rintik hujan. Membuat
semakin kesal saja.

"Kafe Horizon, ya, Pak!" sahut lelaki itu. Aku memelototinya. Ia mengacak-acak rambutnya
yang basah. Sepertinya ia tidak menggunakan payung sama sekali.

Aku masih melotot, menunggu reaksi normal darinya. Pak Supir terdiam bingung. Lelaki itu
hanya tersenyum, seperti tidak terjadi apa-apa.

"Maaf, ya, tapi saya rasa kamu tahu apa yang sedang terjadi di sini."

Ia melihat kanan atas, sok-sokan berpikir. Sejurus kemudian, ia tersenyum polos, membuatku
semakin kesal. Namun aku harus sabar. Penyabar dan tidak cepat bereaksi adalah trademark-
ku.
"Iya, aku tahu, kok."

"Kalau begitu, silahkan keluar."

"Loh?" ia kali ini sok-sokan bingung. "Kita kan mau ke Kafe Horizon."

"Kita? Anda saja, kali."

"Kita, kok. Gak percaya?"

Aku menghela napas panjang. Sepertinya aku harus berbesar hati karena orang yang
kuhadapi ini rasa-rasanya tidak waras.

Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan langsung mengetuk sebuah aplikasi. Kemudian, ia
menunjukkan ponselnya padaku. Kulihat aplikasi pelacak posisi teman dan kulihat nama
kekasihku di sana. Ia sedang berada di Kafe Horizon.

"Kamu siapanya Ezza?"

Kutebak, ia adalah teman Ezza karena aplikasi itu hanya bisa melacak posisi orang yang
menerima kita sebagai teman. Namun, aku tetap tidak mengerti tujuan lelaki ini. Bahkan, aku
tidak pernah tahu Ezza memiliki aplikasi itu.

"Hm... teman?"

Benar dugaanku.

"Lalu? Kenapa aku harus ke Ezza?" tanyaku. Waktu meeting-ku dengan klien sebentar lagi
dimulai, namun aku menjadi mulai penasaran dengan lelaki ini. Apa sebaiknya aku izin dari
meeting? Entahlah, saat itu aku sudah tidak memikirkannya lagi. Bahkan, Pak Supir pun
hanya menjadi patung di sana.

"Aku tahu kamu tahu," ucapnya. Aku semakin penasaran sekaligus kesal. Mengapa tidak
langsung ke poinnya saja? Apalagi ini berhubungan dengan kekasihku, masa depanku.

"Aku tidak tahu."

"Kalau begitu, mari kita ke sana supaya kamu tahu."


"Apa yang akan aku tahu? Kenapa aku harus tahu?"

"Kamu akan tahu di sana, dan kamu juga akan tahu kenapa kamu harus tahu."

Oke, terlalu banyak kata "tahu" di sini. Kalah oleh rasa penasaran dan emosi yang tak dapat
kujelaskan, aku pun meminta Pak Supir untuk ke Kafe Horizon. Dalam perjalanan, kami tak
banyak bicara. Entah mengapa, jantungku berdebar. Mungkin, aku memang tahu apa yang
akan aku tahu.

"Namaku Pungtuasi." Ia memulai percakapan. "Panggil saja Ipung."

Aku hanya diam. Namanya menarik, tapi tak semenarik teka-teki yang kuhadapi. Aku hanya
melihat jalanan, dan entah mengapa mataku mulai berkaca-kaca. Ia memberiku tisu dari taksi
itu, aku menerimanya dan langsung menyeka air mataku. Kutarik napas dalam. Aku pasti bisa
melewatinya.

Setelah sepuluh menit perjalanan, taksi kami melewati sebuah taman umum. Aku dan Ezza
terbiasa piknik di taman itu. Ia suka sekali brownies buatanku. Walaupun sederhana, namun
itu adalah salah satu momen terbaik dalam hidupku. Dapat kubayangkan wajahnya saat
tersenyum dan mengatakan bahwa aku adalah pembuat kue terbaik di dunia.

Lima menit kemudian, taksi kami berhenti di lampu merah. Kuperhatikan motor Vespa yang
berhenti tepat di sebelah jendela tempatku duduk. Kulihat seorang lelaki tengah membonceng
seorang wanita, dengan tangan wanita itu melingkari pinggang Sang Lelaki. Aku teringat
Ezza lagi. Ia sering mengajakku berkekeling kota menggunakan Vespa. Malam-malam,
ditemani remang-remang lampu kota. Ia juga selalu mengantarku ke mana-mana. Ia selalu
ada ketika aku butuh.

Setelah sekian detik, seorang pengamen menghampiri jendelaku. Ya Tuhan, dia menyanyikan
lagu favoritku dan Ezza. Lagu yang dimainkan di Kafe Horizon saat ia menyatakan
perasaannya padaku. Kami sering mendengarkan lagu itu bersama. Setiap kudengar lagu itu,
dapat kurasakan Ezza di sebelahku tengah mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti
irama lagu. Ia begitu mempesona.

Aku sempat melirik Ipung, ia juga tengah asik melihat jalanan. Setelah pengamen itu
bernyanyi, ia memberikan uang recehan dengan senyuman polosnya.
"Pilihan lagu yang bagus!" sahutnya.

Apa maksud perkataannya itu? Aku semakin penasaran. Sedekat apa ia dengan Ezza sampai-
sampai tahu lagu kami? Namun, sekali lagi, Ezza tidak pernah memperkenalkan lelaki ini
kepadaku.

Lampu hijau menyala, taksi langsung melaju. Aku kembali menatap jalanan.

Semua kenangan yang kuceritakan tinggal menjadi kenangan pada saat itu. Aku tidak pernah
piknik lagi dengan Ezza, dan ia juga tidak pernah ada waktu untukku, apalagi untuk
memboncengku berkeliling kota. Lagu kami pun hanya tinggal aku yang mendengarkan,
dalam kesepian.

Mataku mulai berair lagi, namun kali ini aku benar-benar menahannya. Lelaki di sebelahku
ini sepertinya tidak menyadari hal itu. Syukurlah.

Setelah lima belas menit perjalanan, kami sampai di Kafe Horizon. Ponselku beberapa kali
berbunyi karena panggilan meeting, namun aku abaikan. Payung yang tadi kugunakan masih
kupegang. Rintik hujan sudah reda.

"Yuk, cari tahu apa yang akan segera kamu tahu," ucapnya. "walaupun sebenarnya kamu
sudah tahu."

Aku pun memasuki kafe, menyapu ruangan untuk menemukan kekasihku dan mencari tahu
apa yang sedang ia lakukan. Pandanganku terhenti di suatu sudut.

Ezza tengah menikmati kopi bersama wanita lain. Ia memegang tangan wanita itu, begitu
mesra.

Jantungku kembali berdebar. Air mataku tak lagi terbendung. Aku langsung
menghampirinya. Kulayangkan payungku tepat ke wajahnya. Payung gratis untuk mantas
kekasih, sebagai kenang-kenangan.

Setelah mengucapkan kata putus dengan jelas, aku langsung keluar kafe. Aku sama sekali tak
melihat ke belakang, tak tahu dan tak peduli bagaimana reaksi mereka. Yang kutahu,
semuanya sudah berakhir.
Ipung masih menunggu di luar.

"Kamu benar," ucapku. "Aku akhirnya tahu apa yang sudah kutahu."

Ia tersenyum dan berkata, "Ada kalimat yang sebenarnya masih bisa dilanjutkan, namun akan
lebih mudah dipahami jika dipotong dan diberi titik."

Aku hanya terdiam. Ponselku berbunyi lagi, meeting telah dimulai.

***
Data Diri

Nama (pena) : Minerva Azalea

Nama (asli) : Khalda Athia Elzahra

Rekening : 0267709749 a/n Khalda Athia Elzahra

Media sosial

Instagram : khaldaelzahra

Blog : hirukkikuk.wordpress.com

Soundcloud : khaldaelzahra

Anda mungkin juga menyukai